CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil
penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA (part 2)
.........................................................
METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,biodiversity ,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella
raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result ,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman
hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe
ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya
berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan metode penelitian
herpetofauna dari sumber sumber yang ada
di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat
Just trying to summarize everything connected with metode penelitian herpetofauna from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA
?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA ATAU
MENJADI VOLUNTEER UNTUK KAMI...(+62)85866178866 ( whatsapp only )
Link chloepedia :
Herpetofauna 1
herpetofauna 2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2
Metode penelitian herpetofauna
dentifikasi katak
- 1. Ordo Gymnophiona• Latar Belakang Ordo Caudata
Ordo Anura Data mengenai Amfibi amfibi di Indonesia sangat minim Habitat
dan sumber makanan yang berkurang Rawa-rawa Gampong Tipe Bakoy Habitat
Area persawahan Perumahan penduduk
- 2. •Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian dalam latar belakangmasalah,
yang menjadi rumusan masalah dalampenelitian ini adalah bagaimana
keanekaragaman amfibikhususnya Ordo Anura di kawasan Gampong Bakoy.•Tujuan
Penelitian Adapun maksud dan tujuan diadakannya penelitianini adalah untuk
mengetahui keanekaragaman amfibikhususnya Ordo Anura di Gampong Bakoy
KecamatanIngin Jaya Kabupaten Aceh Besar.
- 3. •Manfaat penelitian1. Untuk melengkapi data dan informasi mengenai
jenis-jenis amfibi khususnya Ordo Anura di Gampong BakoyKecamatan Ingin
Jaya Kabupaten Aceh Besar.2. Menyediakan bahan studi lebih lanjut mengenai
amfibikhususnya Ordo Anura untuk kepentingan pengetahuan danpelestarian.
- 4. TINJAUAN PUSTAKA•Taksonomi Amfibi Amfibi adalah satwa bertulang
belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4.000 jenis
(Halliday & Adler, 2000). Goin, Goin & Zug (1978) memasukkan
sistematikaamfibi kedalam susunan klasifikasi sebagai berikut:Kingdom :
AnimaliaPhylum : ChordataSubphylum : VertebrataClass : AmphibiaOrdo :
Gymnophiona, Caudata dan Anura
- 5. •Morfologi Amfibia. Kodok• Berkaki pendek• Tidak pandai melompati•
Memiliki kulit yang tebal dan kasar b. Katak •Berkaki panjang •Pandai
melompat, dan lompatannya jauh •Memiliki kulit mulut dan tertutup lendir
- 6. •Habitat Amfibi Habitat utama amfibi adalah hutanprimer, hutan rawa,
sungai besar, sungai sedang, anaksungai, kolam dan danau (Mistar, 2003).
•Peranan Amfibi Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagikehidupan
manusia, yakni peranan ekologis maupunekonomis.
- 7. METODE PENELITIAN•Metode dan Rancangan Penelitian Metode yang
digunakan dalam penelitian iniadalah metode VES (Visual Encounter
Survey/SurveiPerjumpaan Visual) dengan Line Transek. Sedangkan survei
lokasi dilakukan pada sorehari sebelum pengamatan.
- 8. •Tempat dan Waktu Penelitian
- 9. •Populasi dan Sampel Penelitiana. Populasi Penelitian Populasi pada
penelitian adalah semua jenis amfibi(Ordo Anura) yang terdapat di Gampong
Bakoy.b. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah semua jenis amfibi
(OrdoAnura) yang ditemukan di area penelitian sepanjang jalurline transek.
- 10. •Alat dan Bahan 2. Pengumpulan specimen A. Alat •Headlamp dan baterai
•Ember specimen 1. Pembuatan transek •Spidol permanen pengamatan •Jam
tangan/stop watc • Meteran •Alat tulis • Kompas •Buku panduan • Tali rafia
identifikasi amfibi •Kaliper3. Pengukuran factor lingkungan
•Timbangan/neracaThermometer pegas (5, 10,100,250 gr)Higrometer •Tabung
sampelpH meter •KapasAlat dokumentasi •Kertas label dankamera dan baterai
benang •Kaca pembesar
- 11. B. Bahan •Alkohol 70 % •Formalin 4 %
- 12. •Prosedur Kerja Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut
:a. Dilakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitianb. Ditentukan
titik hitung di sepanjang line transek dan membuat batas daerah
penelitian.c. Dipersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam
penelitiand. Diukur parameter lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban
udara. Dilakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik
yang telah ditentukan sebelumnya.
- 13. e. Dimasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam emberyang telah
diberi label.f. Dibius hewan sampel yang ditemukan dengan alkohol 70 %.g.
Dihitung jumlah hewan sampel yang didapat.h.Dicatat data morfometri dan
data pendukung lainnya.i.Didokumentasikan hewan sampel yang
ditemukan.j.Diidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan
tabelidentifikasi sesuai dengan literatur buku.k.Diawetkan sejumlah hewan
sampel yang ditemukan denganformalin 4%.
- 14. • Teknik Analisis Data a. Keanekaragaman jenis amfibi Untuk mengetahui
keanekaragaman jenis digunakanIndeks Shannon-Wiener (Brower & Zar
1997). Nilai inikemudian akan digunakan untuk membandingkankenekaragaman
amfibi berdasarkan habitatnya. ni ni H= −Σ x ln N N Keterangan: H’ =
Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i N =
Jumlah individu seluruh jenis
- 15. 2. Kemerataan jenis amfibi Kemerataan jenis (Evenness) dihitung
untukmengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian(Bower
& Zar 1977). H’ E= Ln S Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis H’ =
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan
- 16. 3. Frekuensi jenis- Frekuensi Jenis Jumlah plot ditemukan jenis KR = x
100% Jumlah total plot pengamatan - Frekuensi Relatif (Suin, 2002 dan Cox,
1976) Frekuensi Jenis FR = x 100% Jumlah total frekuensi jenis
..........................
Jumat, 27
Februari 2015
Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!
Kodok jenis Bufo
melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering dipakai Duttaphrynus
melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae.
Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera,
Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup
menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru,
kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang
berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad, Common
Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies,
2006 ).
Kodok ini memiliki panjang antara
55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut
dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras
(biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas
moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum
(gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang
besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan
kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida,
alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang
penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et
al., 2011, Gomes et al., 2011).
Bagian punggung bervariasi
warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.
Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah
tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki
dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan
selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).
Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia.
Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi,
teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan
di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati
di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam pengamatan
sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau duduk
termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang
hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi
suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan
keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di
tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan
lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka
melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan
perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini
dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami
di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang
kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil
mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.
Dilaporkan bahwa jenis ini
merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006).
Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki
penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar
Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan
sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok
Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali.
Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat
menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah
para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti
pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar,
dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?
Untuk itu, bagi para herpetologis
atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok
ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi
selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini
juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.
Pustaka
Bhattacharjee, P,
Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity
and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of
Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon. 57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes,
A. 2011. Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1)
from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon.
58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa
dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI.
Bogor.
Menzies, J. 1976. Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft
Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N.,
Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi
Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International.
Jakarta.
Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan
Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)
Kodok jenis Bufo
melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering
dipakai Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan
ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di
Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan
Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti
bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok
brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad, Common
Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies,
2006 ).
Kodok ini memiliki panjang antara
55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut
dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras
(biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas
moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum
(gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang
besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan
kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida,
alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang
penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et
al., 2011, Gomes et al., 2011).
Bagian punggung bervariasi
warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.
Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah
tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki
dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan
selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).
Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia.
Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi,
teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan
di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati
di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam
pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat
atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik
pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat
tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas
manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor
atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di
rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa
takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan
melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari
kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan
kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama
yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil
mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.
Dilaporkan bahwa jenis ini
merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006).
Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki
penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar
Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan
sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok
Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali.
Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat
menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah
para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti
pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar,
dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?
Untuk itu, bagi para herpetologis
atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok
ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi
selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini
juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.
Pustaka
Bhattacharjee, P,
Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity
and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of
Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon. 57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes,
A. 2011. Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1)
from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon.
58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa
dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI.
Bogor.
Menzies, J. 1976. Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft
Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N.,
Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi
Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International.
Jakarta.
Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan
Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)
..................................
SEBARAN SATWA LIAR DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR
(WILDLIFE DISTRIBUTION IN CAMPUS OF BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY)
ABSTRAK
Pengamatan pola penyebaran satwa liar di
sekitar kampus IPB Dramaga Bogor dilakukan untuk mengetahui sebaran satwa
liar yang ada di sekitar Kampus IPB Dramaga Bogor. Dengan adanya informasi
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi pasti mengenai
sebaran satwa liar yang ada di kampus IPB Dramaga Bogor. Pengamatan dilakukan
di kampus IPB Dramaga Bogor yang dibagi menjadi empat site area pengamatan.
Pengamatan satwa liar dilakukan selama 6 kali ulangan yang dibagi menjadi dua
kali waktu pengamatan setiap kali ulangan yaitu pada pagi dan sore hari. Metode yang digunakan dalam
pengambilan data, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metoda
langsung dilakukan dengan mengamati diam, scan sampling, dan penjelajahan.
Sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan pemasangan live
trap. Satwa liar yang ditemukan antara lain dari kelas mamalia seperti Bajing
(Callossciurus notatus), Tupai (Tupaidae), Kelelawar (Rhinolophidae) dan
Garangan (Herpestes javanicus), kelas aves yaitu Walet (Collocalia
linchi), Tekukur (Streptopelia chinensis), Burung Madu Sriganti (Nectarinia
jugularis), Burung Gereja (Paser montanus), Cucak kutilang (Pycnonotus
aurigaster), Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Wiwik Uncuing (Cacomantis
sepulclaris), Cekakak Sungai (Todirhampus choloris) dan Bubut
Alang-alang (Centropus bengalensis) dan dari kelompok herpetofauna hanya
ditemukan Bunglon (Bronchochela jubata).
Kata Kunci :
Keanekaragaman, Satwaliar, Sebaran
PENDAHULUAN
Kampus IPB Dramaga
merupakan kampus yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan luas
256,97 hektar, kampus IPB Dramaga memiliki tipe vegetasi yang bervariasi.
Vegetasi yang bervariasi ini mencakup vegetasi homogen maupun campuran. Kampus
IPB Dramaga memiliki vegetasi mulai dari semak, padang rumput, tegakan
karet, tegakan pinus, tegakan sengon, hutan campuran, arboretum bambu, dan
taman. Dengan vegetasi yang beragam, kampus IPB dapat menjadi sebuah habitat
yang memadai bagi keanekaragaman hayati, khususnya satwa liar. Areal kampus IPB
Darmaga masih dapat dijumpai berbagai jenis mamalia, burung, ikan maupun
reptil. Keberadaan jenis-jenis satwaliar tersebut bagi IPB merupakan
kekayaan yang dapat mendukung terciptanya suasana kampus yang selaras dengan
lingkungan alami maupun sebagai obyek penelitian (Hernowo 1991).
