CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil
penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA (part 3)
.........................................................
METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,biodiversity ,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella
raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result ,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman
hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe
ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya
berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan metode penelitian
herpetofauna dari sumber sumber yang ada
di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat
Just trying to summarize everything connected with metode penelitian herpetofauna from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA
?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA ATAU
MENJADI VOLUNTEER UNTUK KAMI...(+62)85866178866 ( whatsapp only )
Link chloepedia :
Herpetofauna 1
herpetofauna 2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2
Metode penelitian herpetofauna
DIVERSITY IN VARIOUS TYPES AMPHIBIANS HABITAT IN TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK
Achmad A.*, Ambarwati
M, Fajarani F, Tobias P, Gugum P, dan Dessy W.
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10, Rawamangun Jakarta13220.
Telp/Fax (021)4894909
*email : ahmad_zerman@yahoo.co.id
Abstract
Amphibian is one of ecosystem compiler
component having a real important role, both ecological and economical.
Research about amphibian in Indonesia is still very limited. The study was
implemented at three habitat types including forests, river and field. The data
was collected by Visual Encounter Survey. That data was analyzed descriptively
as well as statistically to calculate species dominance (D), diversity (H’) and
similarities. There were 37 species recorded (Order Anura), consisting of 5
families: Bufonidae (1 species), Megophryidae (2 species), Microhylidae (1
species), Ranidae (7 species) and Rhacophoridae (1 species). The highest
species diversity was in forest habitat (7 species), while the lowest
species diversity in field habitat (5 species). The highest H’ value was
in forest habitat (H’ = 1.61) while the lowest was in field habitat
(H’ = 1.24). The highest similarity was between forest habitat and river (IS=31%),
and the lowest was between field habitat and river (IS=9%)
Keywords: Diversity, amphibians,
KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI
BERBAGAI TIPE HABITAT DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG HALIMUN SALAK
Achmad A.*, Ambarwati
M, Fajarani F, Tobias P, Gugum P, dan Dessy W.
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10, Rawamangun
Jakarta13220. Telp/Fax (021)4894909
*email : ahmad_zerman@yahoo.co.id
Abstrak
Amfibi adalah salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan yang sangat penting, baik ekologi dan ekonomis.
Penelitian tentang amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian
dilakukan di tiga jenis habitat termasuk hutan, sungai dan sawah. Data yang dikumpulkan oleh Survei Visual Encounter.Analisis data
dilakukan secara deskriptif dan statistik
untuk menghitung dominasi spesies (D), keragaman (H ') dan kesamaan. Ditemukan sebanyak 12 spesies yang dicatat (Ordo Anura), terdiri dari
lima family : Bufonidae (1
spesies), Megophryidae (2 spesies), Microhylidae (1 spesies), Ranidae (7
spesies) dan Rhacophoridae (1 spesies). Keragaman spesies tertinggi di habitat
hutan (tujuh spesies), sementara keragaman spesies terendah di habitat sawah (5 spesies). Nilai keanekaragaman
tertinggi di habitat hutan (H' = 1.61) sedangkan terendah di habitat sawah (H '= 1,24). Kesamaan tertinggi antara habitat
hutan dan sungai (IS = 31%), dan terendah adalah antara bidang habitat dan ri
Kata
Kunci : Keanekaragaman, Amfibi,
PENDAHULUAN
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Jawa Barat merupakan kawasan konservasi dengan luas 113.357 ha. Kawasan meupakan daerah penting penting karena melindungi hutan hujan dataran rendah yang terluas di daerah ini, dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Dengan iklim yang basah, Taman Nasional ini merupakan sumber mata air dari beberapa sungai yang alirannya tidak pernah kering sepanjang tahun, dan delapan buah air terjun (Hartono, 2007). Banyaknya aliran sungai yang ada merupakan habitat yang tepat bagi satwa amfibi. Karena sebagian besar amfibi memerlukan air untuk berkembangbiak.
Beberapa penelitian mengenai keanekaragaman amfibi di
daerah TNGHS menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman di wilayah ini cukup
tinggi. Pada penelitian yang dilakukan di bulan Oktober 2001 (Liem,1973)
ditemukan dua puluh jenis amfibi, yang terdiri dari dua jenis dari suku
Megophryidae, empat jenis dari suku Bufonidae, satu jenis dari suku
Microhylidae, sepuluh jenis dari suku Ranidae, dan lima jenis dari suku
Rhacophoridae.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi di
berbagai tipe habitat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dengan mengetahui
seberapa besar tingkat keanekaragaman jenis amfibi di TNGHS maka diharapkan
dapat membantu upaya konservasi terhadap amfibi di TNGHS.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7-9 Juli 2011 di kawasan hutan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian deskriptif dengan observasi langsung secara Visual Encounter
Survei.
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan penelitian
amfibi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) antara lain:Senter,
kantong spesimen, jangka sorong, meteran, weathermeter, biopori/linggis,
paralon/trashbag, lembar pengamatan, kamera digital Sony 12,1 MP
PEMBAHASAN
Lokasi penelitian pertama merupakan habitat hutan yang
terletak pada ketinggian 950-1100 m dpl dengan kondisi kerapatan penutupan
tajuk terhadap permukaan tanah tidak begitu rapat, sedangkan kondisi
vegetasinya memiliki stratifikasi yang cukup tinggi tajuk mulai dari tumbuhan
bawah (rumput dan semak) hingga tingkat pohon. Lokasi penelitian kedua yaitu
habitat sungai, secara umum topografi habitat ini adalah datar dengan substrat
sungai yaitu bebatuan, habitat sungai yang peneliti gunakan ada dua lokasi
yaitu sungai yang terdapat di dalam hutan dan sungai yang terdapat di sekitar
areal persawahan. Lokasi penelitian ketiga yaitu habitat persawahan, topografi
dari habitat ini juga datar dengan vegetasi yang sangat minimal yaitu tanaman
padi.
Kondisi fisik yang diambil dari tiap habitat yaitu
suhu, kelembaban dan derajat kelembaban, dengan kisaran suhu 20-22 OC,
sedangkan kelembaban berkisar antara 75-89%.
Jumlah jenis amfibi yang ditemukan pada seluruh lokasi
penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu 12 jenis amfibi. Dari
12 jenis amfibi yang ditemukan memiliki komposisi sebagai berikut: 7 jenis
dari suku Ranidae, 2 jenis dari suku Megophrydae, 1 jenis dari suku
Microhylidae, 1 jenis dari suku Rhacophoridae, dan 1 jenis dari suku Bufonidae.
Jenis yang memiliki individu terbanyak adalah Rana calconata (20 individu) dan
Limnonectes kuhlii (12 individu), sedangkan jenis yang memiliki individu
terendah adalah Rana erythrea (1 individu).
Jenis yang ditemukan di lantai hutan lebih banyak (10) dibandingkan jenis yang
ditemukan di perairan (2). Sebaran jenis anurayang ditemukan sangat bervariasi, misalnya jenis Limnonectes kuhlii lebih sering dijumpai di
sekitar aliran sungai, diatas batu ditepi sungai, sedangkan jenis-jenis Rana lebih sering dijumpai pada tangkai
pohon atau diatas dedaunan. Jenis dari suku Megophrydae yaitu Megophrys
montana dan Leptobrachium haseltii lebih sering
dijumpai di lantai hutan, hal ini karena M.montana danL.haseltii merupakan
jenis katak terestrial yang hidup di serasah untuk bertahan hidup.
Berdasarkan tabel keanekaragaman (H’) di atas, maka
nilai H’ tertinggi dari tiga tipe habitat terdapat pada tipe habitat hutan
(1,61) dengan 7 jenis, sedangkan terendah pada tipe habitat sungai (1,52)
dengan 6 jenis. Nilai keanekaragaman di habitat hutan dan sungai tergolong
sedang karena menurut margalef (1972) dalam magurran (1988) menyatakan
bahwa tingkat kelimpahan jenis yang tinggi ditunjukkan dengan nilai Indeks
Shannon-Wienner lebih dari 3,5; digolongkan sedang bila nilai indeks 1,5 sampai
3,5 serta rendah bila kurang dari 1,5.
Menurut Primack et al. (1998) bahwa
satwa liar akan semakin beranekaragam bila struktur habitatnya juga
beranekaragam. Ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik
turunnya keragaman jenis suatu komunitas, yaitu: waktu, heterogenitas, ruang,
persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978),
sedangkan menurut Goin & Goin (1971) kecocokan terhadap suhu dan
kelembaban, penutupan tajuk dan formasi tanah merupakan faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman. Heterogenitas habitat pada daerah tropis memiliki
ketidakseragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang
lebih besar pada jenis tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi komunitas
hewan yang sangat beranekaragam (Campbell 2004b).
Dari perhitungan yang dilakukan menggunakan rumus Sorensen (Odum, 1993)
untuk menghitung indeks kesamaan dari berbagai tipe habitat yang diamati.
Didapatkan bahwa tipe habitat hutan dan sungai memiliki persamaan yang
terbesar, yaitu sebesar 31%. Sedangkan sawah dan sungai memiliki persamaan terkecil
sebesar 9%. Pada tipe habitat hutan dan sawah memiliki persamaan 16%.
Besarnya persentase persamaan tersebut disebabkan jenis amfibi yang ada
dihabitat tersebut tidak terlalu berbeda. Pada hutan dan sungai ini disebabkan
oleh struktur habitat di kedua tempat ini tidak terlalu berbeda karena lokasi
sungai yang peneliti amati merupakan sungai yang terletak di dalam jalur hutan,
sedangkan sungai yang terletak di pinggir sawah tidak kami temukan katak sama
sekali, hal ini karena aliran sungai yang cukup deras. Sehingga ini menyebabkan
jenis-jenis yang ada tidak terlalu beragam. Pada sungai dan sawah persamaan
jenis yang ada kecil ini disebakan struktur habitat yang berbeda.
KESIMPULAN
Jumlah jenis katak yang ditemukan sebanyak 12 jenis.
Keanekaragaman yang terdapat pada habitat sawah lebih rendah dibandingkan pada
habitat hutan dan sungai sedangkan dominansi pada habitat sawah merupakan
dominansi yang paling tinggi dibandingkan habitat lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keanekaragaman yang terdapat pada tiga tipe habitat tidaklah
begitu berbeda, pada habitat hutan dan sungai memiliki keanekaragaman jenis
amfibi yang tergolong sedang dan pada habitat sawah memiliki keanekaragaman
jenis amfibi yang tergolong rendah.
Pada indeks kesamaan pada tiga tipe habitat yang
berbeda didapatkan bahwa tipe habitat hutan dan sungai memiliki persamaan yang
terbesar, yaitu sebesar 31%. Sedangkan sawah dan sungai memiliki persamaan
terkecil sebesar 9%. Pada tipe habitat hutan dan sawah memiliki persamaan
16%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih peneliti ucapkan kepada:
1.
Tuhan Yang Maha
Esa karena atas izin-Nya lah kami dapat melakukan penelitian ini dengan lancar.
