Jumat, 07 Oktober 2016

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 1 )

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 1 )


.........................................................

HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result :
Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan herpetofauna dari sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat


Just trying to summarize everything connected with herpetofauna from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................

.................................................................

Herpetology

From Wikipedia, the free encyclopedia
Herpetology (from Greek "herpien" meaning "to creep") is the branch of zoology concerned with the study of amphibians(including frogstoadssalamandersnewts, and caecilians (gymnophiona)) and reptiles (including snakeslizards,amphisbaenidsturtlesterrapinstortoisescrocodilians, and the tuataras). Batrachology is a further subdiscipline of herpetology concerned with the study of amphibians alone.
Herpetologi (dari bahasa Yunani "herpien" yang berarti "merayap") adalah
cabang zoologi berkaitan dengan studi amfibi (termasuk katak, kodok,
salamander, kadal air, dan caecilian (gymnophiona)) dan reptil (termasuk
ular, kadal, amphisbaenids, kura-kura, terrapins, kura-kura, buaya, dan tuataras). Batrachology adalah subdiscipline lanjut herpetologi yang berkaitan
dengan studi amfibi saja.
Herpetology is concerned with poikilothermicectothermic tetrapods. Under this definition "herps" (or sometimes "herptiles" or "herpetofauna") exclude fish, but it is not uncommon for herpetological and ichthyological scientific societies to "team up", publishing joint journals and holding conferences in order to foster the exchange of ideas between the fields. One of the most prestigious organizations, the American Society of Ichthyologists and Herpetologists, is an example of this. Many herpetological societies exist today, having been formed to promote interest in reptiles and amphibians both captive and wild.
Herpetologi berkaitan dengan poikilothermic, tetrapoda ectothermic.
Berdasarkan definisi ini "herps" (atau kadang-kadang "herptiles" atau
"herpetofauna") termasuk ikan, tetapi tidak jarang Herpetologis dan
masyarakat ilmiah ichthyological untuk "tim up", penerbitan jurnal
bersama dan mengadakan konferensi untuk mendorong pertukaran ide
antara bidang. Salah satu organisasi yang paling bergengsi, American
Society of ichthyologists dan herpetologis, adalah contoh dari ini. Banyak
masyarakat Herpetologis ada saat ini, yang telah dibentuk
untuk mempromosikan kepentingan dalam reptil dan amfibi baik
captive dan liar.
Herpetology offers benefits to humanity in the study of the role of amphibians and reptiles in global ecology, especially because amphibians are often very sensitive to environmental changes, offering a visible warning to humans that significant changes are taking place. Some toxins and venoms produced by reptiles and amphibians are useful in human medicine. Currently, some snake venom has been used to create anti-coagulants that work to treat stroke victims and heart-attack cases.

Herpetologi menawarkan manfaat bagi umat manusia dalam studi
tentang peran amfibi dan reptil dalam ekologi global, terutama
karena amfibi seringkali sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan, menawarkan peringatan terlihat manusia bahwa
perubahan signifikan terjadi. Beberapa racun dan racun yang
dihasilkan oleh reptil dan amfibi berguna dalam obat manusia.
Saat ini, beberapa bisa ular telah digunakan untuk membuat
anti-koagulan yang bekerja untuk mengobati korban stroke
dan kasus serangan jantung.

Etymology[edit]

The word "herpetology" is from Greek: ρπετόν, herpeton, "creeping animal" and -λογία, -logia, "knowledge". People with an avid interest in herpetology and who keep different reptiles or amphibians often refer to themselves as "herpers".[1]
Kata "herpetologi" adalah dari bahasa Yunani: ρπετόν, herpeton,
 "merayap hewan" dan -λογία, -logia, "pengetahuan". Orang-orang 
dengan minat avid dalam herpetologi dan yang menjaga reptil
 atau amfibi berbeda sering menyebut diri mereka sebagai "Herpers". [1]

"Herp" is a vernacular term for reptiles and amphibians. It is derived from the old term "herpetile", with roots back to Linnaeus's classification of animals, in which he grouped reptiles and amphibians together in the same class. There are over 6700 species of amphibians[2] and over 9000 species of reptiles.[3] In spite of its modern taxonomic irrelevance, the term has persisted, particularly in the names of herpetology, the scientific study of reptiles and amphibians, and herpetoculture, the captive care and breeding of reptiles and amphibians.
"Herp" adalah istilah bahasa daerah untuk reptil dan amfibi. Hal ini 
berasal dari istilah yang lama  "herpetile", dengan akar kembali 
ke klasifikasi hewan Linnaeus , di mana ia kelompokkan reptil dan
 amfibi bersama-sama di kelas yang sama. Ada lebih dari 6700 
spesies amfibi [2] dan lebih dari 9000 spesies reptil. [3] Meskipun 
tidak relevan taksonomi modern, istilah telah bertahan, terutama di 
nama herpetologi, studi ilmiah tentang reptil dan amfibi, dan 
herpetoculture, perawatan tawanan dan peternakan reptil dan amfibi.

Careers[edit]

Career options in the field of herpetology include, but are not limited to lab research, field studies and survey, zoological staff, museum staff and college teaching.
In modern academic science, it is rare for individuals to consider themselves a herpetologist first and foremost. Most individuals focus on a particular field such asecology, evolution, taxonomy, physiology, or molecular biology, and within that field ask questions pertaining to or best answered by examining reptiles and amphibians. For example, an evolutionary biologist who is also a herpetologist may choose to work on an issue such as evolution of warning coloration in coral snakes.
Pilihan karir di bidang herpetologi termasuk, tetapi tidak terbatas
 pada penelitian laboratorium, studi lapangan dan survei, staf 
zoologi, staf museum dan pengajar perguruan tinggi.
Dalam ilmu akademis modern, sangat jarang bagi individu untuk 
menganggap mereka herpetologis pertama dan terpenting. 
Kebanyakan orang fokus pada bidang tertentu asecology seperti,
 evolusi, taksonomi, fisiologi, atau biologi molekuler, dan dalam
 bidang yang mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan atau 
menjawab terbaik  dengan memeriksa reptil dan amfibi. Sebagai
 contoh, ahli biologi evolusi yang juga herpetologis mungkin 
memilih untuk bekerja pada masalah seperti evolusi dari 
peringatan pewarnaan di ular karang.

Modern herpetological writers of note include Mark O'Shea and Philip Purser. Modern herpetological showmen of note include Jeff Corwin, Steve Irwin, popularly known as the "Crocodile Hunter", and the star Austin Stevens, popularly known as 'AustinSnakeman' in the TV series Austin Stevens: Snakemaster.
penulis Herpetologis modern termasuk Mark O'Shea dan Philip Purser. 
showmen Herpetologis modern catatan termasuk Jeff Corwin, 
Steve Irwin, dikenal sebagai "Crocodile Hunter", dan
bintang Austin Stevens, dikenal sebagai 'AustinSnakeman' 
dalam serial TV Austin Stevens: Snakemaster.

Study[edit]

Most colleges or universities do not offer a major in herpetology at the undergraduate or even the graduate level. Instead, persons interested in herpetology select a major in the biological sciences. The knowledge learned about all aspects of the biology of animals is then applied to an individual study of herpetology.
Sebagian besar perguruan tinggi atau universitas tidak 
menawarkan utama dalam herpetologi di tingkat sarjana atau
 bahkan tingkat pascasarjana. Sebaliknya, orang tertarik herpetologi
 pilih utama dalam ilmu biologi. pengetahuan belajar tentang 
semua aspek biologi binatang ini kemudian diterapkan 
studi individu herpetologi.
 
sumber
 
.................................