Demi
mencegah hilangnya keberadaan satwaliar, maka diperlukan tindakan untuk menjaga
ekosistem satwaliar itu sendiri. Hal ini membutuhkan informasi persebaran
terbaru agar data yang diperoleh dapat memperbaharui data sebelumnya. Dengan
mengetahui persebaran satwaliar di kampus IPB Dramaga, khususnya sekitar
kandang Fakultas Peternakan maka dapat diperoleh homerange dari satwa liar
tertentu. Hal ini dapat memudahkan untuk mempelajari prilaku satwa.
Berdasarkan
latar belakang di atas, pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis
spesies, jumlah dan penyebaran satwa yang berada si sekitar kandang fakultas
peternakan IPB yang termasuk kedalam site lima plot tiga.
METODE PENELITIAN
Pengamatan
dilakukan di site lima plot tiga yang merupakan kawasan sekitar kandang
Fakultas Peternakan, Kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga. Pengamatan
dilakukan selama enam kali pengamatan. Mulai dari tanggal 9 – 21 Maret 2012.
Pengamatan ini dilakukan pada pagi hari sekitar pukul (06.00-07.30) dan
sore hari pukul (17.00-18.00) WIB. Alat dan bahan yang digunakan selama
pengamatan yaitu binokuler, tally sheet, field guide, alat tulis, dan
buku panduan lapang.
Metode
yang digunakan dalam pengambilan data, yaitu metode langsung dan metode tidak
langsung. Metoda langsung dilakukan dengan mengamati diam, scan sampling, dan
penjelajahan. Sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan pemasangan live
trap dan perekaman suara.
Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder
mengenaisebaran satwa liar. Data yang dikumpulkan selama pengamatan
meliputi waktupenemuan satwa, posisi penemuan satwa, dan aktivitas yang
dilakukan satwa
tersebut. Sedangkan Data ini diperoleh dari jurnal - jurnal yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati yang ada di
kammpus IPB Darmaga.
Data hasil pengamatan (data primer) dipindahkan ke
dalam peta lokasi pengamatan. Titik-titik lokasi pada peta digunakan untuk
menentukan daerah jelajah satwa, yaitu dengan menghubungkan titik-titik terluar
dari lokasi ditemukannya satwa.
Teritori satwa ditentukan dengan data deskriptif
berupa lokasi yang paling banyak dikunjungi oleh satwa. Faktor-faktor yang
berkaitan dengan teritori dianalisis dengan data sekunder.
HASIL
Satwa liar yang ditemukan di site tiga plot lima yang merupakan wilayah di
sekitar kandang Fapet terdiri dari 9 jenis burung, 4 jenis mamalia, dan 1 jenis
reptil. Seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1. Daftar jumlah
jenis spesies di site tiga plot lima kawasan kandang sapi Fakultas Peternakan
IPB
No.
|
Jenis
|
Jumlah
|
Lokasi dominan ditemukannya satwa
|
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
|||
1.
|
Walet
|
Collocalia linchi
|
94
|
SUB PLOT A
|
2.
|
Tekukur
|
Streptopelia chinensis
|
47
|
SUB PLOT A dan D
|
3.
|
Burung Madu Sriganti
|
Nectarinia jugularis
|
37
|
SUB PLOT A
|
4.
|
Burung Gereja
|
Paser montanus
|
20
|
SUB PLOT A
|
5.
|
Cucak kutilang
|
Pycnonotus aurigaster
|
53
|
SUB PLOT D
|
6.
|
Cinenen Pisang
|
Orthotomus sutorius
|
8
|
SUB PLOT D
|
7.
|
Wiwik Uncuing
|
Cacomantis sepulclaris
|
17
|
SUB PLOT B
|
8.
|
Cekakak Sungai
|
Todirhampus chloris
|
15
|
SUB PLOT D
|
9.
|
Bubut Alang-alang
|
Centropus bengalensis
|
7
|
SUB PLOT C
|
10.
|
Garangan
|
Herpestes javanicus
|
1
|
SUB PLOT A
|
11.
|
Tupai
|
Tupaidae
|
6
|
SUB PLOT A
|
12.
|
Bajing
|
Callossciurus notatus
|
48
|
SUB PLOT A
|
13.
|
Kelelawar
|
Rhinolophidae
|
2
|
SUB PLOT C dan D
|
14.
|
Bunglon
|
Bronchochela jubata
|
2
|
SUB PLOT A
|
Tabel 2. Diagram
jumlah jenis spesies di Kampus IPB Dramaga
Pembahasan
Satwaliar
merupakan semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar, baik yang hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (Alikodra 2001). Cakupan jenisnya
cukup luas, meliputi anggota vertebrata seperti mamalia, burung, ikan, reptil,
dan amfibi. Satwa liar hidup pada berbagai macam lingkungan baik berupa hutan
maupun kawasan hutan (Ekarelawan 1988). Seperti pada penelitian yang dilakukan
di kawasan sekitar kandang fakultas peternakan, di temukan berbagai macam
jenis burung, mamalia dan reptil.
Secara
umum, vegetasi yang ada di kandang fapet berupa semak belukar, kelapa sawit,
petai cina, Fabaceae, rumput, dan ilalang. Vegetasi tersebut biasa
digunakan sebagai habitat satwa liar. Habitat satwa liar dapat dikatakan
sebagai tempat hidup satwa liar (Odum 1971 & Moen 1973). Pada prinsipnya
satwaliar memerlukan tempat-tempat yang dapat digunakan untuk mencari makan,
berlindung, beristirahat, dan berkembangbiak. Selain habitat, faktor-faktor
yang memepengaruhi kehidupan satwa yaitu : (1) decimating factor yaitu faktor-faktor yang secara
langsung dapat menyebabkan kematian, seperti pemangsaan, penyakit, kecelakaan,
dan perburuan; (2) welfare
factors,yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan hidup
satwaliar, seperti kualitas makanan, penutup (cover), dan air; dan (3) influencing factors,yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, air, pelindung,
dan ruang, serta penyempitan habitat akibat kegiatan manusia (Wiersum 1973).
Kawasan
sekitar kandang sapi fakultas peternakan IPB temasuk kedalam site tiga plot
lima. Kawasan ini terbagi menjadi empat sub plot yang terdiri dari sub plot A,
B, C dan D. Sub plot A terdiri dari Padang rumput, Semak belukar di batas pagar
dan vegetasi pohon berupa lamtoro (Parkia speciosa) di sepanjang
jalan, Sub plot B terdiri dari rumput ilalang, pohon yang sudah tidak ada
daunnya sama sekali, dan juga terdapat beberapa jenis tumbuhan
bawah di sekitar ilalang, Sub plot C terdiri dari dominasi rumput pada
bagian atas, dan rumput ilalang serta semak belukar pada bagian bawah, selain
itu pada batas site terdapat pagar yang terbuat dari pagar alam berupa
semak belukar dan pohon dari suku Fabaceae sp. serta pagar buatan manusia,
sedangkan Sub plot D terdiri dari padang rumput yang didominasi oleh rumput dan
semak belukar, terdapat aliran sungai kecil dan juga pohon dari suku
fabaceae, tumbuhan pisang, serta rumput ilalang, pada sudut terdapat tumbuhan
sawit (Elaeisis guineensis). Vegetasi tersebut dapat memenuhi komponen
kebutuhan satwa yang terdiri dari pakan, cover dan air. Seluruh
kebutuhan tersebut diperoleh satwa dari lingkungannya atau habitat dimana satwa
liar hidup dan berkembang biak. Satwa liar yang terdapat dikawasan tersebut
meliputi:
1. Mamalia
Menurut Balen et al. (1986) di areal Kampus IPB Darmaga
ditemukan beberapa jenis mamalia, yaitu trenggiling (Psiittacula alexandri),
landak (Hystrix brachyura), musang (Paradoxurus hermaphroditus),
serta beberapa tikus dan kelelawar. Berdasarkan pengamatan yang telah
dilakukan, Di daerah sekitar kandang fapet ditemukan beberapa jenis mamalia,
diantaranya adalah garangan (Herpestes javanica), tupai(Tupaidae),
bajing kelapa (Callossciurus notatus), dan kelelawar (Rhinolophidae).
Dari jenis mamalia yang ditemukan, satu diantaranya merupakan jenis yang
dilindungi Undang-undang Perlindungan Binatang Liar 1931, yaitu garangan (Herpestes
javanica). Garangan (Herpestes javanica) merupakan mamalia yang
jarang ditemukan pada saat pengamatan. Hal ini dikarenakan tidak semua areal
pengamatan menyediakan sumber pakan yang cukup sehingga sehingga penyebarannya
pun tidak merata dan adanya gangguan pada tempat berlindung atau sarang dari
predator ataupun manusia. Selain itu, karena pengamatan dilakukan setiap
pagi dan sore hari, padahal garangan merepukan jenis satwa yang beraktivitas di
malam hari atau nokturnal, sehingga intensitas pertemuan sangatlah kecil dan
informasi tambahan dilihat berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan seperti
pendugaan sarang. Bajing kelapa (Callossciurus notatus) merupakan
mamalia yang paling dominan di sekitar kawasan kandang sapi fakultas peternakan
IPB. Hal
ini karena faktor kesesuaian habitat oleh Bajing Kelapa (Calociurus notatus) seperti ketersediaan
sumber pakan, sumber air, dan gangguan terhadap tempat berlindung (cover),
toleran terhadap gangguan dan sebagainya, dan keberhasilan dalam menerapkan
strategi adaptasi (Mackinon 2002 dan Rinaldi 1992). Di
kawasan ini pengamtan terdapat pohon sawit (Elaeis guineensis) yang buahnya merupakan pakan kesukaan dari
Bajing kelapa (Callossciurus notatus). Selain tersedianya sumber pakan
di kawasan ini juga sumber air berupa sungai serta tempat berlindung (cover).
Dari empat sub-plot yang diamati, paling sering ditemukan di sub-plot B
karena terdapat pohon sawit (Elaeis guineensis)
yang menjadi sumber kesukaan pakan dari bajing kelapa.
