Sabtu, 08 Oktober 2016

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA (part 2)

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA  (part 2)


.........................................................

METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result,search,result.search result  :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,biodiversity ,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result ,search,result.search result  :

H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan metode penelitian herpetofauna  dari sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat

Just trying to summarize everything connected with metode penelitian herpetofauna  from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA  ?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA  ATAU  MENJADI VOLUNTEER UNTUK KAMI...(+62)85866178866  ( whatsapp only )
Link chloepedia  :
Herpetofauna 1
herpetofauna  2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2

Metode penelitian herpetofauna
dentifikasi katak
  1. 1. Ordo Gymnophiona• Latar Belakang Ordo Caudata Ordo Anura Data mengenai Amfibi amfibi di Indonesia sangat minim Habitat dan sumber makanan yang berkurang Rawa-rawa Gampong Tipe Bakoy Habitat Area persawahan Perumahan penduduk
  2. 2. •Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian dalam latar belakangmasalah, yang menjadi rumusan masalah dalampenelitian ini adalah bagaimana keanekaragaman amfibikhususnya Ordo Anura di kawasan Gampong Bakoy.•Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan diadakannya penelitianini adalah untuk mengetahui keanekaragaman amfibikhususnya Ordo Anura di Gampong Bakoy KecamatanIngin Jaya Kabupaten Aceh Besar.
  3. 3. •Manfaat penelitian1. Untuk melengkapi data dan informasi mengenai jenis-jenis amfibi khususnya Ordo Anura di Gampong BakoyKecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar.2. Menyediakan bahan studi lebih lanjut mengenai amfibikhususnya Ordo Anura untuk kepentingan pengetahuan danpelestarian.
  4. 4. TINJAUAN PUSTAKA•Taksonomi Amfibi Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4.000 jenis (Halliday & Adler, 2000). Goin, Goin & Zug (1978) memasukkan sistematikaamfibi kedalam susunan klasifikasi sebagai berikut:Kingdom : AnimaliaPhylum : ChordataSubphylum : VertebrataClass : AmphibiaOrdo : Gymnophiona, Caudata dan Anura
  5. 5. •Morfologi Amfibia. Kodok• Berkaki pendek• Tidak pandai melompati• Memiliki kulit yang tebal dan kasar b. Katak •Berkaki panjang •Pandai melompat, dan lompatannya jauh •Memiliki kulit mulut dan tertutup lendir
  6. 6. •Habitat Amfibi Habitat utama amfibi adalah hutanprimer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anaksungai, kolam dan danau (Mistar, 2003). •Peranan Amfibi Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagikehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupunekonomis.
  7. 7. METODE PENELITIAN•Metode dan Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah metode VES (Visual Encounter Survey/SurveiPerjumpaan Visual) dengan Line Transek. Sedangkan survei lokasi dilakukan pada sorehari sebelum pengamatan.
  8. 8. •Tempat dan Waktu Penelitian
  9. 9. •Populasi dan Sampel Penelitiana. Populasi Penelitian Populasi pada penelitian adalah semua jenis amfibi(Ordo Anura) yang terdapat di Gampong Bakoy.b. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah semua jenis amfibi (OrdoAnura) yang ditemukan di area penelitian sepanjang jalurline transek.
  10. 10. •Alat dan Bahan 2. Pengumpulan specimen A. Alat •Headlamp dan baterai •Ember specimen 1. Pembuatan transek •Spidol permanen pengamatan •Jam tangan/stop watc • Meteran •Alat tulis • Kompas •Buku panduan • Tali rafia identifikasi amfibi •Kaliper3. Pengukuran factor lingkungan •Timbangan/neracaThermometer pegas (5, 10,100,250 gr)Higrometer •Tabung sampelpH meter •KapasAlat dokumentasi •Kertas label dankamera dan baterai benang •Kaca pembesar
  11. 11. B. Bahan •Alkohol 70 % •Formalin 4 %
  12. 12. •Prosedur Kerja Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :a. Dilakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitianb. Ditentukan titik hitung di sepanjang line transek dan membuat batas daerah penelitian.c. Dipersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitiand. Diukur parameter lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban udara. Dilakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik yang telah ditentukan sebelumnya.
  13. 13. e. Dimasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam emberyang telah diberi label.f. Dibius hewan sampel yang ditemukan dengan alkohol 70 %.g. Dihitung jumlah hewan sampel yang didapat.h.Dicatat data morfometri dan data pendukung lainnya.i.Didokumentasikan hewan sampel yang ditemukan.j.Diidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan tabelidentifikasi sesuai dengan literatur buku.k.Diawetkan sejumlah hewan sampel yang ditemukan denganformalin 4%.
  14. 14. • Teknik Analisis Data a. Keanekaragaman jenis amfibi Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakanIndeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997). Nilai inikemudian akan digunakan untuk membandingkankenekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya. ni ni H= −Σ x ln N N Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah individu seluruh jenis
  15. 15. 2. Kemerataan jenis amfibi Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untukmengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian(Bower & Zar 1977). H’ E= Ln S Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan
  16. 16. 3. Frekuensi jenis- Frekuensi Jenis Jumlah plot ditemukan jenis KR = x 100% Jumlah total plot pengamatan - Frekuensi Relatif (Suin, 2002 dan Cox, 1976) Frekuensi Jenis FR = x 100% Jumlah total frekuensi jenis
..........................

Jumat, 27 Februari 2015

Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!


Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering dipakai Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toadCommon Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).

Kodok ini memiliki panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011).

Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).

Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.

Dilaporkan bahwa jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali. Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar, dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?

Untuk itu, bagi para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.

Pustaka
Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes, A. 2011.  Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Menzies,  J. 1976.  Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.


Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)
Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering dipakai Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toadCommon Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).

Kodok ini memiliki panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011).

Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).

Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.

Dilaporkan bahwa jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali. Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar, dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?

Untuk itu, bagi para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.

Pustaka
Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes, A. 2011.  Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Menzies,  J. 1976.  Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.


Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)

..................................

SEBARAN SATWA LIAR DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR (WILDLIFE DISTRIBUTION IN CAMPUS OF BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY)

7:56 PM  Laporan  No comments
ABSTRAK
Pengamatan pola penyebaran satwa liar di sekitar kampus IPB Dramaga Bogor dilakukan  untuk mengetahui sebaran satwa liar yang ada di sekitar Kampus IPB Dramaga Bogor. Dengan adanya informasi tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi pasti mengenai sebaran satwa liar yang ada di kampus IPB Dramaga Bogor. Pengamatan dilakukan di kampus IPB Dramaga Bogor yang dibagi menjadi empat site area pengamatan. Pengamatan satwa liar dilakukan selama 6 kali ulangan yang dibagi menjadi dua kali waktu pengamatan setiap kali ulangan yaitu pada pagi dan sore hari. Metode yang digunakan dalam pengambilan data, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metoda langsung dilakukan dengan mengamati diam, scan sampling, dan penjelajahan. Sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan pemasangan live trap. Satwa liar yang ditemukan antara lain dari kelas mamalia seperti Bajing (Callossciurus notatus), Tupai (Tupaidae), Kelelawar (Rhinolophidae) dan Garangan (Herpestes javanicus), kelas aves yaitu Walet (Collocalia linchi), Tekukur (Streptopelia chinensis), Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis), Burung Gereja (Paser montanus), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Wiwik Uncuing (Cacomantis sepulclaris), Cekakak Sungai (Todirhampus choloris) dan Bubut Alang-alang (Centropus bengalensis) dan dari kelompok herpetofauna hanya ditemukan Bunglon (Bronchochela jubata).
Kata Kunci : Keanekaragaman, Satwaliar, Sebaran