2.
Ka Gugum Prayoga
sebagai mentor kami yang telah meluangkan banyak waktu tidurnya untuk membantu
kami dalam penelitian ini.
3.
Ka Dessy
Widyanita sebagai asisten mentor yang telah memberikan banyak saran kepada
kami.
4.
Ka Agus, Ka
Insan, Ka Kilat, Ka Vivi, Ka Obi, Ka Yono, Rahmat F, Riko, dan Ardiansyah yang
telah meluangkan waktu tidurnya untuk membantu kami dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang
Biologi-LIPI: Bogor.
Kusrini, Mirza D. 2009. Pedoman Penelitian dan
Survei Amfibi di Alam. Pustaka Media Konservasi: Bogor.
Hartono, T., H. Kobayashi, H. Widjaya, M. Suparmo. 2007. Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Edisi revisi.
JICA-BTNGHS-Puslit Biologi LIPI-PHKA.Pp 48+vi
Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriatna. 2007. Biologi
Konservasi Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Fajri, Maria. 2009. Perbandingan keanekaragaman jenis amfibia di hutan kota srengseng dan cibubur. UNJ: Jakarta
Frost, D. R. Et. All. 2006. The Amfibin Tree of life. Bulletin of The American Museum of Natural History, New York No.297:370 hlm.
Duellman, W. E. & L. Trueb. 1986. Biology of Amfibins. USA: Mcgraw-hill, Inc
LAMPIRAN
Tabel 1. Komposisi
Jenis Amfibi Pada tiga habitat
No.
|
Jenis Kekerangan
|
Habitat
|
|||||
Hutan
|
Sungai
|
Sawah
|
|||||
1.
|
Rana Calconata
|
9
|
2
|
9
|
|||
2.
|
Rana hosii
|
-
|
2
|
-
|
|||
3. Rana
nicobar
|
-
|
-
|
2
|
||||
4. Rana
erythrea
|
- -
|
-
|
1
|
||||
5. Huia
masonii
|
8
|
5
|
-
|
||||
6. Limnonectes
kuhlii
|
1
|
11
|
-
|
||||
7. Fejervarya
cancrivora
|
-
|
-
|
7
|
||||
8. Megophrys
montana
|
2
|
-
|
-
|
||||
9. Leptobrachium
haseltii
|
2
|
-
|
-
|
||||
10. Leptophryne
borbonica
|
2
|
4
|
-
|
||||
11. Microhyla
achatina
|
2
|
-
|
1
|
||||
12. Rhacophorus
javanus
|
-
|
2
|
-
|
||||
Jumlah
|
26
|
26
|
20
|
Tabel 2. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Dominasi (D) pada tiga
habitat
Habitat
Pengamatan
|
indeks
|
Jumlah jenis
|
||
Keanekaragaman
(H’)
|
Dominansi
(D)
|
|||
Hutan
|
1,61
|
0,25
|
7
|
|
Sungai
|
1,52
|
0,24
|
6
|
|
Sawah
|
1,24
|
0,34
|
5
|
Tabel 3. Kondisi fisik di setiap tipe habitat
Tipe
Habitat
|
||||
Suhu
(oC)
|
Kelembaban
(%)
|
Derajat kelembaban
(oC)
|
||
Hutan
|
21
|
87
|
22,5
|
|
Sungai
|
22,6
|
89
|
24,1
|
|
Sawah
|
20,4
|
75
|
22,7
|
Tabel 4. Posisi umum masing-masing jenis saat dijumpai
Tipe Habitat
|
Posisi
|
||||||||
Rana Calconata
|
Diatas
daun dan tangkai pohon
|
||||||||
Rana hosii
|
Diatas daun
|
||||||||
Rana
nicobar
|
Dilantai persawahan
|
||||||||
Rana
erythrea
|
Dilantai persawahan
|
||||||||
Huia
masonii
|
Diatas daun, tangkai, serasah, diatas batu, dan di
dalam air
|
||||||||
Limnonectes kuhlii
|
Diatas batu dan di dalam air
|
||||||||
Fejervarya
cancrivora
|
Dilantai persawahan
|
||||||||
Megophrys
montana
|
Di antara serasah daun/ lantai hutan
|
||||||||
Leptobrachium
haseltii
|
Di lantai hutan/ di antara serasah daun
|
||||||||
Leptophryne
borbonica
|
Diatas batu, di tepi sungai, di atas daun dan di
tangkai daun
|
||||||||
Microhyla achatina
|
Diatas daun dan di lantai persawahan
|
||||||||
Rhacophorus margaritifer
|
Diatas daun
|
||||||||
Lampiran foto spesies yang di temukan
..............................
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kulit dapat digunakan sebagai sebuah
produk dalam kondisi setelah proses penyamakan, retanning, peminyakan,
pewarnaan, pengeringan saja. Umumnya kulit mengalami tahapan yang disebut
finishing walaupun dilakukan dengan sangat sederhana/simple. Ada usaha untuk
meningkatkan tampilan agar menambah daya tarik, meningkatkan daya jual dengan
memperbaiki cacat yang ada baik yang disebabkan cacat alami, penyimpanan (
luka, bekas penyakit, serangga dll) atau terjadi selama proses berlangsung
seperti warna dasar yang tidak rata, luntur, tidak matching dengan
contoh maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan walau hanya untuk
menyesuaikan dengan hue, shading, tone warna seperti
contoh.
Finishing juga dilakukan untuk
mencapai tujuan tertentu seperti memberikan tampilan, corak, pengangan
permukaan (touch/feel/handle) yang berbeda lebih lembut, licin, kasar,
berminyak (oily, waxy), silky, warna kontras, brilliant,
pull-up, antic, two-tone, dan lain - lain.
Obyek finishing adalah memberikan
sifat tertentu pada permukaan /grain dan dalam waktu yang bersamaan harus
menonjolkan dan mempertahan sifat naturalis (alami) kulitnya.
B.Permasalahan
1. Apakah ada teknologi finishing untuk
kulit reptil
2. Bagaimana teknik Finishing yang baik
untuk kulit reptil
3. Apakah ada perbedaan antara
permukaan kulit reptile yang di finishing dengan kulit reptil yang
tidak di finishing
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan
proposal ini adalah :
1. Untuk mengetahui teknik finishing
pada kulit reptile
2. Untuk meningkatkan kualitas kulit
reptile dengan cara memahami betul cara finishing yang baik untuk kuli reptil
3. Untuk memberikan informasi kepada
pengusaha kulit bahwa kulit reptile yang difinishing memiliki nilai tambah yang
tinggi
D. Manfaat
Manfaat yang penulis harapkan
diantaranya:
1. Meningkatkan pemahaman tentang cara dan teknik
finishing yang baik untuk kulit reptil
2. Teknik finishing kulit reptile ini bertujuan untuk
meningkatkan nilai jual kulit sehingga harapannya setelah kulit difinishing
kenampakan kulit menjadi lebih baik dan lebih menarik
3. Teknik Finishing untuk kulit reptil ini mempunyai
peranan yang tinggi untuk mencetak generasi yang ahli dalam bidang finishing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Finishing
Menurut Purnomo ( 2009 ),finishing
adalah usaha untuk meningkatkan tampilan agar menambah daya tarik,
meningkatkan daya jual dengan memperbaiki cacat yang ada baik yang disebabkan
cacat alami, penyimpanan ( luka, bekas penyakit, serangga dll) atau terjadi
selama proses berlangsung seperti warna dasar yang tidak rata, luntur, tidakmatching dengan
contoh maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan walau hanya untuk
menyesuaikan dengan hue, shading, tone warna seperti
contoh. Finishing juga dilakukan untuk tujuan tertentu seperti memberikan
tampilan, corak, pengangan permukaan (touch/feel/handle) yang berbeda
lebih lembut, licin, kasar, berminyak (oily, waxy), silky,
warna kontras, brilliant, pull-up, antic, two-tone,
dll. Obyek finishing adalah memberikan sifat tertentu pada permukaan /grain dan
dalam waktu yang bersamaan harus menonjolkan dan mempertahan sifat naturalis
(alami) kulitnya.
Adapun tujuan dari finishing itu
sendiri adalah sebagai berikut :
1) Melapisi permukaan kulit atau
memberikan lapisan tipis/film pada permukaan kulit untuk melindungi (protecting)
permukaan kulit dari pengaruh bahan kimia, panas, gosokan, air, benturan dan
lain-lain.
2) Untuk memperbaiki (upgrading)
cacat, defek – defek pada permukaan kulit sehingga permukaan (grain)
tampak lebih natural.
3) Untuk memperindah, menghias (decorating)
agar tampak lebih indah dan Fashionable.
Klasifikasi atau penggolongan jenis
finishing dapat dikelompokan sebagai berikut:
1) Klasifikasi finishing berdasarkan
tehnik pengecatan yang digunakan.
- Spray finish: Finishing yang dilakukan dengan spraying
saja.
- Roll coating finish: Menggunakan screen rollers atau engraved
rollers.
- Curtain coating finish: Menggunakan mesin Curtain finishes
untuk menutup permukaan kulit spt kulit corrected grainatau splits.
- Padding finish.
- Film transfer finish: Polymer foils atau laminating. Juga
dapat dibuat dari dua komponen campuran PU mixtures dalam coating machine.
- Glaze finish: Bila aplikasi akhir menggunakan Glazing machine.
Kusus untukHight quality leathers.
- Plate finish: Menggunakan plating machines. High gloss dan
smooth films.
- Glaze/plate finish: Combination of both.
- Embossed finish: Artificial or fancy grain by embossing.
- Foam finish: Highly covering finish especially for furniture
and car seat leathers.
2) Klasifikasi cat tutup menurut finishing effects.
- Corrected grain finish: Kulit yang diampelas
permukaannya karena kualitasnya rendah atau Buffed leathers yang
ditutup dengan lapisantebal dan kemudian dicetak permukaannya (embossed).
- Aniline finish: Kulit yang dilapisi dengan lapisan tanpa pigmen atau
transparent coats. Natural appearance of the grain kusus untuk hight quality.
- Semi-aniline finish: Menggunakan small amounts atau pigment dan/atau
dyes yang dicampur dengan binders atau covering base coat ditambah aniline
top coat with dyes only.
- Opaque finish: Permukaan kulit total merupakan covering
pigments dan binders.
- Brush-off finish: Two-tone effect that appears after using a felt
polishing disk.
- Easy-care finish.
- Antique finish: Irregular two-tone effect normally made by applying
waxes.
- Fancy finish.
- Two- or multi-tone finish: Applied in two or more finishing coats of
different colours by angle spraying, padding or printing.
- Invisible finish: Impression of unfinished surface using light coats
and mechanical operations.
- Craquele finish: Cracked effect.
3). Klasifikasi menurur bahan binder yang
digunakan.
- Polymer or binder finish: The most common. Applying
formulations of thermoplastic binders based on polyacrylate, polyurethane or
polybutadiene and subsequent plating.
