CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil
penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 1 )
.........................................................
HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result :
Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman
hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe
ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya
berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan herpetofauna dari
sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan
bermanfaat
Just trying to summarize
everything connected with herpetofauna from existing sources in the google search
engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA
?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA ATAU MENJADI VOLUNTEER UNTUK
KAMI...(+62)85866178866 ( whatsapp only
)
Link chloepedia :
Herpetofauna 1
herpetofauna 2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2
.................................................................
Herpetology
From Wikipedia, the free encyclopedia
Herpetology (from Greek
"herpien" meaning "to creep") is the branch of zoology concerned with the study of amphibians(including frogs, toads, salamanders, newts, and caecilians (gymnophiona)) and reptiles (including snakes, lizards,amphisbaenids, turtles, terrapins, tortoises, crocodilians, and the tuataras). Batrachology is a further subdiscipline of
herpetology concerned with the study of amphibians alone.
Herpetologi (dari bahasa
Yunani "herpien" yang berarti "merayap") adalah
cabang zoologi berkaitan
dengan studi amfibi (termasuk katak, kodok,
salamander, kadal air, dan
caecilian (gymnophiona)) dan reptil (termasuk
ular, kadal,
amphisbaenids, kura-kura, terrapins, kura-kura, buaya, dan tuataras).
Batrachology adalah subdiscipline lanjut herpetologi yang berkaitan
dengan studi amfibi saja.
Herpetology is concerned with poikilothermic, ectothermic tetrapods. Under this definition
"herps" (or sometimes "herptiles" or
"herpetofauna") exclude fish, but it is not uncommon for
herpetological and ichthyological scientific societies to "team
up", publishing joint journals and holding conferences in order to foster
the exchange of ideas between the fields. One of the most prestigious
organizations, the American Society of Ichthyologists and Herpetologists, is an example of
this. Many herpetological societies exist today, having been formed to promote
interest in reptiles and amphibians both captive and wild.
Herpetologi berkaitan
dengan poikilothermic, tetrapoda ectothermic.
Berdasarkan definisi ini
"herps" (atau kadang-kadang "herptiles" atau
"herpetofauna")
termasuk ikan, tetapi tidak jarang Herpetologis dan
masyarakat ilmiah
ichthyological untuk "tim up", penerbitan jurnal
bersama dan mengadakan
konferensi untuk mendorong pertukaran ide
antara bidang. Salah satu
organisasi yang paling bergengsi, American
Society of ichthyologists
dan herpetologis, adalah contoh dari ini. Banyak
masyarakat Herpetologis
ada saat ini, yang telah dibentuk
untuk mempromosikan
kepentingan dalam reptil dan amfibi baik
captive dan liar.
Herpetology offers benefits to humanity
in the study of the role of amphibians and reptiles in global ecology, especially because amphibians are
often very sensitive to environmental changes, offering a visible warning to
humans that significant changes are taking place. Some toxins and venoms
produced by reptiles and amphibians are useful in human medicine. Currently,
some snake venom has been used to create anti-coagulants that work to treat stroke victims
and heart-attack cases.
Herpetologi menawarkan manfaat bagi umat manusia dalam studi
tentang peran amfibi dan
reptil dalam ekologi global, terutama
karena amfibi seringkali
sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan, menawarkan
peringatan terlihat manusia bahwa
perubahan signifikan
terjadi. Beberapa racun dan racun yang
dihasilkan oleh reptil dan
amfibi berguna dalam obat manusia.
Saat ini, beberapa bisa
ular telah digunakan untuk membuat
anti-koagulan yang bekerja
untuk mengobati korban stroke
dan kasus serangan
jantung.
Etymology[edit]
The word
"herpetology" is from Greek: ἑρπετόν, herpeton, "creeping
animal" and -λογία, -logia, "knowledge". People with an
avid interest in herpetology and who keep different reptiles or amphibians
often refer to themselves as "herpers".[1]
Kata "herpetologi" adalah dari bahasa Yunani: ἑρπετόν, herpeton,
"merayap hewan" dan -λογία, -logia, "pengetahuan". Orang-orang
dengan minat avid dalam herpetologi dan yang menjaga reptil
atau amfibi berbeda sering menyebut diri mereka sebagai "Herpers". [1]
"Herp" is a
vernacular term for reptiles and amphibians. It is
derived from the old term "herpetile", with roots back to Linnaeus's classification of animals, in which he
grouped reptiles and amphibians together in the same class. There are over 6700 species of amphibians[2] and over 9000 species of reptiles.[3] In spite of its modern taxonomic
irrelevance, the term has persisted, particularly in the names of herpetology,
the scientific study of reptiles and amphibians, and herpetoculture, the
captive care and breeding of reptiles and amphibians.
"Herp" adalah istilah bahasa daerah untuk reptil dan amfibi. Hal ini
berasal dari istilah yang lama "herpetile", dengan akar kembali
ke klasifikasi hewan Linnaeus , di mana ia kelompokkan reptil dan
amfibi bersama-sama di kelas yang sama. Ada lebih dari 6700
spesies amfibi [2] dan lebih dari 9000 spesies reptil. [3] Meskipun
tidak relevan taksonomi modern, istilah telah bertahan, terutama di
nama herpetologi, studi ilmiah tentang reptil dan amfibi, dan
herpetoculture, perawatan tawanan dan peternakan reptil dan amfibi.
Careers[edit]
Career options in the field of
herpetology include, but are not limited to lab research, field studies and
survey, zoological staff, museum staff and college teaching.
In modern academic science, it
is rare for individuals to consider themselves a herpetologist first and
foremost. Most individuals focus on a particular field such asecology, evolution, taxonomy, physiology, or molecular
biology, and within that field ask questions pertaining to or best
answered by examining reptiles and amphibians. For example, an evolutionary
biologist who is also a herpetologist may choose to work on an issue such as
evolution of warning coloration in coral
snakes.
Pilihan karir di bidang herpetologi termasuk, tetapi tidak terbatas
pada penelitian laboratorium, studi lapangan dan survei, staf
zoologi, staf museum dan pengajar perguruan tinggi.
Dalam ilmu akademis modern, sangat jarang bagi individu untuk
menganggap mereka herpetologis pertama dan terpenting.
Kebanyakan orang fokus pada bidang tertentu asecology seperti,
evolusi, taksonomi, fisiologi, atau biologi molekuler, dan dalam
bidang yang mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan atau
menjawab terbaik dengan memeriksa reptil dan amfibi. Sebagai
contoh, ahli biologi evolusi yang juga herpetologis mungkin
memilih untuk bekerja pada masalah seperti evolusi dari
peringatan pewarnaan di ular karang.
Modern herpetological writers
of note include Mark O'Shea and Philip Purser.
Modern herpetological showmen of note include Jeff
Corwin, Steve
Irwin, popularly known as the "Crocodile Hunter", and the
star Austin
Stevens, popularly known as 'AustinSnakeman' in the TV series Austin Stevens: Snakemaster.
penulis Herpetologis modern termasuk Mark O'Shea dan Philip Purser.
showmen Herpetologis modern catatan termasuk Jeff Corwin,
Steve Irwin, dikenal sebagai "Crocodile Hunter", dan
bintang Austin Stevens, dikenal sebagai 'AustinSnakeman'
dalam serial TV Austin Stevens: Snakemaster.
Study[edit]
Most colleges or universities
do not offer a major in herpetology at the undergraduate or even
the graduate
level. Instead, persons interested in herpetology select a major in
the biological
sciences. The knowledge learned about all aspects of the biology of
animals is then applied to an individual study of herpetology.
Sebagian besar perguruan tinggi atau universitas tidak
menawarkan utama dalam herpetologi di tingkat sarjana atau
bahkan tingkat pascasarjana. Sebaliknya, orang tertarik herpetologi
pilih utama dalam ilmu biologi. pengetahuan belajar tentang
semua aspek biologi binatang ini kemudian diterapkan
studi individu herpetologi.
sumber
.................................
Herpetology dan herpetofauna
Herpetologi
merupakan salah satu perkembangan ilmu dari zoologi yang khusus mempelajari
segala sesuatu yang berkaitan dengan herpetofauna. Sedangkan herpetofauna adalah
istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptil.
Amphibia adalah kelompok binatang yang hidup di dua alam, sedangkan reptil
adalah kelompok hewan melata.
Menurut
asal katanya, Herpetologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “Herpeton”
yang berarti “merayap atau melata” dan “Logos” yang berarti”ilmu” (Thayer,
2001). Sehingga jika dirangkum Herpetologi adalah ilmu yang mempelajari fauna yang merayap atau
melata. Maksud dari “merayap” atau “melata” disini disamakan berdasarkan
sifat herpetofauna pada saat istirahat dimana posisi tubuh ventral
menyentuh tanah. Oleh karena itu fauna seperti reptil dan amfibi disebut
herpetofauna. Selain itu, mereka merupakan kelompok vertebrata yang bergantung
pada suhu lingkungan atau lebih dikenal dengan ektoterm (Zug, 1993).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan plasma
nutfah tropis memiliki tidak kurang dari 16% keanekaragaman herpetofauna di
dunia. Berdasarkan koleksi herpetofauna dari berbagai daerah di Indonesia yang
tersimpan di Museum Zoologi Bandung dapat diketahui bahwa di Indonesia memiliki
sekitar 1.500 jenis herpetofauna. Sedangkan berdasarkan penelitian Van kampen
dan De Roije, di pulau jawa sendiri memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis
dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan
diidentifikasi (IUCN, 2008).