PENDAHULUAN


Kampus IPB Dramaga merupakan kampus yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan luas 256,97 hektar, kampus IPB Dramaga memiliki tipe vegetasi yang bervariasi. Vegetasi yang bervariasi ini mencakup vegetasi homogen maupun campuran. Kampus IPB Dramaga  memiliki vegetasi mulai dari semak, padang rumput, tegakan karet, tegakan pinus, tegakan sengon, hutan campuran, arboretum bambu, dan taman. Dengan vegetasi yang beragam, kampus IPB dapat menjadi sebuah habitat yang memadai bagi keanekaragaman hayati, khususnya satwa liar. Areal kampus IPB Darmaga masih dapat dijumpai berbagai jenis mamalia, burung, ikan maupun reptil.  Keberadaan jenis-jenis satwaliar tersebut bagi IPB merupakan kekayaan yang dapat mendukung terciptanya suasana kampus yang selaras dengan lingkungan alami maupun sebagai obyek penelitian (Hernowo 1991). 
Demi mencegah hilangnya keberadaan satwaliar, maka diperlukan tindakan untuk menjaga ekosistem satwaliar itu sendiri. Hal ini membutuhkan informasi persebaran terbaru agar data yang diperoleh dapat memperbaharui data sebelumnya. Dengan mengetahui persebaran satwaliar di kampus IPB Dramaga, khususnya sekitar kandang Fakultas Peternakan maka dapat diperoleh homerange dari satwa liar tertentu. Hal ini dapat memudahkan untuk mempelajari prilaku satwa.
Berdasarkan latar belakang di atas, pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis spesies, jumlah dan penyebaran satwa yang berada si sekitar kandang fakultas peternakan IPB yang termasuk kedalam site lima plot tiga.
METODE PENELITIAN
Pengamatan dilakukan di site lima plot tiga yang merupakan kawasan sekitar kandang Fakultas Peternakan, Kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga. Pengamatan dilakukan selama enam kali pengamatan. Mulai dari tanggal 9 – 21 Maret 2012.  Pengamatan ini dilakukan pada pagi hari sekitar pukul (06.00-07.30) dan sore hari pukul (17.00-18.00) WIB. Alat dan bahan yang digunakan selama pengamatan yaitu  binokuler, tally sheet, field guide, alat tulis, dan buku panduan lapang.
Metode yang digunakan dalam pengambilan data, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metoda langsung dilakukan dengan mengamati diam, scan sampling, dan penjelajahan. Sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan pemasangan live trap dan perekaman suara.
Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder mengenaisebaran satwa liar. Data yang dikumpulkan selama pengamatan meliputi waktupenemuan satwa, posisi penemuan satwa, dan aktivitas  yang dilakukan satwa tersebut. Sedangkan  Data ini diperoleh dari jurnal - jurnal yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati yang ada di kammpus IPB Darmaga.
Data hasil pengamatan (data primer) dipindahkan ke dalam peta lokasi pengamatan. Titik-titik lokasi pada peta digunakan untuk menentukan daerah jelajah satwa, yaitu dengan menghubungkan titik-titik terluar dari lokasi ditemukannya satwa.
Teritori satwa ditentukan dengan data deskriptif berupa lokasi yang paling banyak dikunjungi oleh satwa. Faktor-faktor yang berkaitan dengan teritori dianalisis dengan data sekunder.
HASIL
            Satwa liar yang ditemukan di site tiga plot lima yang merupakan wilayah di sekitar kandang Fapet terdiri dari 9 jenis burung, 4 jenis mamalia, dan 1 jenis reptil. Seperti dalam Tabel 1.



Tabel 1. Daftar jumlah jenis spesies di site tiga plot lima kawasan kandang sapi Fakultas Peternakan IPB
No.
Jenis
Jumlah
Lokasi dominan ditemukannya satwa
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1.
Walet 
Collocalia linchi
94
SUB PLOT A
2.
Tekukur 
Streptopelia chinensis
47
SUB PLOT  A dan D
3.
Burung  Madu Sriganti
Nectarinia jugularis
37
SUB PLOT  A
4.
Burung Gereja
Paser montanus
20
SUB PLOT  A
5.
Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster
53
SUB PLOT  D
6.
Cinenen Pisang
Orthotomus sutorius
8
SUB PLOT  D
7.
Wiwik Uncuing
Cacomantis sepulclaris
17
SUB PLOT  B
8.
Cekakak Sungai
Todirhampus chloris
15
SUB PLOT  D
9.
Bubut Alang-alang
Centropus bengalensis
7
SUB PLOT  C
10.
Garangan 
Herpestes javanicus
1
SUB PLOT  A
11.
Tupai 
Tupaidae
6
SUB PLOT  A
12.
Bajing 
Callossciurus notatus
48
SUB PLOT  A
13.
Kelelawar 
Rhinolophidae
2
SUB PLOT  C dan D
14.
Bunglon                  
Bronchochela jubata
2
SUB PLOT  A

Tabel 2. Diagram  jumlah jenis spesies di Kampus IPB Dramaga




Pembahasan
Satwaliar merupakan semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (Alikodra 2001). Cakupan jenisnya cukup luas, meliputi anggota vertebrata seperti mamalia, burung, ikan, reptil, dan amfibi. Satwa liar hidup pada berbagai macam lingkungan baik berupa hutan maupun kawasan hutan (Ekarelawan 1988). Seperti pada penelitian yang dilakukan di kawasan sekitar kandang fakultas  peternakan, di temukan berbagai macam jenis burung, mamalia dan reptil.
 Secara umum, vegetasi yang ada di kandang fapet berupa semak belukar, kelapa sawit, petai cina, Fabaceae, rumput, dan  ilalang. Vegetasi tersebut biasa digunakan sebagai habitat satwa liar. Habitat satwa liar dapat dikatakan sebagai tempat hidup satwa liar (Odum 1971 & Moen 1973). Pada prinsipnya satwaliar memerlukan tempat-tempat yang dapat digunakan untuk mencari makan, berlindung, beristirahat, dan berkembangbiak. Selain habitat, faktor-faktor yang memepengaruhi kehidupan satwa yaitu : (1) decimating factor yaitu faktor-faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kematian, seperti pemangsaan, penyakit, kecelakaan, dan perburuan; (2) welfare factors,yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan hidup satwaliar, seperti kualitas makanan, penutup (cover), dan air; dan (3) influencing factors,yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, air, pelindung, dan ruang, serta penyempitan habitat akibat kegiatan manusia (Wiersum 1973).
Kawasan sekitar kandang sapi fakultas peternakan IPB temasuk kedalam site tiga plot lima. Kawasan ini terbagi menjadi empat sub plot yang terdiri dari sub plot A, B, C dan D. Sub plot A terdiri dari Padang rumput, Semak belukar di batas pagar dan vegetasi  pohon berupa lamtoro (Parkia speciosa)  di sepanjang jalan, Sub plot B terdiri dari rumput ilalang, pohon yang sudah tidak ada daunnya sama sekali,  dan juga terdapat beberapa  jenis tumbuhan bawah di sekitar ilalang,  Sub plot C terdiri dari dominasi rumput pada bagian atas, dan rumput ilalang serta semak belukar pada bagian bawah, selain itu pada batas site terdapat pagar yang terbuat dari pagar alam  berupa semak belukar dan pohon dari suku Fabaceae sp. serta pagar buatan manusia, sedangkan Sub plot D terdiri dari padang rumput yang didominasi oleh rumput dan semak belukar, terdapat  aliran sungai kecil dan juga pohon dari suku fabaceae, tumbuhan pisang, serta rumput ilalang, pada sudut terdapat tumbuhan sawit (Elaeisis guineensis). Vegetasi tersebut dapat memenuhi komponen kebutuhan satwa yang terdiri dari pakan, cover dan air. Seluruh kebutuhan tersebut diperoleh satwa dari lingkungannya atau habitat dimana satwa liar hidup dan berkembang biak. Satwa liar yang terdapat dikawasan tersebut meliputi:
1.         Mamalia

Menurut Balen et al. (1986) di areal Kampus IPB Darmaga ditemukan beberapa jenis mamalia, yaitu trenggiling (Psiittacula alexandri), landak (Hystrix brachyura), musang (Paradoxurus hermaphroditus), serta beberapa tikus dan kelelawar. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, Di daerah sekitar kandang fapet ditemukan beberapa jenis mamalia, diantaranya adalah garangan (Herpestes javanica), tupai(Tupaidae), bajing kelapa (Callossciurus notatus), dan kelelawar (Rhinolophidae). Dari jenis mamalia yang ditemukan, satu diantaranya merupakan jenis yang dilindungi Undang-undang Perlindungan Binatang Liar 1931, yaitu garangan (Herpestes javanica). Garangan (Herpestes javanica) merupakan mamalia yang jarang ditemukan pada saat pengamatan. Hal ini dikarenakan tidak semua areal pengamatan menyediakan sumber pakan yang cukup sehingga sehingga penyebarannya pun tidak merata dan adanya gangguan pada tempat berlindung atau sarang dari predator ataupun manusia. Selain itu, karena pengamatan  dilakukan setiap pagi dan sore hari, padahal garangan merepukan jenis satwa yang beraktivitas di malam hari atau nokturnal, sehingga intensitas pertemuan sangatlah kecil dan informasi tambahan dilihat berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan seperti pendugaan sarang. Bajing kelapa (Callossciurus notatus) merupakan mamalia yang paling dominan di sekitar kawasan kandang sapi fakultas peternakan IPB. Hal ini karena faktor kesesuaian habitat oleh Bajing Kelapa (Calociurus notatus) seperti ketersediaan sumber pakan, sumber air, dan gangguan terhadap tempat berlindung (cover), toleran terhadap gangguan dan sebagainya, dan keberhasilan dalam menerapkan strategi adaptasi (Mackinon 2002 dan Rinaldi 1992). Di kawasan ini pengamtan  terdapat pohon sawit (Elaeis guineensis) yang buahnya merupakan pakan kesukaan dari Bajing kelapa (Callossciurus notatus). Selain tersedianya sumber pakan di kawasan ini juga sumber air berupa sungai serta tempat berlindung (cover). Dari empat sub-plot yang diamati, paling sering ditemukan  di sub-plot B karena terdapat pohon sawit (Elaeis guineensis) yang menjadi sumber kesukaan pakan dari bajing kelapa.  
     