- Casein finish: Non thermoplastic protein or protein-like products for
glazed finishing.
- Nitrocellulose solution or emulsion finish: Solvent lacquer. Film
forming material is nitrated cellulose dissolved in organic solvents.Emulsion
lacquers are water dilutable.
- CAB-finish solvent lacquer based on cellulose aceto-butyrate. Better
resistance to yellowing than nitrocellulose.
- Patent finish: Lapisan laquer poliuretan yang tebal, cat yang
sangat mengkilap.
Apapun klasifikasi finishing-nya yang penting harus
memenuhi persyaratan teknis sementra itu syarat-syarat teknis pada finishing
berbeda satu dengan yang lain ditentukan dan tergantung oleh jenis kulit atau
artikel yang akan dibuat.
B.Hewan Reptil
hewan
reptil diantaranya adalah buaya,ular,biawak dan masih banyak lainnya,tetapi
yang mempunyai nilai jual yang tinggi pada saat ini adalah buaya.bicara tetang
hewan reftil biasanya seorang pengusaha kulit lebih sering menyebutnya dengan
nama Novalty Leather.sehubungan hewan reftil lebih banyak yang dilindungi maka
apabila akan menyamak kulit atau menyembelih hewan reftil harus menndapat izin
dari departemen kehutanan.
BAB III
MATERI DAN METODE
A. MATERI
Materi yang digunakan adalah :
1. Kulit reptil dengan kualitas I-III
2. Bahan –bahan Finishing seperti :
a. Air
b. Ethil glikol
c. Wax emulsion
d. Hand modifier
e. Nitrocellusa emulsion
f. Acrylic micro diversion
g. Acrylic medium dispersion
h. Pigment
i. Non ionic surfactant
3. Alat –Alat finishing seperti :
a) Alat padding
b) Spray gun unit
c) Compressor
d) Ironing mesin
e) Mesin buffing
f) Mesin staking
g) Mesin toggle
h) Alat penjepit
i) Meja miring
Adapun Lokasi pelaksanaan magang adalah :
a. Tempat :
Pabrik Kulit Cisarua
b. Waktu :
14 juni 2011-20 juli 2011
B. METODE
Metode yang akan digunakan dalam kegiatan kerja
praktek ini yaitu Metode finishing berdasarkan teknik pengecatan
yaitu teknik spray Gun.
BASF .1997 , Leather Finishing Manual, Badische
Aniline & Soda Fabrik AG, 6700 Ludwigshafen.
Purnomo, E ,1985 , Pengetahuan
Dasar Teknologi Penyamakan Kulit, Akademi Teknology Kulit Yogyakarta.
Purnomo, E ( 2002 ), Penyamakan Kulit Ikan
Pari, ISBN , KANISIUS Yogyakarta.
LEMBAR QUISIONER I
Nama :
Nama
perusahaan :
Alamat :
No
|
Pernyataan
|
Interval
jawaban
|
|
Setuju
|
Tidak
setuju
|
||
1.
|
Apakah
perlu mengetahui teknik Finishing
|
||
2.
|
Seorang
finisher harus mengetahui bahan dan alat finishing
|
||
3.
|
Finishing
kulit reptile dengan sepray gun lebih mudah
|
||
4.
|
Saat
finishing harus menggunakan masker
|
||
5.
|
Kulit
reptile yang sudah difinishing memiliki nilai jual yang tinggi
|
||
6.
|
Kulit
reptile yang sudah difinishing harus memiliki sifat alami
|
||
7.
|
Finishing
dengan sepray gun memerlukan bahan finishing yang banyak
|
LEMBAR QUISIONER II
Nama :
Jabatan :
Lama bekerja :
1. sudah
berapa lama anda bekerja?
2. Hambatan
apa yang sering terjadi pada proses Finishing?
3. Apakah
harga bahan-bahan finishing mahal?
4. Bagaimana
penjualan kulit reptile yang telah di finishing?
5. apa
tugas anda ketika ada karyawan baru?
6. bagaiman
teknik finishing yang baik untuk kulit reptile?
7. apakah
untuk menjadi seorang finisher yang baik harus memiliki ijasah s1?
8. Bagaimana
mencetak karyawan yang baik agar pabrik terus berjalan dengan baik?
9. Apakah
teknik finishing dengan menggunakan sepray dapat menimbulkan pemborosan bahan
finishing?
10. Apa kelebihan finishing menggunakan sepray gun ?
.........................................
KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI
YOUTH CAMP DESA HURUN KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN
ABSTRAK:
Amfibi merupakan salah satu komponen
penyusun ekosistem, baik secara ekologis maupun
ekonomis. Penelitian mengenai amfibi di Indonesia
masih sangat terbatas. Pulau Sumatera
sebagai salah satu pulau besar, tetapi
belum banyak dilakukan penelitian mengenai
amfibi. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan keanekaragaman jenis amfibi (Ordo
Anura) yang aktif pada malam hari yang terdapat di Youth Camp berdasarkan tipe
habitat. Penelitian dilakukan pada tiga tipe habitat yang
berbeda, terdiri dari: (1) hutan, (2) perkebunan, dan (3)
sungai. Metode yang digunakan dalam
pengambilan data amfibi adalah Visual Encounter
Survey dengan metode
jalur transek. Identifikasi
dilakukan dengan buku panduan turun
lapang. Analisis data dilakukan
secara deskriptif serta statistik untuk
menghitung indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener
dan indeks kemerataan. Di Youth Camp
ditemukan sebanyak 105 individu terdiri dari 15 jenis amfibi dan 5 famili:
Bufonidae 3 jenis, Megophrydae 1 jenis, Microhylidae 2 jenis, Ranidae 7 jenis,
dan Rhacophoridae 2 jenis. Pada habitat hutan ditemukan 8 spesies,
habitat perkebunan 5 spesies, dan habitat sungai 7 spesies. Nilai
keanekaragaman amfibi di tiga habitat dikategorikan sedang dan nilai kemerataan
di tiga habitat yaitu, habitat hutan J=0,695, habitat perkebunan J=0,578 dan
habitat sungai J=0,477.
Kata kunci:
amfibi, Hanura, keanekaragaman, Youth Camp
Penulis:
Yudi Safril Ariza, Bainah Sari Dewi, dan Arief Darmawan
Kode Jurnal: jpkehutanandd140019
................................
SISTEMATIKA
AMFIBI, MANFAAT DAN ANCAMAN KELESTARIAN
Selama ini, kebanyakan orang hanya mengenal katak
atau kodok sebagai satu-satunya amfibi. Sebenarnya amfibi terdiri dari tiga
bangsa, yaitu Sesilia, Caudata, dan Anura. Bangsa sesilia dikenal juga dengan
nama apoda (a=tidak; pod=kaki; tidak berkaki) atau Gymnophioana. Ini adalah
amfibi yang tidak memiliki kaki dan sepintas mirip seperti cacing. Hewan ini
jarang muncul di permukaan, biasanya berada di dalam tanah, di dalam tumpukan
serasah atau di air. Sesilia dijumpai di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Afrika
dan Asia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada satu jernis sesilia yang ada
di Jawa Barat yaitu Ichthyohpis
hypocyaeneus (suku
Ichthyophiidae) yang terdapat di Bodogol, Taman Nasiaonal Gede Pangrango
(kusrini 2007). Berbeda dengan kebanyakan katak yang kawin secara eksterna,
diduga semua sesilia memiliki fertilisasi internal. Beberapa jenis lainnya
memiliki telur yang akan berkembang langsung menjadi bentuk dewasa terestial
atau bahkan melahirkan anak.
Bangsa
Caudata dikenal juga dengan nama Salamander dan merupakan satu-satunya bangsa
yang tidak dijumpai di Indonesia. Hewan ini memiliki bentuk kepala, badan dan
ekor yang jelas dengan empat tungkai yang berukuran sama. Sekilas seperti kadal
namun tidak bersisik. Larva dari jenis ini jika akuatik, berbentuk
hampirseperti induknyadan tidak ada metemorfosis yang nyata.
Bangsa
Anura merupakan bangsa yang paling dikenal orang masyarakat luas dan ditemukan
di hampir seluruh belahan dunia. Sebagian besar amfibi Indonesia umumnya masuk
ke dalam kelompok ini. Anggota bangsa inilah yang disebut sebagai katak atau
kodok dalam bahasa Indonesia. Tubuh umunya pendek dan lebar, terdiri dari
kepala dan bagian badan serta memiliki dua pasang tungkai depan. Umunya kaki
memiliki selaput yang digunakan untuk melompat dan berenang. Anura memiliki
pita suara dan jantan akan mengeluarkan suara untuk menarik betina. Fertilisasi
umumnya berlangsung eksternal. Telur yang menetes biasanya akan tumbuh menjadi
larva yang berbeda dengan bentuk dewasa dan dikenal dengan nama berudu. Hampir
semua berudu akan mengalami metamorfosis saat berubah menjadi dewasa, walau ada
yang langsung menjadi bentuk dewasa. Di Indonesia ditemukan sekitar 450 jenis
yang mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia dengan 28 jenis Anura di
antaranya di temukan di Jawa Barat yang terdiri dari 6 suku yaitu Bufonidae,
Dicroglossidae, Microhylidae,Megophryidae, Ranidae, Rhacophoridae.
Perkembangan
ilmu taksonomi telah membuat beberapa perubahan dalam penamaan jenis amfibi.
Penamaan pada buku ini mengacu pada referensi online Amphibian
Species of the World (Frost 2011)
yang didasari pada hasil penelitian frost at al. (2006). Walawpun penamaan
jenis ini masihb diperdebatkan, namun kebanyakan la[poran telah menggunakan
penamaan baru ini termasuk IUCN Red list (IUCN 2011). Untuk itu, pada buku ini
nama sinonim yang telah dikenal lama untuk jenis-jenis yang berubah tetap
disajikan. Contoh perubahan lama jenis amfibi anatara lain pada kodok buduk Bufo
melanostictus yang menjadiDuttaphrynus
melanostictus, dan Kongkang kolam Rana chalconota yang menjadi Hylarana
chalconota.
Adapun penamaan bahasa Indonesia menggunakan Iskandar(1998).
HABITAT
Amfibi
menghuni berbagai habitat, mulai dari pohon-pohon dihutan hujan tropis, halaman
disekitar pemukiman penduduk, disawah-sawah, kolam-kolam didalam hutan, sampai
cela-cela batu didalam sungai yang mengalir deras. Oleh karna itu secara umum
amfibi bisa dikelompkan berdasarkan habitat dan kebiasaan hidup, yaitu :
- Terestial :
hidup diatas permukaan tanah dan agak jauh dari air kecuali pada saat
musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus
melanoustictus merupakan
salah satu contoh .
- 2. Arboreal :
kelompok yang hidup diatas pohon. Jenis-jenis katak pohon umumnya arboreal
misalkan Rhacophorusreinwardtti,
R.margeritifer,Nyxticalus margaritiper dan Polipedates Leucomystax.
- Akuatix :
kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat disekitar badan air.