2. Burung
Menurut
Balen et al (1986) di areal Kampus IPB Darmaga
terdapat 68 jenis burung yang menetap atau singgah sementara. Salah satunya
adalah di sekitar kandang fakultas peternakan yang merupakan bagian
habitat dari burung yang ada di kampus IPB Darmaga. Ada beberapa jenis burung
yang ditemukan di kandang Fakultas Peternakan yaitu walet (Collocalia
linchi), burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung
cekakak sungai (Todirhampus chloris), burung wiwik uncuing (Cacomantis
sepulclaris), burung gereja (Paser montanus), burung tekukur (Streptopelia
chinensis), burung bubut alang-alang (Centropus bengalensis), burung
madu sriganti (Nectarinia jugularis), maupun burung cinenen pisang
(Orthotomus sutorius). Burung walet merupakan jenis burung yang memiliki
presentase paling besar yaitu sebesar 26,33% dan memiliki penyebaran yang luas.
Hal ini dikarenakan site III terdapat pakan yang cukup yaitu banyaknya jumlah
serangga. Faktor lain yang membuat burung walet melimpah karena adanya sumber
air yaitu sungai dan tajuk pohon yang berfungsi sebagai cover. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Arief (2005) bahwa burung walet merupakan satwa yang ketat
terhadap pemilihan habitat. Tempat yang sesuai dengan habitat walet adalah
bersuhu 26-30°C, berkelembaban udara 80-90% dan dekat dengan tempat ia mencari
makan. Bukan hanya itu saja tetapi harus aman dari gangguan, binatang predator,
terlindung dari terpaan angin, terik matahari, hujan dan cahaya yang terang.
Burung cekakak sungai (Halcyon cyanoventris) merupakan salah satu jenis burung yang
habitatnya tidak jauh dari air, karena sumber pakannya adalah ikan-ikan yang
ada di sungai. Burung cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster) dan tekukur
(Streptopelia chinensis) merupakan jenis burung yang mudah ditemui di
sekitar kandang fakultas peterakan. . Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di kampus IPB darmaga bahwa burung cucak kutilang (Pycnocotus
aurigaster) yang dominan ditemukan (Mulyani 1985). Tipe sebaran
populasi burung cucak kutilang adalah berkelompok. Selama pengamatan
berlangsung lebih sering menemukan burung cucak kutilang bertengger ataupun
terbang berkelompok dibandingkan yang soliter. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Mackinon (2002) bahwa cucak kutilang merupakan jenis burung yang suka
berkelompok yang aktif dan ribut, lebih menyukai pepohonan terbuka atau
bersemak di pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan atau bahkan
kota besar. Sedangkan jenis burung yang tergolong jarang dijumpai adalah bubut
alang-alang (Centropus bengalensis) sebesar 1.96%.
3. Reptil
Menurut
Balen et al (1986) di areal Kampus IPB Darmaga
terdapat jenis-jenis reptil dan amfibi yang antara lain : berbagai jenis
ular, kadal bunglon, tokek, kodok maupun katak. Berdasarkan data hasil
pengamatan, jenis reptil yang berada di sekitar kawasan kandang fakultas
peternakan adalah Bunglon (Bronchocela
jubata). Bunglon kerap ditemukan di semak, perdu dan pohon-pohon
peneduh. Sering pula didapati terjatuh dari pohon atau perdu ketika mengejar
mangsanya. Bunglon memangsa berbagai macam serangga yang dijumpainya seperti kupu-kupu, ngengat, capung, lalat dan lain-lain. Hal ini sejalan
dengan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi,
didapatkan bahwa kawasan ini di dominansi oleh semak belukar dan alang-alang
yang menjadi tempat favorit bagi bunglon. Selain itu perjumpaan spesies ini
dengan pakannya juga relatif sering, hal ini dibuktikan oleh seringnya
perjumpaan pengamat dengan kupu-kupu dan capung setiap pengamatan.Namun keanekaragaman reptil di sekitar kandang Fakultas Peternakan
tergolong rendah, hal ini dikarenakan reptil banyak ditemukan pada malam hari
karena umumnya reptil tergolong hewan nokturnal, malam hari reptil mulai
berktifitas. Sementara pengamatan lebih banyak dilakukan pada pagi dan sore
hari dibandingkan dengan malam hari. Hal ini menyebabkan rendahnya intensitas
pertemuan antara pengamat dengan satwa.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di seluruh site
kampus IPB Dramaga, ditemukan berbagai macam satwa mulai dari amfibi sampai
dengan mamalia. Ditemukan 46 jenis burung, lima jenis mamalia, tujuh jenis
amfibi dan 13 jenis reptil. Jenis yang paling melimpah jumlahnya adalah
burung walet dan burung cucak kutilang. Burung cucak kutilang dijumpai
disemua site. Jumlahnya pun beragam di site pertama berjumlah 421 ekor,
site II berjumlah 217 ekor, site III berjumlah 404 ekor dan site IV berjumlah
687 ekor. Banyaknya ditemukannya burung ini berkaitan dengan kesesuaian habitatnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Hernowo (2006) bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan
kelangsungan hidup, burung memerlukan habitat yang sesuai dan dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain
itu, habitat yang dijadikan sebagai tempat tinggal cucak kutilang memiliki
karakteristik sebagai berikut; memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi
(melimpahnya sumber pakan), daerah berbukit, terdapat aliran sungai dan wilayah
tersebut dapat memberikan fungsinya sebagai habitat cucak kutilang yaitu dalam
hal penyediaan makanan, sarang, berbiak dan tempat berlindung juga berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan, cucak kutilang cenderung memanfaatkan pohon
dengan strata B yaitu strata menengah dengan lanskap terbuka dan tajuk tidak
terlalu rapat, untuk aktivitas bertengger dan berlindung dimana pohon-pohon
tersebut umumnya memiliki cabang yang kokoh untuk bertengger serta menghindar
dari serangan predator (Dahlan 2008). Pernyataan diatas sesuai dengan kondisi
umum dari lokasi pengamatan yaitu di kampus IPB Darmaga secara keseluruhan, ada
site yang didominasi berbagai jenis hutan tanaman, areal pertanian, hutan
bambu, pepohonan terbuka, semak hingga padang rumput. Selain itu,
penutupan tajuk pohon yang ada di Kampus IPB Darmaga tidak terlalu rapat
sehingga memperoleh cahaya yang relative banyak. Intensitas cahaya sangat
penting bagi burung, terutama pada pagi hari. Karena cahaya matahari berguna
untuk metabolisme cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster). Selain itu
burung termasuk satwa yang memiliki mobilitas tinggi. Pergerakan burung dari
habitat satu ke habitat lainnya memerlukan waktu yang relative singkat (Aida
2002). Sehingga
menyebabkan jumlah burung cucak kutilang melimpah jumlahnya sesuai dengan
pernyataan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kampus IPB
darmaga bahwa burung cucak kutilang (Pycnocotus aurigaster) yang dominan
ditemukan (Mulyani 1985).
SARAN
Kampus
IPB Dramaga merupakan habitat yang sangat penting untuk sebaran satwa. Oleh karena itu
perlu adanya upaya-upaya konservasi seperti menjaga habitatnya agar tetap
lestari sehingga keanekaragaman satwa liar di kampus IPB terus terjaga.
Selain itu, perlu diadakannya monitoring
dan pengawasan sebaran satwa secara teratur agar dapat
mengetahui penyebaran satwa terbaru yang berguna
untuk pemantauan dan penjagaan keanekaragam hayati di Kampus IPB Darmaga.
KESIMPULAN
Dari
hasil pengamatan ditemukan tiga kelas satwa yaitu mamalia, aves dan reptil.
Pada kelas mamalia yang paling dominan adalah bajing kelapa, serta
terdapat jenis lain seperti tupai, garangan, dan kelelawar. Untuk reptil hanya
ditemukan bunglon. Sedangkan untuk aves yang paling dominan adalah burung walet
dari sembilan jenis burung lainnya, yaitu burung madu sriganti, tekukur, burung
gereja, cekakak sungai, cinenen pisang, cucak kutilang, wiwik uncuing dan bubut
alang-alang.
DAFTAR PUSTAKA
Aida, F. 2002. Analisis Bahan Sarang Burung Pecuk Padi
Hitam (Phalacrocorax sulcirostris) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut,
Teluk Jakarta. Jurnal Ilmiah
Nasional: Vol 8 : 241-247
Alikodra, H.S. 2001. Pengelolaan
Satwaliar Jilid 1.
Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB
Arief B.
2005. Budidaya dan Bisnis
Sarang Walet. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Dahlan. [H1] 2008. Pemanfaatan Berbagai Tipe Habitat Oleh
Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster Vieillot) Di Kebun Raya Bogor.Bogor:Institut
Pertanian Bogor hal:2 dan 6.
Ekarelawan.
1988. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kampus IPB Darmaga Melalui Pendekatan
Koinsepsi Hutan Kota [skripsi].Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hernowo,
JB, R Soekmadi, dan Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestaraian Satwaliar di Kampus
IPB Darmaga. Jurnal Media
Konservasi Vol.III (2): 43-65
Hernowo
JB, Wahyu TW. 2006. Population and Habitat of Javan Green Peafowl at Alas Purwo
National Park, East Java. Jurnal Ilmiah Bidang
Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Lingkungan Vol.
XI/No 3 Desember 2006.
Mackinon, J., Philipps, K., Balen, V.B. 2001. Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali, dan Kalimantan. Jakarta. Puslitbang Biologi-LIPI.
Mulyani,
Y.A. 1985. Studi Keanekaragaman Jenis Burung di Lingkungan kampus IPB Darmaga.
[Skripsi] Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Moen,
A.N.1973. Wildlife Ecology.Wh
Freeman and Company. San Fransisco
Odum
EP.1971. Fundamental of
Ecology. WB Sounders Co.Philadelphia-London-Toronto
Wiersum,
KF. 1973. Wildlife Utilization
and Management in Tropical Regioan. Agricultural
University, Nature
Conservation Departement. Wageningen
Van Ballen B, J.B Hernowo Y.A. Mulyani dan H.R. Putro.1986. The Bird
of Dramaga. Media
Konservasi. 1 (2) : 1-5.
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
.....................
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN
JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT
LAPORAN
GROUP PROJECT RESEARCH
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT
Oleh :
Andy Mandala Putra E34090043
Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
GROUP PROJECT RESEARCH
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT
Oleh :
Andy Mandala Putra E34090043
Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LAPORAN
GROUP PROJECT RESEARCH
JUDUL : Keanekaragaman Amfibi di Situ Kadondong, Desa Koleang,
Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat
KELOMPOK : 13 (tiga belas)
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
Mengetahui,
Asisten Pembimbing, Dosen Pembimbing,
Insan Kurnia, S.Hut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
NIP. NIP.
I. JUDUL
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT.
II. PENELITI
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
III. PEMBIMBING
Dosen : Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
Asisten : Insan Kurnia, S.Hut.