Herpetology dan herpetofauna
Herpetologi merupakan salah satu perkembangan ilmu dari zoologi yang khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan herpetofauna. Sedangkan herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptil. Amphibia adalah kelompok binatang yang hidup di dua alam, sedangkan reptil adalah kelompok hewan melata.
Menurut asal katanya, Herpetologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “Herpeton” yang berarti “merayap atau melata” dan “Logos” yang berarti”ilmu” (Thayer, 2001). Sehingga jika dirangkum Herpetologi adalah ilmu yang mempelajari fauna yang merayap atau melata. Maksud dari “merayap” atau “melata” disini disamakan berdasarkan sifat  herpetofauna pada saat istirahat dimana posisi tubuh ventral menyentuh tanah. Oleh karena itu fauna seperti reptil dan amfibi disebut herpetofauna. Selain itu, mereka merupakan kelompok vertebrata yang bergantung pada suhu lingkungan atau lebih dikenal dengan ektoterm (Zug, 1993).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan plasma nutfah tropis memiliki tidak kurang dari 16% keanekaragaman herpetofauna di dunia. Berdasarkan koleksi herpetofauna dari berbagai daerah di Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bandung dapat diketahui bahwa di Indonesia memiliki sekitar 1.500 jenis herpetofauna. Sedangkan berdasarkan penelitian Van kampen dan De Roije, di pulau jawa sendiri memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan diidentifikasi (IUCN, 2008).
Oleh: T.F. Qurniawan, Januari 2010
Pustaka
Kurniati, H & Yulia A.K. 2009. Lab_herpet. CM & BRC Project LIPI – JICA Research Center For Biology – Cibinong Science Center (CSC) http://www.biologi.lipi.go.id/bio_bidang/zoo_indonesia/home.php
IUCN, Conservation International, and Nature Serve. 2008. Red List Category [online] 2008. Avalaible from: URL: http://http://www.iucnredlist.org.
Rooij, N. de . 1915. The Reptiles of The Indo – Australian Archipelago, Lacertilia. Chelonia, Emydosauria. Volume I. E J Brill Ltd. Leiden. 384 hal
Rooij, N. de. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago Vol 2; Ophidia. Brill, Leiden. p. 101.
Thayer and Smith. “Greek Lexicon entry for Herpeton”. “The New Testament Greek Lexicon”.http://www.studylight.org/lex/grk/view.cgi?number=2062. diakses 11 Februari 2008
van Kampen, P.N. 1923. The amphibia of the Indo-Australian Archipelago. E.J.Brill, Leiden
Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, p : 357 – 358.
Zug, G.R., Vitt, L.J. & Caldwell, J.P. 2001. Herpetology, 2nd ed.Academic Press San Diego, London

sumber
...........................

Herpetofauna


Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
Amphibi merupakan hewan yang hidup di 2 habitat atau alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang satu ini memiliki kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Kata amphibi sendiri berasal dari kata “amphi” yang berarti ganda dan “bios” yang berarti hidup. Secara asal kata, amphibi didefinisikan sebagai hewan-hewan melata yang dapat hidup di dua alam. Kelas herpetofauna ini dibagi menjadi 3 ordo yang masih ada hingga sekarang, yaitu Caudata (amphibi berekor), Anura (amphibi tidak berekor), Gymnophiona (amphibi tidak bertungkai). Umumnya kelas ini memiliki siklus kehidupan seperti beberapa jenis insekta/serangga yang mengalami metamorfosis.
Reptilia merupakan kelas Herpetofauna berukuran besar. Sebagian besar kelas ini merupakan hewan tetrapoda kecuali bangsa ular-ularan (Ophidia). Kelas ini memiliki ciri khas yaitu tubuh anggota kelas reptil di tutupi oleh sisik atau memiliki sisik. Kelas ini dibagi menjadi 4 ordo yaitu Testudinates, Crocodylia,Sphenodontia, dan Squamata.
sumber
...........................................