Phrynoidis aspera,
limnonectes kuhlii, dan L.macrodon merupakan jenis yang umum
dijumpai disekitar perairan .
- Fossorial :
kelompok yang hidup didalam lubang-lubang tanah . jenis-jenis seperti kaloula baleataatau K.pulchra biasanya berada didalam
lubang-lubang ditanah dan biasanya hanya keluar pada saat hujan . sesilia
juga umumnya bersifat fossorial .
MANFAAT
AMFIBI
Sebagai
bagian dari ekosistem, amfibi memegang peranan pentik dalam rantai makanan.
Kebanyakan amfibi adalah predator yang memakan berbagai jenis serangga atau
larva serangga. Katak yang tinggal didaerah pesawahan, misalnya, diketahui
memakan berbagai jenis serangga yang menjadi hama bagi pertanian. Katak juga
dapat menekan keberadaan serangga yang merugikan kesehatan manusia. Serangkaian
laporan hasil penelitian menunjukan bahwa berudu dan larva nyamuk berkompetisi
memperebutkan makanan ( Mokany & Shine 2003a,2003b ). Keberadaan berudu
secara nyata menekan pertumbuhan dan ketahanan hidup larva nyamuk.. kegunaan
katak untuk penelitian medis telah diketahui sejak dulu. Katak merupakan salah
satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian maupun p[raktikum
dilabolatorium. Senyawa aktif biologi pada kulit katak kini dikembangkan
sebagai obat-obatan bagi manusia (Tyler 1994). Tahun 1939 uji kehamilan
mengguanakan Xenopus laevis diperkenalkan
oleh Hogben. Dengan ditemukan metode yang lebih maju dan m udah, tes ini
kemudian ditinggalkan mulai tahun 1960-an (Gurdon & Hopwood 2000)
Selama
beberapa tahun terakhir, para peneliti menyadari bahwa amfibi terutama pada
tahap telur dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan.
Seringkali terjadi perubahan yang terukur baik secara morfologis maupun pada
populasi satu jenis amfibi sebelum hewal lain terkena dampak kerusakan
lingkungan.
Oleh
karena itu, amfibi menjadi indikator biologos yang penting, damana adana
perubahan pada populasi katak menjadi ukuran kesehatn lingkungan disekitarnya.
Katak
dikonsumsi diberbagai negara. Indonesia adalah salah satu pemasuk kaki katak
beku terbesar didunia (kusrini dan alfod 2006). Ekspor terbesar katak Indonesia
terutama negara-negara di Eropa seperti Prancis, Belanda, Belgia dan Luxemburg.
Katak yang dikonsumsi adalah katak yaang berukuran besar yang hidup disawah
seperti fejervaria
cancrivora dan katak batu
limnonectes macrodon yang hidup disungai. Katak lembu lithobates catesbeianus (sinonim
rana catesbeiana) yang berasal dari Amerika selatan secara khusus
dibudidayakan untuk konsumsi.
Beberapa
orang senang memelihara katak didalam terarium. Biasanya katak yang dipelihara
adalah katak yang berwarna bagus dan relatif tidak banyak melompat saat
dipegang. Data kuota ekspor satwa liar yang dikeluarakan oleh departemen
kehutanan setiap tahun menunjukan bahwa katak dari jawa barat semisalR.Reinwardti,
R.margaritifer dan Nyxticalusmargaritifer diekspor untuk
kepentingan hewan peliharaan .
ANCAMAN
PELESTARIAN
Tahun
2004 IUCN meliris tentang kepunahan global populasi amfibi (Stuart et al.2005).
Disebutkan bahwa lebih dari sepertiga populasi amfibi didunia sedang atau telah
mengalami penurunan. Tidak kurang dari sembilan jenis telah punah sejak tahun
1980. Salah satu jenis yang hilang diAustralia adalah suku Rheobatrachidae.
Ancaman kelestarian amfibi dapat berupa satu atau kmbinasi dari berbagai
penyebab seperti penguranan habitat, pencemaran, introduksi spesies eksotik,
penyakit dan parasit, serta penangkapan lebih. Selain itu para ahli juga cemas
karena pada beberapa kasus terjadi kepunahan di daerah-daerah yang terpencil
dan dilindungi serta tanpa sebab-sebab yang jelas.
Fibi
sangat tergantung pada air. Lahan basah den habitat memijah amfibi lainnya
seringkali menjadi tempat pembuangan dan penampungan bahn pencemar. Selain itu
lahan basah dan hutan tempat tinggal katak kini banyak yang hilang, umunya
untuk pembangunan. Manusia juga seringkali memasukan jenis katak lain dengan
sengaja untuk kepentingan budidaya namun terlepas kealam. Misalkan, katak lembu
lembu lithobates catesbeianus yang didatangkan dari Amerika Selatan. Jenis ini
bila terlepas kealam dapat membunuhkatak lokal .
Amfibi
juga terancam oleh penyakit. Sejenis jamur yang diduga kuat menjadi penyebab
kematian masal amfibi di Amerika tengah, Australia dan belahan dunia lain telah
diteliti secara intensif. Katak yang terjangkit jamur ini seringkali disebut
menderita penyakit chytridiomycosis.
Katak
ditangkap untuk dimakan dan juga untuk keperluan hewan peliharaan atau hewan
percobaan dilaboratorium. Indonesia adalah negara pengekspor terbesar paha
katak beku didunia. Jenis yang dapat dimakan biasanya berupa katak sawah dan
juga beberapa spesies yang diintroduksi dari luar seperti katak lembu lithobates-chatesbeianus. Pengambilan
dari alam diyakini memberi sumbangan penting bagi konsumsi daging katak dan
dikawatirkan dapat mengakibatkan berkurangnya populasi katak dialam. Saat ini
data mengenai keberadaan dan status amfibi di Indonesia sangat sedikit. Paling
tidak dua jenis katak dari Bawa Barat telah masuk kedalam daftar merah Red list IUCN yaitu katak
batu, limnonectes
macrodon (vulnerable atau rawan) yang umum dijumpai disungai-sungai di
Jawa Barat dan dikonsumsi sertaleptophryne cruentata, kodok berukuran
relatif kecil yang populasinya dikawatirkan menurun. Survey yang dilakukan tim
fakultas kehutanan IPB pada tahun 2004 hanya menemukan tiga individu dalam dua
minggu. Oleh karena itu dalam daftar merah IUCN jenis ini masuk kedalam
kategori Critically
Endangered atau terancam
punah.
sumber
: Buku Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat oleh Mirza D. Kusri
.......................
Struktur
Vegetasi dan Komposisi Jenis Hewan di Situ Gunung, Sukabumi
..........................
Rabu, 07 April 2010
Laporan Metod lapangan_046
METODA – METODA LAPANGAN
Di dalam dunia taksonomi, para ahli sangat
memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi hewan-hewan yang ada di lapangan.
Para ahli tersebut membuat cara-cara yang mudah untuk mendapatkan hewan-hewan
tersebut. Ada dua macam metoda yang dapat digunakan untuk menangkap hewan di
lapangan, yaitu metoda pasif dan metoda aktif. Metoda pasif merupakan metode
yang digunakan untuk mendapatkan hewan vertebrata dengan mengunakan kecanggihan
alat yang kita gunakan. Sedangkan metoda aktif adalah suatu metoda yang digunakan
untuk menangkap hewan secara langsung di lapangan (peneliti terjun langsung ke
lapangan). Setelah mendapatkan hewan vertebrata
yang kita inginkan, maka kita bisa langsung mengidentifikasinya, dan memberi
nama, atau mencari tahu namanya.
Beberapa metoda pasif yang
dapat digunakan untuk menangkap hewan target adalah sebagai berikut:
1. Fish
Trap
Fish Trap merupakan metode yang digunakan untuk menangkap
ikan. Alat ini biasanya berbentuk segi empat yang terbuat dari rajutan tali dan
kawat-kawat kecil. alat ini termasuk alat pasif, karena kita menggunakan
kecanggihan alat ini untuk mendapatkan ikan. Cara penggunaan Fish Trap ini
pertama kali dibuka tutupnya, kemudian diikatkan pelet sebagai umpan ikan
didalam Fish Trap agar ikan mau mendekat ke Fish Trap. Celah tempat masuk ikan dipasangkan menghadap mengarah
kea rah datangnya arus, agar ikan dengan mudah masuk ke alat ini, kemudian
masukan batu kedalam alat ini agar alat ini tidak hanyut terbawa arus air,
ikatkan alat ini dengan tali pada pepohonan terdekat, hal ini bertujuan agar
alat yang kita pasang ini tidak hanyut juga.
Adapun alat-alat lain yang bisa
digunakan untuk menangkap ikan adalah pancing ikan, yang biasanya berbentuk
tongkat panjang. Sentruman, digunakan untuk menangkap ikan dengan mengalirkan
listrik ke dalam air. Listriknya bisa berasal dari aki atau dari aliran
listrikPLN. Setelah listrik dialiri ke dalam air, ikan akan pingsan, setelah itu ikan tersebut ditangkap dan diidentifikasi.
Selanjutnya jaring, yang berbentuk rajutan pilinan benang yang digunakan untuk
menangkap ikan, rajutan ini panjang. Digunakan secara merentangkanya dengan
menghadap kearah datangnya arus.. Selanjutnya pukat, pada dasarnya prinsip
kerja pukat sama dengan jala. Bentuk nya pun persis sama. Hanya saja pukat ini
merupakan metode aktif untuk menangkap ikan. hal ini dikarenakan setelah
dipasang alat ini harus ditarik secara melingkar untuk mengepung ikan, agar
ikan yang didapat lebih banyak.
Gambar 1: Fish Trap
2. Pit Fiil Trap
Merupakan metode yang digunakan untuk menangkap hewan melata/Herpetofauna
(Reptil & Amphibia). Metode penangkapan amphibi menggunakan dua metode,
yaitu metode aktif dan metode pasif. Metode aktif terbagi dua, yaitu night
visual encounter, yaitu pencarian binatang herpetofauna di lakuakan saat malam
hari dan day visual encounter, yaitu biasa di lakukan pada siang hari.
Sedangkan metode pasif ada Pit fall trap –
drift fences methods merupakan metoda gabungan antara perangkap dengan
pemakaian pagar pengarah. Metoda biasanya diterapkan pada daerah teresterial
untuk menangkap hewan amphibi atau reptil yang aktif bergerak dan berukuran
lebih kecil. Alat ini biasanya dipasang pada muara sungai dimana hewan amphibi
air hidup sebagai habitatnya.
Alat dan bahan yang di gunakan pada
metode ini adalah; 1). Bambu; 2). Terpal hitam; 3). Ember berukuran sedang sebanyak 4
buah atau lebih; 4). Oli.