2.         Burung
Menurut Balen et al (1986) di areal Kampus IPB Darmaga terdapat 68 jenis burung yang menetap atau singgah sementara. Salah satunya adalah di sekitar kandang fakultas peternakan yang  merupakan bagian habitat dari burung yang ada di kampus IPB Darmaga. Ada beberapa jenis burung yang ditemukan di kandang Fakultas Peternakan yaitu walet (Collocalia linchi), burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung cekakak sungai (Todirhampus chloris), burung wiwik uncuing (Cacomantis sepulclaris), burung gereja (Paser montanus), burung tekukur (Streptopelia chinensis), burung bubut alang-alang (Centropus bengalensis), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), maupun  burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius). Burung walet merupakan jenis burung yang memiliki presentase paling besar yaitu sebesar 26,33% dan memiliki penyebaran yang luas. Hal ini dikarenakan site III terdapat pakan yang cukup yaitu banyaknya jumlah serangga. Faktor lain yang membuat burung walet melimpah karena adanya sumber air yaitu sungai dan tajuk pohon yang berfungsi sebagai cover. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arief (2005) bahwa burung walet merupakan satwa yang ketat terhadap pemilihan habitat. Tempat yang sesuai dengan habitat walet adalah bersuhu 26-30°C, berkelembaban udara 80-90% dan dekat dengan tempat ia mencari makan. Bukan hanya itu saja tetapi harus aman dari gangguan, binatang predator, terlindung dari terpaan angin, terik matahari, hujan dan cahaya yang terang. Burung cekakak sungai (Halcyon cyanoventris) merupakan salah satu jenis burung yang habitatnya tidak jauh dari air, karena sumber pakannya adalah ikan-ikan yang ada di sungai. Burung cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster) dan tekukur (Streptopelia chinensis) merupakan jenis burung yang mudah ditemui di sekitar kandang fakultas peterakan. . Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kampus IPB darmaga bahwa burung cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster) yang dominan ditemukan (Mulyani 1985).  Tipe sebaran populasi burung cucak kutilang adalah berkelompok. Selama pengamatan berlangsung lebih sering menemukan burung cucak kutilang bertengger ataupun terbang berkelompok dibandingkan yang soliter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mackinon (2002) bahwa cucak kutilang merupakan jenis burung yang suka berkelompok yang aktif dan ribut, lebih menyukai pepohonan terbuka atau bersemak di pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan atau bahkan kota besar. Sedangkan jenis burung yang tergolong jarang dijumpai adalah bubut alang-alang (Centropus bengalensis) sebesar 1.96%. 
3.         Reptil
Menurut Balen et al (1986) di areal Kampus IPB Darmaga terdapat jenis-jenis reptil dan amfibi yang  antara lain : berbagai jenis ular, kadal bunglon, tokek, kodok maupun katak. Berdasarkan data hasil pengamatan, jenis reptil  yang berada di sekitar kawasan kandang fakultas peternakan adalah Bunglon (Bronchocela jubata). Bunglon kerap ditemukan di semak, perdu  dan pohon-pohon peneduh. Sering pula didapati terjatuh dari pohon atau perdu ketika mengejar mangsanya. Bunglon memangsa berbagai macam serangga yang dijumpainya seperti  kupu-kupu, ngengat, capung, lalat dan lain-lain.  Hal ini sejalan dengan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, didapatkan bahwa kawasan ini di dominansi oleh semak belukar dan alang-alang yang menjadi tempat favorit bagi bunglon. Selain itu perjumpaan spesies ini dengan pakannya juga relatif sering, hal ini dibuktikan oleh seringnya perjumpaan pengamat dengan kupu-kupu dan capung setiap  pengamatan.Namun keanekaragaman reptil di sekitar kandang Fakultas Peternakan  tergolong rendah, hal ini dikarenakan reptil banyak ditemukan pada malam hari karena umumnya reptil tergolong hewan nokturnal, malam hari reptil mulai berktifitas. Sementara pengamatan lebih banyak dilakukan pada pagi dan sore hari dibandingkan dengan malam hari. Hal ini menyebabkan rendahnya intensitas pertemuan antara pengamat dengan satwa.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di seluruh site kampus IPB Dramaga, ditemukan berbagai macam satwa mulai dari amfibi sampai dengan mamalia. Ditemukan 46 jenis burung, lima jenis mamalia, tujuh jenis amfibi dan 13 jenis reptil. Jenis yang paling melimpah jumlahnya adalah  burung walet dan burung cucak kutilang. Burung cucak kutilang dijumpai disemua site. Jumlahnya pun beragam di site pertama  berjumlah 421 ekor, site II berjumlah 217 ekor, site III berjumlah 404 ekor dan site IV berjumlah 687 ekor. Banyaknya ditemukannya burung ini berkaitan dengan kesesuaian habitatnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hernowo (2006) bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup, burung memerlukan habitat yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, habitat yang dijadikan sebagai tempat tinggal cucak kutilang memiliki karakteristik sebagai berikut; memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi (melimpahnya sumber pakan), daerah berbukit, terdapat aliran sungai dan wilayah tersebut dapat memberikan fungsinya sebagai habitat cucak kutilang yaitu dalam hal penyediaan makanan, sarang, berbiak dan tempat berlindung juga berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, cucak kutilang cenderung memanfaatkan pohon dengan strata B yaitu strata menengah dengan lanskap terbuka dan tajuk tidak terlalu rapat, untuk aktivitas bertengger dan berlindung dimana pohon-pohon tersebut umumnya memiliki cabang yang kokoh untuk bertengger serta menghindar dari serangan predator (Dahlan 2008). Pernyataan diatas sesuai dengan kondisi umum dari lokasi pengamatan yaitu di kampus IPB Darmaga secara keseluruhan, ada site yang didominasi berbagai jenis hutan tanaman, areal pertanian, hutan bambu, pepohonan terbuka, semak hingga padang rumput. Selain itu,  penutupan tajuk pohon yang ada di Kampus IPB Darmaga  tidak terlalu rapat sehingga memperoleh cahaya yang relative banyak. Intensitas cahaya sangat penting bagi burung, terutama pada pagi hari. Karena cahaya matahari berguna untuk metabolisme cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster). Selain itu burung termasuk satwa yang memiliki mobilitas tinggi. Pergerakan burung dari habitat satu ke habitat lainnya memerlukan waktu yang relative singkat (Aida 2002).  Sehingga menyebabkan jumlah burung cucak kutilang melimpah jumlahnya sesuai dengan pernyataan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kampus IPB darmaga bahwa burung cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster) yang dominan ditemukan (Mulyani 1985).
SARAN
Kampus IPB Dramaga merupakan habitat yang sangat penting untuk sebaran satwa. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya konservasi seperti menjaga habitatnya agar tetap lestari sehingga keanekaragaman satwa liar di kampus IPB terus terjaga.
   Selain itu, perlu diadakannya monitoring dan pengawasan sebaran satwa secara teratur agar dapat mengetahui penyebaran satwa terbaru yang berguna untuk pemantauan dan penjagaan keanekaragam hayati di Kampus IPB Darmaga.

KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan ditemukan tiga kelas satwa yaitu mamalia, aves dan reptil.  Pada kelas mamalia yang paling dominan adalah bajing kelapa, serta terdapat jenis lain seperti tupai, garangan, dan kelelawar. Untuk reptil hanya ditemukan bunglon. Sedangkan untuk aves yang paling dominan adalah burung walet dari sembilan jenis burung lainnya, yaitu burung madu sriganti, tekukur, burung gereja, cekakak sungai, cinenen pisang, cucak kutilang, wiwik uncuing dan bubut alang-alang.
DAFTAR PUSTAKA
Aida, F. 2002. Analisis Bahan Sarang Burung Pecuk Padi Hitam (Phalacrocorax sulcirostris) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Ilmiah Nasional: Vol 8 : 241-247

Alikodra, H.S. 2001. Pengelolaan Satwaliar  Jilid 1. Bogor : Pusat Antar Universitas  Ilmu Hayat IPB

Arief B. 2005. Budidaya dan Bisnis Sarang Walet. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Dahlan. [H1] 2008. Pemanfaatan Berbagai Tipe Habitat Oleh Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster Vieillot) Di Kebun Raya Bogor.Bogor:Institut Pertanian Bogor hal:2 dan 6.

Ekarelawan. 1988. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kampus IPB Darmaga Melalui Pendekatan Koinsepsi Hutan Kota [skripsi].Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hernowo, JB, R Soekmadi, dan Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestaraian Satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Jurnal Media Konservasi Vol.III (2): 43-65
Hernowo JB, Wahyu TW. 2006. Population and Habitat of Javan Green Peafowl at Alas Purwo National Park, East Java. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Vol. XI/No 3 Desember 2006.


Mackinon, J., Philipps, K., Balen, V.B. 2001. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Jakarta. Puslitbang Biologi-LIPI.
Mulyani, Y.A. 1985. Studi Keanekaragaman Jenis Burung di Lingkungan kampus IPB Darmaga. [Skripsi] Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Moen, A.N.1973. Wildlife Ecology.Wh Freeman and Company. San Fransisco
Odum EP.1971. Fundamental of Ecology. WB Sounders Co.Philadelphia-London-Toronto
Wiersum, KF. 1973. Wildlife Utilization and Management in Tropical Regioan. Agricultural            University, Nature Conservation Departement. Wageningen
Van Ballen B, J.B Hernowo Y.A. Mulyani dan H.R. Putro.1986. The Bird of Dramaga.  Media Konservasi. 1 (2) : 1-5. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 
.....................

KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT

LAPORAN
GROUP PROJECT RESEARCH


KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT

Oleh :

Andy Mandala Putra E34090043
Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
DEPARTEMEN 
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LAPORAN
GROUP PROJECT RESEARCH


JUDUL : Keanekaragaman Amfibi di Situ Kadondong, Desa Koleang,
Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat 
KELOMPOK : 13 (tiga belas)
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122


Mengetahui,

Asisten Pembimbing, Dosen Pembimbing,




Insan Kurnia, S.Hut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
NIP. NIP.








I. JUDUL
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT.

II. PENELITI
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122

III. PEMBIMBING
Dosen : Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
Asisten : Insan Kurnia, S.Hut.
M. Farikin Yanuarefa, S.Hut.

IV. PENDAHULUAN
Situ Kadondong merupakan sebuah situ yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Sejak pertama kali dibangun pada masa penjajahan Belanda, Situ Kedondong telah difungsikan sebagai wadah penampungan air hujan yang kemudian akan dialirkan ke perkebunan-perkebunan milik Belanda di sekitar situ tersebut.
Saat ini, Situ Kadondong tetap menjadi salah satu sumber air bagi masyarakat Desa Koleang, baik digunakan untuk mengairi kebun maupun untuk mengairi persawahan. Bahkan terkadang dijadikan sebagai tempat untuk mencari ikan oleh beberapa warga sekitar. Keberadaan Situ Kadondong cukup menopang kehidupan warga, apalagi sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu, Situ Kadondong mulai dilirik sebagai objek wisata, baik oleh pemerintah daerah dan bahkan oleh masyarakat Desa Koleang sendiri. Namun, jika dilihat kondisinya saat ini, Situ Kadondong banyak mengalami perubahan. Situ yang memiliki luas sekitar 12 ha ini semakin lama semakin mengalami penyurutan air dan di beberapa titik tampak sampah yang tergenang. Beberapa jenis flora di Situ Kadondong semakin mengalami penurunan jumlah, misalnya pada pohon sagu yang merupakan jenis flora asli di Situ Kadondong. Selain flora, satwa pun mengikuti penurunan jumlah, kicauan burung, bajing dan tupai sudah jarang atau bahkan tidak terlihat lagi di dahan-dahan pohon sekitar danau.
Dalam rangka memperbaiki dan mengembalikan kondisi Situ Kadondong, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui kondisi situ, terutama mengenai status pencemarannya untuk kemudian digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan perbaikan ekologi Situ Kadondong . Untuk mengetahui status pencemaran di Situ Kadondong dapat digunakan indikator alami, yaitu amfibi dari jenis tetentu. Oleh karena itu perlu diketahui jenis amphibi apa saja yang terdapat di Situ Kadondong (keanekaragamannya) berikut dominasi beberapa jenis amfibi yang dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran.
V. TUJUAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman jenis 
amphibi yang ada di Situ Kadondong.
VI. MANFAAT
Maanfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
1) sumbangsih terhadap sains dalam hal pengumpulan data terkait jenis amfibi yang terdapat di Situ Kadondong
2) sumbangsih terhadap masyarakat sebagai wacana keadaan umum atau status pencemaran Situ Kadondong agar tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap Situ Kadondong semakin meningkat



VII. TINJAUAN PUSTAKA
7.1 Keanekaragaman Satwa
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas. Secara umum, keanekaragaman hayati dibagi menjadi tiga taraf, yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman ekosistem.
Berkaitan dengan keanekaragaman, dikenal pula istilah kelangkaan yang merupakan anonimnya. Kelangkaan suatu spesies dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja. Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau langka.
7.2 Klasifikasi Amfibi
Amfibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu amphi yang berarti dua dan bios yang berarti hidup, sehingga dapat didefinisikan bahwa amphibi adalah hewan yang hidup di dua alam, yaitu daratan dan perairan. Adapun klasifikasi amfibi adalah :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
sub filum : Vertebrata
super kelas : Tetrapoda
kelas : Amphibia 
7.3 Ciri Umum Amfibi
Secara umum, ciri-ciri amphibi meliputi :
a) bersifat poikiloterm
b) mempunyai struktur gigi yaitu gigi maxilla dan gigi palatum
c) bernafas dengan insang, kulit, dan paru-paru
d) kulit memiliki dua kelenjar, yaitu kelenjar mukosa dan kelenjar berbintil (biasanya beracun)
e) umumnya tidak memiliki cakar dan kuku 
f) anggota geraknya anamotis pentadactylus
g) mempunyai sistem pendengaran (saluran tympanum)
7.4 Habitat dan Pola Hidup Amfibi
Secara umum, amfibi tersebar secara merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, dikarenakan iklim Indonesia yang berkategori tropis sehingga sesuai dengan sifat amfibi yang poikiloterm atau berdarah dingin, sifat poikiloterm telah membuat amfibi tidak dapat memproduksi panas sendiri dan membutuhkan panas matahari sebagai sumber panas tubuhnya.
Amfibi di Indonesia dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari habitat perairan air tawar, areal persawahan, daerah sungai, rawa hingga amfibi yang hidup di pohon. Terkait dengan pola hidupnya, secara umum amfibi hidup di perairan pada tahap awal kehidupannya dan hidup di daratan pada tahap selanjutnya. Namun, pada beberapa jenis amfibi, ada yang hidup di perariran selama hidupnya dan ada pula yang hidup di pohon selama hidupnya.


7.5 Keanekaragaman Amfibi
Keanekaragama amfibi adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan amfibi yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas amphibi.
Amfibi tergolong satwa yang cukup berperan dalam menjaga keseimbangan suatu ekosistem. Terganggunya populasi amfibi akan turut mengganngu populasi spesies lain. Misalnya, saat populasi amfibi terganggu maka populasi predator amfibi akan terganggu, atau yang terparah dapat menyebabkan kepunahan bagi predator amfibi tersebut, hal ini sudah tentu akan merusak jaring-jaring makanan yang telah terjalin di alam. Secara garis besar, gangguan populasi amfibi disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama disebabkan oleh pencemaran limbah.