PENGENALAN HERPETOFAUNA


Herpetofauna berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata. Dahulu, sebelum ilmu taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi satu kelompok hewan karena diangap sama-sama melata. Dengan berkembangnya ilmu, mereka kini menjadi dua kelompok terpisah.
Kedua kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu ilmu herpetology karena mereka mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang serupa.
Indonesia memiliki jenis-jenis amfibi dan reptil yang beragam. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua  Australia merupakan salah satu sebab beragamnya jenis ini.  Baik amfibi maupun reptil ditemukan di semua pulau-pulau di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi.  Amfibi tidak dijumpai di laut, namun sebaliknya reptil memiliki penyebaran yang lebih beragam.  Jenis-jenis penyu seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu Belimbing (Dermochelys coriace) dijumpai di laut, sedangkan kura-kura semisal kura-kura batok Cuora amboinensis bisa dijumpai di darat maupun perairan tawar. Demikian juga ular, yang bisa kita jumpai mulai dari pohon-pohon, di tanah sampai di laut.
Amfibi dan reptil merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin.  Istilah ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif. Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Baik amfibi maupun reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan. Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolism tubuh. Beberapa reptil besar seperti buaya, penyu dan kadal besar bahkan mencapai tingkat homeothermy, yaitu suhu mereka tidak terlalu berfluktuasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan.
Hewan poikilotherm memiliki metabolism rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama.  Sebagai contoh, beberapa jenis ular dapat makan hanya satu bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan katak harus makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka bisa tidak makan selama beberapa bulan.
Ketergantungan amfibi terhadap lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya membuat amfibi umumnya terbatas pada habitat spesifik.  Karena amfibi memiliki kontrol yang kecil terhadap suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka amfibi harus tetap berada dalam lingkungan dengan batas-batas suhu yang sesuai. Dalam satu habitat, banyak terdapat mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu ambien. Amfibi menggunakan posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini, yaitu dengan cara memaparkan tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis amfibi juga mampu mengurangi kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan tehnik penguruangan suhu yang penting. Kebanyakan amfibi mampu mengubah warna agar mampu menyerap atau merefleksikan jumlah radiasi matahari.  Katak pohon dari marga Hylidae misalnya, seringkali memiliki warna hijau yang berbeda saat panas.
Perbedaan utama antara amfibi dan reptil terletak pada perkembangan embrio.  Reptil seperti juga burung, dan mamalia memiliki telur amniota, yang berarti embrio dilindungi oleh membrane embrio yang disebut sebagai amnion. Amnion berkembang awal pada embrio, dan berfungsi sebagai lapisan cairan pelindung yang menutup embrio dalam rongga embrionik. Amniota tumbuh dalam ‘kolam di bagian dalam” dari amnion dan tidak memerlukan sumber air bagian luar. Telur reptil juga dilindungi oleh cangkang. Cangkang ini tidak bersifat tertutup karena masih mampu bertukar hara dengan lingkungan (cleidoic egg).
Dilain sisi, amfibi tidak memiliki amnion dan disebut anamniota. Telur amfibi “telanjang”, hanya dilindungi oleh lapisan gelatin semi-permeabel dan tergantung pada air dari sumber luar. Oleh karena itulah tipe telur biphasic didepositkan ke sumber air, dimana mereka nanti akan berkembang menjadi larva akuatik, dan akhirnya (umumnya) akan bermetamorphosis into permudaan terrestrial. Telur amfibi memerlukan oksigen yang diperoleh dari difusi dengan air.  Produk buangan dari dalam telur  juga akan berdifusi keluar ke air. Telur amfibi terrestrial umumnya rawan terhadap kekeringan (desikasi) karena mereka mengambil dan menyerap uap dari lingkungan yang lembab. Katak pohon Phyllomedusine mengembangkan tehnik yang unik dimana mereka akan menghasilkan telur yang tidak memiliki embrio namun memiliki air metabolic yang akan disimpan di sekitar telur-telur berembrio untuk menyediakan air jika diperlukan.
Perbedaan amfibi dan reptil yang kedua terletak pada kulit.  Bagian terluar (integument) kulit reptil ditutupi oleh sisik, sementara amfibi memiliki kulit dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar.  Pada amfibi, kulit merupakan organ yang penting. Kulit katak memiliki sifat permeabilitas, dimana air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi sebagai alat pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu katak harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit mereka. Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang dilakukan antara lain: 1) Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang bisa mongering, 2) Hidup dekat badan air, 3) Berlindung di tumbuhan teduh atau permukaan batu, 4) Menutupi kulit dengan bahan licin dan 5) Masuk ke dalam tanah. Seperti juga pada beberapa jenis reptil (yang terlihat jelas adalah ular) yang mengelupaskan kulitnya maka pada waktu-waktu tertentu katak juga akan mengelupaskan kulit bagian atas (stratum corneum) secara berkala, terutama saat tumbuh. Kebanyakan dari jenis amfibi akan memakan kulit lamanya, yang merupakan sumber air dan unsur hara.
Baik amfibi dewasa dan reptil bernafas dengan paru-paru.  Amfibi muda (saat baru menetas – disebut dengan istilah berudu) umumnya bernafas dengan insang. Pada saat metamorphosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru.
Jenis-jenis reptil yang hidup di air umumnya mengembangkan adaptasi yang berhubungan dengan kemampuan mereka menahan oksigen dalam paru-paru dan membantu pergerakan dalam air. Karena bernafas di udara maka penyu dan ular air yang sebagian besar hidupnya ada di dalam air harus naik ke permukaan untuk mengambil oksigen dari udara. Penyu juga memiliki metabolisme rendah yang memungkinkan mereka menyelam dalam waktu lama, sebagai contoh  penyu hijau bisa bertahan 5 jam di bawah air. Saat menyelam detak jatung penyu melambat sehingga bisa mengkonservasi oksigen: antara satu detak jantung berkisar 9 menit. Sementara ular air memiliki paru-paru yang memanjang hampir di seluruh tubuhnya sehingga mampu menyimpan oksigen secara efektif.  Ular air dapat bertahan lama di dalam air, catatan menunjukkan bahwa ular air mampu bertahan di air 30 menit sampai 2 jam.  Untuk mencegah udara masuk ke paru-paru saat menyelam, ular air memiliki katup hidung yang membuka ke dalam dan tertutup oleh jaringan erektil yang dipenuhi oleh darah seperti penis.  Untuk membantu pergerakan dalam air, penyu memiliki tungkai yang bermodifikasi seperti dayung sehingga mereka mampu bergerak dengan cepat di laut. Sementara ular laut memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (elongate) yang membuat mereka dapat berenang dengan efisien. Kebanyakan jenis ular laut memiliki ekor yang berbentuk seperti dayung yang meningkatkan kemampuan lokomotor mereka di air
Untuk mempertahankan diri dari mangsa dan penyakit ataupun memudahkan menangkap mangsa,  amfibi dan reptil mengembangkan berbagai pertahanan diri.  Pewarnaan berfungsi baik sebagai kamuflase maupun peringatan terhadap predator potensial atas keberadaan racun. Secara morfologi, bentuk dan warna yang menyerupai lingkungan sekitar menyulitkan predator memangsa mereka. Kulit amfibi memiliki kelenjar mucus. Sekresi mucus membuat kulit tetap lembab, mencegah masuknya bakteri dan pathogen lainnya. Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun (glanular gland) pada kulit yang pada saat terganggu akan mengeluarkan cairan berwarna susu ataupun bening (kadang-kadang berbau dan lengket) yang bersifat racun yang secara kimiawi terdiri dari bicyclic dan steroid alkaloid. Kelenjar ini biasanya terkonsentrasi pada kepala atau pada bintil-bintil di sepanjang tubuh dan disebuat sebagai kelenjar paratoid.
Jenis-jenis katak dari Amerika Selatan memiliki racun yang sangat kuat yang dapat mematikan manusia. Katak Dendrobates memiliki warna yang indah sebagai “tanda” bahwa mereka beracun. Hasil penelitian menunjukan bahwa racun ini sebagian besar berasal dari serangga yang dimakan mereka, oleh karena itu katak-katak Dendrobatidae yang ditangkarkan dan diberi makana biasa akan kehilangan daya racunnya.  Racun kodok umumnya memiliki kandungan kimiawi berupa Biogenic amines yaitu epinephrine, nor epinephrine, dopamine, epinine, indolealkylamines yang dapat mengakibatkan halusinasi dan melembutkan otot. Beberapa jenis amfibi dan retil yang tidak berbahaya kadang-kadang memiliki warna atau serupa dengan jenis lain yang berbisa untuk mengelabui predator mereka.
Beberapa jenis ular mematikan mangsanya dengan cara melilitkan badannya terhadap mangsa. Hal ini membuat mangsa menjadi lemas tidak dapat bernafas. Sementara ular lain memiliki bisa yang sebenarnya merupakan modifikasi dari air liur. Bisa ular memiliki daya yang berbeda dan berkerja melumpuhkan mangsa dengan cara melumpuhkan melalui darah atau sistim saraf belakang. Tidak semua bisa ular mematikan, hal ini tergantung pada jenis ular dan juga mangsa yang tergigit (berat mangsa).  Hanya sebagian kecil yang berakibat fatal karena ular mampu mengontrol jumlah bisa yang dikeluarkan, hal ini mungkin yang membuat sekitar 95% penyembuhan efektif. Racun ular laut lebih berbisa daripada ular di darat namun resiko lebih kecil. Kebanyakan ular laut pemalu dan menjauhi manusia kecuali diprovokasi. Bahkan seringkali mereka tidak menggunakan bisanya. Hal ini karena bisa digunakan untuk melumpuhkan mangsa bukan untuk pertahanan. Sekitar 65% gigitan ular laut tidak mengeluarkan “bisa”. Walaupun demikian gigitannya tidak boleh disepelekan. Kebanyakan gigitan ular laut terjadi pada kapal trawling, ketika ular tertangkap tak sengaja dengan ikan-ikan. Ular berbisa antara lain dari kelompok Elapidae, Hidrophiidae, Laticudidae, Viperidae,  Crotalidae dan Colubridae. Sedangkan kadal yang berbisa hanya ada dua di dunia yaitu Gila Monster dan Mexican beaded lizard.
Sumber:
Kusrini, M.D. dkk. 2008. Pengenalan herpetofauna. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

sumber
.......................

Jumat, 30 Mei 2014

Herpetofauna

       Secara etimologis, Herpetofauna berasal dari bahasa Yunani yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang melata. Herpetofauna terdiri dari dua taksa yaitu amfibi dan reptil
       Herpetofauna memiliki ukuran tubuh yang berbeda-beda dan memiliki penyebaran yang sangat luas. Herpetofauna dapat hidup dari dataran yang sangan rendah yaitu hidup di laut, dan semua tipe hutan bahkan sampai dengan dataran tinggi yaitu beerupa pegunungan. Namun, hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di dataran tinggi dan sebagian besar dari taksa amfibi.
sumber
...................................

RABU, 18 DESEMBER 2013

Pengertian Herpetologi

Pengertian Herpetologi Herpetologi Adalah salah satu perkembangan ilmu dari zoologi yang khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan herpetofauna. Sedangkan herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptil. Amphibia adalah kelompok binatang yang hidup di dua alam, sedangkan reptil adalah kelompok hewan melata.
Menurut asal katanya, Herpetologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “Herpeton” yang berarti “merayap atau melata” dan “Logos” yang berarti”ilmu” (Thayer, 2001). Sehingga jika dirangkum Herpetologi adalah ilmu yang mempelajari fauna yang merayap atau melata. Maksud dari “merayap” atau “melata” disini disamakan berdasarkan sifat  herpetofauna pada saat istirahat dimana posisi tubuh ventral menyentuh tanah. Oleh karena itu fauna seperti reptil dan amfibi disebut herpetofauna. Selain itu, mereka merupakan kelompok vertebrata yang bergantung pada suhu lingkungan atau lebih dikenal dengan ektoterm (Zug, 1993). Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan plasma nutfah tropis memiliki tidak kurang dari 16% keanekaragaman herpetofauna di dunia. Berdasarkan koleksi herpetofauna dari berbagai daerah di Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bandung dapat diketahui bahwa di Indonesia memiliki sekitar 1.500 jenis herpetofauna. Sedangkan berdasarkan penelitian Van kampen dan De Roije, di pulau jawa sendiri memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan diidentifikasi (IUCN, 2008).
Herpetologi makin banyak dipelajari seiring dengan berkembangnya kecenderungan menjadikan reptil sebagai hewan peliharaan. Selain itu, banyak anggota dari kedua kelompok besar hewan ini yang menghasilkan bisa/racun yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan bagi penyakit jantung dan stroke. Ada banyak karier pada bidang herpetologi. Ini termasuk, tapi tidak terbatas pada, bidang penelitian, pembiakan umum dan swasta, kurator ilmu hewan, profesor akademi, kurator museum. Bagi yang ingin berkarier di bidang ini harus mempunyai latar belakang yang kuat di bidang ilmu pasti dan matematika. Hanya beberapa universitas yang menawarkan program studi di bidang ini, sehingga membuat bidang ini sangat langka dan banyak dicari.
Dalam dunia ilmu pengetahuan modern, sangat jarang seseorang dianggap sebagai ahli herpetologi. Banyak orang lebih memfokuskan diri di bidang cabangnya seperti ecologi, evolusi, taksonomi, fisiologi, atau biologi molekular, dan biasanya bidang yang diambil adalah dengan penelitian pada amfibi atau serangga. Sebagai contoh, seorang ahli biologi evolusi yang juga seorang ahli herpetolgi bisa memilih untuk meneliti perubahan warna yang terjadi pada ular koral.