Cara kerjanya, pertama
tancapkan bambu ke tanah, ikat terpal ke bambu, masukkan ke dalam tanah
kira-kira dengan kedalaman 10 cm. Tanah di gali dibalik terpal tersebut
sebagai tempat meletakkan beberapa ember. Posisi ember di kanan kiri dibuat
secara zig-zag agar hewan yang datang tidak akan mudah lolos. Pada permukaan
bawah ember tersebut sebaiknya dilobangi supaya air yang masuk bisa keluar
dengan mudah dan tidak tergenang dalam ember. Letakkan serasah supaya terjadi
kelembapan dalam ember tersebut. Oleskan oli di mulut ember supaya licin. Agar
hewan yang terperangkap tidak bisa keluar lagi.
Pemasangan hedaknya pada sore hari, dan
dibiarkan semalam. Paginya di cek apakah ada reptile atau amphibi yang
terjebak, hal ini dilakukan karena hewan Herpetofauna hanya aktif pada malam
hari, sehingga pemasangan Pit Fill Trap dilakukan pada malam hari.
Gambar 2: Pit Fill Trap
3. Mist net Burung
Mist net burung merupakan alat yang digunakan untuk menangkap burung. Alat
ini bentuknya seperti jala dengan lebar 2,5 meter. Panjang mist net ada yang
12,9, dan 6 meter. Alat dan bahan yang digunakan untuk memasang mist net
adalah: pancang, mist net, Tonggak (bambu), tali, kantong burung, tali,
kayu/tongkat.
Cara memasang alat ini
yaitu: yang pertama tentukan dahulu tempat dan daerah kondusif yang
diperkirakan banyak burungnya. Seperti di punggung bukit, dekat aliran sungai,
dan tempat lainya. Kemudian rentangkan mist net dengan mengikatkanya ke tonggak
atau bambu, Alat ini dipasang berjarak 50 cm dari permukaan tanah agar mamalia
yang berjalan tidak ikut terjebak pada alat ini. Dalam pemasangan mist net ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama hindari pemakaian alat-alat
asesoris seperti cincin kalung dan lainya dalam pemasangan mist net, karena
bisa mengakibatkan mist net kusut. Kedua hendaknya pemasangan mist net ini
dilakukan jam 6 pagi, dan dilepas jam 7 sore. Hal ini bertujuan agar burung
yang didapatkan banyak, karena waktu aktif dari burung adalah dari jam 6 pagi
sampai jam 7 malam. Setelah dipasang dilakukan pengecekan 1 jam sekali, karena
jika burung yang didapatkan dibiarkan saja terjebak di Mist net akan berakibat
fatal, karena burung bisa mati. hal ini dikarenakan burung memiliki stress yang
tinggi.
4. Digiscoping
Digiscoping merupakan alat yang digunakan untuk mengamati hewan-hewan yang
letaknya jauh. Alat ini merupakan perpaduan antara teropong monokuler dengan
kamera digital. Jadi ketika kita melihat hewan yang ingin kita amati di
teropong maka kita bisa langsung memoto objek tersebut. Alat ini sangat
bagus diguanakan untuk mengamati hewan-hewan liar dan suka terbang.
Cara kerjanya,
letakkan alat tersebut di atas tanah, kemudian pasangkan tripodnya, monokuler,
lensa okuler, focus. Lalu lihat atau cari sasaran dengan melihatnya melalui
teropong. Setelah sasarannya dapat, kita akan mudah melihat bagian morfologinya
melalui teropong itu. Kita juga bisa mengambil foto nya dengan menggunakan
camera digital, ataupun handphone pribadi.
Penggunaan digiscoping
ini memang kurang efektif karena membutuhkan ketelitian dankesabaran yang
tinggi. Pada saat melakukan pengamatan dengan menggunakan metode ini sebaiknya
mengenakan pakaian yang berwarna gelap, karena pakaian yang cerah dapat
dikenali oleh burung, sehingga burung akan menjauh.
Gambar 3: Digidcoping
5. Harpa Trap
Harpa trap adalah alat yang digunakan untuk menangkap kelelawar yang ada di
dalam gua. Alat ini disebut harpa trap, karena alat ini mirip dengan alat music
harpa. Kelebihan dari Harpa Trap ini adalah bisa menangkap dalam jumlah
banyak. Terdiri dari 2 layer. Ada yang 3-4 layer, tapi yang kita gunakan di
sini adalah menggunakan 2 layer. Semakin banyak layer maka akan semakin baik
alat ini digunakan untuk menangkap kelelawar. Layer yang digunakan adalah
berwarna bening agar kelelawar tidak bisa dengan mudah mengetahui keberadaan
dari harpa trap ini.
Selain layer, juga
terdapat tiang penggulung layer, kantung perangkap, plastik pengarah agar
kelelawar yang didapat akan turun ke kantung perangkap. Alat ini bisa dibongkar
pasang dengan mudah, sehingga membawa alat ini sangat mudah kemanapun.
Pada saat melakukan
penelitian ini sebaiknya menggunakan sarung tangan agar tidak luka karena layer
yang digunakan bias melukai tangan kita, head lamp sebagai penerang, kantung
kelelawar dan alat-alat hitung lainnya. Tinggi dari alat ini bisa di atur
ukurannya tapi lebarnya tidak bisa. Harpa Trap ini sebaiknya digunakan dimulut
gua.
Alat ini biasanya
dipasangkan di mulut gua. Jadi ketika kelelawar yang mau keluar ataupun masuk
gua akan terjebak di alat ini. Alat ini dilakukan pemasangan pada saat
menjelang senja sampai pagi hari, karena sama-sama kita ketahui bahwa kelelawar
waktu aktifnya adalah malam hari.
Gambar 4: Harpa Trap
6. Mist net kelelawar
Pada dasarnya prinsip kerja dan cara pemasanganya sama dengan mist net
burung, Tapi alat ini digunakan untuk menangkap kelelawar. Disamping itu mata
dari jala mist net kelelawar ini lebih besar dan lebih halus dari pada mist net
burung, pemasanganya pun lebih mudah daripada mist net burung.
Cara kerja mist net ini pertama
tancapkan kayu atau bambu ke tanah dan ikat net nya ke kayu itu. Pengecekannya
dilakukan tiap 1 jam sekali. Dengan tujuan agar kelelawar yang tersangkut tidak
merusak net.
Tempat pemasangan alat
ini harus di tempat refresentatif yang diduga banyak terdapat kelelawar, sepert
di mulut gua, atau di tempat-tempat yang banyak tersedia makanan kelelawar.
Cara pengambilan kelelawar yang sudah terperangkap adalah harus dari tempat
dimana kelelawar itu datang. Diambil kaki nya dulu, setelah itu sayap lalu
badannya. Hal ini bertujuan agar alat ini tidak rusak dan kelelawarnya pun
tidak mati.
7. Kamera Trap
Kamera trap sering digunakan oleh para
peneliti untuk mengidentifikasi hewan-hewan vertebrata, mamalia besar
khususnya, karena penggunaan alat ini sangat mudah dan lebih efisien waktu dan
biaya. kamera trap terbagi menjadi dua, yaitu: kamera trap manual dan kamera
trap digital.
Kamera Trap manual
adalah kamera trap yang menggunakan kamera biasa, Bagian – bagiannya terdiri
dari; 1) Kamera pocket; 2). Sensor , yang terdiri dari 4 buah tombol, yaitu;
a). Kamera (atas), laser (bawah); b). Delay A untuk tenggang waktu 1 menit dan
Delay B untuk tenggang waktu 5 menit, untuk pemotretan selanjutnya, apabila ada
objek yang tersensor lainnya; c). Start, untuk memulai dan memanaskan kamera;
d). tombol 24 hours (kamera aktif 24 jam penuh), day only (aktif 12 jam saja
atau siang hari saja), masa aktif dari kamera.
Cara kerja alat ini
pertama diukur ketinggian pemasangan kamera, sebaiknya 60 – 70 cm dari
permukaan tanah tergantung jenis hewan yang akan diamati. Pilih Delay A
atau Delay B. sebaiknya pilih Delay A (1 menit) supaya jika ada hewan
yang lewat dalam kurun waktu satu menit bisa diamati. Setelah itu pilih tombol
‘day only (24 jam)’ agar kamera ini aktif tiap saat. Terakhir naikkan ke atas
tombol start untuk memulai mengaktifkan kamera. Tombol start ditekan sampai
konstan dengan kedipan lampu, apabila lampu tidak berkedip lagi maka kamera
siap digunakan.
Kelebihan dari kamera
ini ialah kamera ini dapat menghasilakan foto yang berwarna, sedangkan
kekurangannya, kamera ini hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 12 jam dan
hanya menggunakan batterai biasa. Untuk melindungi kamera ini dari panas dan
hujan, maka di atas kamera ini dipasang seng bekas yang berkarat, bukan seng
yang baru, karena seng bekas warnanya tidak mencolok dan hewan-hewan yang lewat
tidak akan mengetahui keberadaan seng ini.. Di dalam kamera ini diletakkan
silica gel secukupnya untuk menyerap kelembapan. Hendaklah kamera ini
diletakkan pada daerah yang kemungkinan dilewati oleh mammalia besar dan diukur
jaraknya dengan menggunakan lampu sensor.
Gambar 5: Camera Trap
Manual
Yang kedua adalah
kamera trap digital Kamera ini terdiri dari : 1). Blitz yang berfungsi untuk
pencahayaan. 2). Aim untuk mengukur ketinggian. 3). Status light untuk
menandakan kamera sudah aktif. 4). Camera untuk mengambil gambar. 5). Layar
sebagai pemandu, yang akan kita atur, seperti waktu, berapa gambar yang
diambil. 6) Mode untuk mengaktifkan kamera atau untuk memulai merekam. 7). Rest
delete untuk menghapus gambar. 8). Sensor untuk menangkap gambar. 9) Select
untuk mengubah angka/huruf atau perpindahan. Kelebihan dari kamera ini adalah
kamera ini sedah menggunakan memory dan usb digital. Jadi kita akan dengan
mudah memindahkan data yang ada dalam kamera ini ke laptop dengan mudah.
Selain itu di kamera ini terdapat video untuk merekam dan bisa menyimpan banyak
foto, yaitu 3726 foto. Jadi kita tidak perlu takut kehabisan memory jika
menggunakan kamera ini. Sedangkan kekurang dari kamera ini adalah apabila
kamera ini dipasang pada tempat yang ternaung dan agak gelap akan menghasilkan
gambar yang kurang bagus atau tidak berwarna.. Setiap pemeriksaan dilakukan
pembersihan kamera, pergantian silica gel, penggantian baterai jika
diperlukan dan penggantian memory card, serta pemeriksaan hasil foto yang
didapat.Hendaklah kamera ini diletakkan pada daerah yang kemungkinan dilewati
oleh mammalia besar dan diukur jaraknya dengan menggunakan lampu sensor.
Gambar 6: Camera Trap
Digital
8. Small Mammal Trap
Small mammal trap merupakan perangkap yang digunakan untuk menangkap jenis
hewan mamalia yang berukuran kecil. Perangkap ini termasuk ke dalam metode
pasif. Bagian-bagiannya: pintu tempat memasukkan umpan dan mengeluarkan target.