Oleh: T.F. Qurniawan, Januari 2010
Pustaka
Kurniati,
H & Yulia A.K. 2009. Lab_herpet. CM & BRC Project LIPI – JICA Research
Center For Biology – Cibinong Science Center (CSC) http://www.biologi.lipi.go.id/bio_bidang/zoo_indonesia/home.php
IUCN,
Conservation International, and Nature Serve. 2008. Red List Category [online]
2008. Avalaible from: URL: http://http://www.iucnredlist.org.
Rooij,
N. de . 1915. The Reptiles of The Indo – Australian Archipelago, Lacertilia. Chelonia, Emydosauria. Volume I. E J Brill
Ltd. Leiden. 384 hal
Rooij,
N. de. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago Vol 2; Ophidia. Brill, Leiden. p. 101.
Thayer
and Smith. “Greek Lexicon entry for Herpeton”. “The New Testament Greek
Lexicon”.http://www.studylight.org/lex/grk/view.cgi?number=2062. diakses 11 Februari 2008
van
Kampen, P.N. 1923. The amphibia of the Indo-Australian Archipelago. E.J.Brill,
Leiden
Zug,
George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, p : 357 – 358.
Zug,
G.R., Vitt, L.J. & Caldwell, J.P. 2001. Herpetology, 2nd ed.Academic
Press San Diego, London
sumber
...........................
Herpetofauna
Secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang
berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna
adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran
tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah
dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu
lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas
amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok.
Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang
kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
Amphibi merupakan hewan yang hidup di 2 habitat atau
alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang satu ini memiliki
kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Kata amphibi sendiri
berasal dari kata “amphi” yang berarti ganda dan “bios” yang berarti hidup.
Secara asal kata, amphibi didefinisikan sebagai hewan-hewan melata yang dapat
hidup di dua alam. Kelas herpetofauna ini dibagi menjadi 3 ordo yang masih ada
hingga sekarang, yaitu Caudata (amphibi berekor), Anura (amphibi tidak berekor), Gymnophiona (amphibi tidak bertungkai).
Umumnya kelas ini memiliki siklus kehidupan seperti beberapa jenis
insekta/serangga yang mengalami metamorfosis.
Reptilia merupakan kelas Herpetofauna berukuran besar.
Sebagian besar kelas ini merupakan hewan tetrapoda kecuali bangsa ular-ularan
(Ophidia). Kelas ini memiliki ciri khas yaitu tubuh anggota kelas reptil di
tutupi oleh sisik atau memiliki sisik. Kelas ini dibagi menjadi 4 ordo yaitu Testudinates, Crocodylia,Sphenodontia,
dan Squamata.
sumber
...........................................
PENGENALAN HERPETOFAUNA
Herpetofauna
berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Dahulu, sebelum ilmu
taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi satu kelompok
hewan karena diangap sama-sama melata. Dengan berkembangnya ilmu, mereka kini
menjadi dua kelompok terpisah.
Kedua
kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu ilmu herpetology karena mereka
mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir serupa, sama-sama satwa
vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk
pengamatan dan koleksi yang serupa.
Indonesia memiliki jenis-jenis amfibi dan reptil yang beragam.
Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua
Australia merupakan salah satu sebab beragamnya jenis ini. Baik amfibi
maupun reptil ditemukan di semua pulau-pulau di Indonesia mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi. Amfibi tidak dijumpai di laut, namun
sebaliknya reptil memiliki penyebaran yang lebih beragam. Jenis-jenis
penyu seperti penyu hijau (Chelonia
mydas), penyu Belimbing (Dermochelys
coriace) dijumpai
di laut, sedangkan kura-kura semisal kura-kura batok Cuora amboinensis bisa dijumpai di darat maupun perairan
tawar. Demikian juga ular, yang bisa kita jumpai mulai dari pohon-pohon, di
tanah sampai di laut.
Amfibi dan reptil merupakan hewan yang kerap disebut berdarah
dingin. Istilah ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur
mengunakan perilaku mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia
terutama pada saat mereka aktif. Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim
panas, bisa jadi lebih panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai
“berdarah panas”. Baik amfibi maupun reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan sumber
panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah
dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih
berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan. Sementara hewan berdarah
panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan
metabolism tubuh. Beberapa reptil besar seperti buaya, penyu dan kadal besar
bahkan mencapai tingkat homeothermy, yaitu suhu mereka tidak terlalu
berfluktuasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses
giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan
konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan.
Hewan
poikilotherm memiliki metabolism rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak
makan dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh, beberapa jenis ular
dapat makan hanya satu bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan katak harus
makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana
mereka bisa tidak makan selama beberapa bulan.
Ketergantungan
amfibi terhadap lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya membuat amfibi
umumnya terbatas pada habitat spesifik. Karena amfibi memiliki kontrol
yang kecil terhadap suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka amfibi harus tetap
berada dalam lingkungan dengan batas-batas suhu yang sesuai. Dalam satu
habitat, banyak terdapat mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu
ambien. Amfibi menggunakan posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini,
yaitu dengan cara memaparkan tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis
amfibi juga mampu mengurangi kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan
tehnik penguruangan suhu yang penting. Kebanyakan amfibi mampu mengubah warna
agar mampu menyerap atau merefleksikan jumlah radiasi matahari. Katak
pohon dari marga Hylidae misalnya, seringkali memiliki warna hijau yang berbeda
saat panas.
Perbedaan
utama antara amfibi dan reptil terletak pada perkembangan embrio. Reptil
seperti juga burung, dan mamalia memiliki telur amniota, yang berarti embrio
dilindungi oleh membrane embrio yang disebut sebagai amnion. Amnion berkembang
awal pada embrio, dan berfungsi sebagai lapisan cairan pelindung yang menutup
embrio dalam rongga embrionik. Amniota tumbuh dalam ‘kolam di bagian dalam” dari
amnion dan tidak memerlukan sumber air bagian luar. Telur reptil juga
dilindungi oleh cangkang. Cangkang ini tidak bersifat tertutup karena masih
mampu bertukar hara dengan lingkungan (cleidoic egg).
Dilain
sisi, amfibi tidak memiliki amnion dan disebut anamniota. Telur amfibi
“telanjang”, hanya dilindungi oleh lapisan gelatin semi-permeabel dan
tergantung pada air dari sumber luar. Oleh karena itulah tipe telur biphasic
didepositkan ke sumber air, dimana mereka nanti akan berkembang menjadi larva
akuatik, dan akhirnya (umumnya) akan bermetamorphosis into permudaan
terrestrial. Telur amfibi memerlukan oksigen yang diperoleh dari difusi dengan
air. Produk buangan dari dalam telur juga akan berdifusi keluar ke
air. Telur amfibi terrestrial umumnya rawan terhadap kekeringan (desikasi)
karena mereka mengambil dan menyerap uap dari lingkungan yang lembab. Katak
pohon Phyllomedusine mengembangkan tehnik yang unik dimana mereka akan
menghasilkan telur yang tidak memiliki embrio namun memiliki air metabolic yang
akan disimpan di sekitar telur-telur berembrio untuk menyediakan air jika
diperlukan.
Perbedaan
amfibi dan reptil yang kedua terletak pada kulit. Bagian terluar
(integument) kulit reptil ditutupi oleh sisik, sementara amfibi memiliki kulit
dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar. Pada amfibi, kulit
merupakan organ yang penting. Kulit katak memiliki sifat permeabilitas, dimana
air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi sebagai alat
pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu katak
harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit
mereka. Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang
dilakukan antara lain: 1) Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang
bisa mongering, 2) Hidup dekat badan air, 3) Berlindung di tumbuhan teduh atau
permukaan batu, 4) Menutupi kulit dengan bahan licin dan 5) Masuk ke dalam
tanah. Seperti juga pada beberapa jenis reptil (yang terlihat jelas adalah
ular) yang mengelupaskan kulitnya maka pada waktu-waktu tertentu katak juga
akan mengelupaskan kulit bagian atas (stratum corneum) secara berkala, terutama
saat tumbuh. Kebanyakan dari jenis amfibi akan memakan kulit lamanya, yang
merupakan sumber air dan unsur hara.
Baik
amfibi dewasa dan reptil bernafas dengan paru-paru. Amfibi muda (saat
baru menetas – disebut dengan istilah berudu) umumnya bernafas dengan insang.
Pada saat metamorphosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana bentuk
serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi
vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru.