VIII. KEADAAN UMUM LAPANGAN
Lokasi penelitian terletak di tengah-tengah Desa Koleang, dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Lokasi penelitian memiliki luas sekitar 12 ha dengan sagu (Metroxylon sagu) atau yang oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama kirai sebagai jenis flora asli. Adapun jenis flora lain yang turut tumbuh di bibir danau, antara lain kopo dan talas-talasan. Di Situ Kadondong, satwa yang ada sangat jarang terlihat. Namun, di lokasi penelitian dapat ditemukan beberapa ekor kowak malam kelabu. Berdasarkan informasi warga, di lokasi penelitian dapat terdapat ikan lele dan ikan bawal, bahkan terkadang tak jarang dapat ditemukan beberapa ekor biawak air. Pada beberapa titik di permukaan Situ Kadondong dapat ditemukan sampah yang tergenang.



IX. METODE PRATIKUM
A. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian adalah Situ Kadondong yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Letak Situ Kadondong terbilang jauh dari pemukiman warga Desa Koleang secara keseluruhan, pemukiman terdekat berjarak sekitar setengah kilometer dari Situ Kadondong. Di daerah pinggir Situ Kadondong bagian kiri muka terdapat sebuah rumah pemilik perkebunan pepaya Di Situ Kadondong belum ada penerangan yang memadai.
Penelitian hendak dilaksanakan pada tanggal 11 desember sampai dengan 28 Desember 2010, dengan 4 kali pengamatan. Penelitian akan dilakukan pada malam hari, mulai pukul 20.00 – 22.00 WIB.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang akan digunakan selama penelitian di lapang adalah :
1) Senter 
2) Headlamp
3) Plastik specimen/ plastik bening ukuran setengan kilogram
4) Jam/ penunjuk waktu
5) Alat tulis
Alat yang akan digunakan selama pemasukan data adalah :
1) Alat tulis
2) Jangka sorong/meteran (alat ukur panjang)
3) Neraca pegas (alat ukur berat)
4) Buku lapang amfibi
C. Jenis Data
Jenis data yang akan diambil adalah herpetofauna dari kelas amfibi yang meliputi waktu, identifikasi jenis amfibi, jenis kelamin, SVL, bobot, x, y, dan aktivitasnya
D. Metode Pengambilan Data
Jenis data adalah amfibi dengan keanekaragamannya. Pengambilan data dilakukan pada malam hari selama 120 menit dalam setiap penelitian lapang, dimulai pukul 20.00-22.00 WIB, dan penelitian akan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Pengambilan data dilakukan dengan metode susur jalan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengelilingi Situ Kadondong seluas kurang lebih 12 ha secara penuh dengan wilayah jelajah sejauh 10 meter dari bibir danau.
E. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis amfibi yang ditemukan, mengukur bobot tubuh dan SVL-nya, serta menentukan jenis kelaminnya.. Kemudian menghitung jumlah amfibi dari tiap jenis yang ditemukan dan membuat grafik yang membandingkan jenis amfibi yang ditemukan terhadap jumlahnya.






LAMPIRAN
Tabel Inventarisasi Amfibi
NO WAKTU JENIS KELAMIN SVL BOBOT X Y AKTIVITAS KETERANGAN
1 
2 
3 
4 
5 
6 
7 
8 
9 
10 
11 
12 
13 
14 
15
Diposkan 16th February 2011 oleh Suma Indranegara


..........................

Minggu, 12 Mei 2013

METODE – METODE LAPANGAN


          Di dalam dunia taksonomi, interaksi dengan berbagai spesimen hewan sering terjadi, banyak diantara spesimen hewan yang dijadikan kajian di dalam mata kuliah Taksonomi Hewan Vertebrata ini didapatkan dengan cara menangkap langsung di alam, sehingga para ahli sangat memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi hewan-hewan yang ada di lapangan. Akhirnya para ahli tersebut membuat cara-cara yang mudah untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut. Cara-cara yang mudah untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut dikenal dengan nama Metode-Metode Lapangan. Metode Lapangan itu sendiri adalah berbagai metode untuk menangkap jenis-jenis hewan khususnya hewan vertebrata dan melibatkan alat-alat yang membutuhkan keterampilan tersendiri dalam pemakaiannya. Ada dua macam metode yang dapat digunakan untuk menangkap hewan di lapangan, yaitu metode pasif dan metode aktif. Metode pasif merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan hewan vertebrata dengan mengunakan kecanggihan alat yang kita gunakan. Sedangkan metode aktif adalah suatu metode yang digunakan untuk menangkap hewan secara langsung di lapangan (peneliti terjun langsung ke lapangan). Setelah mendapatkan hewan vertebrata yang kita inginkan, maka kita bisa langsung mengidentifikasinya, dan memberi nama, atau mencari tahu namanya.
            Beberapa metode lapangan yang sesuai dengan kelas-kelas yang ada di dalam vertebrata, yaitu :
Kelas Pisces  
Kelas ini dicirikan dengan habitnya yang mutlak terhadap air. Adapun cara yang digunakan untuk mengoleksi jenis-jenis dari kelas ini adalah dengan menggunakan alat bantu, berupa pancing, jala, pukat, fish trap, sentrum listrik (electrical snatcher) dan sebagainya. Cara tangkap langsung bisa menggunakan pancing, jala dan pukat, dalam penggunaannya tidak memerlukan keterampilan khusus. Menangkap ikan dengan menggunakan pancing ikan, yang biasanya berbentuk tongkat panjang. Sentruman, digunakan untuk menangkap ikan dengan mengalirkan listrik ke dalam air. Listriknya bisa berasal dari aki atau dari aliran listrik PLN. Setelah listrik dialiri ke dalam air, ikan akan pingsan, setelah itu ikan tersebut ditangkap dan diidentifikasi. Selanjutnya jaring, yang berbentuk rajutan pilinan benang yang digunakan untuk menangkap ikan, rajutan ini panjang. 
Digunakan secara merentangkanya dengan menghadap kearah datangnya arus. Selanjutnya pukat, pada dasarnya prinsip kerja pukat sama dengan jala. Bentuknya pun persis sama. Hanya saja pukat ini merupakan metode aktif untuk menangkap ikan. Hal ini dikarenakan setelah dipasang alat ini harus ditarik secara melingkar untuk mengepung ikan, agar ikan yang didapat lebih banyak.
       Fish trap merupakan metode yang digunakan untuk menangkap ikan. Alat ini biasanya berbentuk segi empat yang terbuat dari rajutan tali dan kawat-kawat kecil. alat ini termasuk alat pasif, karena kita menggunakan kecanggihan alat ini untuk mendapatkan ikan. Cara penggunaan fish trap ini pertama kali dibuka tutupnya (yang lebih besar diantara kedua sisi fish trap), kemudian diikatkan pelet sebagai umpan ikan didalam tempat umpan didalam fish trap agar ikan mau mendekat ke fish trap. Celah tempat masuk ikan dipasangkan menghadap mengarah kearah datangnya arus, agar ikan dengan mudah masuk ke dalam fish trap, alat ini diletakkan dalam keadaan terbenam serta sedatar mungkin, kemudian masukan batu kedalam alat ini sebagai pemberat agar alat ini tidak hanyut terbawa arus air, lalu ikatkan alat ini dengan tali pada pepohonan terdekat, hal ini bertujuan agar alat yang kita pasang ini tidak hanyut.
       Setelah alat ini terpasang sempurna kita bisa meninggalkan alat ini dan di cek dalam jangka waktu 1x/6jam atau apabila tangkapan banyak atau ketersediaan ikan banyak di daerah tempat kita meletakkan fish trap maka kita harus mengecek 1x/1jam. Ikan hasil tangkapan sebaiknya diambil didalam air hal ini bertujuan supaya sisik-sisik ikan tidak rusak apabila di ambil di luar air maka spesimen ikan tersebut akan rusak.
       Kelebihan alat ini adalah lebih efesien waktu, lebih sederhana dan simpel. Adapun kekurangan alat ini adalah ikan yang didapat adalah ikan kecil-kecil, serta kemungkinan ranting kayu atau sampah juga dapat masuk ke dalam alat ini. 
Fish Trap sebelum didalam air                             Fish Trap didalam air

 Kelas Amphibi dan Reptil 
Kelas ini karena melalui siklus metamorfosis didalam kehidupannya, maka kelas amphibi tetap mempunyai ketergantungan yang kuat kepada air. Hal ini bisa digunakan sebagai petunjuk dalam mencari keberadaan individu amphibi dan reptil. Kebanyakan dari mereka bisa ditemukan pada banir kayu, disekitar arus air, dan tempat yang lembab lainnya. Adapun cara yang digunakan untuk mengoleksi jenis-jenis dari kelas ini adalah dengan menggunakan alat bantu, berupa metode aktif night visual encounter, metode banir search method dan metode pasif pitfall trap drift fences method. Metode night visual encounter adalah metode tangkap langsung pada malam hari dengan menggunakan bantuan penerangan (senter, lampu kendaraan, obor). Biasanya dilakukan penyisiran disekitar badan perairan. Setiap individu yang terlihat ditangkap langsung dengan tangan serta mengarahkan penerangan ke arah mata hewan tersebut yang bertujuan untuk membutakan.  
 Adapun metode banir search method adalah metode dengan pola petak kuadrat. Yaitu membuat plot, 4 pancang mengelilingi banir pohon dan diikat dengan tali lalu pemfokusan penangkapan didalam petak kuadarat tersebut. Sedangkan pitfall trap drift fences method adalahmetode yang digunakan untuk menangkap hewan melata/Herpetofauna (Amphibi dan Reptil). Metode pasif Pit fall trap drift fences methods merupakan metoda gabungan antara perangkap dengan pemakaian pagar pengarah. Metode ini biasanya diterapkan pada daerah teresterial untuk menangkap hewan amphibi dan reptil yang aktif bergerak dan berukuran lebih kecil. Alat ini biasanya dipasang pada muara sungai dimana hewan reptil dan amphibi air hidup sebagai habitatnya.