Demikianlah artikel mengenai definisi pengertian herpetologi, semoga bermanfaat tentunya.[tb]

sumber
....................

Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Tony Febri Qurniawan, Rury Eprilurahman

Abstract


Perubahan ekosistem dan kondisi lingkungan sangat memengaruhi kehidupan herpetofauna 
(amfibi dan reptil). Salah satu wilayah yang diduga masih cukup layak untuk menunjang 
kehidupan herpetofauna adalah Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Daerah 
Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang keanekaragaman jenis herpetofauna di daerah 
tersebut perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi jumlah jenis dan sebarannya sebagai 
data awal keanekaragaman fauna. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (November 
2007–April 2008) dengan metode pengamatan langsung baik siang maupun malam. 
Berdasarkan penelitian diperoleh 42 jenis herpetofauna yang terdiri atas 29 jenis reptil dan 13 
jenis amfibi. Reptil yang diperoleh terdiri atas kadal (empat suku) dan ular (lima suku), 
sedangkan untuk amfibi terdiri dari enam suku. Dua jenis amfibi (Limnonectes kuhlii dan 
Michrohyla achatina) diketahui merupakan jenis endemik Pulau Jawa. Berdasarkan penelitian 
ini dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem di kawasan wisata Goa Kiskendo masih cukup 
bagus sebagai habitat herpetofauna.
sumber
..........................

Peneliti herpetofauna di Indonesia

Peneliti amfibi dan reptil di Indonesia biasanya terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kumpulan orang yang bekerja dalam institusi tertentu (misalnya LIPI dan Universitas); kedua: kelompok minat khusus: bisa berupa mahasiswa yang seringkali mendapat bimbingan dari peneliti institusi dan kelompok minat khusus, serta kelompok ketiga adalah perorangan. Berikut disajikan beberapa kelompok yang mendalami amfibi dan reptil di Indonesia baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Daftar yang ada di sini belumlah lengkap dan akan terus diperbarui seiring dengan penambahan informasi yang masuk ke PHI.
Museum Zoologi Bogoriense bisa dikatakan sebagai salah satu lembaga tertua di Indonesia yang bekerja di bidang taksonomi . Saat ini tercatat 7 orang  yang aktif sebagai peneliti herpetofauna di LIPI yaitu: 1) Irvan Siddik; 2) Mumpuni; 3) Hellen Kurniati; 4) Awal Riyanto; 5) Dadang R. Subasli; 6) Evy Arida dan 7) Amir Hamidy. Boeadi merupakan salah satu pensiunan LIPI yang juga aktif melakukan penelitian amfibi dan reptil. Helen Kurniati membuat situs web database suara katak Indonesia yang sangat bermanfaat bagi peneliti. Koleksi MZB di bidang amfibi dan reptil kerap menjadi rujukan bagi mahasiswa maupun peneliti herpetofauna di seluruh dunia.
Penelitian mengenai amfibi dan reptil di IPB menyebar di berbagai Departemen dan Fakultas seperti di Departemen Biologi FMIPA , Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK  dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fahutan. Mirza D. Kusrini, adalah salah satu pengajar di KSHE yang aktif meneliti amfibi dan reptil. Mirza D. Kusrini juga merupakan salah satu pembina himpunan mahasiswa HIMAKOVA yang di dalamnya terdapat Kelompok Pemerhati Herpetofauna, KPH “Phyton”. Daftar penelitian mahasiswa di bawah bimbingan MDK bisa dilihat pada link berikut.  Beberapa tulisan MDK bisa didownload pada tautan ini.
Penelitian mengenai amfibi dan reptil di UGM didominasi oleh Fakultas Biologi, walaupun juga dilakukan di Fakultas Kehutanan Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan. Staf pengajar yang aktif di bidang ini antara lain Rury Eprilurahman  dan Donan Satria. Kelompok mahasiswa yang aktif di UGM adalah Kelompok Studi Herpetofauna di bawah Fakultas Biologi.
Ahli herpetofauna paling kondang di Indonesia tidak pelak lagi adalah Djoko T. Iskandar dari Departemen Biologi – Sekolah Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Tulisan dari beliau dan juga beberapa hasil penelitian mahasiswa beliau seperti Umilaela bisa diunduh dari website beliau.
Penelitian herpetofauna Universitas Brawijaya diawali oleh Nia Kurniawan dari Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya. Penelitian disini terfokus pada diversitas genus Fejervarya dan artificial reproduction. Saat ini di UB sedang dirintis kelompok studi Herpetofauna dengan kegiatan eksplorasi herpetofauna di Jawa Timur.
Universitas Andalas: Djon Hon Tjong
 Universitas Negeri Papua, Manokwari: Keliopas Krey
 Universitas Cendrawasih: Aditya Karim
 IRATA: Indonesian Reptil and Amphibian Traders Association
 APEKLI: Asosiasi Pedagang Kura-kura dan Labi-labi untuk konsumsi

Kelompok Minat Mahasiswa dan Umum
KPH-IPB: Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) ini awalnya bernama Kelompok Pemerhati Reptil (KPR) yang didirikan oleh angkatan 27 (tahun 1990), kemudian sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan tentang satwa vertebrata dan penelitian mengenai kelompok satwa amfibi di Indonesia, maka pada tahun 1999 di angkatan 34 (tahun 1997) KPR berganti nama menjadi Kelompok Pemerhati Reptil dan Amfibi (KPRA) dengan nama yang tetap sama “Python”. Dengan mempertimbangkan bahwa reptil dan amfibi adalah satu kesatuan dalam ilmu pengetahuan yang terangkum dalam ilmu “Herpetology” maka mulai tahun 2004 di angkatan 38 (tahun 2001) nama KPRA berubah menjadi Kelompok Pemerhati Herpetofauna “Python”. Secara rutin KPH melakukan monitoring tahunan amfibi dan reptile di kampus, selain terlibat pada kegiatan ekspedisi di berbagai kawasan konservasi. Beberapa mahasiswa KPH kemudian melakukan penelitian akhir mengenai amfibi dan reptil di bawah bimbingan Mirza D. Kusrini
KSH-UGM: Kelompok Studi Herpetologi (KSH) adalah sebuah organisasi di Fakultas Biologi UGM yang bergerak dalam pengembangan kajian ilmu Herpetologi di Indonesia.  Kegiatan KSH dapat digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu kajian mengenai segala aspek tentang herpetofauna, penelitian untuk menguak hal baru tentang reptil dan amfibi, serta melakukan konservasi demi kelangsungan hidup reptil dan amfibi.   Kelompok ini juga menerbitkan e-majalah dengan nama herpet News yang bisa didownload melalui website mereka yaitu: http://kshbiogama.blogspot.com/
Biopalas Universitas Sumatera Utara: Biopalas adalah singkatan dari Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup, yakni unit kegiatan mahasiswa di Departemen Biologi FMIPA USU [http://biopalas.blogspot.com/]. BIOPALAS merupakan organisasi minat dan bakat yang mempunyai dasar sebagai pecinta alam dan berkecimpung di bidang studi lingkungan hidup. Anggota organisasi ini semua berasal dari Mahasiswa/i Departemen Biologi FMIPA USU. Walaupun subyek peneltian mereka beragam, namun herpetofauna masuk di dalamnya. Anggota kelompok ini cukup aktif melakukan kegiatan pengamatan herpetofauna dan menerbitkan Herpetologer Mania[http://herpetologermania.blogspot.com/]
Kelompok Pemerhati Herpetologi Salvator – Universitas Andalas.
SIOUX: Rudy Rahardian

Perorangan:
Burhan Tjaturadia, fokus penelitian di Papua
Mistar, fokus penelitian di Sumatera
Mediyansyah, fokus penelitian di Kalimantan
Ahmad Fanani, fokus penelitian di Nusa Tenggara
 Reza Marlon
Deni Purwandana 
Jatna Supriatna