Jenis-jenis reptil yang hidup di air umumnya mengembangkan
adaptasi yang berhubungan dengan kemampuan mereka menahan oksigen dalam
paru-paru dan membantu pergerakan dalam air. Karena bernafas di udara maka
penyu dan ular air yang sebagian besar hidupnya ada di dalam air harus naik ke
permukaan untuk mengambil oksigen dari udara. Penyu juga memiliki metabolisme
rendah yang memungkinkan mereka menyelam dalam waktu lama, sebagai contoh
penyu hijau bisa bertahan 5 jam di bawah air. Saat menyelam detak jatung penyu
melambat sehingga bisa mengkonservasi oksigen: antara satu detak jantung
berkisar 9 menit. Sementara ular air memiliki paru-paru yang memanjang hampir
di seluruh tubuhnya sehingga mampu menyimpan oksigen secara efektif. Ular
air dapat bertahan lama di dalam air, catatan menunjukkan bahwa ular air mampu
bertahan di air 30 menit sampai 2 jam. Untuk mencegah udara masuk ke
paru-paru saat menyelam, ular air memiliki katup hidung yang membuka ke dalam
dan tertutup oleh jaringan erektil yang dipenuhi oleh darah seperti
penis. Untuk membantu pergerakan dalam air, penyu memiliki tungkai yang
bermodifikasi seperti dayung sehingga mereka mampu bergerak dengan cepat di laut.
Sementara ular laut memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (elongate) yang membuat
mereka dapat berenang dengan efisien. Kebanyakan jenis ular laut memiliki ekor
yang berbentuk seperti dayung yang meningkatkan kemampuan lokomotor mereka di
air
Untuk mempertahankan diri dari mangsa dan penyakit ataupun
memudahkan menangkap mangsa, amfibi dan reptil mengembangkan berbagai
pertahanan diri. Pewarnaan berfungsi baik sebagai kamuflase maupun
peringatan terhadap predator potensial atas keberadaan racun. Secara morfologi,
bentuk dan warna yang menyerupai lingkungan sekitar menyulitkan predator
memangsa mereka. Kulit amfibi memiliki kelenjar mucus. Sekresi mucus membuat
kulit tetap lembab, mencegah masuknya bakteri dan pathogen lainnya. Beberapa
jenis katak mempunyai kelenjar beracun (glanular
gland) pada kulit yang pada saat terganggu akan mengeluarkan cairan
berwarna susu ataupun bening (kadang-kadang berbau dan lengket) yang bersifat
racun yang secara kimiawi terdiri dari bicyclic dan steroid alkaloid. Kelenjar
ini biasanya terkonsentrasi pada kepala atau pada bintil-bintil di sepanjang
tubuh dan disebuat sebagai kelenjar paratoid.
Jenis-jenis katak dari Amerika Selatan memiliki racun yang
sangat kuat yang dapat mematikan manusia. Katak Dendrobates memiliki warna yang indah sebagai “tanda”
bahwa mereka beracun. Hasil penelitian menunjukan bahwa racun ini sebagian
besar berasal dari serangga yang dimakan mereka, oleh karena itu katak-katak Dendrobatidae yang ditangkarkan dan diberi makana biasa
akan kehilangan daya racunnya. Racun kodok umumnya memiliki kandungan
kimiawi berupa Biogenic amines yaitu epinephrine, nor epinephrine, dopamine,
epinine, indolealkylamines yang dapat mengakibatkan halusinasi dan melembutkan
otot. Beberapa jenis amfibi dan retil yang tidak berbahaya kadang-kadang
memiliki warna atau serupa dengan jenis lain yang berbisa untuk mengelabui
predator mereka.
Beberapa
jenis ular mematikan mangsanya dengan cara melilitkan badannya terhadap mangsa.
Hal ini membuat mangsa menjadi lemas tidak dapat bernafas. Sementara ular lain
memiliki bisa yang sebenarnya merupakan modifikasi dari air liur. Bisa ular
memiliki daya yang berbeda dan berkerja melumpuhkan mangsa dengan cara
melumpuhkan melalui darah atau sistim saraf belakang. Tidak semua bisa ular
mematikan, hal ini tergantung pada jenis ular dan juga mangsa yang tergigit
(berat mangsa). Hanya sebagian kecil yang berakibat fatal karena ular
mampu mengontrol jumlah bisa yang dikeluarkan, hal ini mungkin yang membuat
sekitar 95% penyembuhan efektif. Racun ular laut lebih berbisa daripada ular di
darat namun resiko lebih kecil. Kebanyakan ular laut pemalu dan menjauhi manusia
kecuali diprovokasi. Bahkan seringkali mereka tidak menggunakan bisanya. Hal
ini karena bisa digunakan untuk melumpuhkan mangsa bukan untuk pertahanan.
Sekitar 65% gigitan ular laut tidak mengeluarkan “bisa”. Walaupun demikian
gigitannya tidak boleh disepelekan. Kebanyakan gigitan ular laut terjadi pada
kapal trawling, ketika ular tertangkap tak sengaja dengan ikan-ikan. Ular
berbisa antara lain dari kelompok Elapidae, Hidrophiidae, Laticudidae,
Viperidae, Crotalidae dan Colubridae. Sedangkan kadal yang berbisa hanya
ada dua di dunia yaitu Gila Monster dan Mexican beaded lizard.
Sumber:
Kusrini, M.D. dkk. 2008. Pengenalan herpetofauna.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
sumber
.......................
Jumat, 30 Mei 2014
Herpetofauna
Secara etimologis,
Herpetofauna berasal dari bahasa Yunani yaitu “herpeton”yang
berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi
herpetofauna adalah binatang melata. Herpetofauna terdiri dari dua taksa yaitu amfibi dan reptil.
Herpetofauna memiliki
ukuran tubuh yang berbeda-beda dan memiliki penyebaran yang sangat luas.
Herpetofauna dapat hidup dari dataran yang sangan rendah yaitu hidup di laut,
dan semua tipe hutan bahkan sampai dengan dataran tinggi yaitu beerupa
pegunungan. Namun, hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di dataran tinggi
dan sebagian besar dari taksa amfibi.
sumber
...................................
RABU, 18 DESEMBER 2013
Pengertian
Herpetologi
Pengertian Herpetologi Herpetologi Adalah salah satu perkembangan ilmu dari
zoologi yang khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
herpetofauna. Sedangkan herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk
menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptil. Amphibia adalah kelompok binatang
yang hidup di dua alam, sedangkan reptil adalah kelompok hewan melata.
Menurut asal katanya, Herpetologi
berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “Herpeton” yang berarti “merayap
atau melata” dan “Logos” yang berarti”ilmu” (Thayer, 2001). Sehingga jika
dirangkum Herpetologi adalah ilmu yang mempelajari fauna yang merayap atau
melata. Maksud dari “merayap” atau “melata” disini disamakan berdasarkan
sifat herpetofauna pada saat istirahat dimana posisi tubuh ventral
menyentuh tanah. Oleh karena itu fauna seperti reptil dan amfibi disebut
herpetofauna. Selain itu, mereka merupakan kelompok vertebrata yang bergantung
pada suhu lingkungan atau lebih dikenal dengan ektoterm (Zug, 1993). Indonesia
sebagai negara kepulauan yang kaya akan plasma nutfah tropis memiliki tidak kurang
dari 16% keanekaragaman herpetofauna di dunia. Berdasarkan koleksi herpetofauna
dari berbagai daerah di Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bandung
dapat diketahui bahwa di Indonesia memiliki sekitar 1.500 jenis herpetofauna.
Sedangkan berdasarkan penelitian Van kampen dan De Roije, di pulau jawa sendiri
memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia
yang telah berhasil dievaluasi dan diidentifikasi (IUCN, 2008).
Herpetologi makin banyak dipelajari
seiring dengan berkembangnya kecenderungan menjadikan reptil sebagai hewan
peliharaan. Selain itu, banyak anggota dari kedua kelompok besar hewan ini yang
menghasilkan bisa/racun yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan
bagi penyakit jantung dan stroke. Ada banyak karier pada bidang herpetologi.
Ini termasuk, tapi tidak terbatas pada, bidang penelitian, pembiakan umum dan
swasta, kurator ilmu hewan, profesor akademi, kurator museum. Bagi yang ingin
berkarier di bidang ini harus mempunyai latar belakang yang kuat di bidang ilmu
pasti dan matematika. Hanya beberapa universitas yang menawarkan program studi
di bidang ini, sehingga membuat bidang ini sangat langka dan banyak dicari.
Dalam dunia ilmu pengetahuan modern,
sangat jarang seseorang dianggap sebagai ahli herpetologi. Banyak orang lebih
memfokuskan diri di bidang cabangnya seperti ecologi, evolusi, taksonomi,
fisiologi, atau biologi molekular, dan biasanya bidang yang diambil adalah
dengan penelitian pada amfibi atau serangga. Sebagai contoh, seorang ahli biologi
evolusi yang juga seorang ahli herpetolgi bisa memilih untuk meneliti perubahan
warna yang terjadi pada ular koral.
Demikianlah artikel mengenai definisi
pengertian herpetologi, semoga bermanfaat tentunya.[tb]
sumber
....................
Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Kawasan
Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tony Febri Qurniawan, Rury
Eprilurahman
Abstract
Perubahan ekosistem dan kondisi
lingkungan sangat memengaruhi kehidupan herpetofauna
(amfibi dan reptil). Salah satu wilayah yang diduga masih cukup layak untuk menunjang
kehidupan herpetofauna adalah Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang keanekaragaman jenis herpetofauna di daerah
tersebut perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi jumlah jenis dan sebarannya sebagai
data awal keanekaragaman fauna. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (November
2007–April 2008) dengan metode pengamatan langsung baik siang maupun malam.