M. Farikin Yanuarefa, S.Hut.
IV. PENDAHULUAN
Situ Kadondong merupakan sebuah situ yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Sejak pertama kali dibangun pada masa penjajahan Belanda, Situ Kedondong telah difungsikan sebagai wadah penampungan air hujan yang kemudian akan dialirkan ke perkebunan-perkebunan milik Belanda di sekitar situ tersebut.
Saat ini, Situ Kadondong tetap menjadi salah satu sumber air bagi masyarakat Desa Koleang, baik digunakan untuk mengairi kebun maupun untuk mengairi persawahan. Bahkan terkadang dijadikan sebagai tempat untuk mencari ikan oleh beberapa warga sekitar. Keberadaan Situ Kadondong cukup menopang kehidupan warga, apalagi sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu, Situ Kadondong mulai dilirik sebagai objek wisata, baik oleh pemerintah daerah dan bahkan oleh masyarakat Desa Koleang sendiri. Namun, jika dilihat kondisinya saat ini, Situ Kadondong banyak mengalami perubahan. Situ yang memiliki luas sekitar 12 ha ini semakin lama semakin mengalami penyurutan air dan di beberapa titik tampak sampah yang tergenang. Beberapa jenis flora di Situ Kadondong semakin mengalami penurunan jumlah, misalnya pada pohon sagu yang merupakan jenis flora asli di Situ Kadondong. Selain flora, satwa pun mengikuti penurunan jumlah, kicauan burung, bajing dan tupai sudah jarang atau bahkan tidak terlihat lagi di dahan-dahan pohon sekitar danau.
Dalam rangka memperbaiki dan mengembalikan kondisi Situ Kadondong, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui kondisi situ, terutama mengenai status pencemarannya untuk kemudian digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan perbaikan ekologi Situ Kadondong . Untuk mengetahui status pencemaran di Situ Kadondong dapat digunakan indikator alami, yaitu amfibi dari jenis tetentu. Oleh karena itu perlu diketahui jenis amphibi apa saja yang terdapat di Situ Kadondong (keanekaragamannya) berikut dominasi beberapa jenis amfibi yang dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran.
V. TUJUAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman jenis
amphibi yang ada di Situ Kadondong.
VI. MANFAAT
Maanfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
1) sumbangsih terhadap sains dalam hal pengumpulan data terkait jenis amfibi yang terdapat di Situ Kadondong
2) sumbangsih terhadap masyarakat sebagai wacana keadaan umum atau status pencemaran Situ Kadondong agar tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap Situ Kadondong semakin meningkat
VII. TINJAUAN PUSTAKA
7.1 Keanekaragaman Satwa
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas. Secara umum, keanekaragaman hayati dibagi menjadi tiga taraf, yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman ekosistem.
Berkaitan dengan keanekaragaman, dikenal pula istilah kelangkaan yang merupakan anonimnya. Kelangkaan suatu spesies dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja. Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau langka.
7.2 Klasifikasi Amfibi
Amfibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu amphi yang berarti dua dan bios yang berarti hidup, sehingga dapat didefinisikan bahwa amphibi adalah hewan yang hidup di dua alam, yaitu daratan dan perairan. Adapun klasifikasi amfibi adalah :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
sub filum : Vertebrata
super kelas : Tetrapoda
kelas : Amphibia
7.3 Ciri Umum Amfibi
Secara umum, ciri-ciri amphibi meliputi :
a) bersifat poikiloterm
b) mempunyai struktur gigi yaitu gigi maxilla dan gigi palatum
c) bernafas dengan insang, kulit, dan paru-paru
d) kulit memiliki dua kelenjar, yaitu kelenjar mukosa dan kelenjar berbintil (biasanya beracun)
e) umumnya tidak memiliki cakar dan kuku
f) anggota geraknya anamotis pentadactylus
g) mempunyai sistem pendengaran (saluran tympanum)
7.4 Habitat dan Pola Hidup Amfibi
Secara umum, amfibi tersebar secara merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, dikarenakan iklim Indonesia yang berkategori tropis sehingga sesuai dengan sifat amfibi yang poikiloterm atau berdarah dingin, sifat poikiloterm telah membuat amfibi tidak dapat memproduksi panas sendiri dan membutuhkan panas matahari sebagai sumber panas tubuhnya.
Amfibi di Indonesia dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari habitat perairan air tawar, areal persawahan, daerah sungai, rawa hingga amfibi yang hidup di pohon. Terkait dengan pola hidupnya, secara umum amfibi hidup di perairan pada tahap awal kehidupannya dan hidup di daratan pada tahap selanjutnya. Namun, pada beberapa jenis amfibi, ada yang hidup di perariran selama hidupnya dan ada pula yang hidup di pohon selama hidupnya.
7.5 Keanekaragaman Amfibi
Keanekaragama amfibi adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan amfibi yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas amphibi.
Amfibi tergolong satwa yang cukup berperan dalam menjaga keseimbangan suatu ekosistem. Terganggunya populasi amfibi akan turut mengganngu populasi spesies lain. Misalnya, saat populasi amfibi terganggu maka populasi predator amfibi akan terganggu, atau yang terparah dapat menyebabkan kepunahan bagi predator amfibi tersebut, hal ini sudah tentu akan merusak jaring-jaring makanan yang telah terjalin di alam. Secara garis besar, gangguan populasi amfibi disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama disebabkan oleh pencemaran limbah.
VIII. KEADAAN UMUM LAPANGAN
Lokasi penelitian terletak di tengah-tengah Desa Koleang, dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Lokasi penelitian memiliki luas sekitar 12 ha dengan sagu (Metroxylon sagu) atau yang oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama kirai sebagai jenis flora asli. Adapun jenis flora lain yang turut tumbuh di bibir danau, antara lain kopo dan talas-talasan. Di Situ Kadondong, satwa yang ada sangat jarang terlihat. Namun, di lokasi penelitian dapat ditemukan beberapa ekor kowak malam kelabu. Berdasarkan informasi warga, di lokasi penelitian dapat terdapat ikan lele dan ikan bawal, bahkan terkadang tak jarang dapat ditemukan beberapa ekor biawak air. Pada beberapa titik di permukaan Situ Kadondong dapat ditemukan sampah yang tergenang.
IX. METODE PRATIKUM
A. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian adalah Situ Kadondong yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Letak Situ Kadondong terbilang jauh dari pemukiman warga Desa Koleang secara keseluruhan, pemukiman terdekat berjarak sekitar setengah kilometer dari Situ Kadondong. Di daerah pinggir Situ Kadondong bagian kiri muka terdapat sebuah rumah pemilik perkebunan pepaya Di Situ Kadondong belum ada penerangan yang memadai.
Penelitian hendak dilaksanakan pada tanggal 11 desember sampai dengan 28 Desember 2010, dengan 4 kali pengamatan. Penelitian akan dilakukan pada malam hari, mulai pukul 20.00 – 22.00 WIB.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang akan digunakan selama penelitian di lapang adalah :
1) Senter
2) Headlamp
3) Plastik specimen/ plastik bening ukuran setengan kilogram
4) Jam/ penunjuk waktu
5) Alat tulis
Alat yang akan digunakan selama pemasukan data adalah :
1) Alat tulis
2) Jangka sorong/meteran (alat ukur panjang)
3) Neraca pegas (alat ukur berat)
4) Buku lapang amfibi
C. Jenis Data
Jenis data yang akan diambil adalah herpetofauna dari kelas amfibi yang meliputi waktu, identifikasi jenis amfibi, jenis kelamin, SVL, bobot, x, y, dan aktivitasnya
D. Metode Pengambilan Data
Jenis data adalah amfibi dengan keanekaragamannya. Pengambilan data dilakukan pada malam hari selama 120 menit dalam setiap penelitian lapang, dimulai pukul 20.00-22.00 WIB, dan penelitian akan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Pengambilan data dilakukan dengan metode susur jalan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengelilingi Situ Kadondong seluas kurang lebih 12 ha secara penuh dengan wilayah jelajah sejauh 10 meter dari bibir danau.
E. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis amfibi yang ditemukan, mengukur bobot tubuh dan SVL-nya, serta menentukan jenis kelaminnya.. Kemudian menghitung jumlah amfibi dari tiap jenis yang ditemukan dan membuat grafik yang membandingkan jenis amfibi yang ditemukan terhadap jumlahnya.
LAMPIRAN
Tabel Inventarisasi Amfibi
NO WAKTU JENIS KELAMIN SVL BOBOT X Y AKTIVITAS KETERANGAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LAPORAN
GROUP PROJECT RESEARCH
JUDUL : Keanekaragaman Amfibi di Situ Kadondong, Desa Koleang,
Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat
KELOMPOK : 13 (tiga belas)
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
Mengetahui,
Asisten Pembimbing, Dosen Pembimbing,
Insan Kurnia, S.Hut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
NIP. NIP.
I. JUDUL
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI SITU KADONDONG, DESA KOLEANG, KECAMATAN JASINGA, BOGOR, JAWA BARAT.
II. PENELITI
KETUA : Andy Mandala Putra E34090043
ANGGOTA : Devi Aristyanti E34090056
Safrina Ayu T. E34090106
Arif Setyawan E34090122
III. PEMBIMBING
Dosen : Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc. F
Asisten : Insan Kurnia, S.Hut.
M. Farikin Yanuarefa, S.Hut.
IV. PENDAHULUAN
Situ Kadondong merupakan sebuah situ yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Sejak pertama kali dibangun pada masa penjajahan Belanda, Situ Kedondong telah difungsikan sebagai wadah penampungan air hujan yang kemudian akan dialirkan ke perkebunan-perkebunan milik Belanda di sekitar situ tersebut.
Saat ini, Situ Kadondong tetap menjadi salah satu sumber air bagi masyarakat Desa Koleang, baik digunakan untuk mengairi kebun maupun untuk mengairi persawahan. Bahkan terkadang dijadikan sebagai tempat untuk mencari ikan oleh beberapa warga sekitar. Keberadaan Situ Kadondong cukup menopang kehidupan warga, apalagi sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu, Situ Kadondong mulai dilirik sebagai objek wisata, baik oleh pemerintah daerah dan bahkan oleh masyarakat Desa Koleang sendiri. Namun, jika dilihat kondisinya saat ini, Situ Kadondong banyak mengalami perubahan. Situ yang memiliki luas sekitar 12 ha ini semakin lama semakin mengalami penyurutan air dan di beberapa titik tampak sampah yang tergenang. Beberapa jenis flora di Situ Kadondong semakin mengalami penurunan jumlah, misalnya pada pohon sagu yang merupakan jenis flora asli di Situ Kadondong. Selain flora, satwa pun mengikuti penurunan jumlah, kicauan burung, bajing dan tupai sudah jarang atau bahkan tidak terlihat lagi di dahan-dahan pohon sekitar danau.