Peneliti asing yang melakukan penelitian di Indonesia atau meneliti menggunakan spesimen dari Indonesia:
Ron Lilley: Snake Patrol Bali
David Bickford: NUS
Richard Shine
Robert Inger
Ives
Tim Jessop
TS Leong
Kate Alexander
Anders Rhodin
Schijfsma
Eric N. Smith
Michael Harvey
Mark Auliya
Jimmy A. McGuire
Graeme Gillespe
Steven Richards
Rafe Brown
Ben Evans
Alexander Haas
Alan Allison
R. Gunther
Annemarie Ohler
Gernot Vogel
Indraneil Das
Masafumi Matsui
Tatsumo Hikida
Masayuki Sumida
Hidetoshi Ota
Kitchener
David Liem
Church  

sumber
..........................
PELATIHAN HERPETOFAUNA
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti bad credit signature loans melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya.
Herpetofauna adalah salah satu pengetahutan ilmu dari zoology yang khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengn herpetofauna. Sedangkan herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptile. Reptil adalah kelompok hewan melata, sedangkan amfibi adalah kelompok binatan yag hidup di dua alam. Mereka merupakan kelompok vertebrata yag bergantung pada suhu lingkungan lebih dikenal dengan ektoterm (Zug, 1993). Negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati memiliki tidak kurang dari 16 % keanekaragaman herpetofauna di dunia. Di Indonesia memiliki sekitar 1.500 jenisherpetofauna yang tersimpan di Museum Zoologi Bandung.  Sedangkan berdasarkan penelitian Van Kampen dan De Roije, di pulau Jawa sendiri memiliki lebih kurang sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan di identifikasi (IUCN, 2008).

MAPFLOFA (Mahasiswa Penyayang Flora Fauna) sebagai organisasi kemahasiswaan yang terdapat di dalam kampus FAHUTAN UNMUL yang berkecimpung dalam kepencintaalaman khususnya penelitian dan pengembangan bidang flora, fauna dan lingkungan hidup. Yang berazaskan pada kelestarian flora dan fauna. Untuk mengasah dan menambah pengetahuan sumber daya anggota dalam pelestarian alam,Mapflofa mengadakan pelatihan dan pengamatan herpetofauna  yang di bimbing oleh raka Syoim yang mempunyai keahlian dan pengalaman dalam ilmu herpetofauna. Pelatihan ini di laksanakan pada hari jum’at dan sabtu (6&7 Maret 2015) di daerah sekitar jogging track Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam  kesempatan kali ini di ajaran apa itu herpetofauna dan bagaimana cara pengamatan serta metode survey seperti :.
·         Metode transekdigunakan untuk menjangkau areal speedt cash advance tucson yang luas dengan waktu yang relatif singkat.  Metode tersebut biasanya hanya menemukan jenis-jenis yang umum terlihat, yaitu jenis yang populasinya relatif besar dan tersebar merata serta jarang bersembunyi.  Akan tetapi bila ada keterbatasan dana, waktu, dan personil, Jaeger (1994) menyebutkan bahwa metode transek merupakan salah satu metode terbaik untuk digunakan.
·         Metode VESmerupakan modifikasi dari metode jelajah bebas dan belt transect.  Metode tersebut dilakukan dengan cara menyusuri berbagai badan air dan mendata jenis yang ditemukan serta keadaan daerah tempat jenis tersebut ditemukan.  Menurut Susanto (2006), metode ini cocok untuk digunakan mendata jenis dan mikrohabitat amfibi.  Akan tetapi, data yang didapatkan tidak dapat mencerminkan keadaan populasi seperti kepadatan.
·         Metode drift-fenced pitfall trapmerupakan modifikasi dari pitfall trap yang digunakan untuk serangga, dengan tambahan pagar untuk mengarahkan hewan yang akan diperangkap.  Metode tersebut cocok digunakan untuk mendata jenis-jenis yang mobil, kecil dan kriptik (Corn 1994).  Mistar (2003) menambahkan bahwa metode tersebut memiliki kelemahan berupa besarnya biaya, waktu, dan personil yang diperlukan.
·         Metode plot kuadratdilakukan dengan cara membuat plot kuadrat di beberapa tempat dan kemudian melakukan pencarian intensif di plot-plot tersebut (Jaeger & Inger 1994).  Menurut Susanto (2006), metode tersebut cocok untuk mendata jenis-jenis kriptik dengan kepadatan yang tinggi.  Akan tetapi metode tersebut tidak cocok untuk mendata jenis kriptik yang sangat mobil.  Metode tree buttres merupakan modifikasi dari metode plot kuadrat. Metode tersebut dilakukan dengan membuat plot disekitar banir pohon dan mendata jenis-jenis yang ada disana (Mistar 2003).
Metode survey ini di kemukakan oleh Mistar (2003), metode survey herpetofauna yang cocok untuk keadaan Indonesia.  Susanto (2006) menyebutkan beberapa metode tersebut diantaranya metode transek, visual encounter survey (VES),drift-fenced pitfall trap (perangkap lubang dengan pagar pengarah), plot kuadrat, dan tree buttres

sumber
............................

PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA ANTARA TWA BANTIMURUNG DENGAN TWA PATTUNUANG DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG SULAWESI SELATAN

Herpetofauna merupakan satwaliar yang penting bagi keseimbangan ekosistem yaitu sebagai salah satu komponetz penting dalam rantai makatzan. Jenis herpetofauna &pat dijumpai di berbagai tipe habitat salah satzrnya adalah habitat karst. Di Itzdotzesia, kawasan yattg memiliki ekosistem karst terbesar adalah l'aman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN BaBul), Propinsi Sulawesi Selatan. TWA Batztimurutzg dan 7WA Pattunuatzg termasuk ke dalam h a s a n TN BaHul yang memiliki kondisi habitat yang berbeda. Perbedaan kondisi habitat 1 aktivitas manusia akan berpenganih terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna pada kedua kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedann keanekaragaman jetzis herpetofautza di TWA Bantimzrrt~ng dengan TW'A Pattzmuang. Penelitian dilakukatz di TWA Bantimurung dan TWA Pattunuang, 1N BaBul (tatzggal 10-18 Agustus 2007). Pengambilan data herpetofauna menggrnakan metvde Visual Encozrnter Survey (TIES) pada habitat terestrial dan habitat akuatik. Berdasarkan petzelitian yang dilakzikan paoh di TWA Bantimurung ditemukan 4 jenis amjibi darz 13 jenis reptil dun di TWA Pattunuatzg ditemuka~z 4 jetzis amjibi datz 16 jetzis reptil. Nilai keanekaragama~?h erpetofauna yang diperoleh di TWA Pattunuang (2,396) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai keanekaragamatz herpetofauna di TWA Bantimurung (2,058) .Hal tersebzrt terjadi kkarena 7WA Bantimurzing merzrpaka7 suatu kawasaiz wisata massal sehingga memungkinhz rusaknya sebagian habitat alami kawasan tersebut seperti banyaknya sampah yang menumpuk dan kondisi jisik perairan yang kuratzg baik, sedangkan kot~disi habitat di TWA Pattunuatzg masih alami karena belum hanyak campur tangan ntanzrsia .sehiitgga menyediakaiz habitat bagi jenis-jenis alami.
sumber
..........................

HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Abstract
Abstrak— Pulau Bali terkenal akan objek wisatannya, dari kekayaan budaya maupun alamnya yang menawan. Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan kawasan konservasi yang di dalamnya memiliki berbagai ekosistem yaitu savana, hutan bakau, hutan muson dan hutan pegunungan. Pengetahuan mengenai keragaman herpetofauna yang terdapat dalam TNBB ini dapat digunakan sebagai modal dalam pengembangan ekowisata. Dari penelitian dan ditunjang hasil studi pustaka terungkap sebanyak 32 jenis herpetofauna tersebar di berbagai tipe ekosistem di TNBB. Dalam makalah ini disajikan pertelaan dari beberapa jenis dilengkapi infomasi biologi dan ekologi dan waktu pengamatan.
sumber
.................................

MINGGU, 10 JANUARI 2016

Hubungan Masyarakat, Herpetofauna dan Lingkungan Wana Wisata Rowo Bayu Banyuwangi.