Berdasarkan penelitian diperoleh 42 jenis herpetofauna yang terdiri atas 29 jenis reptil dan 13
jenis amfibi. Reptil yang diperoleh terdiri atas kadal (empat suku) dan ular (lima suku),
sedangkan untuk amfibi terdiri dari enam suku. Dua jenis amfibi (Limnonectes kuhlii dan
Michrohyla achatina) diketahui merupakan jenis endemik Pulau Jawa. Berdasarkan penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem di kawasan wisata Goa Kiskendo masih cukup
bagus sebagai habitat herpetofauna.
(amfibi dan reptil). Salah satu wilayah yang diduga masih cukup layak untuk menunjang
kehidupan herpetofauna adalah Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang keanekaragaman jenis herpetofauna di daerah
tersebut perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi jumlah jenis dan sebarannya sebagai
data awal keanekaragaman fauna. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (November
2007–April 2008) dengan metode pengamatan langsung baik siang maupun malam.
Berdasarkan penelitian diperoleh 42 jenis herpetofauna yang terdiri atas 29 jenis reptil dan 13
jenis amfibi. Reptil yang diperoleh terdiri atas kadal (empat suku) dan ular (lima suku),
sedangkan untuk amfibi terdiri dari enam suku. Dua jenis amfibi (Limnonectes kuhlii dan
Michrohyla achatina) diketahui merupakan jenis endemik Pulau Jawa. Berdasarkan penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem di kawasan wisata Goa Kiskendo masih cukup
bagus sebagai habitat herpetofauna.
sumber
..........................
Peneliti
herpetofauna di Indonesia
Peneliti amfibi dan reptil di Indonesia biasanya
terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kumpulan orang yang bekerja
dalam institusi tertentu (misalnya LIPI dan Universitas); kedua: kelompok minat
khusus: bisa berupa mahasiswa yang seringkali mendapat bimbingan dari peneliti
institusi dan kelompok minat khusus, serta kelompok ketiga adalah perorangan.
Berikut disajikan beberapa kelompok yang mendalami amfibi dan reptil di
Indonesia baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Daftar yang ada di sini
belumlah lengkap dan akan terus diperbarui seiring dengan penambahan informasi
yang masuk ke PHI.
Museum Zoologi Bogoriense bisa
dikatakan sebagai salah satu lembaga tertua di Indonesia yang bekerja di bidang
taksonomi . Saat ini tercatat 7 orang yang aktif sebagai peneliti
herpetofauna di LIPI yaitu: 1) Irvan Siddik; 2) Mumpuni; 3) Hellen Kurniati; 4)
Awal Riyanto; 5) Dadang R. Subasli; 6) Evy Arida dan 7) Amir Hamidy. Boeadi
merupakan salah satu pensiunan LIPI yang juga aktif melakukan penelitian amfibi
dan reptil. Helen Kurniati membuat situs web database suara katak Indonesia
yang sangat bermanfaat bagi peneliti. Koleksi MZB di bidang amfibi dan reptil
kerap menjadi rujukan bagi mahasiswa maupun peneliti herpetofauna di seluruh
dunia.
Penelitian mengenai amfibi dan
reptil di IPB menyebar di berbagai Departemen dan Fakultas seperti di
Departemen Biologi FMIPA , Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK
dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fahutan.
Mirza D. Kusrini, adalah salah satu pengajar di KSHE yang aktif meneliti amfibi
dan reptil. Mirza D. Kusrini juga merupakan salah satu pembina himpunan mahasiswa
HIMAKOVA yang di dalamnya terdapat Kelompok Pemerhati Herpetofauna, KPH
“Phyton”. Daftar penelitian mahasiswa di bawah bimbingan MDK bisa dilihat
pada link berikut. Beberapa tulisan MDK bisa didownload pada tautan ini.
Penelitian mengenai amfibi dan
reptil di UGM didominasi oleh Fakultas Biologi, walaupun juga dilakukan di
Fakultas Kehutanan Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan. Staf pengajar
yang aktif di bidang ini antara lain Rury Eprilurahman dan Donan Satria.
Kelompok mahasiswa yang aktif di UGM adalah Kelompok Studi Herpetofauna di
bawah Fakultas Biologi.
Ahli herpetofauna paling
kondang di Indonesia tidak pelak lagi adalah Djoko T. Iskandar dari Departemen
Biologi – Sekolah Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Tulisan dari beliau
dan juga beberapa hasil penelitian mahasiswa beliau seperti Umilaela bisa
diunduh dari website beliau.
Penelitian herpetofauna
Universitas Brawijaya diawali oleh Nia Kurniawan dari Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Brawijaya. Penelitian disini terfokus pada diversitas genus
Fejervarya dan artificial reproduction. Saat ini di UB sedang dirintis kelompok
studi Herpetofauna dengan kegiatan eksplorasi herpetofauna di Jawa Timur.
Universitas Andalas: Djon Hon
Tjong
Universitas Negeri Papua,
Manokwari: Keliopas Krey
Universitas Cendrawasih:
Aditya Karim
IRATA: Indonesian Reptil
and Amphibian Traders Association
APEKLI: Asosiasi Pedagang
Kura-kura dan Labi-labi untuk konsumsi
Kelompok Minat Mahasiswa dan
Umum
KPH-IPB: Kelompok Pemerhati
Herpetofauna (KPH) ini awalnya bernama Kelompok Pemerhati Reptil (KPR) yang
didirikan oleh angkatan 27 (tahun 1990), kemudian sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan tentang satwa vertebrata dan penelitian mengenai kelompok satwa
amfibi di Indonesia, maka pada tahun 1999 di angkatan 34 (tahun 1997) KPR
berganti nama menjadi Kelompok Pemerhati Reptil dan Amfibi (KPRA) dengan nama
yang tetap sama “Python”. Dengan mempertimbangkan bahwa reptil dan amfibi
adalah satu kesatuan dalam ilmu pengetahuan yang terangkum dalam ilmu
“Herpetology” maka mulai tahun 2004 di angkatan 38 (tahun 2001) nama KPRA
berubah menjadi Kelompok Pemerhati Herpetofauna “Python”. Secara rutin KPH
melakukan monitoring tahunan amfibi dan reptile di kampus, selain terlibat pada
kegiatan ekspedisi di berbagai kawasan konservasi. Beberapa mahasiswa KPH
kemudian melakukan penelitian akhir mengenai amfibi dan reptil di bawah
bimbingan Mirza D. Kusrini
KSH-UGM: Kelompok
Studi Herpetologi (KSH) adalah sebuah organisasi di Fakultas Biologi UGM yang
bergerak dalam pengembangan kajian ilmu Herpetologi di Indonesia. Kegiatan KSH dapat digolongkan
dalam 3 kelompok, yaitu kajian mengenai segala aspek tentang herpetofauna,
penelitian untuk menguak hal baru tentang reptil dan amfibi, serta melakukan
konservasi demi kelangsungan hidup reptil dan amfibi. Kelompok ini juga menerbitkan
e-majalah dengan nama herpet News yang bisa didownload melalui website mereka
yaitu: http://kshbiogama.blogspot.com/
Biopalas Universitas Sumatera
Utara: Biopalas
adalah singkatan dari Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup, yakni
unit kegiatan mahasiswa di Departemen Biologi FMIPA USU
[http://biopalas.blogspot.com/]. BIOPALAS merupakan organisasi minat dan bakat
yang mempunyai dasar sebagai pecinta alam dan berkecimpung di bidang studi
lingkungan hidup. Anggota organisasi ini semua berasal dari Mahasiswa/i
Departemen Biologi FMIPA USU. Walaupun subyek peneltian mereka beragam, namun
herpetofauna masuk di dalamnya. Anggota kelompok ini cukup aktif melakukan
kegiatan pengamatan herpetofauna dan menerbitkan
Herpetologer Mania[http://herpetologermania.blogspot.com/]
Kelompok Pemerhati Herpetologi Salvator
– Universitas Andalas.
SIOUX: Rudy Rahardian
Perorangan:
Burhan Tjaturadia, fokus
penelitian di Papua
Mistar, fokus penelitian di
Sumatera
Mediyansyah, fokus penelitian
di Kalimantan
Ahmad Fanani, fokus penelitian
di Nusa Tenggara
Reza Marlon
Deni Purwandana
Jatna Supriatna
Peneliti asing yang melakukan
penelitian di Indonesia atau meneliti menggunakan spesimen dari Indonesia:
Ron Lilley: Snake Patrol Bali
David Bickford: NUS
Richard Shine
Robert Inger
Ives
Tim Jessop
TS Leong
Kate Alexander
Anders Rhodin
Schijfsma
Eric N. Smith
Michael Harvey
Mark Auliya
Jimmy A. McGuire
Graeme Gillespe
Steven Richards
Rafe Brown
Ben Evans
Alexander Haas
Alan Allison
R. Gunther
Annemarie Ohler
Gernot Vogel
Indraneil Das
Masafumi Matsui
Tatsumo Hikida
Masayuki Sumida
Hidetoshi Ota
Kitchener
David Liem
Church
sumber
..........................
PELATIHAN HERPETOFAUNA
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang
berarti bad
credit signature loans melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi
herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri
memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu
berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu
lingkungannya.