Kunci dan penahan pintunya agar target yang didapat tidak bisa keluar lagi.
Jika kita akan memasang umpan sebaiknya kita menggunakan sarung tangan agar
aroma buah yang dipasang sebagai umpan kita tidak tinggal dan lengket ke tangan
karena hewan ini dapat mencium aroma yang tinggal di tangan tadi. Umpan
tersebut harus diletakkan di ujung pengait. Klau ada hewan yang terperangkap
jangan mengeluarkannya pada waktu hewan itu masih hidup. Masukkan dulu hewan
tersebut ke air sampai mati atau pingsan setelah itu baru dikeluarkan. Karena
apabila hewan tersebut diambil hidup-hidup akan membahayakan kita, bisa saja
hewan itu menggigit tangan kita.
Umpan yang biasa digunakan adalah ikan asin, ikan teri, buah-buahan dan
bungkit kelapa. Alat ini biasanya diletakan disudut-sudut ruangan (Mencit.
Tikus), Diikatkan pada pohon (Tupai, Musang) yang pintunya mengarah kebagian
atas.
9. Audotory Census
Auditory sensus merupakan metoda yang digunakan untuk menghitung,
mengidentifikasi suatu hewan dengan cara mendengarkan suara hewan yang akan
diidentifikasi, biasanya untuk keluarga Hylobatidae. seperti ungko dan siamang.
Alat-alat yang digunakan : kompas, alat tulis dan peta lokasi.
Cara kerja dari metode ini adalah
pertama tentukan tempat yang senyaman mungkin untuk mengamati dan mendengarkan
suara-suara binatang, seperti dibawah pohon atau tempat lainya. Setelah itu
tentukan arah utara tempat posisi kita berada, dengan menggunakan kompas dan
peta. Kemudian dengarkanlah suara binatang terutama suara-suara primate, karena
suara primate memilki cirri yang khas, sehingga mudah dikenali. Lalu tentukan
berapa derajat suara binatang itu berasal dari arah utara. Kemudian tentukan
jarak suara tersebut dari posisi kita. Selain itu, dengarkan juga suara-suara
dari arah lainya. kemudian suara tersebut diidentifikasi.
Pada umumnya didaerah
kita para peneliti lebih cenderung untuk meneliti ungko dan siamang, karena
kedua hewan ini memiliki suara yang khas daripada hewan lainnya. Siamang
memiliki suara yang khas, yaitu suaranya hanya satu-satu, sedangkan ungko
memiliki suara yang bertingkat.
.............................
PEDOMAN TINDAKAN KARANTINA TERHADAP REPTIL
Untuk impor maupun ekspor reptil dipersyaratkan tindakan
karantina, berikut ini adalah pedoman tindakan karantina hewan terhadap reptil
bagi petugas karantina dilapangan dan agar
pengguna jasa (importir /eksportir) dapat
memahami penanganan, pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan, sehingga
tindak karantina bisa dilakukan secara cermat, cepat dan sistematis, dengan
dasar ilmiah sesuai peraturan perundangan.
KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN
NOMOR : 593/Kpts/HK.060/L/12/2009
TENTANG
PEDOMAN TINDAKAN KARANTINA TERHADAP REPTIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN,
Menimbang :a. bahwa lalulintas pemasukan dan
pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan karantina berupa hewan reptil
dari dan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia cukup tinggi sehingga
berpotensi untuk menyebarkan hama dan penyakit hewan karantina di dalam dan
keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
b. bahwa hewan reptil memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan pelaksanaan
tindakan karantina secara spesifik;
c. bahwa hewan reptil perlu dilindungi dari ancaman
kepunahannya;
d. bahwa berdasarkan butir a, b dan c, serta agar ada keseragaman
pelaksanaan tindakan karantina pada media pembawa berupa reptil sesuai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu ditetapkan Pedoman Tindakan
Karantina terhadap Reptil;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 tahun 1992
tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3482);
2.Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor
84);
3. Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
5.Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
6. Keputusan Presiden Nomor
131/M/Tahun 2008 tentang Pengangkatan Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen
Pertanian;
7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/ LB.720/8/ 2001 tentang
Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Hewan
Karantina;
8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Tata Hubungan Kerja Fungsional
Pemeriksaan, Pengamatan dan Perlakuan Penyakit Hewan Karantina;
9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/ OT.140/1/2007 tentang Dokumen
dan Sertifikat Karantina Hewan;
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 110/Kpts/TN.530/2/2008 tentang Perubahan
Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor 206/Kpts/TN.530/3/2003 tentang
Penggolongan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan
Klasifikasi Media Pembawa;
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU : Pedoman Tindakan Karantina Terhadap
Reptil.
KEDUA : Pedoman Penanganan, Pemeriksaan dan
Pengujian Reptil seperti tercantum dalam lampiran keputusan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dengan Keputusan ini.
KETIGA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam
diktum KEDUA menjadi panduan bagi petugas karantina hewan untuk penanganan,
pemeriksaan dan pengujian terhadap reptil dalam rangka melaksanakan tindakan
karantina.
KEEMPAT : Pedoman yang telah ada dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada
tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan
di Jakarta
Pada
tanggal : 30 Desember 2009
Tembusan
disampaikan kepada Yth,
1. Menteri Pertanian;
2. Para Pejabat Eselon I
Departemen Pertanian;
3. Para Pejabat Eselon
II Badan Karantina Pertanian;
4. Para Kepala Balai
Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian di seluruh Indonesia.
Lampiran I Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian
Nomor :
593/Kpts/HK.060/L/12/2009
Tanggal :
30 Desember 2009
PEDOMAN PENANGANAN, PEMERIKSAAN
DAN PENGUJIAN REPTIL
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lalulintas reptil
di Indonesia cukup tinggi baik
impor maupun ekspor sementara hewan ini mempunyai sistem suhu dan kelembaban
tubuh yang berbeda dibanding hewan spesies lain seperti mamalia dan
unggas. Kondisi (temperatur dan kelembaban) tertentu ini dapat
bermanfaat bagi satu spesies namun dapat merugikan bagi spesies
lain. KarantinaHewan mempunyai peranan yang strategis di posisi terdepan dalam melindungikeamanan hayati dan kesehatan reptil yang dilalulintaskan tersebut, agar
tidak berpotensi sebagai media pembawa hama penyakit hewan karantina yang
mengancam kesehatan hewan, kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk meningkatkan peranan karantina hewan
dalam pemeriksaan dan pengawasan lalulintas reptil mengingat
bahwa hewan ini sering tidak menunjukkan gejala klinis (sakit) kecuali pada
kondisi sakit/infeksi yang cukup parah, serta adanya keseragaman dalam pelaksanaan tindakan
karantina pada seluruh UPT dengan mengacu ketentuan serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka perlu disusun Pedoman Tindakan Karantina
terhadap Reptil.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud
dan tujuan penyusunan pedoman ini adalah:
a. menyediakan pedoman
bagi petugas karantina dilapangan dalam melaksanakan penanganan, pemeriksaan
dan pengujian terhadap reptil.
b. adanya keseragaman
dalam pelaksanaan pelayanan penanganan terhadap reptil.
c. petugas dapat
melaksanakan pelayanan tindak karantina secara lebih cermat, cepat dan
sistematis, dengan dasar ilmiah sesuai peraturan perundangan.
d. pengguna jasa dapat
memahami penanganan, pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan petugas
karantina terhadap reptil.
3. Ruang Lingkup
Pedoman ini mengatur tentang penanganan,
pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan reptil, termasuk identifikasi reptil
dan jenis penyakit yang dapat dibawa oleh
reptil.
4. Identifikasi Reptil
Hewan sejati berkaki empat yang pertama kali mendiami daratan adalah Labirinthodontia/Anthracosauria,
pertama kali muncul di bumi lebih dari 300 juta tahun lalu dan pada awal era
karbon berkembang menjadi klas vertebrata baru yaitu Reptilia.
Era Karbon merupakan zaman keemasan perkembangan
reptil. Reptil primitif kerabat dekat Anthracosauria pada awal zaman karbon
berkembang menjadi dua cabang utama; Anapsida, merupakan nenek moyang reptil
modern (Cotylosauria) dan Synapsida, merupakan nenek moyang mamalia. Cabang
Cotylosauria merupakan sejarah terpenting karena merupakan pendahulu reptilia
diapsid yang meliputi ordo Lepidosauria, Archosauria serta reptilia Euryapsid
yang meliputi Ichthyopterygia dan Euryapsida.
Reptilia diapsid dan euryapsid mencapai puncak evolusi
pada era Mesozoic dan berlangsung sekitar 160 juta tahun. Pada era ini karena
banyaknya jenis reptilia yang hidup disebut juga sebagai “zaman Reptilia”.
Ketika zaman ini berakhir, hampir semua kelompok besar reptil ikut menghilang
(punah). Dari sekitar 20 ordo yang dikenal pada era mesozoic sekarang tinggal
tersisa 4 ordo yang masih memiliki spesies yang hidup di bumi yaitu ordo
Chelonia meliputi bangsa kura-kura dan penyu masih tersisa sekitar 270 spesies,
Ordo Squamata atau reptil bersisik meliputi bangsa ular, biawak dan kadal masih
tersisa sekitar 6280 spesies, Ordo Rynchocephalia meliputi bangsa Tuatara masih
tersisa 1 spesies dan Ordo Crocodylia meliputi bangsa buaya dan alligator masih
tersisa 22 spesies.
Saat ini reptilia menjadi satu –
satunya klas dari kingdom animalia yang masih memiliki spesies hidup paling
banyak dan sebagian diantaranya secara ilmiah masih tetap menjadi misteri yang
belum terungkap. Keragaman bentuk tubuh/anatomi, fisiologi, habitat, behavior,
pakan, reproduksi dan penyakit masih menjadi bahasan ilmiah yang tiada
habisnya.
a. Reptil
1. Ordo Chelonia
Ordo Chelonia terbagi menjadi 13 familia; lima (5) familia merupakan kura –
kura dan penyu aquatik dengan habitat air laut/lautan yaitu Carettochelyidae,
Chelydridae, Cheloniidae, Dermatemydidae dan Dermochelyidae dan enam (6)
familia merupakan kura – kura dengan habitat air tawar yang meliputi
sungai, danau atau rawa-rawa baik yang bersifat aquatik murni maupun
semiaquatik yaitu Emydidae, Kinosternidae, Staurotypidae, Trionychidae,
Cheliidae dan Pelomedusidae serta dua (2) familia merupakan kura – kura darat
yang habitatnya di daratan, hutan – hutan lebat, pegunungan sampai
gurun yaitu familia Testudinidae dan Platysternidae.
Saat ini diseluruh dunia masih tersisa sekitar 270 spesies kura- kura air
laut dan tawar. Beberapa spesies kura – kura terkenal karena kelangkaannya atau
motif karapasnya yang unik. Usia yang bisa mencapai 2 abad juga menjadi misteri
dari spesies ini. Semua spesies Ordo Chelonia tidak memiliki gigi dan tidak
berbisa (non venomous). Ukuran tubuh dewasa berkisar dari beberapa cm
dengan berat kurang dari 1 kg sampai 2 meter lebih dengan berat badan mencapai
500 kg.