Wana Wisata Rowo Bayu merupakan sebuah ekosistem yang masih alami. Tempat tersebut berlokasi di Desa Bayu,  Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Rowo Bayu terletak pada ketinggian ±630m dpl dan dikelilingi oleh hutan pinus yang lebat. Terdapat tiga sumber mata air yang alirannya terkumpul pada satu telaga. Sumber mata air tersebut adalah Sumber Kaputren, Sumber Dewi Gangga, dan Sumber Kamulyan. Keberadaan sumber mata air di dataran tinggi  menjadikan Rowo Bayu bersuhu sejuk dan memiliki kelembaban yang cukup tinggi serta mendukung kehidupan beberapa hewan seperti herpetofauna. Herpetofauna adalah kelompok hewan yang terdiri atas reptil dan amfibi.
Hampir di setiap daerah genangan air di daerah Rowo Bayu ditemukan banyak kecebong, Hal tersebut menandakan bahwa banyak terdapat katak dan kodok. Apabila katak dan kodok ada maka diperkirakan bahwa ada juga predatornya, yaitu ular. Tim peneliti menemukan microhabitat dari sejenis katak yang dikenal dengan nama ilmiahMicrohyla achatina. Kebeadaan ular dibuktikan ketika tim peneliti mini melakukan pengamatan dijumpai ular yang sedang melata di perairan.
Menurut juru kunci dan warga sekitar Rowo Bayu, memang masih banyak herpetofauna yang ada disana. Mereka sering menjumpainya pada malam  hari. Pengamatan dilakukan pagi sampai sore hari sehingga tidak banyak herpetofauna yang dapat ditemukan.
Narasumber juga menjelaskan bahwa hewan yang sering dijumpai adalah reptil. Suatu ketika ada ular yang masuk ke dalam salah satu warung yang ada di pinggir telaga, Kemudian ular tersebut dibunuh karena dianggap mengganggu. Biasanya ular ataupun herpetofauna yang lain dibiarkan saja asalkan tidak mengganggu. Sebagian besar masyarakat sekitar Rowo Bayu belum mengetahui peran ekologis dari herpetofauna tersebut. Peran ekologis dari herpetofauna adalah bertindak sebagai mangsa sekaligus predator. Katak dan kodok contohnya, keduanya dapat berperan sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk dan nyamuk, sekaligus sebagai mangsa dari ular dan hewan karnivora lainnya.
Masyarakat masih menjaga habitat sekitar Rowo Bayu  sehingga secara tidak langsung masyarakat ikut serta menjaga habitat dan keberadaan herpetofauna. Semoga lingkungan Rowo Bayu tetap terjaga kealamian dan kelestariannya. Besar harapan lingkungan Rowo Bayu lebih terawatt lagi agar dapat lebih menarik wisatawan dan menjaga kelestarian hewan yang tinggal disana, terutama herpetofauna.
sumber
...............................
Herpetofauna atau reptil dan amfibi adalah kelompok satwa yang sering terabaikan dalam pengelolaan. Padahal banyak juga jenis herpetofauna yang endemik dan terancam punah. Kelompok satwa ini banyak yang bersifat nokturnal dan memiliki preferensi habitat yang spesifik. Selain itu beberapa jenis reptil dianggap berbahaya bagi manusia seperti buaya dan jenis-jenis ular berbisa, sehingga herpetofauna sering kali dianggap susah diteliti. Sebenarnya kalau karakter kelompok satwa ini dipahami, penelitian herpetofauna tidaklah sulit.

Herpetofauna terestrial, khususnya amfibi adalah kelompok satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air. Oleh karena itu inventarisasi herpetofauna bisa dilakukan di sekitar sungai atau perairan air tawar lain di mana peluang perjumpaan terhadap satwa ini lebih besar. Hampir semua jenis amfibi dan beberapa jenis reptil aktif di malam hari sementara beberapa jenis yang lain juga aktif di siang hari, sehingga pengamatan satwa ini sebaiknya juga dilakukan pada malam dan siang hari, tergantung dari kelompok satwa target yang diteliti. Apabila penelitian lebih terfokus pada jenis amfibi, maka pengamatan hendaknya dilakukan pada malam hari, sementara apabila jenis yang diteliti adalah jenis yang diurnal, penelitian hendaknya dilakukan sesuai waktu aktif satwa tersebut. 

Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, salah satu yang paling mudah adalah Visual Encounter Survey (VES) berbasis transek/jalur. Dalam metode ini pengamat berjalan menyusuri jalur yang sudah ditentukan dalam periode waktu tertentu untuk mencari herpetofauna. Setiap individu herpetofauna yang terlihat selama pengamatan ini dicatat jenis serta jumlahnya. Untuk keperluan identifikasi, individu herpetofauna yang belum bisa dipastikan jenisnya, bila memungkinkan, ditangkap untuk identifikasi lebih lanjut. Jalur yang digunakan dalam metode VES ini bisa berupa jalan setapak hutan atau alur sungai dan penempatan jalur-jalur pengamatan tersebut sebaiknya mewakili kondisi vegetasi kawasan yang diteliti. Lama waktu pengamatan ditentukan sesuai dengan tingkat capaiann hasil yang diharapkan, misalnya 1 jam untuk setiap 100 m transek atau 2 jam setiap 100 m.

Inventarisasi herpetofauna menggunakan metode ini telah diterapkan di beberapa kawasan konservasi, misalnya di TN Gunung Merbabu pada tahun 2010, TN Tanjung Puting tahun 2010, TN Gunung Merapi tahun 2011, dan CA Teluk Adang tahun 2012. Pada kegiatan inventarisasi herpetofauna yang dilakukan di CA Teluk Adang, jalur pengamatan ditempatkan pada berbagai tipe vegetasi yang ada untuk mewakili kondisi kawasan seperti hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dsb. Dalam kegiatan tersebut telah teridentifikasi sebanyak tujuh jenis amfibi dan delapan jenis reptil yang menghuni CA Teluk Adang, dan tiga jenis di antaranya termasuk dalam kategori Near Threatened atau hampir terancam punah berdasarkan IUCN Redlist and Criteria.

Visual Encounter Survey adalah salah satu metode yang paling mudah dilakukan untuk inventarisasi herpetofauna karena selain waktu dan kebutuhan personelnya tidak banyak, biaya yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Meski demikian masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
sumber
.................................

Minggu, 13 Februari 2011

PENGARUH STRUKTUR VEGETASI TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI PETAK 6, HUTAN WANAGAMA I, GUNUNGKIDUL




INTISARI
                     Hutan Wanagama I merupakan hutan pendidikan yang memiliki berbagai jenis spesies baik flora maupun fauna. Salah satu jenis satwa liar yang ada di kawasan ini adalah kelas herpetofauna. Struktur vegetasi yang berbeda pada tiap petak di wanagama dapat mempengaruhi kondisi satwa liar yang ada di dalamnya termasuk herpetofauna. Pada sisi yang lain, reptil dan amfibi adalah satwa yang relatif sensitif terhadap pengaruh manusia. Penelitian mengenai herpetofauna sendiri masik minim, oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian local seperti di Wanagama I ini. Sehingga hasil penelitian mampu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan satwa liar herpetofauna. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh struktur vegetasi terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di petak 6 hutan Wanagama I Gunung Kidul.
            Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman herpetofauna adalah Visual Encounter Surveys (VES) with Line Transek yaitu dengan membuat transek garis sepanjang 250 m sebanyak 3 kali ulangan dengan jarak antar transek 50 m, lebar transek 20 m, transek pertama ditempatkan dengan jarak 10 m dari tepi sungai. Struktur vegetasi diamati dengan membuat petak ukur (PU) protocol plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m.
            Keanekaragaman herpetofauna dihitung dengan rumus Indeks Shannon Wiener dan hasilnya tidak dapat terdefinisi, sedangkan analisis yang dilakukan untuk faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis herpetofauna dengan analisis regresi linier, tidak bisa dicari suatu persamaan karena data keanekaragaman herpetofauna di petak 6 sendiri adalah 0 (tidak ditemukan herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu pengaruh antara keanekaragaman herpetofauna dengan struktur vegetasi.