Herpetofauna adalah salah satu pengetahutan ilmu dari zoology yang khusus
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengn herpetofauna. Sedangkan
herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang
amfibi dan reptile. Reptil adalah kelompok hewan melata, sedangkan amfibi
adalah kelompok binatan yag hidup di dua alam. Mereka merupakan kelompok
vertebrata yag bergantung pada suhu lingkungan lebih dikenal dengan ektoterm
(Zug, 1993). Negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati memiliki
tidak kurang dari 16 % keanekaragaman herpetofauna di dunia. Di Indonesia
memiliki sekitar 1.500 jenisherpetofauna yang tersimpan di Museum Zoologi
Bandung. Sedangkan berdasarkan penelitian Van Kampen dan De Roije, di
pulau Jawa sendiri memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis
herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan di identifikasi (IUCN,
2008).
MAPFLOFA (Mahasiswa Penyayang Flora Fauna)
sebagai organisasi kemahasiswaan yang terdapat di dalam kampus FAHUTAN UNMUL
yang berkecimpung dalam kepencintaalaman khususnya penelitian dan pengembangan
bidang flora, fauna dan lingkungan hidup. Yang berazaskan pada kelestarian
flora dan fauna. Untuk mengasah dan menambah pengetahuan sumber daya anggota
dalam pelestarian alam,Mapflofa mengadakan pelatihan dan pengamatan
herpetofauna yang di bimbing oleh raka Syoim yang mempunyai keahlian dan
pengalaman dalam ilmu herpetofauna. Pelatihan ini di laksanakan pada hari
jum’at dan sabtu (6&7 Maret 2015) di daerah sekitar jogging track
Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam kesempatan kali
ini di ajaran apa itu herpetofauna dan bagaimana cara pengamatan serta metode
survey seperti :.
·
Metode transekdigunakan untuk menjangkau areal speedt
cash advance tucson yang luas dengan waktu yang
relatif singkat. Metode tersebut biasanya hanya menemukan jenis-jenis
yang umum terlihat, yaitu jenis yang populasinya relatif besar dan tersebar
merata serta jarang bersembunyi. Akan tetapi bila ada keterbatasan dana,
waktu, dan personil, Jaeger (1994) menyebutkan bahwa metode transek merupakan
salah satu metode terbaik untuk digunakan.
·
Metode VESmerupakan modifikasi dari metode jelajah bebas dan belt transect. Metode tersebut dilakukan dengan
cara menyusuri berbagai badan air dan mendata jenis yang ditemukan serta
keadaan daerah tempat jenis tersebut ditemukan. Menurut Susanto (2006),
metode ini cocok untuk digunakan mendata jenis dan mikrohabitat amfibi.
Akan tetapi, data yang didapatkan tidak dapat mencerminkan keadaan populasi
seperti kepadatan.
·
Metode drift-fenced pitfall trapmerupakan modifikasi dari pitfall trap yang
digunakan untuk serangga, dengan tambahan pagar untuk mengarahkan hewan yang
akan diperangkap. Metode tersebut cocok digunakan untuk mendata
jenis-jenis yang mobil, kecil dan kriptik (Corn 1994). Mistar (2003)
menambahkan bahwa metode tersebut memiliki kelemahan berupa besarnya biaya,
waktu, dan personil yang diperlukan.
·
Metode plot kuadratdilakukan dengan cara membuat plot kuadrat di beberapa tempat dan kemudian
melakukan pencarian intensif di plot-plot tersebut (Jaeger & Inger
1994). Menurut Susanto (2006), metode tersebut cocok untuk mendata
jenis-jenis kriptik dengan kepadatan yang tinggi. Akan tetapi metode
tersebut tidak cocok untuk mendata jenis kriptik yang sangat mobil. Metode tree buttres merupakan modifikasi dari metode plot
kuadrat. Metode tersebut dilakukan dengan membuat plot disekitar banir pohon
dan mendata jenis-jenis yang ada disana (Mistar 2003).
Metode survey ini di kemukakan oleh Mistar (2003), metode survey
herpetofauna yang cocok untuk keadaan Indonesia. Susanto (2006)
menyebutkan beberapa metode tersebut diantaranya metode transek, visual
encounter survey (VES),drift-fenced pitfall trap (perangkap
lubang dengan pagar pengarah), plot kuadrat, dan tree
buttres
sumber
............................
PERBANDINGAN
KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA ANTARA TWA BANTIMURUNG DENGAN TWA PATTUNUANG
DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG SULAWESI SELATAN
Herpetofauna
merupakan satwaliar yang penting bagi keseimbangan ekosistem yaitu sebagai
salah satu komponetz penting dalam rantai makatzan. Jenis herpetofauna &pat
dijumpai di berbagai tipe habitat salah satzrnya adalah habitat karst. Di
Itzdotzesia, kawasan yattg memiliki ekosistem karst terbesar adalah l'aman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN BaBul), Propinsi Sulawesi Selatan. TWA
Batztimurutzg dan 7WA Pattunuatzg termasuk ke dalam h a s a n TN BaHul yang
memiliki kondisi habitat yang berbeda. Perbedaan kondisi habitat 1 aktivitas
manusia akan berpenganih terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna pada kedua
kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedann
keanekaragaman jetzis herpetofautza di TWA Bantimzrrt~ng dengan TW'A
Pattzmuang. Penelitian dilakukatz di TWA Bantimurung dan TWA Pattunuang, 1N
BaBul (tatzggal 10-18 Agustus 2007). Pengambilan data herpetofauna menggrnakan
metvde Visual Encozrnter Survey (TIES) pada habitat terestrial dan habitat
akuatik. Berdasarkan petzelitian yang dilakzikan paoh di TWA Bantimurung
ditemukan 4 jenis amjibi darz 13 jenis reptil dun di TWA Pattunuatzg ditemuka~z
4 jetzis amjibi datz 16 jetzis reptil. Nilai keanekaragama~?h erpetofauna yang
diperoleh di TWA Pattunuang (2,396) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
keanekaragamatz herpetofauna di TWA Bantimurung (2,058) .Hal tersebzrt terjadi
kkarena 7WA Bantimurzing merzrpaka7 suatu kawasaiz wisata massal sehingga
memungkinhz rusaknya sebagian habitat alami kawasan tersebut seperti banyaknya
sampah yang menumpuk dan kondisi jisik perairan yang kuratzg baik, sedangkan
kot~disi habitat di TWA Pattunuatzg masih alami karena belum hanyak campur
tangan ntanzrsia .sehiitgga menyediakaiz habitat bagi jenis-jenis alami.
sumber
..........................
HERPETOFAUNA DI
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Abstract
Abstrak— Pulau Bali
terkenal akan objek wisatannya, dari kekayaan budaya maupun alamnya yang
menawan. Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan kawasan konservasi yang di
dalamnya memiliki berbagai ekosistem yaitu savana, hutan bakau, hutan muson dan
hutan pegunungan. Pengetahuan mengenai keragaman herpetofauna yang terdapat
dalam TNBB ini dapat digunakan sebagai modal dalam pengembangan ekowisata. Dari
penelitian dan ditunjang hasil studi pustaka terungkap sebanyak 32 jenis
herpetofauna tersebar di berbagai tipe ekosistem di TNBB. Dalam makalah ini
disajikan pertelaan dari beberapa jenis dilengkapi infomasi biologi dan ekologi
dan waktu pengamatan.
sumber
.................................
MINGGU,
10 JANUARI 2016
Hubungan
Masyarakat, Herpetofauna dan Lingkungan Wana Wisata Rowo Bayu Banyuwangi.
Wana Wisata Rowo Bayu merupakan sebuah
ekosistem yang masih alami. Tempat tersebut berlokasi di Desa Bayu,
Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Rowo Bayu terletak pada ketinggian
±630m dpl dan dikelilingi oleh hutan pinus yang lebat. Terdapat tiga sumber
mata air yang alirannya terkumpul pada satu telaga. Sumber mata air tersebut
adalah Sumber Kaputren, Sumber Dewi Gangga, dan Sumber Kamulyan. Keberadaan
sumber mata air di dataran tinggi menjadikan Rowo Bayu bersuhu sejuk dan
memiliki kelembaban yang cukup tinggi serta mendukung kehidupan beberapa hewan
seperti herpetofauna. Herpetofauna adalah kelompok hewan yang terdiri atas
reptil dan amfibi.
Hampir di setiap daerah genangan air di
daerah Rowo Bayu ditemukan banyak kecebong, Hal tersebut menandakan bahwa
banyak terdapat katak dan kodok. Apabila katak dan kodok ada maka diperkirakan
bahwa ada juga predatornya, yaitu ular. Tim peneliti menemukan microhabitat
dari sejenis katak yang dikenal dengan nama ilmiahMicrohyla achatina.
Kebeadaan ular dibuktikan ketika tim peneliti mini melakukan pengamatan
dijumpai ular yang sedang melata di perairan.
Menurut juru kunci dan warga sekitar
Rowo Bayu, memang masih banyak herpetofauna yang ada disana. Mereka sering
menjumpainya pada malam hari. Pengamatan dilakukan pagi sampai sore hari
sehingga tidak banyak herpetofauna yang dapat ditemukan.