Beberapa spesies kura – kura yang terkenal antara lain Indian star, radiata,
terrapin/brazil, aldabra, galapagos, emys darat, matahari, dll.
2. Ordo Squamata
Ordo ini meliputi 3 subordo yaitu Sauria, Serpentes
dan Amphisbaenia.
1) Subordo Sauria
terdiri 16 familia meliputi berbagai jenis kadal, biawak, cecak, tokek, bunglon
dan iguana. Sauria memiliki 4 kaki dan habitat bervariasi dari tembok, sungai,
pohon, hutan dan bahkan lautan. Dari sekitar 3751 spesies ordo Sauria yang
sudah teridentifikasi hanya 2 spesies yang memiliki bisa/venom yaitu Gila
monster (Heloderma suspectum) dari Florida dan Mexican
bearded lizard dari Mexico namun keduanya tidak memiliki taring (fang)
seperti pada ular.
2) Subordo Serpentes disebut juga Ophidia terdiri 12
familia meliputi 409 genus dan 2426 spesies yang sudah teridentifikasi. Subordo
ini mencakup berbagai jenis ular tidak berbisa (non venomous) dan dan berbisa (venomous)
yang habitat hidupnya di tanah/daratan (terrestrial), pepohonan (arboreal) dan
air (aquatic) dari semak – semak, pohon, sungai, kolam, gunung sampai lautan.
Rincian familia dari subordo Serpentes :
No
|
Familia
|
Σ Genus
|
Σ Spesies
|
01
|
Leptotyphlopidae
|
2
|
78
|
02
|
Typhlopidae
|
3
|
180
|
03
|
Anomalepidae
|
4
|
20
|
04
|
Acrochordidae
|
2
|
3
|
05
|
Aniliidae
|
1
|
9
|
06
|
Uropeltidae
|
8
|
44
|
07
|
Xenopeltidae
|
1
|
1
|
08
|
Boidae
|
27
|
88
|
09
|
Colubridae
|
292
|
1562
|
10
|
Elapidae
|
61
|
236
|
11
|
Viperidae
|
7
|
187
|
12
|
Hydrophydae
|
1
|
18
|
Total
|
409
|
2426
|
Diantara 2426 spesies yang
sudah teridentifikasi, 3 familia diantaranya yaitu Elapidae, Viperidae dan
Colubridae mencakup ular – ular berbisa (venomous snake). Sebagian besar
spesies dari familia Elapidae adalah ular berbisa dengan type venom neurotoksik
tinggi (high – very high neurotoxic venom). Semua spesies dari familia
Viperidae adalah ular berbisa dengan type venom hemotoksik moderat – medium (moderate
– medium hemotoxic venom). Beberapa spesies dari familia Colubridae adalah
ular berbisa dengan type venom hemotoksik atau neurotoksik ringan dan tidak
berbahaya bagi manusia.
Beberapa
spesies ular yang terkenal sebagai satwa kelangenan antara lain sanca pohon
hijau papua (Morelia viridis), sanca karpet (Morelia spilota),
sanca bodo (Python molurus), sanca batik (Python reticulatus),
dll.
Beberapa contoh ular tidak
berbisa/non venomous;
3) Subordo Amphisbaenia disebut juga sebagai kadal cacing,
karena anatominya seperti kadal tetapi tanpa anggota gerak/kaki dan habitatnya
di dalam tanah sehingga sering dikelirukan dengan cacing. Dari 140 spesies
amphisbaenia yang sudah teridentifikasi sebagian besar habitatnya di dalam
tanah dan tumpukan vegetasi yang membusuk sehingga sangat jarang terlihat
misalnyaTragophys sp.
b. Ordo Rynchocephalia
Ordo Rynchocephalia hanya memiliki satu subordo yang tersisa yaitu
Sphenodontidae dan saat ini hanya tersisa satu genus Sphenodon terdiri satu
spesies yaitu Tuatara (Sphenodon punctatus) yang hidup di pulau – pulau
terpencil New Zealand.
c. Ordo Crocodylia
Ordo Crocodylia terbagi menjadi 3 familia;
Aligatoridae, Crocodylidae dan Gabialidae. Ordo ini meliputi berbagai bangsa
buaya, alligator, caiman dan gavial dengan habitat sungai dan danau berair
tawar serta rawa – rawa ataupun muara sungai berair payau dan bahkan air
laut/air asin.
Indonesia memiliki 4 spesies buaya dari familia
Crocodylidae yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya
siam/air tawar kerdil (Crocodylus siamensis), buaya papua (Crocodylus
novaeguineae) dan buaya moncong sapit/senyulong (Tomistoma schlegelii).
Dari keempat spesies tersebut buaya siam memiliki ukuran tubuh paling kecil
dengan panjang tubuh berkisar 2.5 – 3 meter termasuk ekor dan buaya muara
adalah buaya terbesar dengan panjang tubuh dapat mencapai 6 meter (termasuk
ekor) dengan berat badan lebih dari 600 kg.
BAB II
RESTRAIN DAN HANDLING
Reptil merupakan salah satu jenis satwa yang unik dan eksotis. Dikatakan
unik karena memiliki sifat morfologi yang berbeda dengan satwa yang lain.
Dengan keunikan tersebut maka penanganan pada masing masing jenis reptil
berbeda beda antara satu jenis dengan jenis yang lain. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam penanganan reptil antara lain:
a. perlunya mengetahui sifat-sifat morfologi dan biologi
reptil yang akan kita handling agar supaya dalam melakukan perlakuan pada
reptil yang kita tangani tidak mengalami stress. Reptil yang mengalami
stress akan sangat berpengaruh pada proses metabolisme dalam tubuh yang diikuti
dengan nafsu makan yang menurun.
b. harus bisa membedakan
reptil yang beracun (venomous) dengan yang tidak beracun (non venomous),
agar supaya dalam melakukan perlakuan tidak menyebabkan stress (tekanan) yang
luar biasa pada satwa yang akan kita tangani. Dalam hal ini
diperlukan ketenangan dan kesabaran serta keahlian sebelum melakukan perlakuan.
Apabila penanganan dan perlakukan dilakukan secara kasar maka dikhawatirkan
akan menyebabkan terganggunya ketenangan satwa yang akan di tangani. Dampak negatif yang
paling fatal adalah bilamana reptil tersebut menggigit atau menyerang orang
yang melakukan perlakuan.
1. Restrain
Restrain
pada reptil bertujuan pemeriksaan terutama untuk keamanan bagi pemeriksa
(dokter hewan), keamanan bagi satwa dan untuk keamanan transportasi. Secara
umum restrain pada reptil digolongkan menjadi dua yaitu:
a. physical restraint/restrain fisik
Restrain fisik dapat dilakukan dengan teknik satu tangan, teknik dua tangan
dan penggunaan alat bantu seperti jarring/net, snake hooks, grab
stick danclear plastic tubing. Restrain fisik untuk reptil
besar seperti buaya, ularBurmese, Reticulatus dan Anaconda dibutuhkan
beberapa orang agar tidak menimbulkan resiko bagi satwa, klien maupun staff.
Restrain fisik dengan teknik satu tangan dilakukan untuk reptil berukuran
tubuh kecil dan jinak. Satwa dipegang dengan satu tangan menggunakan ibu jari
dan jari telunjuk tepat di belakang kepala dan jari lainnya menopang bagian
leher satwa dan atau bagian tubuh yang lain.
Restrain fisik dengan teknik dua tangan dilakukan untuk reptil berukuran
sedang atau sedikit agresif. Satwa dipegang dengan satu tangan pada bagian
tepat dibelakang kepala dan tangan satunya memegang bagian tengah atau belakang
tubuh satwa.
Restrain fisik dengan menggunakan alat bantu seperti jaring/net,
tali, grab stick, snake hook, clear plastic tubing dilakukan
pada reptil yang agresif dan ular berbisa/venomous snakes. Jaring/net
dan tali berfungsi untuk imobilisasi alat gerak dan mulut. Grab stick berfungsi
untuk menangkap dan memegang ular dari jarak jauh. Snake hook digunakan
untuk imobilisasi ular dengan cara menekan ular pada bagian belakang kepala
sebelum dipegang dengan tangan.Clear plastic tubing digunakan untuk
ular venomous berukuran tubuh pendek, dengan cara memasukkan
ular kedalam tube transparan tersebut sehingga dapat diamati
bagian – bagian tubuh ular tersebut dari luar tube.
b. Chemical restraint/restrain kimiawi
Restrain kimiawi menggunakan sedativa maupun anestetika umumnya
dilakukan pada reptil yang agresif dan ular berbisa (venomous snakes) serta
untuk tujuan transportasi. Namun demikian restrain kimiawi harus dilakukan secara
hati-hati karena induksi anestesi dan recovery yang lambat.
Restrain kimiawi
dapat dilakukan dengan anestetika inhalasi/gas sepertidiethyl ether, isoflurane atau halothane.
Keuntungan anestetika inhalasi pada reptil adalah induksi anestesi yang cepat
dan recovery juga cepat. Namunrecovery yang cepat
ini menjadi kelemahan manakala digunakan untuk reptile - reptil yang agresif
dan membutuhkan penanganan yang lama.
Restrain kimiawi lainnya dapat
dilakukan dengan anestetika non inhalasi. Yang sering digunakan adalah Ketamine
HCl yang dikombinasikan dengan muskulorelaksan seperti Chlorpomazine
HCl, Xylazine, Diazepam danMidazolam.
Dosis yang dianjurkan untuk Ketamin adalah 20 – 40 mg/Kg BB untuk sedasi dan 60
– 80 mg/Kg BB untuk anestesi, Chlorpromazine 0,1 – 0,5 mg/Kg BB, Diazepam 2
mg/Kg BB, Midazolam 2 mg/Kg BB dan Xylazine 0,10 – 1,25 mg/Kg BB. Penggunaan
Xylazine hendaknya disediakan reversalnya yaitu Yohimbin dengan dosis
0,1 mg/Kg BB (Carpenter et al., 2001). Induksi anestesi pada ular berjalan
sangat lambat, sekitar 30 menit baru teranestesi dan recoverynya
juga lambat berkisar 24 – 48 jam.
2. Handling
Untuk melakukan teknik penanganan (handling) pada reptil yang perlu
diperhatikan adalah membedakan reptil yang beracun dengan yang tidak beracun.
Penanganan pada reptil beracun khususnya ular biasanya menggunakan alat khusus,
dimana dengan bantuan alat tersebut bagian kepala ular di tekan sedemikian rupa
sehingga merasa aman bagi orang yang melakukan perlakukan. Setelah kepala di
tekan maka secara perlahan bagian kepala tersebut dipegang dan jangan sampai
lepas, agar supaya ular tersebut tidak menggigit. Harus diingat bahwa dalam
menangani ular beracun perlu keahlian dan ketenangan.