       Alat dan bahan yang di gunakan pada metode ini adalah bambu, terpal hitam, ember berukuran sedang sebanyak 4 buah atau lebih, sabun colek, serasah. Cara kerjanya, pertama tancapkan bambu ke tanah, ikat terpal ke bambu, masukkan ke dalam tanah kira-kira dengan kedalaman 10 cm. Tanah di gali dibalik terpal tersebut sebagai tempat meletakkan beberapa ember. Posisi ember di kanan kiri dibuat secara zig-zag agar hewan yang datang tidak akan mudah lolos. Pada permukaan bawah ember tersebut sebaiknya dilobangi supaya air yang masuk bisa keluar dengan mudah dan tidak tergenang dalam ember.
       Letakkan serasah supaya terjadi kelembapan dalam ember tersebut. Oleskan sabun colek di mulut ember supaya licin. Agar hewan yang terperangkap tidak bisa keluar lagi. Pemasangan hedaknya pada sore hari, dan dibiarkan semalam. Paginya di cek apakah ada amphibi dan reptil yang terjebak, hal ini dilakukan karena hewan Herpetofauna hanya aktif pada malam hari, sehingga pemasangan Pit Fill Trap dilakukan pada malam hari.
Metode lain yang digunakan untuk kelas reptil adalah snake tongs (penjepit yang seperti tang panjangnya 2m), dan menggunakan paralon yang cukup panjang. Dalam penggunaan paralon, pada ujung paralon diberi umpan, dan di letakkan ke arah akar pohon atau banir. Hal ini bertujuan agar ular yang tertangkap tidak bisa keluar lagi karena pada prinsipnya reptil tidak bisa bergerak mundur. Kemudian snack glue yaitu berupa lem yang dapat menangkap hewan-hewan yang melintas di atasnya. 

Kelas Aves 
Metode yang paling umum digunakan untuk kelas ini adalah mist net (jala kabut) dan digiscoping. Mist net merupakan alat yang digunakan untuk menangkap burung. Alat ini bentuknya seperti jala yang terbuat dari serat nilon berwarna gelap, dengan lebar 3 meter. Jaring ini mempunyai mata jala yang berukuran 36mm atau bisa lebih besar tergantung dengan ukuran burung yang akan di tangkap. Panjang mist net ada yang 12,9, dan 6 meter. Mist net menggunakan Tonggak (bambu), tali, kantong burung, tali, kayu/tongkat. 
Cara memasang alat ini yaitu: yang pertama tentukan dahulu tempat dan daerah kondusif yang diperkirakan banyak burungnya. Seperti di punggung bukit, dekat aliran sungai, dan tempat lainya. Kemudian rentangkan mist net dengan mengikatkanya ke tonggak atau bambu, dengan bantuan tongkat nabi musa. Tongkat ini bisa digunakan untuk menarik dan menurunkan mist net yang sudah terpasang. Alat ini dipasang berjarak 50 cm dari permukaan tanah agar mamalia yang berjalan tidak ikut terjebak pada alat ini. Dalam pemasangan mist net ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama hindari pemakaian alat-alat asesoris seperti cincin kalung dan lainya dalam pemasangan mist net, karena bisa mengakibatkan mist net kusut. Kedua hendaknya pemasangan mist net ini dilakukan jam 6 pagi, dan dilepas jam 6 sore. 
Hal ini bertujuan agar burung yang didapatkan banyak, karena waktu aktif dari burung adalah dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Setelah dipasang dilakukan pengecekan 1 jam sekali, karena jika burung yang didapatkan dibiarkan saja terjebak di Mist net akan berakibat fatal, karena burung bisa mati. hal ini dikarenakan burung memiliki stress yang tinggi. Burung yang sudah tertangkap, bagian kakinya dulu yang dilepaskan baru bagian kepala. Karena burung kalau nyangkut di mist net yang duluan nyangkut adalah bagian kepalanya maka untuk melepaskannya bagian kaki yang di keluarkan dulu.


.......................................
PROPOSAL
KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN
JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)
DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS
Untuk memenuhi persyaratan melakukan penelitian
Dalam rangka penyusunan Skripsi
Nama : Arief Rahman
NPM : 306.11.201301.04.061
Jurusan : Pendidikan MIPA
Program Studi : Pendidikan Biologi
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP PGRI ) BANJARMASIN
BANJARBARU
2007/2008

KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN
JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)
DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS
Nama : Arief Rahman
NPM : 306.11.201301.04.061
Jurusan : Pendidikan MIPA
Program Studi : Pendidikan Biologi
Disetujui oleh Dosen pembimbing untuk melaksanakan
Penelitian dalam rangka penulisan skripsi
Pada Tanggal :
Dosen pembimbing I,
Drs. Abidinsyah, M.Pd
NIP. 132 966 765
Dosen pembimbing II,
Siti Ramdiah, M.Pd
NIP. 132 311 159
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Biologi,
Drs.Abidinsyah, M.Pd
NIP. 132 966 765
A. JUDUL
KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN JENIS AMFIBI
(ORDO ANURA) DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas. Keanekaragaman hayati tersebut dapat dibagi ke dalam tiga taraf yang berbeda yakni keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman genetik dan keanekaragaman spesies.
Katak dan kodok merupakan hewan Amfibi yang tersebar hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekitar 450 jenis spesies. Iklim tropis Indonesia merupakan habitat alami yang cocok bagi katak dan kodok untuk mempertahankan hidup dan menjaga metabolisme tubuhnya.
Keanekaragaman dan kelimpahan spesies amfibi tentu saja berdampak besar bagi ekosistem dan keanekaragaman spesies lain yang hidup di habitat tersebut. Dengan menjaga kelestarian habitatnya, maka spesies mampu bertahan terhadap gangguan-gangguan alami. Tentunya hanya pengaruh manusia yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi katak. Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan katak pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat langsung dengan punahnya predator katak. Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah yang akanmerusak telur-telur dan berudu katak, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya. Sebagian pestisida bersifat persisten, misalnya organofosfat dan karbamat. Pestisida yang bersifat persisten umumnya lebih berbahaya, karena sukar untuk dikeluarkan setelah berada didalam jaringan tubuh (www.wikipediaindonesia.co.id).
Kelangkaan suatu hewan dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja. Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau langka (Suripto, 1997).
Sawah dibuat pada lahan yang tidak sarang (pourus) dengan cara membuat petak-petak yang dibatasi pematang sehingga memungkinkan untuk membentuk lahan yang tergenang. Karena dibuat untuk tujuan budidaya tanaman padi, keragaman flora dan fauna di sawah relatif terbatas, diantaranya adalah hewan katak, ular, ikan dan berbagai spesies serangga baik yang bersifat hama maupun tidak.
Desa Handil Baras merupakan salah satu daerah persawahan pasang surut di Kabupaten Kapuas. Persawahan merupakan salah satu habitat yang cocok dengan kehidupan amfibi, hal ini disebabkan oleh temperatur suhu lingkungan sawah yang cocok dengan metabolisme tubuh amfibi. Area persawahan desa Handil Baras menggunakan sistem tumpang sari, yakni menanam tumbuhan lain di sekitar pematang.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sebelumnya, persawahan Handil Baras dialiri beberapa oleh sungai-sungai kecil, serta diselingi dengan perumahan penduduk dan berbatasan langsung dengan jalan raya. Ditinjau dari lingkungan tersebut, diperkirakan terdapat lebih dari satu jenis spesies amfibi (ordo Anura) yang hidup pada lingkungan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian Keanekaragaman dan kemelimpahan jenis amfibi (ordo
Anura) di persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
C. RUMUSAN MASALAH
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari di area persawahan tersebut ?
2. Bagaimana kemelimpahan jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam
hari di area persawahan tersebut ?
D. BATASAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diberikan batasan masalah sebagai berikut :
1. Jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan diidentifikasi sampai tingkat spesies.
2. Jenis amfibi (ordo Anura) yang diteliti adalah yang aktif di malam hari.
E. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari yang terdapat di area persawahan tersebut.
2. Untuk mengetahui kemelimpahan jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di
malam hari yang terdapat di area persawahan tersebut.
F. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum tentang keanekaragaman dan kemelimpahan
jenis amfibi (ordo Anura) di area persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Amfibi
Amfibi berasal dari kata amphi yang artinya rangkap dan bios yang artinya hidup. Amfibi umumnya didefinisikan sebagai hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua alam, yakni di air dan di daratan. Amfibi bertelur di air atau menyimpan telurnya di tempat yang lembab dan basah. Ketika menetas, larvanya yang dinamai berudu hidup di air dan bernafas dengan insang. Setelah beberapa lama, berudu kemudian berubah bentuk (bermetamorfosa) menjadi hewan dewasa yang umumnya hidup di daratan atau di tempat-tempat yang lebih kering dan bernafas dengan paru-paru(www.wikipediaindonesia.co.id).
Amfibi terdiri dari tiga bangsa. Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bangsa kedua yang paling kecil, tetapi sangat jarang ditemui adalah Sesilia atau Gymnophiona, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampak jelas dan mudah dikelirukan dengan cacing. Sebagian besar amfibi Indonesia termasuk bangsa ketiga, yaitu Anura (Iskandar, 1998).
Menurut Verma (1979), Amfibi mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
a. Berdarah dingin (poikiloterm)
b. Kulit halus dan kasar serta banyak mengandung kelenjar
c. Sisik-sisik bila ada tersembunyi di dalam kulit
d. Tengkorak berartikulasi dengan tulang atlas melalui duacondylus occipitalis
e. Tungkai bila ada bertipe fentadactyla
f. Eritrosit bikonveks, oval, dan bernukleus
g. Jantung terdiri atas dua atrium, satu ventrikel dan satu konus
h. Arcus artat simetris
i. Pada stadium awal, pernafasan melalui insang
j. Telur-telur amfibi dibungkus oleh bahan gelatin
Ciri-ciri lain pada amfibi yaitu mempunyai dua pasang kaki dan pada setiap kakinya terdapat selaput renang yang terdapat diantara jari-jari kakinya, berfungsi untuk melompat dan berenang, matanya mempunyai selaput tambahan yang disebut membrana niktitans yang sangat berfungsi waktu menyelam. Alat pernafasan pada saat dewasa berupa paru-paru dan kulit. Hidung amfibi mempunyai katup yang mencegah air masuk ke dalam rongga mulut ketika menyelam, dan berkembang biak dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantan di luar tubuh induknya (pembuahan eksternal).
2. Tinjauan Umum tentang Anura
Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, mencakup 16 famili. Ordo Anura mempunyai ciri-ciri umum yakni ukuran tubuh pendek, lebar dan kaku. Tungkai depan lebih kecil dan lebih pendek daripada tungkai belakang, kepala dan badan bersatu, serta tidak mempunyai ekor.
a. Morfologi
Kodok dan katak/bangkong termasuk dalam bangsa Anura dan merupakan hewan amfibi yang paling dikenal orang di Indonesia. Meski mirip, katak dan kodok adalah dua jenis hewan yang berbeda. Kodok bertubuh pendek, gempal atau kurus, berpunggung agak bungkuk, umumnya berkulit halus, lembab, dengan kaki belakang yang panjang. Sebaliknya katak atau bangkong bertubuh besar, berkulit kasar dan kering, berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, dan kaki belakangnya pendek. Pada beberapa jenis katak, sisi tubuhnya terdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang mata sampai di atas pangkal paha, yang disebut lipatan dorsolateral.
Katak mempunyai mata berukuran besar, dengan pupil mata horisontal dan vertikal. Pada beberapa jenis katak, pupil matanya berbentuk berlian atau segi empat, yang khas bagi masing-masing kelompok. Pada kebanyakan jenis, binatang betina lebih besar daripada yang jantan. Ukuran katak dan kodok di Indonesia bervariasi dari yang terkecil hanya 10 mm, dengan berat hanya satu atau dua gram sampai jenis yang mencapai 280 mm dengan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar, 1998).
b. Perkembangbiakan
Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai teluryang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodokpegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutanyang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Katak mampu menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.
Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru.
Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentuk (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.
Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.
c. Habitat dan Makanan
Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.
Katak dan kodok dapat dikelompokkan menurut pemisahan habitatnya. Habitat pertama selalu berkaitan dengan kegiatan manusia, misalnya Bufo melanostictus, kategori kedua adalah jenis yang hidup di atas pepohonan misalnya suku Racophoridae, kategori ketiga adalah jenis yang hidup di habitat yang terganggu, misalnya jenisRana baramica, dan kategori keempat adalah yang hidup di hutan primer dan sekunder, misalnya jenis Bufo biportacus.
Semua amfibi adalah karnivora. Makanannya terutama terdiri dari Arthropoda, cacing dan larva serangga, terutama untuk jenis kecil. Jenis yang lebih besar dapat memakan binantang yang lebih kecil, seperti ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, dan bahkan kadal kecil. Namun kebanyakan berudu katak adalah herbivora, kecuali berudu Kaloula dan Kalophrynussama sekali tidak makan, dan sepenuhnya mendapat makanan dari kuning telur yang tersedia. BeruduOccidozyga bersifat karnivora, terutama memakan larva serangga dan cacing tanah. Berudu biasanya makan di dasar perairan dan beberapa jenis mencari makan di permukaan air.
d. Mekanisme Pertahanan
Amfibi tidak mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri. Pada beberapa jenis katak mempunyai geligi seperti taring di bagian depan rahang atas sebagai alat pertahanan diri dengan cara menggigit musuhnya. Katak dan kodok juga mempunyai kaki belakang yang lebih panjang daripada kaki depan, yang berfungsi untuk melompat dan menghindar dari bahaya.
Alat lain yang efektif sebagai pertahanan diri adalah kulit yang beracun. Banyak jenis Bufonidae dan Ranidae mampunyai kelenjar racun yang tersebar di permukaan kulit dan tonjolan-tonjolan, misalnya Dendrobates pumilio. Beberapa jenis dari suku Microhylidae mempunyai kulit yang sangat lengket sehingga predator menjauhinya.
3. Jenis-jenis Anura di Indonesia
Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih 4.100 jenis katak dan kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari Indonesia, yang berarti mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia (Iskandar, 1998).
Suku Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae, suku yang paling sederhana untuk Indonesia, suku Megophrydae dengan 15 jenis dalam empat marga, suku Bufonidae dengan 35 jenis dan terdiri dari enam marga; Microhylidae merupakan suku terbesar di Indonesia. Suku Ranidae mempunyai sekitar 100 jenis terbagi dalam delapan marga, suku Pipidae dengan dua jenis yang diintroduksi ke Jawa, suku Rhacophoridae diwakili oleh lima marga dan 40 jenis, suku Lymnodynastidae yang diwakili oleh dua marga, suku Myobatrachidae yang diwakili oleh tiga marga, dan suku Pelodryadidae mempunyai sekitar 80 jenis yang tersebar di subwilayah Papua.
4. Peranan dan Aktifitas
Katak berperan sangat penting sebagai indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi katak yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan katak sebagai indikator lingkungan karena katak merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi katak tetap eksis dengan perubahan iklim bumi. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat langsung dengan punahnya predator katak.
Katak dan kodok di Indonesia umumnya diperdagangkan bahkan diekspor ke luar negeri, seperti Cina. Jenis yang banyak diperdagangkan adalah Fejerva cancrivora (kodok sawah, katak hijau atau katak rawa) dan Limnonectes macrodon (katak batu). Penjualan katak di toko binatang piaraan, baru dimulai bebrapa tahun terakhir. Beberapa jenis kodok dari Amerika Selatan yakni Xenopus laevis danHymenochirus sp. dikenal menjadi subyek penelitian binatang percobaan. Jenis-jenis ini dapat menjadi ancaman kepunahan bagi jenis lokal, misalnya Rana catesbeiana atau kodok tebu dan Bufo marinus seperti yang telah terjadi di Australia dan Filipina (Iskandar, 1998).
5. Tinjauan Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Kapuas mempunyai luas 14.999.000 Ha, termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 21°-23° C dan maksimal mencapai 36° Celsius. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak pada bulan Januari dan April, berkisar diantara 865 – 871 mm, sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan Juli (www.kapuas.net).
Handil Baras merupakan salah satu desa yang terdapat di Kelurahan Selat Hulu Kecamatan Selat dan termasuk ke dalam wilayah kota Kuala Kapuas. Desa Handil Baras adalah kawasan pasang surut yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan sehingga mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani.
Penelitian ini dilakukan di area persawahan yang terdapat di desa Handil Baras. Lokasi penelitian yang telah ditentukan dibuat batas daerah
penelitian dengan luas 2 hektar sebagai tempat penelitian.
6. Penelitian lain yang relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lilik Sartono tentang keanekaragaman jenis Anura di kawasanYouth Camp Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survey), yang meliputi metode Transek dan metode Timed Constraint Search (pencarian dibatasi dengan waktu). Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan 118 ekor Anura dari 10 spesies yang berbeda yang terdiri dari 4 famili. Famili Ranidae yang ditemukan ada 5 spesies meliputi Rana nicobariensis, Rana chalconota, R. hosii, Limnonectes macrodon, dan Fejervarya limnocharis. Pada famili Bufonidae terdapat 3 spesies yang ditemukan yaitu Bufo melanostictus,B. quadriporcatus, dan Pelophryne brevipes. Pada famili Rhacophoridae terdapat 1 spesies yang ditemukan yaituPolypedates leucomystax dan pada famili Microhylidae terdapat 1 spesies yang ditemukan yaitu Microhyla annectens. Berdasarkan Indek Keanekaragaman Shannon Wiener & lsquos jenis Anura di kawasan Youth Camptergolong sedang dengan nilai H = 2,0048.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Arhamin, Andani, Maiser Syaputra, dan Delizius Kolop, yakni studi keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) di Sungai Ciapus (bagian hilir) Bogor. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di sungai Ciapus (bagian hilir) berhasil ditemukan empat jenis amfibi ordo Anura dari dua famili. Keempat jenis tersebut adalah Bufo asper, Bufo melanostictus, Rana chalconota, danFejervarya limnocharis. Jenis Bufo asper memiliki jumlah yang melimpah, sedangkan jenis Rana chalconota memiliki jumlah yang paling sedikit. Jenis amfibi yang berjenis kelamin betina memiliki jumlah terbesar yaitu 16 ekor dengan persentase 72,73 % sedangkan yang berjenis kelamin jantan ada 4 ekor (18,18 %) dan dua ekor juvenil dengan persentase 9,09 %.
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual) dengan Line Transek. Metode Line Transek adalah metode pengamatan dengan cara berjalan perlahan terus menerus dan mencatat semua kontak di sepanjang kedua sisi jalur perjalanannya. Penelitian ini tidak berdasarkan panjang transek, tetapi akan berdasarkan pada waktu yang dilakukan pada malam hari dengan durasi waktu sekitar 2-3 jam.Sedangkan survei lokasi dilakukan pada sore hari sebelum pengamatan.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Mei – Agustus 2008, dari tahap persiapan sampai dengan selesai, yang dilakukan di area persawahan desa Handil Baras Kelurahan Selat Hulu Kecamatan Selat Kabupaten Kuala Kapuas.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang terdapat di area persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
b. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan di area penelitian sepanjang jalurline transek.
4. Alat dan Bahan
a. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Rool meter, untuk mengukur area persawahan dan panjang transek.
2. Ember, wadah spesimen.
3. Kamera, alat dokumentasi.
4. Jam tangan dan Stop watch, untuk mengukur waktu dan durasi waktu penelitian.
5. Alat tulis.
6. Tali Rafia, untuk membuat jalur dan batas Line Transek.
7. Senter, untuk alat penerangan.
8. Tabel Identifikasi (Iskandar, 1998), untuk mengidentifikasi spesies.
9. Timbangan digital, untuk mengukur berat spesies (gram).
10. Tally Sheet, untuk pengumpulan data morfometri spesies dan data pendukung lainnya (meliputi aktifitas, waktu saat ditemukan, dan substrat).
11. Termometer, untuk mengukur suhu lingkungan (°C).
12. Luxmeter, untuk mengukur intensitas cahaya (lux bath).
13. DO meter, untuk mengukur oksigen terlarut (cm).
14. pH meter, untuk mengukur pH tanah dan kelembaban tanah (ppm).
b. Bahan yang digunakan
1. Alkohol 70 %, untuk membius spesimen.
2. Formalin 4 %, untuk mengawetkan spesimen.
5. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitian
2. Menetukan titik hitung di sepanjang line transek dan membuat batas daerah penelitian.
3. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian
4. Mengukur parameter lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban tanah, intensitas cahaya, dan oksigen terlarut.
5. Melakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik yang telah ditentukan sebelumnya.
6. Memasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam ember yang telah diberi label.
7. Membius hewan sampel yang ditemukan dengan alkohol 70 %.
8. Menghitung jumlah hewan sampel yang didapat.
9. Mencatat data morfometri dan data pendukung lainnya.
10. Mendokumentasikan hewan sampel yang ditemukan.
11. Mengidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan tabel identifikasi sesuai dengan literatur buku (Iskandar, 1998).
12. Mengawetkan sejumlah hewan sampel yang ditemukan dengan formalin 4 %.
6. Teknik Pengumpulan Data
Data amfibi yang diambil terbagi atas data utama dan data penunjang. Data utama yakni jenis spesies dan data morfometri yang meliputi ukuran Snout-Vent Length (SVL) yaitu panjang dari moncong hingga kloaka, jenis kelamin, dan berat tubuh. Sedangkan data penunjang meliputi waktu saat ditemukan, substrat, dan aktifitas hewan saat ditemukan.
7. Teknik Analisis Data
Jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan dihitung dengan menggunakan rumus. Untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan jenis katak dan kodok yang diperoleh maka digunakan perhitungan statistik sebagai berikut :
a. Untuk menghitung nilai kemelimpahan menggunakan rumus Nilai Penting (NP) menurut Odum dalam Manurung (1995).
NP = KR + FR
Keterangan :
NP = Nilai penting
FR = Frekuensi Relatif
KR= Kerapatan Relatif
Dimana :
Kerapatan ( K ) =
Jumlah individu suatu spesies
Jumlah seluruh kuadrat