Narasumber juga menjelaskan bahwa hewan
yang sering dijumpai adalah reptil. Suatu ketika ada ular yang masuk ke dalam
salah satu warung yang ada di pinggir telaga, Kemudian ular tersebut dibunuh
karena dianggap mengganggu. Biasanya ular ataupun herpetofauna yang lain
dibiarkan saja asalkan tidak mengganggu. Sebagian besar masyarakat sekitar Rowo
Bayu belum mengetahui peran ekologis dari herpetofauna tersebut. Peran ekologis
dari herpetofauna adalah bertindak sebagai mangsa sekaligus predator. Katak dan
kodok contohnya, keduanya dapat berperan sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk
dan nyamuk, sekaligus sebagai mangsa dari ular dan hewan karnivora lainnya.
Masyarakat masih menjaga habitat sekitar
Rowo Bayu sehingga secara tidak langsung masyarakat ikut serta menjaga
habitat dan keberadaan herpetofauna. Semoga lingkungan Rowo Bayu tetap terjaga
kealamian dan kelestariannya. Besar harapan lingkungan Rowo Bayu lebih terawatt
lagi agar dapat lebih menarik wisatawan dan menjaga kelestarian hewan yang
tinggal disana, terutama herpetofauna.
sumber
...............................
Herpetofauna
atau reptil dan amfibi adalah kelompok satwa yang sering terabaikan dalam
pengelolaan. Padahal banyak juga jenis herpetofauna yang endemik dan terancam
punah. Kelompok satwa ini banyak yang bersifat nokturnal dan memiliki
preferensi habitat yang spesifik. Selain itu beberapa jenis reptil dianggap
berbahaya bagi manusia seperti buaya dan jenis-jenis ular berbisa, sehingga
herpetofauna sering kali dianggap susah diteliti. Sebenarnya kalau karakter
kelompok satwa ini dipahami, penelitian herpetofauna tidaklah sulit.
Herpetofauna terestrial, khususnya amfibi adalah kelompok satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air. Oleh karena itu inventarisasi herpetofauna bisa dilakukan di sekitar sungai atau perairan air tawar lain di mana peluang perjumpaan terhadap satwa ini lebih besar. Hampir semua jenis amfibi dan beberapa jenis reptil aktif di malam hari sementara beberapa jenis yang lain juga aktif di siang hari, sehingga pengamatan satwa ini sebaiknya juga dilakukan pada malam dan siang hari, tergantung dari kelompok satwa target yang diteliti. Apabila penelitian lebih terfokus pada jenis amfibi, maka pengamatan hendaknya dilakukan pada malam hari, sementara apabila jenis yang diteliti adalah jenis yang diurnal, penelitian hendaknya dilakukan sesuai waktu aktif satwa tersebut.
Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, salah satu yang paling mudah adalah Visual Encounter Survey (VES) berbasis transek/jalur. Dalam metode ini pengamat berjalan menyusuri jalur yang sudah ditentukan dalam periode waktu tertentu untuk mencari herpetofauna. Setiap individu herpetofauna yang terlihat selama pengamatan ini dicatat jenis serta jumlahnya. Untuk keperluan identifikasi, individu herpetofauna yang belum bisa dipastikan jenisnya, bila memungkinkan, ditangkap untuk identifikasi lebih lanjut. Jalur yang digunakan dalam metode VES ini bisa berupa jalan setapak hutan atau alur sungai dan penempatan jalur-jalur pengamatan tersebut sebaiknya mewakili kondisi vegetasi kawasan yang diteliti. Lama waktu pengamatan ditentukan sesuai dengan tingkat capaiann hasil yang diharapkan, misalnya 1 jam untuk setiap 100 m transek atau 2 jam setiap 100 m.
Inventarisasi herpetofauna menggunakan metode ini telah diterapkan di beberapa kawasan konservasi, misalnya di TN Gunung Merbabu pada tahun 2010, TN Tanjung Puting tahun 2010, TN Gunung Merapi tahun 2011, dan CA Teluk Adang tahun 2012. Pada kegiatan inventarisasi herpetofauna yang dilakukan di CA Teluk Adang, jalur pengamatan ditempatkan pada berbagai tipe vegetasi yang ada untuk mewakili kondisi kawasan seperti hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dsb. Dalam kegiatan tersebut telah teridentifikasi sebanyak tujuh jenis amfibi dan delapan jenis reptil yang menghuni CA Teluk Adang, dan tiga jenis di antaranya termasuk dalam kategori Near Threatened atau hampir terancam punah berdasarkan IUCN Redlist and Criteria.
Visual Encounter Survey adalah salah satu metode yang paling mudah dilakukan untuk inventarisasi herpetofauna karena selain waktu dan kebutuhan personelnya tidak banyak, biaya yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Meski demikian masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
Herpetofauna terestrial, khususnya amfibi adalah kelompok satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air. Oleh karena itu inventarisasi herpetofauna bisa dilakukan di sekitar sungai atau perairan air tawar lain di mana peluang perjumpaan terhadap satwa ini lebih besar. Hampir semua jenis amfibi dan beberapa jenis reptil aktif di malam hari sementara beberapa jenis yang lain juga aktif di siang hari, sehingga pengamatan satwa ini sebaiknya juga dilakukan pada malam dan siang hari, tergantung dari kelompok satwa target yang diteliti. Apabila penelitian lebih terfokus pada jenis amfibi, maka pengamatan hendaknya dilakukan pada malam hari, sementara apabila jenis yang diteliti adalah jenis yang diurnal, penelitian hendaknya dilakukan sesuai waktu aktif satwa tersebut.
Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, salah satu yang paling mudah adalah Visual Encounter Survey (VES) berbasis transek/jalur. Dalam metode ini pengamat berjalan menyusuri jalur yang sudah ditentukan dalam periode waktu tertentu untuk mencari herpetofauna. Setiap individu herpetofauna yang terlihat selama pengamatan ini dicatat jenis serta jumlahnya. Untuk keperluan identifikasi, individu herpetofauna yang belum bisa dipastikan jenisnya, bila memungkinkan, ditangkap untuk identifikasi lebih lanjut. Jalur yang digunakan dalam metode VES ini bisa berupa jalan setapak hutan atau alur sungai dan penempatan jalur-jalur pengamatan tersebut sebaiknya mewakili kondisi vegetasi kawasan yang diteliti. Lama waktu pengamatan ditentukan sesuai dengan tingkat capaiann hasil yang diharapkan, misalnya 1 jam untuk setiap 100 m transek atau 2 jam setiap 100 m.
Inventarisasi herpetofauna menggunakan metode ini telah diterapkan di beberapa kawasan konservasi, misalnya di TN Gunung Merbabu pada tahun 2010, TN Tanjung Puting tahun 2010, TN Gunung Merapi tahun 2011, dan CA Teluk Adang tahun 2012. Pada kegiatan inventarisasi herpetofauna yang dilakukan di CA Teluk Adang, jalur pengamatan ditempatkan pada berbagai tipe vegetasi yang ada untuk mewakili kondisi kawasan seperti hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dsb. Dalam kegiatan tersebut telah teridentifikasi sebanyak tujuh jenis amfibi dan delapan jenis reptil yang menghuni CA Teluk Adang, dan tiga jenis di antaranya termasuk dalam kategori Near Threatened atau hampir terancam punah berdasarkan IUCN Redlist and Criteria.
Visual Encounter Survey adalah salah satu metode yang paling mudah dilakukan untuk inventarisasi herpetofauna karena selain waktu dan kebutuhan personelnya tidak banyak, biaya yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Meski demikian masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
sumber
.................................
Minggu, 13 Februari 2011
PENGARUH STRUKTUR VEGETASI TERHADAP
KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI PETAK 6, HUTAN WANAGAMA I, GUNUNGKIDUL
INTISARI
Hutan Wanagama I merupakan hutan
pendidikan yang memiliki berbagai jenis spesies baik flora maupun fauna. Salah
satu jenis satwa liar yang ada di kawasan ini adalah kelas herpetofauna.
Struktur vegetasi yang berbeda pada tiap petak di wanagama dapat mempengaruhi
kondisi satwa liar yang ada di dalamnya termasuk herpetofauna. Pada sisi yang
lain, reptil dan amfibi adalah satwa yang relatif sensitif terhadap pengaruh
manusia. Penelitian mengenai herpetofauna sendiri masik minim, oleh karena itu
perlu dikembangkan penelitian local seperti di Wanagama I ini. Sehingga hasil
penelitian mampu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan satwa liar
herpetofauna. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
struktur vegetasi terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di petak 6 hutan
Wanagama I Gunung Kidul.
Metode yang digunakan dalam
pengambilan data keanekaragaman herpetofauna adalah Visual Encounter Surveys (VES) with Line Transek yaitu dengan membuat transek garis
sepanjang 250 m sebanyak 3 kali ulangan dengan jarak antar transek 50 m, lebar
transek 20 m, transek pertama ditempatkan dengan jarak 10 m dari tepi sungai. Struktur
vegetasi diamati dengan membuat petak ukur (PU) protocol plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m.
Keanekaragaman herpetofauna dihitung
dengan rumus Indeks Shannon Wiener dan hasilnya tidak dapat terdefinisi,
sedangkan analisis yang dilakukan
untuk faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis herpetofauna dengan
analisis regresi linier, tidak bisa dicari suatu persamaan karena data
keanekaragaman herpetofauna di petak 6 sendiri adalah 0 (tidak ditemukan
herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu pengaruh antara keanekaragaman
herpetofauna dengan struktur vegetasi.