Dalam rangka memperbaiki dan mengembalikan kondisi Situ Kadondong, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui kondisi situ, terutama mengenai status pencemarannya untuk kemudian digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan perbaikan ekologi Situ Kadondong . Untuk mengetahui status pencemaran di Situ Kadondong dapat digunakan indikator alami, yaitu amfibi dari jenis tetentu. Oleh karena itu perlu diketahui jenis amphibi apa saja yang terdapat di Situ Kadondong (keanekaragamannya) berikut dominasi beberapa jenis amfibi yang dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran.
V. TUJUAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman jenis
amphibi yang ada di Situ Kadondong.
VI. MANFAAT
Maanfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
1) sumbangsih terhadap sains dalam hal pengumpulan data terkait jenis amfibi yang terdapat di Situ Kadondong
2) sumbangsih terhadap masyarakat sebagai wacana keadaan umum atau status pencemaran Situ Kadondong agar tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap Situ Kadondong semakin meningkat
VII. TINJAUAN PUSTAKA
7.1 Keanekaragaman Satwa
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas. Secara umum, keanekaragaman hayati dibagi menjadi tiga taraf, yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman ekosistem.
Berkaitan dengan keanekaragaman, dikenal pula istilah kelangkaan yang merupakan anonimnya. Kelangkaan suatu spesies dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja. Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau langka.
7.2 Klasifikasi Amfibi
Amfibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu amphi yang berarti dua dan bios yang berarti hidup, sehingga dapat didefinisikan bahwa amphibi adalah hewan yang hidup di dua alam, yaitu daratan dan perairan. Adapun klasifikasi amfibi adalah :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
sub filum : Vertebrata
super kelas : Tetrapoda
kelas : Amphibia
7.3 Ciri Umum Amfibi
Secara umum, ciri-ciri amphibi meliputi :
a) bersifat poikiloterm
b) mempunyai struktur gigi yaitu gigi maxilla dan gigi palatum
c) bernafas dengan insang, kulit, dan paru-paru
d) kulit memiliki dua kelenjar, yaitu kelenjar mukosa dan kelenjar berbintil (biasanya beracun)
e) umumnya tidak memiliki cakar dan kuku
f) anggota geraknya anamotis pentadactylus
g) mempunyai sistem pendengaran (saluran tympanum)
7.4 Habitat dan Pola Hidup Amfibi
Secara umum, amfibi tersebar secara merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, dikarenakan iklim Indonesia yang berkategori tropis sehingga sesuai dengan sifat amfibi yang poikiloterm atau berdarah dingin, sifat poikiloterm telah membuat amfibi tidak dapat memproduksi panas sendiri dan membutuhkan panas matahari sebagai sumber panas tubuhnya.
Amfibi di Indonesia dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari habitat perairan air tawar, areal persawahan, daerah sungai, rawa hingga amfibi yang hidup di pohon. Terkait dengan pola hidupnya, secara umum amfibi hidup di perairan pada tahap awal kehidupannya dan hidup di daratan pada tahap selanjutnya. Namun, pada beberapa jenis amfibi, ada yang hidup di perariran selama hidupnya dan ada pula yang hidup di pohon selama hidupnya.
7.5 Keanekaragaman Amfibi
Keanekaragama amfibi adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan amfibi yang berhubungan erat dengan jumlah spesies suatu komunitas amphibi.
Amfibi tergolong satwa yang cukup berperan dalam menjaga keseimbangan suatu ekosistem. Terganggunya populasi amfibi akan turut mengganngu populasi spesies lain. Misalnya, saat populasi amfibi terganggu maka populasi predator amfibi akan terganggu, atau yang terparah dapat menyebabkan kepunahan bagi predator amfibi tersebut, hal ini sudah tentu akan merusak jaring-jaring makanan yang telah terjalin di alam. Secara garis besar, gangguan populasi amfibi disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama disebabkan oleh pencemaran limbah.
VIII. KEADAAN UMUM LAPANGAN
Lokasi penelitian terletak di tengah-tengah Desa Koleang, dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Lokasi penelitian memiliki luas sekitar 12 ha dengan sagu (Metroxylon sagu) atau yang oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama kirai sebagai jenis flora asli. Adapun jenis flora lain yang turut tumbuh di bibir danau, antara lain kopo dan talas-talasan. Di Situ Kadondong, satwa yang ada sangat jarang terlihat. Namun, di lokasi penelitian dapat ditemukan beberapa ekor kowak malam kelabu. Berdasarkan informasi warga, di lokasi penelitian dapat terdapat ikan lele dan ikan bawal, bahkan terkadang tak jarang dapat ditemukan beberapa ekor biawak air. Pada beberapa titik di permukaan Situ Kadondong dapat ditemukan sampah yang tergenang.
IX. METODE PRATIKUM
A. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian adalah Situ Kadondong yang terletak di Desa Koleang, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dikelilingi oleh perkebunan masyarakat dan dekat dengan areal persawahan. Letak Situ Kadondong terbilang jauh dari pemukiman warga Desa Koleang secara keseluruhan, pemukiman terdekat berjarak sekitar setengah kilometer dari Situ Kadondong. Di daerah pinggir Situ Kadondong bagian kiri muka terdapat sebuah rumah pemilik perkebunan pepaya Di Situ Kadondong belum ada penerangan yang memadai.
Penelitian hendak dilaksanakan pada tanggal 11 desember sampai dengan 28 Desember 2010, dengan 4 kali pengamatan. Penelitian akan dilakukan pada malam hari, mulai pukul 20.00 – 22.00 WIB.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang akan digunakan selama penelitian di lapang adalah :
1) Senter
2) Headlamp
3) Plastik specimen/ plastik bening ukuran setengan kilogram
4) Jam/ penunjuk waktu
5) Alat tulis
Alat yang akan digunakan selama pemasukan data adalah :
1) Alat tulis
2) Jangka sorong/meteran (alat ukur panjang)
3) Neraca pegas (alat ukur berat)
4) Buku lapang amfibi
C. Jenis Data
Jenis data yang akan diambil adalah herpetofauna dari kelas amfibi yang meliputi waktu, identifikasi jenis amfibi, jenis kelamin, SVL, bobot, x, y, dan aktivitasnya
D. Metode Pengambilan Data
Jenis data adalah amfibi dengan keanekaragamannya. Pengambilan data dilakukan pada malam hari selama 120 menit dalam setiap penelitian lapang, dimulai pukul 20.00-22.00 WIB, dan penelitian akan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Pengambilan data dilakukan dengan metode susur jalan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengelilingi Situ Kadondong seluas kurang lebih 12 ha secara penuh dengan wilayah jelajah sejauh 10 meter dari bibir danau.
E. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis amfibi yang ditemukan, mengukur bobot tubuh dan SVL-nya, serta menentukan jenis kelaminnya.. Kemudian menghitung jumlah amfibi dari tiap jenis yang ditemukan dan membuat grafik yang membandingkan jenis amfibi yang ditemukan terhadap jumlahnya.
LAMPIRAN
Tabel Inventarisasi Amfibi
NO WAKTU JENIS KELAMIN SVL BOBOT X Y AKTIVITAS KETERANGAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
..........................
Minggu, 12 Mei
2013
METODE – METODE LAPANGAN
Di dalam dunia taksonomi, interaksi
dengan berbagai spesimen hewan sering terjadi, banyak diantara spesimen hewan
yang dijadikan kajian di dalam mata kuliah Taksonomi Hewan Vertebrata ini
didapatkan dengan cara menangkap langsung di alam, sehingga para ahli sangat
memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi hewan-hewan yang ada di lapangan.
Akhirnya para ahli tersebut membuat cara-cara yang mudah untuk mendapatkan
hewan-hewan tersebut. Cara-cara yang mudah untuk mendapatkan hewan-hewan
tersebut dikenal dengan nama Metode-Metode Lapangan. Metode Lapangan itu
sendiri adalah berbagai metode untuk
menangkap jenis-jenis hewan khususnya hewan vertebrata dan melibatkan alat-alat
yang membutuhkan keterampilan tersendiri dalam pemakaiannya. Ada dua macam metode yang dapat
digunakan untuk menangkap hewan di lapangan, yaitu metode pasif dan metode aktif.
Metode pasif merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan hewan vertebrata
dengan mengunakan kecanggihan alat yang kita gunakan. Sedangkan metode aktif
adalah suatu metode yang digunakan untuk menangkap hewan secara langsung di
lapangan (peneliti terjun langsung ke lapangan). Setelah mendapatkan hewan
vertebrata yang kita inginkan, maka kita bisa langsung mengidentifikasinya, dan
memberi nama, atau mencari tahu namanya.
Beberapa metode lapangan yang sesuai
dengan kelas-kelas yang ada di dalam vertebrata, yaitu :
Kelas Pisces
Kelas ini dicirikan
dengan habitnya yang mutlak terhadap air. Adapun cara yang digunakan untuk
mengoleksi jenis-jenis dari kelas ini adalah dengan menggunakan alat bantu,
berupa pancing, jala, pukat, fish trap, sentrum listrik (electrical snatcher)
dan sebagainya. Cara tangkap langsung bisa menggunakan pancing, jala dan pukat,
dalam penggunaannya tidak memerlukan keterampilan khusus. Menangkap ikan dengan menggunakan pancing ikan, yang biasanya
berbentuk tongkat panjang. Sentruman, digunakan untuk menangkap ikan dengan
mengalirkan listrik ke dalam air. Listriknya bisa berasal dari aki atau dari
aliran listrik PLN. Setelah listrik dialiri ke dalam air, ikan akan pingsan,
setelah itu ikan tersebut ditangkap dan diidentifikasi. Selanjutnya jaring,
yang berbentuk rajutan pilinan benang yang digunakan untuk menangkap ikan,
rajutan ini panjang.
Digunakan secara merentangkanya dengan menghadap kearah
datangnya arus. Selanjutnya pukat, pada dasarnya prinsip kerja pukat sama
dengan jala. Bentuknya pun persis sama. Hanya saja pukat ini merupakan metode
aktif untuk menangkap ikan. Hal ini dikarenakan setelah dipasang alat ini harus
ditarik secara melingkar untuk mengepung ikan, agar ikan yang didapat lebih
banyak.