Kata kunci : keanekaragaman jenis herpetofauna, struktur vegetasi.
Pendahuluan
                     Hutan Wanagama I merupakan hutan pendidikan yang memiliki berbagai jenis spesies baik flora maupun fauna. Salah satu jenis satwa liar yang ada di kawasan ini adalah kelas herpetofauna. Struktur vegetasi yang berbeda pada tiap petak di wanagama dapat mempengaruhi kondisi satwa liar yang ada di dalamnya termasuk herpetofauna. Pada sisi yang lain, reptil dan amfibi adalah satwa yang relatif sensitif terhadap pengaruh manusia. Penelitian mengenai herpetofauna sendiri masik minim, oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian local seperti di Wanagama I ini. Sehingga hasil penelitian mampu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan satwa liar herpetofauna.
  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh struktur vegetasi terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di petak 6 hutan Wangama I, Gunungkidul. Berdasarkan teori bahwa herpetofauna menempati habitat yang sangat bervariasi mulai dari akuatik, semi akuatik, terestrial, fusorial, dan arboreal, dan juga mengingat sebagian besar perubahan habitat di hutan Wanagama I terjadi secara suksesi atau kebalikannya, yaitu retrogresif. Oleh karena itu, konsep teori suksesi merupakan dasar yang sangat berguna untuk memprediksi adanya respon satwa liar terhadap perubahan habitat. Dalam penelitian kali ini habitat berupa pendekatan struktur vegetasi yang ditanam di hutan Wanagama I yaitu meliputi keanekaragaman dari masing-masing tingkat pertumbuhan dan kepadatannya. Herpetofauna merupakan salah satu kelompok satwa yang mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan, oleh karena itu herpetofauna dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan.  Perubahan kondisi lingkungan pada suatu ekosistem dapat dilihat dari perubahan populasi dan keanekaragaman jenis herpetofauna.

Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Hutan Wanagama I Gunung Kidul pada petak 6.Penelitian ini dilakukan pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2009, mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Alat yang digunakan antara lain: GPS, Kompas,Klinometer, Thermohigrometer,Tabung okuler, Density board, Rollmeter, Peta Wanagama 1, Plastik berbagai ukuran, Spidol marker, Kaliper, Timbangan analitik/pesola, Kamera (spesifikasi foto macro).
Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman herpetofauna adalah Visual Encounter Surveys (VES) with Line Transek yaitu dengan membuat transek garis sepanjang 250 m sebanyak 3 kali ulangan dengan jarak antar transek 50 m, lebar transek 20 m, transek pertama ditempatkan dengan jarak 10 m dari tepi sungai. Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan menangkap jenis herpetofauna yang ditemui apabila dimungkinkan, apabila tidak memungkinkan untuk ditangkap maka dicatat penciri penting dari jenis tersebut dapat berupa warna atau pola yang dapat menjadi ciri khas. Setelah dilakukan penangkapan maka tindakan selanjutnya adalah melakukan morfometri yaitu diukur Snout Vent Length (SVL), Total Length (TL), berat , serta dicatat aktivitas saat ditemukan, jenis substrat dimana jenis tersebut ditemukan.
Struktur vegetasi diamati dengan membuat petak ukur (PU) protocol plotberbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m. Jarak antar PU adalah 200m dengan jumlah minimal 15 PU yang dianggap akan mewakili. Protokol plot tersebut selanjutnya dibagi menjadi 4 arah mata angin, yang masing-masing diambil data mengenai penutupan semak, belukar, tiang, dan pohon menggunakan Density Board. Analisis vegetasi dilakukan dengan pembuatan nested sampling di dalam protokol plot dengan ukuran 2 X 2 m untuk semai dan tumbuhan bawah, 5 X 5 m untuk sapihan, 10 X 10 m untuk tiang, dan 20 X 20 m untuk pohon. Kemudian diukur tinggi tegakan, luas bidang dasar, dan keadaan fenologi ( berbunga, berbuah, bersemi, dan meranggas ).Keanekaragaman jenis herpetofauna dianalisis menggunakan indeks Shannon Wiener. Analisis dilakukan menggunakan program excel “biological statistic”.
H =                        
H: Index Shannon-Wienner   
ni : Jumlah individu spesies i
N   : Jumlah total Individu
Kelimpahan jenis vegetasi dihitung mengunakan indeks Simpson.
   
D= indeks keanekaragaman jenis       
 ni=jumlah individu spesies i
N= jumlah total jenis                    
S = jumlah jenis
         Untuk mengetahui faktor-faktor vegetasi dan lingkungan yang berpengaruh terhadap keanekaragaman burung di petak 6 hutan Wanagama I Gunung Kidul maka digunakan analisis statistik. Disini digunakan regresi linear dimana suatu variabel akan berpengaruh terhadap keanekaragaman burung apabila diperoleh nilai signifikan < 0,05.
Hasil
1.Keanekaragaman jenis herpetofauna
Tabel 1. Herpetofauna yang ditemui pada petak 6
No
Petak
Jumlah
 1
6
0
ISW=tidak terdefinisi
2.Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis herpetofauna
            Dengan menggunakan analisis regresi linier, diuji apakah factor struktur vegetasi berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di hutan Wanagama I Gunung Kidul. Sebagai dependent variable adalah keanekaragaman herpetofauna, sedangkan sebagai independent variable adalah kepadatan semak, kepadatan belukar, kepadatan tiang, kepadatan pohon, keanekaragaman semai, keanekaragaman sapihan, keanekaragaman tiang, keanekaragaman pohon. Dari analisis yang dilakukan, tidak bisa dicari suatu persamaan karena data keanekaragaman herpetofauna di petak 6 sendiri adalah 0 (tidak ditemukan herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu pengaruh antara keanekaragaman herpetofauna dengan struktur vegetasi.

Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dengan metode point count, tidak diperoleh satu pun herpetofauna di petak 6 hutan wanagama I, Gunungkidul. Hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Shannon Wiener diperoleh keanekaragaman jenis herpetofauna di petak 6 hutan pendidikan wanagama I juga tidak dapat terdefinisi karena tidak ada herpetofauna yang ditemukan, sehingga saat dilakukan perhitungan angka 0 dibagi 0 tidak mampu didefinisi.  Hasil pengamatan herpetofauna yang dilakukan di petak 6 hutan pendidikan wanagama I tidak didapatkan herpetofauna, hal itu dikarenakan pengamatan herpetofauna dilakukan pada siang hari sedangkan herpetofauna bersifat nocturnal (hewan yang keluar pada malam hari). Sehingga pada hasil pengamatan sulit ditemukan herpetofauna di petak 6 hutan pendidikan wanagama I.
Petak 6 mempunyai struktur vegetasi yang belum mencapai tingkatan pertumbuhan tertinggi yaitu pohon. Kawasan ini masih didominasi tiang dan hanya beberapa plot saja yang dapat ditemukan tingkatan pohon dengan jenis yang masih sedikit. Kondisi tutupan vegetasinya pun masih renggang dan masih banyak cahaya yang mampu masuk sampai ke lantai hutan. Amphibi biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang mempunyai tutupan vegetasi yang cukup lebat dan tutupan seresah yang tebal sebagai tempat bernaung. Sedangkan untuk kelompok reptile banyak ditemukan di lokasi yang pepohonannya cukup banyak dan ruang terbuka di atas bebatuan untuk berjemur. Tidak ditemukannya herpetofauna mungkin juga dikarenakan ketidak telitian dalam pencarian herpetofauna di petak 6, meskipun kondisi di kawasan ini masih mendukung keberadaan herpetofauna.
            Perhitungan dilakukan menggunakan metode R statistik dan hasil yang di dapat menyatakan bahwa tidak bisa dicari suatu persamaan karena data keanekaragaman herpetofauna di petak 6 sendiri adalah 0 (tidak ditemukan herpetofauna). Jadi, tidak bisa dicari suatu pengaruh antara keanekaragaman herpetofauna dengan struktur vegetasi. Hal ini mungkin dikarenakan data hasil pengamatan yang kurang lengkap dan jumlah herpetofauna yang ditemukan nilainya 0 sehingga untuk mengetahui pengaruh vegetasi pun sulit dilakukan analisis.

Kesimpulan
Struktur vegetasi tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung di petak 6 hutan Wanagama I Gunung Kidul.
Daftar pustaka
 Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.
Soetrisno, Kadar. 1996. Silvikultur. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda.
Tim Laboratorium Satwa Liar. 2008. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Riset dan Manajemen Satwa Liar I. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta.

sumber
......................