Kata kunci : keanekaragaman jenis
herpetofauna, struktur vegetasi.
Pendahuluan
Hutan
Wanagama I merupakan hutan pendidikan yang memiliki berbagai jenis spesies baik
flora maupun fauna. Salah satu jenis satwa liar yang ada di kawasan ini adalah
kelas herpetofauna. Struktur vegetasi yang berbeda pada tiap petak di wanagama
dapat mempengaruhi kondisi satwa liar yang ada di dalamnya termasuk
herpetofauna. Pada sisi yang lain, reptil dan amfibi adalah satwa yang relatif
sensitif terhadap pengaruh manusia. Penelitian mengenai herpetofauna sendiri
masik minim, oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian local seperti di
Wanagama I ini. Sehingga hasil penelitian mampu dijadikan pertimbangan dalam
pengelolaan satwa liar herpetofauna.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh struktur vegetasi terhadap keanekaragaman jenis
herpetofauna di petak 6 hutan Wangama I, Gunungkidul. Berdasarkan
teori bahwa herpetofauna menempati habitat yang sangat bervariasi mulai dari
akuatik, semi akuatik, terestrial, fusorial, dan arboreal, dan juga mengingat
sebagian besar perubahan habitat di hutan Wanagama I terjadi secara suksesi
atau kebalikannya, yaitu retrogresif. Oleh karena itu, konsep teori suksesi
merupakan dasar yang sangat berguna untuk memprediksi adanya respon satwa liar
terhadap perubahan habitat. Dalam penelitian kali ini habitat berupa pendekatan
struktur vegetasi yang ditanam di hutan Wanagama I yaitu meliputi
keanekaragaman dari masing-masing tingkat pertumbuhan dan kepadatannya.
Herpetofauna merupakan salah satu kelompok satwa yang mudah terpengaruh oleh
perubahan lingkungan, oleh karena itu herpetofauna dapat dijadikan sebagai
indikator lingkungan. Perubahan
kondisi lingkungan pada suatu ekosistem dapat dilihat dari perubahan populasi
dan keanekaragaman jenis herpetofauna.
Bahan dan Metode
Penelitian
dilakukan di Hutan Wanagama I Gunung Kidul pada petak 6.Penelitian ini
dilakukan pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2009, mulai pukul 08.00-16.00 WIB.
Alat yang digunakan antara lain: GPS, Kompas,Klinometer,
Thermohigrometer,Tabung okuler, Density board, Rollmeter, Peta Wanagama 1, Plastik berbagai ukuran, Spidol marker, Kaliper, Timbangan analitik/pesola,
Kamera (spesifikasi foto macro).
Metode yang
digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman herpetofauna adalah Visual Encounter Surveys (VES) with Line Transek yaitu dengan membuat transek garis
sepanjang 250 m sebanyak 3 kali ulangan dengan jarak antar transek 50 m, lebar
transek 20 m, transek pertama ditempatkan dengan jarak 10 m dari tepi sungai.
Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan menangkap jenis herpetofauna
yang ditemui apabila dimungkinkan, apabila tidak memungkinkan untuk ditangkap
maka dicatat penciri penting dari jenis tersebut dapat berupa warna atau pola
yang dapat menjadi ciri khas. Setelah dilakukan penangkapan maka tindakan
selanjutnya adalah melakukan morfometri yaitu diukur Snout Vent Length (SVL),
Total Length (TL), berat , serta dicatat aktivitas saat ditemukan, jenis
substrat dimana jenis tersebut ditemukan.
Struktur vegetasi diamati
dengan membuat petak ukur (PU) protocol plotberbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m. Jarak antar PU adalah 200m dengan jumlah minimal 15 PU yang dianggap akan
mewakili. Protokol plot tersebut selanjutnya dibagi menjadi 4 arah mata angin,
yang masing-masing diambil data mengenai penutupan semak, belukar, tiang, dan
pohon menggunakan Density
Board. Analisis vegetasi dilakukan dengan pembuatan nested sampling di
dalam protokol plot dengan ukuran 2 X 2 m untuk semai dan tumbuhan bawah, 5 X 5
m untuk sapihan, 10 X 10 m untuk tiang, dan 20 X 20 m untuk pohon. Kemudian
diukur tinggi tegakan, luas bidang dasar, dan keadaan fenologi ( berbunga,
berbuah, bersemi, dan meranggas ).Keanekaragaman
jenis herpetofauna dianalisis menggunakan indeks Shannon Wiener. Analisis
dilakukan menggunakan program excel “biological statistic”.
H =
H: Index
Shannon-Wienner
ni : Jumlah individu spesies i
N : Jumlah total Individu
Kelimpahan jenis vegetasi dihitung
mengunakan indeks Simpson.
D= indeks keanekaragaman
jenis
ni=jumlah individu spesies i
N= jumlah total
jenis
S = jumlah jenis
Untuk mengetahui faktor-faktor vegetasi dan lingkungan yang berpengaruh
terhadap keanekaragaman burung di petak 6 hutan Wanagama I Gunung Kidul maka
digunakan analisis statistik. Disini digunakan regresi linear dimana suatu
variabel akan berpengaruh terhadap keanekaragaman burung apabila diperoleh
nilai signifikan < 0,05.
Hasil
1.Keanekaragaman jenis herpetofauna
Tabel 1. Herpetofauna yang ditemui pada
petak 6
No
|
Petak
|
Jumlah
|
1
|
6
|
0
|
ISW=tidak terdefinisi
2.Faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman jenis herpetofauna
Dengan menggunakan analisis regresi
linier, diuji apakah factor struktur vegetasi berpengaruh terhadap
keanekaragaman jenis herpetofauna di hutan Wanagama I Gunung Kidul. Sebagai
dependent variable adalah keanekaragaman herpetofauna, sedangkan sebagai
independent variable adalah kepadatan semak, kepadatan belukar, kepadatan
tiang, kepadatan pohon, keanekaragaman semai, keanekaragaman sapihan,
keanekaragaman tiang, keanekaragaman pohon. Dari analisis yang dilakukan, tidak
bisa dicari suatu persamaan karena data keanekaragaman herpetofauna di petak 6
sendiri adalah 0 (tidak ditemukan herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu
pengaruh antara keanekaragaman herpetofauna dengan struktur vegetasi.
Pembahasan
Berdasarkan
data yang diperoleh dengan metode point count, tidak diperoleh satu pun
herpetofauna di petak 6 hutan wanagama I, Gunungkidul. Hasil perhitungan dengan
menggunakan indeks Shannon Wiener diperoleh keanekaragaman jenis herpetofauna
di petak 6 hutan pendidikan wanagama I juga tidak dapat terdefinisi karena
tidak ada herpetofauna yang ditemukan, sehingga saat dilakukan perhitungan
angka 0 dibagi 0 tidak mampu didefinisi. Hasil
pengamatan herpetofauna yang dilakukan di petak 6 hutan pendidikan wanagama I
tidak didapatkan herpetofauna, hal itu dikarenakan pengamatan herpetofauna
dilakukan pada siang hari sedangkan herpetofauna bersifat nocturnal (hewan yang
keluar pada malam hari). Sehingga pada hasil pengamatan sulit ditemukan
herpetofauna di petak 6 hutan pendidikan wanagama I.
Petak 6
mempunyai struktur vegetasi yang belum mencapai tingkatan pertumbuhan tertinggi
yaitu pohon. Kawasan ini masih didominasi tiang dan hanya beberapa plot saja
yang dapat ditemukan tingkatan pohon dengan jenis yang masih sedikit. Kondisi
tutupan vegetasinya pun masih renggang dan masih banyak cahaya yang mampu masuk
sampai ke lantai hutan. Amphibi biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang
mempunyai tutupan vegetasi yang cukup lebat dan tutupan seresah yang tebal
sebagai tempat bernaung. Sedangkan untuk kelompok reptile banyak ditemukan di
lokasi yang pepohonannya cukup banyak dan ruang terbuka di atas bebatuan untuk
berjemur. Tidak ditemukannya herpetofauna mungkin juga dikarenakan ketidak
telitian dalam pencarian herpetofauna di petak 6, meskipun kondisi di kawasan
ini masih mendukung keberadaan herpetofauna.
Perhitungan dilakukan menggunakan
metode R statistik dan hasil yang di dapat menyatakan bahwa tidak bisa dicari suatu persamaan karena
data keanekaragaman herpetofauna di petak 6 sendiri adalah 0 (tidak ditemukan
herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu pengaruh antara keanekaragaman
herpetofauna dengan struktur vegetasi. Hal
ini mungkin dikarenakan data hasil pengamatan yang kurang lengkap dan jumlah
herpetofauna yang ditemukan nilainya 0 sehingga untuk mengetahui pengaruh
vegetasi pun sulit dilakukan analisis.
Kesimpulan
Struktur vegetasi tidak berpengaruh
terhadap keanekaragaman jenis burung di petak 6 hutan Wanagama I Gunung Kidul.
Daftar pustaka
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology
of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.
Soetrisno, Kadar. 1996. Silvikultur. Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman Samarinda.
Tim
Laboratorium Satwa Liar. 2008. Petunjuk
Praktikum Mata Kuliah Riset dan Manajemen Satwa Liar I. Fakultas Kehutanan.