Fish trap merupakan metode yang digunakan untuk menangkap ikan. Alat ini
biasanya berbentuk segi empat yang terbuat dari rajutan tali dan kawat-kawat
kecil. alat ini termasuk alat pasif, karena kita menggunakan kecanggihan alat
ini untuk mendapatkan ikan. Cara penggunaan fish trap ini pertama kali dibuka
tutupnya (yang lebih besar diantara kedua sisi fish trap), kemudian diikatkan
pelet sebagai umpan ikan didalam tempat umpan didalam fish trap agar ikan mau
mendekat ke fish trap. Celah tempat masuk ikan dipasangkan menghadap mengarah
kearah datangnya arus, agar ikan dengan mudah masuk ke dalam fish trap, alat
ini diletakkan dalam keadaan terbenam serta sedatar mungkin, kemudian masukan
batu kedalam alat ini sebagai pemberat agar alat ini tidak hanyut terbawa arus
air, lalu ikatkan alat ini dengan tali pada pepohonan terdekat, hal ini
bertujuan agar alat yang kita pasang ini tidak hanyut.
Setelah alat ini terpasang sempurna
kita bisa meninggalkan alat ini dan di cek dalam jangka waktu 1x/6jam atau
apabila tangkapan banyak atau ketersediaan ikan banyak di daerah tempat kita
meletakkan fish trap maka kita harus mengecek 1x/1jam. Ikan hasil tangkapan
sebaiknya diambil didalam air hal ini bertujuan supaya sisik-sisik ikan tidak
rusak apabila di ambil di luar air maka spesimen ikan tersebut akan rusak.
Kelebihan alat ini adalah lebih
efesien waktu, lebih sederhana dan simpel. Adapun kekurangan alat ini adalah
ikan yang didapat adalah ikan kecil-kecil, serta kemungkinan ranting kayu atau
sampah juga dapat masuk ke dalam alat ini.
Fish Trap sebelum
didalam
air
Fish Trap didalam air
|
Kelas Amphibi dan Reptil
Kelas ini karena melalui
siklus metamorfosis didalam kehidupannya, maka kelas amphibi tetap mempunyai
ketergantungan yang kuat kepada air. Hal ini bisa digunakan sebagai petunjuk
dalam mencari keberadaan individu amphibi dan reptil. Kebanyakan dari mereka
bisa ditemukan pada banir kayu, disekitar arus air, dan tempat yang lembab
lainnya. Adapun cara yang
digunakan untuk mengoleksi jenis-jenis dari kelas ini adalah dengan menggunakan
alat bantu, berupa metode aktif night visual encounter, metode banir search
method dan metode pasif pitfall trap drift fences method. Metode night visual encounter adalah
metode tangkap langsung pada malam hari dengan menggunakan bantuan penerangan
(senter, lampu kendaraan, obor). Biasanya dilakukan penyisiran disekitar badan
perairan. Setiap individu yang terlihat ditangkap langsung dengan tangan serta
mengarahkan penerangan ke arah mata hewan tersebut yang bertujuan untuk
membutakan.
Adapun metode
banir search method adalah metode dengan pola petak kuadrat. Yaitu membuat
plot, 4 pancang mengelilingi banir pohon dan diikat dengan tali lalu pemfokusan
penangkapan didalam petak kuadarat tersebut. Sedangkan pitfall trap drift
fences method adalahmetode yang digunakan untuk menangkap hewan
melata/Herpetofauna (Amphibi dan Reptil). Metode pasif Pit fall trap drift fences methods merupakan metoda
gabungan antara perangkap dengan pemakaian pagar pengarah. Metode ini biasanya
diterapkan pada daerah teresterial untuk menangkap hewan amphibi dan reptil yang aktif bergerak dan berukuran lebih
kecil. Alat ini biasanya dipasang pada muara sungai dimana hewan reptil dan amphibi air hidup sebagai habitatnya.
Alat dan bahan yang di gunakan pada
metode ini adalah bambu, terpal hitam, ember berukuran sedang sebanyak 4 buah
atau lebih, sabun colek, serasah. Cara kerjanya, pertama tancapkan bambu ke
tanah, ikat terpal ke bambu, masukkan ke dalam tanah kira-kira dengan kedalaman
10 cm. Tanah di gali dibalik terpal tersebut sebagai tempat meletakkan beberapa
ember. Posisi ember di kanan kiri dibuat secara zig-zag agar hewan yang datang
tidak akan mudah lolos. Pada permukaan bawah ember tersebut sebaiknya dilobangi
supaya air yang masuk bisa keluar dengan mudah dan tidak tergenang dalam ember.
Letakkan serasah supaya terjadi
kelembapan dalam ember tersebut. Oleskan sabun colek di mulut ember supaya
licin. Agar hewan yang terperangkap tidak bisa keluar lagi. Pemasangan hedaknya pada sore hari, dan dibiarkan semalam.
Paginya di cek apakah ada amphibi dan reptil yang terjebak, hal ini dilakukan
karena hewan Herpetofauna hanya aktif pada malam hari, sehingga pemasangan Pit
Fill Trap dilakukan pada malam hari.
Metode lain yang digunakan untuk kelas
reptil adalah snake tongs (penjepit yang seperti tang panjangnya 2m), dan
menggunakan paralon yang cukup panjang. Dalam penggunaan paralon, pada ujung
paralon diberi umpan, dan di letakkan ke arah akar pohon atau banir. Hal ini
bertujuan agar ular yang tertangkap tidak bisa keluar lagi karena pada
prinsipnya reptil tidak bisa bergerak mundur. Kemudian snack glue yaitu berupa
lem yang dapat menangkap hewan-hewan yang melintas di atasnya.
Kelas Aves
Metode yang paling umum digunakan untuk kelas ini
adalah mist net (jala kabut) dan digiscoping. Mist net merupakan alat yang digunakan untuk menangkap burung.
Alat ini bentuknya seperti jala yang terbuat dari serat nilon berwarna gelap,
dengan lebar 3 meter. Jaring ini mempunyai mata jala yang berukuran 36mm atau
bisa lebih besar tergantung dengan ukuran burung yang akan di tangkap. Panjang
mist net ada yang 12,9, dan 6 meter. Mist net menggunakan Tonggak (bambu),
tali, kantong burung, tali, kayu/tongkat.
Cara
memasang alat ini yaitu: yang pertama tentukan dahulu tempat dan daerah
kondusif yang diperkirakan banyak burungnya. Seperti di punggung bukit, dekat
aliran sungai, dan tempat lainya. Kemudian rentangkan mist net dengan
mengikatkanya ke tonggak atau bambu, dengan bantuan tongkat nabi musa. Tongkat
ini bisa digunakan untuk menarik dan menurunkan mist net yang sudah terpasang.
Alat ini dipasang berjarak 50 cm dari permukaan tanah agar mamalia yang
berjalan tidak ikut terjebak pada alat ini. Dalam pemasangan mist net ada beberapa
hal yang harus diperhatikan, pertama hindari pemakaian alat-alat asesoris
seperti cincin kalung dan lainya dalam pemasangan mist net, karena bisa
mengakibatkan mist net kusut. Kedua hendaknya pemasangan mist net ini dilakukan
jam 6 pagi, dan dilepas jam 6 sore.
Hal
ini bertujuan agar burung yang didapatkan banyak, karena waktu aktif dari
burung adalah dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Setelah dipasang dilakukan
pengecekan 1 jam sekali, karena jika burung yang didapatkan dibiarkan saja
terjebak di Mist net akan berakibat fatal, karena burung bisa mati. hal ini
dikarenakan burung memiliki stress yang tinggi. Burung yang sudah tertangkap,
bagian kakinya dulu yang dilepaskan baru bagian kepala. Karena burung kalau
nyangkut di mist net yang duluan nyangkut adalah bagian kepalanya maka untuk
melepaskannya bagian kaki yang di keluarkan dulu.
.......................................
PROPOSAL
KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN
JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)
DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA
KAPUAS
Untuk memenuhi persyaratan melakukan penelitian
Dalam rangka penyusunan Skripsi
Nama : Arief Rahman
NPM : 306.11.201301.04.061
Jurusan : Pendidikan
MIPA
Program
Studi : Pendidikan Biologi
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP PGRI ) BANJARMASIN
BANJARBARU
2007/2008
KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN
JENIS AMFIBI (ORDO ANURA)
DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS
Nama : Arief
Rahman
NPM : 306.11.201301.04.061
Jurusan : Pendidikan MIPA
Program Studi : Pendidikan Biologi
Disetujui oleh Dosen pembimbing untuk melaksanakan
Penelitian dalam rangka penulisan skripsi
Pada Tanggal :
Dosen
pembimbing I,
Drs.
Abidinsyah, M.Pd
NIP. 132 966 765
|
Dosen
pembimbing II,
Siti
Ramdiah, M.Pd
NIP.
132 311 159
|
Mengetahui
Ketua
Program Studi Pendidikan Biologi,
Drs.Abidinsyah,
M.Pd
NIP. 132 966
765
|
A. JUDUL
KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN JENIS AMFIBI
(ORDO ANURA) DI PERSAWAHAN HANDIL BARAS KUALA KAPUAS
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran
untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah
spesies suatu komunitas. Keanekaragaman hayati tersebut dapat dibagi ke dalam
tiga taraf yang berbeda yakni keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman genetik
dan keanekaragaman spesies.
Katak
dan kodok merupakan hewan Amfibi yang tersebar hampir di seluruh dunia,
termasuk Indonesia yang memiliki sekitar 450 jenis spesies. Iklim tropis
Indonesia merupakan habitat alami yang cocok bagi katak dan kodok untuk
mempertahankan hidup dan menjaga metabolisme tubuhnya.
Keanekaragaman
dan kelimpahan spesies amfibi tentu saja berdampak besar bagi ekosistem dan
keanekaragaman spesies lain yang hidup di habitat tersebut. Dengan menjaga
kelestarian habitatnya, maka spesies mampu bertahan terhadap gangguan-gangguan
alami. Tentunya hanya pengaruh manusia yang mungkin menyebabkan terancamnya
populasi katak. Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia
ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan katak pada
daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam
rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya
dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat
berakibat langsung dengan punahnya predator katak. Akan tetapi yang lebih
mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak
merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi
kini penggunaan pestisida yang
meluas di sawah-sawah yang akanmerusak telur-telur dan berudu katak, serta
mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya. Sebagian pestisida
bersifat persisten, misalnya organofosfat dan karbamat. Pestisida yang bersifat
persisten umumnya lebih berbahaya, karena sukar untuk dikeluarkan setelah
berada didalam jaringan tubuh (www.wikipediaindonesia.co.id).
Kelangkaan
suatu hewan dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, tepatnya intensitas
(kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Suatu spesies hewan yang
prevalensinya tinggi dapat lebih sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya
luas. Berbeda halnya dengan suatu spesies yang prevalensinya rendah, karena
daerah penyebarannya sempit hanya dijumpai pada tempat-tempat tertentu saja.