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemelimpahan Herpetofauna di Petak 13, Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta


Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemelimpahan
Herpetofauna di Petak 13, Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta

Oleh :
Drajat Dwi Hartono

INTISARI
Herpetofauna merupakan hewan berdarah dingin yang artinya suhu dalam tubuhnya tergantung dengan suhu lingkungan disekitar untuk bertahan hidup sehingga keberadaannya sangat terpengaruh kondisi habitatnya. Studi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi Petak 13 Wanagama I memiliki kondisi khas berupa batuan karst serta merupakan kawasan hutan rehabilitasi. Kondisi Petak 13 yang diteliti adalah penutupan tajuk, suhu, persentase batang rebah, persentase penutupan seresah.
Metode pengambilan data dengan menggunakan petak ukur line transek 250x20 meter sebanyak tiga buah dan dilakukan pengambilan data jumlah dan jenis herpetofauna, data lingkungan baik analisis vegetasi, serta kondisi lingkungan fisik di masing-masing line transek. Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kemelimpahan herpetofauna dianalisis nilai signifikansinya secara statistik. Kemelimpahan indivudu dihitung dengan membandingkan jumlah individu yang dijumpai dengan luas petak ukur.
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa keempat faktor yang diteliti yaitu  penutupan tajuk, suhu, persentase batang rebah, persentase penutupan seresah tadi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemelimpahan herpetofauna di petak 13. Jenis herpetofauna yang dijumpai di petak 13 adalah Kadal Kebun (Eutropis multifasciata) sebanyak satu ekor dan Cicak Pohon (Sphenomorphus sanctus) sejumlah empat ekor.

sumber
.....................

24 September 2013

KP3 Herpetofauna Herping di Way Kambas


Minggu, 8 September 2013 Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati (KP3) Herpetofauna melakukan pengamatan di salah satu rawa di resort Way Kanan , Taman Nasional Way Kambas. Pengamatan tidak hanya dilakukan oleh kelompok studi KP3 H saja, tetapi juga dilakukan bersama dengan kelompok studi yang lain yang berada di bawah naungan Forestation FKT UGM, seperti KP3 Burung,  Primata, Ekowisata dan KP3 Wetland. Kegiatan pengamatan untuk tiap-tiap kelompok studi ini sudah diagendakan didalam satu rangkaian kegiatan Forestation UGM yaitu “Jelajah Konservasi goes to Way Kambas” yang dilakukan mulai 6-11 September 2013.
Di acara Jelajah Konservasi ini, setidaknya ada 9 anggota aktif KP3 Herpetofauna yang ikut, sehingga memudahkan dalam koordinasi saat pengamatan dimulai. Yang ikut dalam pengamatan KP3 Herpetofauna ini adalah Arok (koor KP3 H), Ikhwan, Siti Harjanti, Dewi, Yuniar, Andoek, Dayat, Nadia, Yosi, dan Tedi. Untuk Tedi, ini adalah kali pertama dia ikut herping, karena sebelumnya tergabung dalam KP3 Ekowisata. Saat ditanya alasannya, Tedi menjawab, bahwa dia tertarik dan ingin tahu bagaimana KP3 H saat melakukan pengamatan langsung dilapangan.   
  Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB, rombongan KP3 Herpetofauna segera bersiap untuk melakukan pengamatan, karena pemandu kami sudah memberi arahan bahwa di dekat sungai banyak terdapat herpetofauna berupa amphibi dan reptil (berupa ular) 'jika beruntung'. Hampir setengah jam lamanya, kami menyusuri sungai namun hasilnya nihil. Ini terjadi karena dari kami sendiri memang menyadari, bahwa herpetofauna adalah hewan nocturnal, mereka baru akan keluar saat malam hari dan sangat sulit untuk ditemui meski saat petang menjelang. Akhirnya kamipun menunda waktu pengamatan sampai petang datang.
Dalam pengamatan ini ternyata kami sedang beruntung, karena salah seorang yang sebelumnya selalu mengantar kami menggunakan truk, yaitu pak Dedi, ternyata seorang pawang ular, dan cukup paham lokasi-lokasi mana saja yang banyak terdapat reptil dan amphibi di Way Kanan ini. Akhirnya kami diantar menggunakan truk menuju sebuah rawa di Way Kanan. lokasi tersebut kami tempuh sekitar 15 menit dari kantor Way Kanan, dan sesampainya disana kami menunggu sampai petang terlebih dahulu dan menunggu suara satwa seperti katak mulai berbunyi. Sembari menunggu petang datang, pak Dedi sedikit menceritakan pengalamannya dulu saat menjadi pawang ular, bagaimana trik saat berhadapan dengan ular, penanganan saat digigit ular di hutan dan perlengkapan sederhana yang perlu dibawa saat masuk hutan, dan banyak hal lainnya yang beliau bagikan kepada kami. Diskusi ini sangat berarti untuk kami, selain untuk mengisi waktu kosong saat itu, juga menambah wawasan kami, terlebih saat berada di hutan.
Saat yang kami tunggu akhirnya datang, petang mulai datang dan suara katak mulai terdengar, kamipun segera mulai melakukan ‘herping’. Metode pengamatan yang kami gunakan dalam pengamatan ini adalahVisual Encounter Survey atau sering disebut dengan VES. Ini adalah metode pengamatan dilapangan yang dibatasi oleh waktu. sebagai ilustrasinya, dilapangan kita diberi waktu 20 menit untuk mencari spesies herpetofauna dilapangan, sehingga, jika waktu 20 menit tersebut sudah habis maka pengamatan kita hentikan, jika kita masih ingin melanjutkan pengamatan, baru nanti kita lanjutkan lagi namun dibatasi waktu yang sama yaitu 20 menit. Metode ini adalah salah satu metode yang sering kami gunakan saat pengamatan.
Waktu yang kami gunakan untuk pengamatan kali ini adalah 50 menit, dan kami terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berada disebelah kanan dan kiri sisi rawa. Pukul 19.00 WIB, kami selesai ‘herping’ yang kemudian segera bergegas untuk kumpul kembali dengan teman-teman dari kelompok studi lain, seperti KP3 Burung, dan lainnya yang sudah menunggu kami di kantor Way Kanan. Karena terbatasan waktu, kami kemudian memilih untuk melakukan identifikasi di base camp kami, yaitu Plang Ijo yang jaraknya sekitar 13 km dari Way Kanan. Kemudian kami melakukan identifikasi  selama hampir 2 jam di base camp, mulai pukul 21.45 – 23.30 WIB. Dari identifikasi yang kami lakukan, kami menemukan 11 individu katak (amphibi), yang terdiri dari 4 spesies, yaitu :
No
Jenis
Jumlah
1
Philautus sp.
1
2
Rana nicobariensis
4
3
Polypedates leucomystax
1
4
Rana erythraea
5
Untuk jenis Philautus sp. Kami kemarin belum berhasil mengidentifikasi secara detail, namun kami sudah mengetahui bahwa spesies tersebut masuk kedalam famili Rhacoporidae. Dari semua jenis katak yang kami peroleh, kebanyakan berada di lumpur, di seresah, dan aktivitasnya sedang diam. Kami cukup senang dengan hasil herping yang kami peroleh kemarin, karena meski dengan waktu yang cukup singkat, kami bisa mendapatkan beberapa jenis katak. Hal itu menandakan bahwa kekayaan jenis herpetofauna di Way Kambas cukup tinggi, karena TN Way Kambas ini merupakan kumpulan dari 5 tipe ekosistem hutan, mulai dari riparian, rawa, mangrove, pantai, dan hutan hujan tropis. Namun kami juga sedikit kecewa, karena kami tidak mendapatkan satupun reptil saat pengamatan tersebut.
Namun, keesokan harinya (9/9/13), saat kami mengunjungi PKG yaitu Pusat Konservasi Gajah, tidak sengaja, Arok menemukan satu jenis reptil, yaitu Draco sumatranus, sekitar pukul 10.00 WIB, didekat kolam pemandian gajah dan aktivitasnya sedang diam menunggu mangsa. Kekecewaan kami karena tidak menemukan reptil pada pengamatan sebelumnya cukup terobati, dengan penemuan satu jenis reptil ini. 
otal yang kami dapatkan dari kunjungan singkat di Way Kambas ini, kami menemukan 4 jenis katak, dan 1 jenis reptil. Hasil yang cukup membanggakan dan harapannya dapat dilakukan inventarisasi satwa terutama jenis herpetofauna di TN Way Kambas, karena masih terbatas informasi yang disediakan dan masih minim pengamatan atau penelitian mengenai herpetofauna disini. Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengamatan yang kami lakukan saat di TN Way Kambas. (Ikhwan_KP3H)
sumber

..........................