Kerapatan Relatif ( KR )=
Kerapatan suatu spesies
x 100%
Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi ( F ) =
Jumlah plot ditempati suatu spesies
Jumlah seluruh kuadrat

Frekuensi Relatif ( FR )=
Frekuensi spesies
x 100%
Frekuensi seluruh spesies
b. Untuk menghitung keanekaragaman dapat dihitung dengan indeks Diversitas (keanekaragaman) Shannon-Winner dalam Manurung (1995).
H¢ = - ∑ ( Pi ) . ( Log . Pi )
Keterangan ;
Pi = Kemelimpahan proporsional dari jenis ke –i
Sehingga
Pi = Ni / N
Ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu keseluruhan jenis kedalam komunitas
8. Jadwal Penelitian
No.
Kegiatan
Bulan
1
2
3
4
1
2
3
4
Persiapan
Penelitian
Pengolahan data
Penyusunan Laporan
x
x
x
x
x
x
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : UM Press
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan.Bogor : Puslitbang – LIPI.
Manurung, Binari. 1995. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Medan : IKIP Medan.
Mulyani, Mul. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta : Rineka Cipta.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koestoer. Jakarta : Universitas Indonesia
Radiopoetro. 1986. Zoologi. Jakarta : Erlangga.
Suripto. 1997. Struktur Hewan. Bandung : ITB Bandung.
Suripto. 1997. Fisiologi Hewan. Bandung : ITB Bandung.
Tarumingkeng, Rudy. 1994. Dinamika Populasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Arhamin, http://ar_alvo.blogs.friendster.com/ar_news/ (Arhamin,Andani, Maiser Syaputra, Delizius Kolop. 2007. Studi keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) di sungai Ciapus (bagian hilir) Bogor ) Diakses 2 April 2007.
Diakses 17 April 2008.
http://www.kapuas.net. Diakses 15 Juni 2008.
http://www.unila.ac.id/~fp. Diakses 20 Juni 2008
...................................