Dengan memperhatikan kedua aspek kelimpahan tersebut maka pengertian spesies
umum ataupun spesies langka akan menjadi acuan penting dalam menentukan
prioritas pelestarian suatu spesies hewan yang termasuk kategori jarang atau
langka (Suripto, 1997).
Sawah dibuat pada lahan yang tidak sarang
(pourus) dengan cara membuat petak-petak yang dibatasi pematang sehingga
memungkinkan untuk membentuk lahan yang tergenang. Karena dibuat untuk tujuan
budidaya tanaman padi, keragaman flora dan fauna di sawah relatif terbatas,
diantaranya adalah hewan katak, ular, ikan dan berbagai spesies serangga baik
yang bersifat hama maupun tidak.
Desa Handil Baras merupakan salah satu
daerah persawahan pasang surut di Kabupaten Kapuas. Persawahan merupakan salah
satu habitat yang cocok dengan kehidupan amfibi, hal ini disebabkan oleh
temperatur suhu lingkungan sawah yang cocok dengan metabolisme tubuh amfibi.
Area persawahan desa Handil Baras menggunakan sistem tumpang sari, yakni
menanam tumbuhan lain di sekitar pematang.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
sebelumnya, persawahan Handil Baras dialiri beberapa oleh sungai-sungai kecil,
serta diselingi dengan perumahan penduduk dan berbatasan langsung dengan jalan
raya. Ditinjau dari lingkungan tersebut, diperkirakan terdapat lebih dari satu
jenis spesies amfibi (ordo Anura) yang hidup pada lingkungan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian Keanekaragaman dan kemelimpahan
jenis amfibi (ordo
Anura) di persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
C. RUMUSAN MASALAH
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari di area
persawahan tersebut ?
2. Bagaimana kemelimpahan jenis amfibi (ordo
Anura) yang aktif di malam
hari di area persawahan tersebut ?
D. BATASAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
diberikan batasan masalah sebagai berikut :
1. Jenis amfibi
(ordo Anura) yang ditemukan diidentifikasi sampai tingkat spesies.
2. Jenis amfibi (ordo Anura) yang diteliti
adalah yang aktif di malam hari.
E. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di malam hari
yang terdapat di area persawahan tersebut.
2. Untuk
mengetahui kemelimpahan jenis amfibi (ordo Anura) yang aktif di
malam hari yang terdapat di area
persawahan tersebut.
F. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian
ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum tentang keanekaragaman
dan kemelimpahan
jenis amfibi (ordo Anura) di area persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
G. TINJAUAN
PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Amfibi
Amfibi berasal dari kata amphi yang artinya rangkap dan bios yang artinya hidup. Amfibi umumnya
didefinisikan sebagai hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua alam, yakni di air dan di daratan. Amfibi
bertelur di air atau menyimpan telurnya di tempat yang lembab dan basah. Ketika
menetas, larvanya yang dinamai berudu hidup di air dan bernafas dengan insang. Setelah beberapa
lama, berudu kemudian berubah bentuk (bermetamorfosa) menjadi hewan dewasa yang umumnya
hidup di daratan atau di tempat-tempat yang lebih kering dan bernafas dengan paru-paru(www.wikipediaindonesia.co.id).
Amfibi
terdiri dari tiga bangsa. Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya
bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Bangsa kedua yang paling kecil, tetapi sangat jarang ditemui adalah Sesilia
atau Gymnophiona, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampak
jelas dan mudah dikelirukan dengan cacing. Sebagian besar amfibi Indonesia
termasuk bangsa ketiga, yaitu Anura (Iskandar, 1998).
Menurut
Verma (1979), Amfibi mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
a. Berdarah
dingin (poikiloterm)
b. Kulit
halus dan kasar serta banyak mengandung kelenjar
c. Sisik-sisik
bila ada tersembunyi di dalam kulit
d. Tengkorak
berartikulasi dengan tulang atlas melalui duacondylus occipitalis
e. Tungkai
bila ada bertipe fentadactyla
f. Eritrosit
bikonveks, oval, dan bernukleus
g. Jantung
terdiri atas dua atrium, satu ventrikel dan satu konus
h. Arcus
artat simetris
i. Pada
stadium awal, pernafasan melalui insang
j. Telur-telur
amfibi dibungkus oleh bahan gelatin
Ciri-ciri
lain pada amfibi yaitu mempunyai dua pasang kaki dan pada setiap kakinya
terdapat selaput renang yang terdapat diantara jari-jari kakinya, berfungsi
untuk melompat dan berenang, matanya mempunyai selaput tambahan yang disebut
membrana niktitans yang sangat berfungsi waktu menyelam. Alat pernafasan pada
saat dewasa berupa paru-paru dan kulit. Hidung amfibi mempunyai katup yang
mencegah air masuk ke dalam rongga mulut ketika menyelam, dan berkembang biak
dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantan di luar tubuh
induknya (pembuahan eksternal).
2. Tinjauan Umum tentang Anura
Bangsa
Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, mencakup 16
famili. Ordo Anura mempunyai ciri-ciri umum yakni ukuran tubuh pendek, lebar
dan kaku. Tungkai depan lebih kecil dan lebih pendek daripada tungkai belakang,
kepala dan badan bersatu, serta tidak mempunyai ekor.
a. Morfologi
Kodok
dan katak/bangkong termasuk dalam bangsa Anura dan merupakan hewan amfibi yang
paling dikenal orang di Indonesia. Meski mirip, katak dan kodok adalah
dua jenis hewan yang berbeda. Kodok bertubuh pendek, gempal atau kurus,
berpunggung agak bungkuk, umumnya berkulit halus, lembab, dengan kaki belakang
yang panjang. Sebaliknya katak atau bangkong bertubuh besar, berkulit kasar dan
kering, berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, dan kaki belakangnya
pendek. Pada beberapa jenis katak, sisi tubuhnya terdapat lipatan kulit
berkelenjar mulai dari belakang mata sampai di atas pangkal paha, yang disebut
lipatan dorsolateral.
Katak
mempunyai mata berukuran besar, dengan pupil mata horisontal dan vertikal. Pada
beberapa jenis katak, pupil matanya berbentuk berlian atau segi empat, yang
khas bagi masing-masing kelompok. Pada kebanyakan jenis, binatang betina lebih
besar daripada yang jantan. Ukuran katak dan kodok di Indonesia bervariasi dari
yang terkecil hanya 10 mm, dengan berat hanya satu atau dua gram sampai jenis
yang mencapai 280 mm dengan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar, 1998).
b. Perkembangbiakan
Kodok
dan katak mengawali hidupnya sebagai teluryang
diletakkan induknya di air,
di sarang busa, atau di
tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodokpegunungan menyimpan
telurnya di antara lumut-lumut
yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutanyang
lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu
menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Katak
mampu menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan
berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.
Telur-telur
kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air.
Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan
tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru.
Kodok
dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya
pada saat bulan mati atau
pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan
berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa
jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentuk (Kaloula baleata),
kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul
berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya,
yang akan menggembung besar manakala digunakan.
Pembuahan pada
kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya
dan memeluk erat ketiak betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki
belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang
pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke
air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.
c. Habitat
dan Makanan
Kodok
dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang
berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah
bermusim empat (temperate),
jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok
termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk
mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.
Katak
dan kodok dapat dikelompokkan menurut pemisahan habitatnya. Habitat pertama
selalu berkaitan dengan kegiatan manusia, misalnya Bufo melanostictus, kategori
kedua adalah jenis yang hidup di atas pepohonan misalnya suku Racophoridae,
kategori ketiga adalah jenis yang hidup di habitat yang terganggu, misalnya
jenisRana baramica, dan kategori keempat adalah yang hidup di hutan
primer dan sekunder, misalnya jenis Bufo
biportacus.
Semua
amfibi adalah karnivora. Makanannya terutama terdiri dari Arthropoda, cacing
dan larva serangga, terutama untuk jenis kecil. Jenis yang lebih besar dapat
memakan binantang yang lebih kecil, seperti ikan kecil, udang, kerang, katak
kecil atau katak muda, dan bahkan kadal kecil. Namun kebanyakan berudu katak
adalah herbivora, kecuali berudu Kaloula
dan Kalophrynussama sekali tidak makan, dan sepenuhnya mendapat makanan
dari kuning telur yang tersedia. BeruduOccidozyga bersifat karnivora, terutama
memakan larva serangga dan cacing tanah. Berudu biasanya makan di dasar
perairan dan beberapa jenis mencari makan di permukaan air.
d. Mekanisme
Pertahanan
Amfibi
tidak mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri. Pada beberapa jenis katak
mempunyai geligi seperti taring di bagian depan rahang atas sebagai alat
pertahanan diri dengan cara menggigit musuhnya. Katak dan kodok juga mempunyai
kaki belakang yang lebih panjang daripada kaki depan, yang berfungsi untuk
melompat dan menghindar dari bahaya.
Alat
lain yang efektif sebagai pertahanan diri adalah kulit yang beracun. Banyak
jenis Bufonidae dan Ranidae mampunyai kelenjar racun yang tersebar di permukaan
kulit dan tonjolan-tonjolan, misalnya Dendrobates
pumilio. Beberapa
jenis dari suku Microhylidae mempunyai kulit yang sangat lengket sehingga
predator menjauhinya.
3. Jenis-jenis Anura di Indonesia
Bangsa
Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari
lebih 4.100 jenis katak dan kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari
Indonesia, yang berarti mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia
(Iskandar, 1998).
Suku
Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae, suku yang paling
sederhana untuk Indonesia, suku Megophrydae dengan 15 jenis dalam empat marga,
suku Bufonidae dengan 35 jenis
dan terdiri dari enam marga; Microhylidae merupakan suku terbesar di Indonesia.
Suku Ranidae mempunyai sekitar 100 jenis terbagi dalam delapan marga, suku
Pipidae dengan dua jenis yang diintroduksi ke Jawa, suku Rhacophoridae diwakili
oleh lima marga dan 40 jenis, suku Lymnodynastidae yang diwakili oleh dua
marga, suku Myobatrachidae yang diwakili oleh tiga marga, dan suku
Pelodryadidae mempunyai sekitar 80 jenis yang tersebar di subwilayah Papua.
4. Peranan dan Aktifitas
Katak berperan sangat penting sebagai
indikator pencemaran lingkungan. Tingkat
pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi
katak yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan katak
sebagai indikator lingkungan karena katak merupakan salah satu mahluk purba
yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi katak tetap eksis dengan perubahan
iklim bumi. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan,
maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika
pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat
langsung dengan punahnya predator katak.