UGM. Yogyakarta.
sumber
......................
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemelimpahan Herpetofauna di
Petak 13, Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta
Faktor-Faktor yang
Berpengaruh terhadap Kemelimpahan
Herpetofauna di Petak
13, Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta
Oleh :
Drajat Dwi Hartono
INTISARI
Herpetofauna merupakan
hewan berdarah dingin yang artinya suhu dalam tubuhnya tergantung dengan suhu
lingkungan disekitar untuk bertahan hidup sehingga keberadaannya sangat
terpengaruh kondisi habitatnya. Studi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi
Petak 13 Wanagama I memiliki kondisi khas berupa batuan karst serta merupakan
kawasan hutan rehabilitasi. Kondisi Petak 13 yang diteliti adalah penutupan
tajuk, suhu, persentase batang rebah, persentase penutupan seresah.
Metode pengambilan
data dengan menggunakan petak ukur line transek 250x20 meter
sebanyak tiga buah dan dilakukan pengambilan data jumlah dan jenis
herpetofauna, data lingkungan baik analisis vegetasi, serta kondisi lingkungan
fisik di masing-masing line transek. Hubungan antara faktor
lingkungan terhadap kemelimpahan herpetofauna dianalisis nilai signifikansinya
secara statistik. Kemelimpahan indivudu dihitung dengan membandingkan jumlah
individu yang dijumpai dengan luas petak ukur.
Berdasarkan hasil
analisis statistik diperoleh bahwa keempat faktor yang diteliti yaitu
penutupan tajuk, suhu, persentase batang rebah, persentase penutupan
seresah tadi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemelimpahan herpetofauna di
petak 13. Jenis herpetofauna yang dijumpai di petak 13 adalah Kadal Kebun (Eutropis
multifasciata) sebanyak satu ekor dan Cicak Pohon (Sphenomorphus sanctus)
sejumlah empat ekor.
sumber
.....................
24 September 2013
KP3 Herpetofauna Herping di Way Kambas
Minggu, 8 September 2013 Kelompok Pengamat
Peneliti Pemerhati (KP3) Herpetofauna melakukan pengamatan di salah satu rawa
di resort Way Kanan , Taman Nasional Way Kambas. Pengamatan tidak hanya
dilakukan oleh kelompok studi KP3 H saja, tetapi juga dilakukan bersama dengan
kelompok studi yang lain yang berada di bawah naungan Forestation FKT UGM,
seperti KP3 Burung, Primata, Ekowisata dan KP3 Wetland. Kegiatan pengamatan
untuk tiap-tiap kelompok studi ini sudah diagendakan didalam satu rangkaian
kegiatan Forestation UGM yaitu “Jelajah Konservasi goes to Way Kambas” yang
dilakukan mulai 6-11 September 2013.
Di acara Jelajah Konservasi ini,
setidaknya ada 9 anggota aktif KP3 Herpetofauna yang ikut, sehingga memudahkan
dalam koordinasi saat pengamatan dimulai. Yang ikut dalam pengamatan KP3
Herpetofauna ini adalah Arok (koor KP3 H), Ikhwan, Siti Harjanti, Dewi, Yuniar,
Andoek, Dayat, Nadia, Yosi, dan Tedi. Untuk Tedi, ini adalah kali pertama dia
ikut herping, karena sebelumnya tergabung dalam KP3 Ekowisata. Saat ditanya
alasannya, Tedi menjawab, bahwa dia tertarik dan ingin tahu bagaimana KP3 H
saat melakukan pengamatan langsung dilapangan.
Jam sudah menunjukkan pukul
16.30 WIB, rombongan KP3 Herpetofauna segera bersiap untuk melakukan
pengamatan, karena pemandu kami sudah memberi arahan bahwa di dekat sungai
banyak terdapat herpetofauna berupa amphibi dan reptil (berupa ular) 'jika
beruntung'. Hampir setengah jam lamanya, kami menyusuri sungai namun hasilnya
nihil. Ini terjadi karena dari kami sendiri memang menyadari, bahwa
herpetofauna adalah hewan nocturnal, mereka baru akan keluar saat malam hari
dan sangat sulit untuk ditemui meski saat petang menjelang. Akhirnya kamipun
menunda waktu pengamatan sampai petang datang.
Dalam pengamatan ini ternyata kami sedang
beruntung, karena salah seorang yang sebelumnya selalu mengantar kami
menggunakan truk, yaitu pak Dedi, ternyata seorang pawang ular, dan cukup paham
lokasi-lokasi mana saja yang banyak terdapat reptil dan amphibi di Way Kanan
ini. Akhirnya kami diantar menggunakan truk menuju sebuah rawa di Way Kanan.
lokasi tersebut kami tempuh sekitar 15 menit dari kantor Way Kanan, dan
sesampainya disana kami menunggu sampai petang terlebih dahulu dan menunggu
suara satwa seperti katak mulai berbunyi. Sembari menunggu petang datang, pak
Dedi sedikit menceritakan pengalamannya dulu saat menjadi pawang ular,
bagaimana trik saat berhadapan dengan ular, penanganan saat digigit ular di
hutan dan perlengkapan sederhana yang perlu dibawa saat masuk hutan, dan banyak
hal lainnya yang beliau bagikan kepada kami. Diskusi ini sangat berarti untuk
kami, selain untuk mengisi waktu kosong saat itu, juga menambah wawasan kami,
terlebih saat berada di hutan.
Saat yang kami tunggu akhirnya datang,
petang mulai datang dan suara katak mulai terdengar, kamipun segera mulai
melakukan ‘herping’. Metode pengamatan yang kami gunakan dalam pengamatan ini
adalahVisual Encounter Survey atau
sering disebut dengan VES. Ini adalah metode pengamatan dilapangan yang
dibatasi oleh waktu. sebagai ilustrasinya, dilapangan kita diberi waktu 20
menit untuk mencari spesies herpetofauna dilapangan, sehingga, jika waktu 20
menit tersebut sudah habis maka pengamatan kita hentikan, jika kita masih ingin
melanjutkan pengamatan, baru nanti kita lanjutkan lagi namun dibatasi waktu
yang sama yaitu 20 menit. Metode ini adalah salah satu metode yang sering kami
gunakan saat pengamatan.
Waktu yang kami gunakan untuk pengamatan
kali ini adalah 50 menit, dan kami terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
yang berada disebelah kanan dan kiri sisi rawa. Pukul 19.00 WIB, kami selesai
‘herping’ yang kemudian segera bergegas untuk kumpul kembali dengan teman-teman
dari kelompok studi lain, seperti KP3 Burung, dan lainnya yang sudah menunggu
kami di kantor Way Kanan. Karena terbatasan waktu, kami kemudian memilih untuk
melakukan identifikasi di base camp kami, yaitu Plang Ijo yang jaraknya sekitar
13 km dari Way Kanan. Kemudian kami melakukan identifikasi selama hampir
2 jam di base camp, mulai pukul 21.45 – 23.30 WIB. Dari identifikasi yang kami
lakukan, kami menemukan 11 individu katak (amphibi), yang terdiri dari 4
spesies, yaitu :
No
|
Jenis
|
Jumlah
|
1
|
Philautus sp.
|
1
|
2
|
Rana nicobariensis
|
4
|
3
|
Polypedates
leucomystax
|
1
|
4
|
Rana
erythraea
|
5
|
Untuk jenis Philautus sp. Kami kemarin belum berhasil
mengidentifikasi secara detail, namun kami sudah mengetahui bahwa spesies
tersebut masuk kedalam famili Rhacoporidae. Dari semua jenis katak yang kami
peroleh, kebanyakan berada di lumpur, di seresah, dan aktivitasnya sedang diam.
Kami cukup senang dengan hasil herping yang kami peroleh kemarin, karena meski
dengan waktu yang cukup singkat, kami bisa mendapatkan beberapa jenis katak. Hal
itu menandakan bahwa kekayaan jenis herpetofauna di Way Kambas cukup tinggi,
karena TN Way Kambas ini merupakan kumpulan dari 5 tipe ekosistem hutan, mulai
dari riparian, rawa, mangrove, pantai, dan hutan hujan tropis. Namun kami juga
sedikit kecewa, karena kami tidak mendapatkan satupun reptil saat pengamatan
tersebut.
Namun, keesokan harinya (9/9/13), saat
kami mengunjungi PKG yaitu Pusat Konservasi Gajah, tidak sengaja, Arok
menemukan satu jenis reptil, yaitu Draco
sumatranus, sekitar pukul 10.00 WIB, didekat kolam pemandian gajah dan
aktivitasnya sedang diam menunggu mangsa. Kekecewaan kami karena tidak
menemukan reptil pada pengamatan sebelumnya cukup terobati, dengan penemuan
satu jenis reptil ini.
otal yang kami dapatkan dari kunjungan
singkat di Way Kambas ini, kami menemukan 4 jenis katak, dan 1 jenis reptil.
Hasil yang cukup membanggakan dan harapannya dapat dilakukan inventarisasi
satwa terutama jenis herpetofauna di TN Way Kambas, karena masih terbatas
informasi yang disediakan dan masih minim pengamatan atau penelitian mengenai
herpetofauna disini. Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam pengamatan yang kami lakukan saat di TN Way Kambas.
(Ikhwan_KP3H)
sumber
..........................