Katak
dan kodok di Indonesia umumnya diperdagangkan bahkan diekspor ke luar negeri,
seperti Cina. Jenis yang banyak diperdagangkan adalah Fejerva cancrivora (kodok sawah, katak hijau atau
katak rawa) dan Limnonectes macrodon (katak batu). Penjualan katak di toko
binatang piaraan, baru dimulai bebrapa tahun terakhir. Beberapa jenis kodok
dari Amerika Selatan yakni Xenopus
laevis danHymenochirus sp. dikenal menjadi subyek
penelitian binatang percobaan. Jenis-jenis ini dapat menjadi ancaman kepunahan
bagi jenis lokal, misalnya Rana
catesbeiana atau kodok tebu
dan Bufo marinus seperti yang telah terjadi di
Australia dan Filipina (Iskandar, 1998).
5.
Tinjauan Umum Daerah Penelitian
Kabupaten
Kapuas mempunyai luas 14.999.000 Ha, termasuk daerah beriklim tropis dan lembab
dengan temperatur berkisar antara 21°-23° C dan maksimal mencapai 36° Celsius.
Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup
banyak sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan
aktif/tebal. Curah hujan terbanyak pada bulan Januari dan April, berkisar
diantara 865 – 871 mm, sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni
sampai dengan Juli (www.kapuas.net).
Handil
Baras merupakan salah satu desa yang terdapat di Kelurahan Selat Hulu Kecamatan
Selat dan termasuk ke dalam wilayah kota Kuala Kapuas. Desa Handil Baras adalah
kawasan pasang surut yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan sehingga
mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani.
Penelitian ini dilakukan di area
persawahan yang terdapat di desa Handil Baras. Lokasi penelitian yang telah
ditentukan dibuat batas daerah
penelitian dengan luas 2 hektar sebagai tempat
penelitian.
6. Penelitian lain yang relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Lilik Sartono tentang keanekaragaman jenis Anura di kawasanYouth Camp Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul
Rachman. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2007.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Perjumpaan Visual (Visual
Encounter Survey), yang meliputi metode Transek dan metode Timed Constraint Search (pencarian dibatasi dengan waktu).
Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan 118 ekor Anura dari 10 spesies
yang berbeda yang terdiri dari 4 famili. Famili
Ranidae yang ditemukan ada 5 spesies meliputi Rana
nicobariensis, Rana
chalconota, R. hosii, Limnonectes macrodon, dan Fejervarya limnocharis. Pada famili Bufonidae terdapat 3 spesies
yang ditemukan yaitu Bufo
melanostictus,B. quadriporcatus, dan Pelophryne brevipes. Pada famili Rhacophoridae terdapat 1
spesies yang ditemukan yaituPolypedates leucomystax dan pada famili Microhylidae terdapat
1 spesies yang ditemukan yaitu Microhyla
annectens. Berdasarkan Indek
Keanekaragaman Shannon Wiener & lsquos jenis Anura di kawasan Youth Camptergolong sedang
dengan nilai H = 2,0048.
Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Arhamin, Andani,
Maiser Syaputra, dan Delizius Kolop, yakni studi keanekaragaman jenis
amfibi (ordo Anura) di Sungai Ciapus (bagian hilir) Bogor. Dari hasil
pengamatan yang dilakukan di sungai Ciapus (bagian hilir) berhasil ditemukan
empat jenis amfibi ordo Anura dari dua famili. Keempat jenis tersebut adalah Bufo asper, Bufo melanostictus, Rana chalconota, danFejervarya
limnocharis. Jenis Bufo
asper memiliki jumlah yang
melimpah, sedangkan jenis Rana
chalconota memiliki jumlah
yang paling sedikit. Jenis amfibi yang berjenis kelamin betina memiliki jumlah
terbesar yaitu 16 ekor dengan persentase 72,73 % sedangkan yang berjenis
kelamin jantan ada 4 ekor (18,18
%) dan dua ekor juvenil dengan persentase 9,09 %.
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis
Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey/Survei
Perjumpaan Visual) dengan Line
Transek. Metode Line Transek adalah metode pengamatan dengan
cara berjalan perlahan terus menerus dan mencatat semua kontak di sepanjang
kedua sisi jalur perjalanannya. Penelitian ini tidak berdasarkan panjang transek,
tetapi akan berdasarkan pada waktu yang dilakukan
pada malam hari dengan durasi waktu sekitar 2-3 jam.Sedangkan survei lokasi
dilakukan pada sore hari sebelum pengamatan.
2. Waktu
dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan
pada bulan Mei – Agustus 2008, dari tahap persiapan sampai dengan selesai, yang
dilakukan di area persawahan desa Handil Baras Kelurahan Selat Hulu Kecamatan
Selat Kabupaten Kuala Kapuas.
3. Populasi
dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Penelitian
Populasi
pada penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang terdapat di area
persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.
b. Sampel
Penelitian
Sampel
penelitian adalah semua jenis amfibi (ordo Anura) yang ditemukan di area
penelitian sepanjang jalurline transek.
4. Alat
dan Bahan
a. Alat
yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Rool
meter, untuk mengukur area persawahan dan panjang transek.
2. Ember,
wadah spesimen.
3. Kamera,
alat dokumentasi.
4. Jam
tangan dan Stop watch, untuk mengukur waktu dan durasi waktu penelitian.
5. Alat
tulis.
6. Tali
Rafia, untuk membuat jalur dan batas Line
Transek.
7. Senter,
untuk alat penerangan.
8. Tabel
Identifikasi (Iskandar, 1998), untuk mengidentifikasi spesies.
9. Timbangan
digital, untuk mengukur berat spesies (gram).
10. Tally
Sheet, untuk pengumpulan data morfometri spesies dan data pendukung lainnya
(meliputi aktifitas, waktu saat ditemukan, dan substrat).
11. Termometer,
untuk mengukur suhu lingkungan (°C).
12. Luxmeter,
untuk mengukur intensitas cahaya (lux bath).
13. DO
meter, untuk mengukur oksigen terlarut (cm).
14. pH meter, untuk mengukur pH tanah dan
kelembaban tanah (ppm).
b. Bahan
yang digunakan
1. Alkohol
70 %, untuk membius spesimen.
2. Formalin
4 %, untuk mengawetkan spesimen.
5. Prosedur
Penelitian
Adapun
prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan
observasi pendahuluan ke lokasi penelitian
2. Menetukan
titik hitung di sepanjang line
transek dan membuat batas
daerah penelitian.
3. Mempersiapkan
alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian
4. Mengukur
parameter lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban tanah, intensitas cahaya,
dan oksigen terlarut.
5. Melakukan
proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik yang telah ditentukan
sebelumnya.
6. Memasukkan
hewan sampel yang ditemukan ke dalam ember yang telah diberi label.
7. Membius
hewan sampel yang ditemukan dengan alkohol 70 %.
8. Menghitung
jumlah hewan sampel yang didapat.
9. Mencatat data morfometri dan data
pendukung lainnya.
10. Mendokumentasikan
hewan sampel yang ditemukan.
11. Mengidentifikasikan
hewan sampel yang ditemukan dengan tabel identifikasi sesuai dengan literatur
buku (Iskandar, 1998).
12. Mengawetkan
sejumlah hewan sampel yang ditemukan dengan formalin 4 %.
6. Teknik
Pengumpulan Data
Data
amfibi yang diambil terbagi atas data utama dan data penunjang. Data utama
yakni jenis spesies dan data morfometri yang meliputi ukuran Snout-Vent Length
(SVL) yaitu panjang dari moncong hingga kloaka, jenis kelamin, dan berat tubuh.
Sedangkan data penunjang meliputi waktu saat ditemukan, substrat, dan aktifitas
hewan saat ditemukan.
7. Teknik
Analisis Data
Jenis
amfibi (ordo Anura) yang ditemukan dihitung dengan menggunakan rumus. Untuk
mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan jenis katak dan kodok yang diperoleh
maka digunakan perhitungan statistik sebagai berikut :
a. Untuk
menghitung nilai kemelimpahan menggunakan rumus Nilai Penting (NP) menurut Odum
dalam Manurung (1995).
NP = KR + FR
Keterangan :
NP = Nilai penting
FR = Frekuensi Relatif
KR= Kerapatan Relatif
Dimana
:
Kerapatan ( K ) =
|
Jumlah
individu suatu spesies
|
Jumlah
seluruh kuadrat
|
Kerapatan Relatif ( KR )=
|
Kerapatan
suatu spesies
|
x 100%
|
Kerapatan
seluruh spesies
|
Frekuensi ( F ) =
|
Jumlah plot ditempati suatu spesies
|
Jumlah seluruh
kuadrat
|
Frekuensi Relatif ( FR )=
|
Frekuensi
spesies
|
x 100%
|
Frekuensi
seluruh spesies
|
||
b. Untuk
menghitung keanekaragaman dapat dihitung dengan indeks Diversitas
(keanekaragaman) Shannon-Winner dalam Manurung (1995).
H¢ = - ∑ ( Pi ) . ( Log . Pi )
Keterangan ;
Pi = Kemelimpahan proporsional dari jenis
ke –i
Sehingga
Pi = Ni / N
Ni = Jumlah individu
jenis ke-i
N = Jumlah individu
keseluruhan jenis kedalam komunitas
8. Jadwal
Penelitian
No.
|
Kegiatan
|
Bulan
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
2
3
4
|
Persiapan
Penelitian
Pengolahan
data
Penyusunan
Laporan
|
x
|
x
|
x
x
|
x
x
|
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, Agus. 2005. Ekologi
Hewan. Malang : UM Press
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan
Lapangan.Bogor : Puslitbang – LIPI.
Manurung, Binari. 1995. Dasar-dasar Ekologi Hewan.
Medan : IKIP Medan.
Mulyani, Mul. 1991. Mikrobiologi
Tanah. Jakarta : Rineka
Cipta.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan
dan Laboratorium.
Terjemahan Yanti R. Koestoer. Jakarta : Universitas Indonesia
Radiopoetro. 1986. Zoologi. Jakarta : Erlangga.
Suripto. 1997. Struktur
Hewan. Bandung : ITB Bandung.
Suripto. 1997. Fisiologi
Hewan. Bandung : ITB Bandung.
Tarumingkeng, Rudy. 1994. Dinamika
Populasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Arhamin, http://ar_alvo.blogs.friendster.com/ar_news/ (Arhamin,Andani, Maiser Syaputra,
Delizius Kolop. 2007. Studi
keanekaragaman jenis amfibi (ordo Anura) di sungai Ciapus (bagian
hilir) Bogor ) Diakses 2 April 2007.
PILI-NGO Movement.http://www.pili.or.id/headline_news_read_detail.php
Diakses 17 April 2008.
...................................