Handling secara benar akan memberikan rasa nyaman bagi satwa reptil.
Adakalanya dibutuhkan restrain agar reptil dapat dihandle dengan
aman.
Beberapa tips agar aman pada saat menghandle reptil:
a. lakukan handling dengan lembut dan tenang
pada semua jenis reptil. Jangan ragu – ragu pada saat menghandle;
b. beberapa spesies
harus dilakukan handling dengan hati – hati, meskipun bukan
satwa venomous karena satwa yang ‘kagol’ dapat menjadi
agresif;
c. spesies reptil besar
seperti buaya, Python molurus, Python reticulatus dan
Anaconda (Eunectes murinus) dewasanya dapat mencapai panjang 6 meter dan
berat diatas 100 kg, diperlukan beberapa orang untuk menghandle dengan
aman. Jangan bertaruh nyawa sendirian saat menghandle reptil besar
tersebut;
d. beberapa spesies
reptil seperti ular dan biawak seringkali defekasi dan urinasi saat dihandle/restrain
manual, sabaiknya bagian belakang tubuh satwa termasuk kloaka dan ekor tetap
berada dalam wadahnya (kantong kain atau kotak) untuk menghindari kontaminasi.
3. Handling ular berbisa
dan berbahaya
a. handling sebaiknya
dilakukan oleh staf yang sudah berpengalaman gunakan alat bantu restrain
seperti snake hook, grab stick dan clear plastic
tubing.
b. antivenin hendaknya selalu
tersedia saat menghandle ular – ular venomous
c.sebaiknya jangan
menggunakan sarung tangan karet karena bersifat licin.
4. Saran penting untuk
Handling dan Restrain pada Reptil
a. idealnya
satwa/reptil dihandle seminimal mungkin.
b. perlu mengetahui
tentang karakter satwa tersebut dengan menanyakan pada pemilik atau yang
membawa. Tidak diperkenankan menghandle satwa secara
sembarangan.
c. handling pertama kali akan aman apabila satwa dipegang tepat dibelakang kepala
sebelum mengangkat satwa dari tempatnya.
d. untuk keperluan
transportasi jarak pendek bagi reptil tidak berbisa dan jinak, penggunaan
kantong kain cukup memadai, karena kelenturannya dapat mengikuti gerakan satwa.
e. handling dan restrain
ular berbisa/venomous sebaiknya menggunakan alat bantu
seperti snake hook, grab stick atau clear plastic
tubing.
f. ular (reptil) yang
tidak beracun penanganan yang dilakukan adalah:
1) ular terlebih dahulu dimasukkan dalam
kantong agar supaya pergerakannya terbatas;
2) kantong yang sudah berisi ular diikat
sedemikan rupa dan diusahakan teknik pengikatan meminimalisasi
pergerakan ular dalam kantong agar supaya memudahkan penanganan yang akan
dilakukan;
3) tunggu beberapa menit agar supaya ular dalam kantong
dalam keadaan tenang, setelah itu baru dilakukan perabaan dari luar kantong
yang mengarah ke bagian kepala. Bagian kepala yang sudah teraba
segera dipegang lalu secara perlahan kantong di sisihkan.
5. Cara Pengemasan dan
Pengiriman Reptil
1. Pengemasan.
Pengemasan pada reptil pada
umumnya dilakukan dengan menggunakan kantong yang terbuat dari bahan kain.
Sebelum ular dimasukkan dalam kantong terlebih dahulu diisi dengan
sobekan-sobekan kertas diantarnya sobekan kertas koran yang bertujuan untuk
menghangatkan badan ular tersebut selama dalam perjalanan dan juga untuk
menyerap faces(kotoran) yang dikeluarkan. Isi kantong disesuaikan
dengan besar kecilnya ular yang akan dimasukkan dalam kantong. Khusus untuk
ular-ular beracun sebaiknya pengemasan dilakukan dengan menggunakan kantong dua
lapis agar keamanan bisa terjamin pada saat pengepakan dan setelah sampai di
tempat tujuan. Setiap kantong yang berisi ular-ular beracun sebaiknya diberi
tanda “ Ular beracun berbahaya” ( Danger Venomous Snake).
Untuk ular-ular yang bersifat kanibalisme sebaiknya
pengemasan dilakukan terpisah, setiap kantong hanya di isi dengan satu ekor
ular.
2. Pengiriman Reptil
Setelah selasai pengemasan maka pengiriaman dilakukan dengan menggunakan
peti yang terbuat dari triplek, kawat nyamuk dan kawat ayak. Peti
pengiriman dibentuk sedemikian rupa dimana keempat sisinya dilubangi dengan
diameter 1 cm. Adapun fungsi lubang tersebut adalah sebagai ventilasi (lubang
udara) kemudian sisi bagian dalam dilapisi dengan kawat nyamuk, sedangkan
permukaan sisi bagian luar di lapisi dengan kawat ayak. Kantong-kantong yang
berisi ular di susun dalam peti serapi mungkin kemudian ditutup dengan
triplek. Peti yang sudah ditutup rapi sebaiknya di klem agar agar
selama dalam perjalanan tidak mengalami kerusakan. Peti yang berisi
ular beracun pada bagian luarnya diberi tanda “ Ular beracun”
agar penerima lebih hati-hati membuka peti tersebut setelah sampai di tempat
tujuan.
BAB III
JENIS PENYAKIT PADA SPESIES
1. Parasit
a. Ektoparasit (caplak, aponoma, hyaloma,
tungau ophionyss)
b. Endoparasit
§ Nematoda: Ascarids
(Ophidascaris sp), Hookworms (Kalicephalus sp), Lungworm (Rhabdias sp).
§ Cestoda
§ Protozoa Cryptosporidia (amoeba dan
entamoeba
§ Pentastomid
2. Bakteri
a. Salmonella
Bakteri
ini merupakan bakteri yang paling sering dijumpai pada reptil. Sepanjang
karapas digunakan sebagai tempat yang potensial untuk menyebarkan salmonella.
Salmonella dapat tetap virulen sampai 89 hari pada air keran, 115 hari pada air
kolam, 280 hari pada tanah taman, 28 bulan pada feses burung. Reptil dapat
menjadi carrier.
Meskipun
tingkat kejadian salmonellosis pada reptil cukup tinggi, biasanya reptil tidak
menunjukkan gejala penyakit dari infeksi salmonella. Beberapa strain salmonella
menjadi penyebab penyakit spontan pada reptil yang menunjukkan septicemia,
pneumonia, coelomitis, abses, granuloma, hypovolemic shock, dan
kematian. Reptil termasuk buaya dan ular dapat menjadi sumber
salmonellosis pada manusia.
Pseudomonas. Pseudomonas aeruginosa dapat diisolasi dari
luka pada mulut ular. Manusia tertular akibat kontak langsung dengan organisme
melalui luka goresan atau luka bekas gigitan kutu, inhalasi (dengan cara
terhirup) atau ingesti (dari makanan yang tercemar).
b. Aeromonas
Aeromonas merupakan bakteri yang biasa terdapat pada danau, kolam dan air
tempat reptil, amphibi dan ikan. Penularan dapat melalui kontak dengan air pada
luka terbuka atau dari kutu yang berada pada lingkungan reptil yang terinfeksi.
c. Campylobacter
Bakteri ini dapat menyebabkan
diare dan akut gastroenteritis (radang saluran pencernaan) pada manusia. Gejala
yang tampak adalah diare, mual, muntah, nyeri perut dan demam.
d. Bakteri enterik yang lain
Beberapa spesies yang bersifat patogen yang diisolasi dari reptil yang
secara klinis sehat dan yang sakit adalah Aeromonas, Citrobacter, Enterobacter,
Klebsiella, Proteus dan Serratia.
Enterobacter cloacae dan Klebsiella pneumoniae menjadi penyebab infeksi
urogenital (saluran perkencingan dan reproduksi) pada manusia. Proteus dan
beberapa bakteri enteric yang lain menyebabkan diare pada manusia.bakteri ini
ditularkan pada manusia melalui kontak langsung.
Erysipelothrix rhusiopathiae diisolasi dari alligator dan American crocodiles. Pada manusia
menyebabkan infeksi pada kulit, menimbulkan rasa sakit, rasa terbakar,
gatal-gatal, radang sendi dan septicemia yang dapat menyebabkan endokarditis
(radang endokardium jantung) dan kematian. Manusia tertular melalui luka atau
kulit yang tergores.
Yersinia enterocolitica dapat menyebabkan bermacam penyakit pada manusia termasuk
gastroenteritis hebat dengan rasa sakit pada bagian perut seperti gejala radang
usus buntu. Penyebaran penyakit terjadi juga pada marmut, kelinci, kucing,
tikus, domba, burung liar, kalkun, itik, merpati dan kenari. Penyakit ini
menyerang pada anak-anak, remaja dan dewasa dengan muntah, gejala serupa radang
usus buntu, dan mesenteritic adenitis. Pada perkembangannya penyakit dapat
menyebabkan radang sendi, radang ginjal, eritrema nodusum, dan iritis.
e. Mycobacterium
Mycobacterium marinum menyebabkan nodul pada kulit maupun dibawah kulit.Mycobacterium sp menyebabkan
lesi patologis yang bermacam-macam pada reptil, biasanya bersifat kronis
termasuk lesi granuloma dan non granuloma pada paru-paru, hati, limpa,kulit,
jaringan sub kutan, mukosa mulut, gonad, tulang, dan sistem saraf pusat.
Manusia
tertular melalui kontak langsung dengan organisme pada kulit yang luka, pada
waktu handling hewan atau saat membersihkan tempat reptil.gigitan kutu pada
kulit, atau melalui pernafasan dan kontak dengan mukosa mulut atau respirasi.
f. Q fever- Coxiella burnetii.
Penyakit ini disebabkan oleh ricketsia
Coxiella burnetii yang disebarkan oleh kutuAmblyomma nuttalli.
g. Fungal
Infeksi fungal biasanya berasosiasi dengan pathogen lain dan factor
predisposisi seperti manajemen pemeliharaan yang jelek.
Beberapa jenis fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada reptile antara
lain Mucor spp, Paecylomyces spp., Candida albicans, Geotrichum spp.,
Aspergillus spp., TYrichophyton spp., dan Trichoderma spp. Gejala Klinis yang
ditimbulkan bervariasi tergantung organ yang terinfeksi. Perubahan yang paling
umum ditemukan adalah lesi – lesi pada kulit dan kadang diserta subspectakular
abses.
Diagnosa dilakukan secara mikroskopik dan kultur menggunakan Sabouraud’s
dextrose agar. Treatment meliputi topikal antifungal, suportif dan
perbaikan manajeman pemeliharaan.
h. viral:
1) Inclusion Body
Disease (IBD) pada Boidaea (Python, Boa)
Penyakit viral yang tersebar luas di seluruh dunia menyerang terutama ular
famili Boidae (python da Boa). Penyakit viral ini dinamakan mengikuti
karakteristik intracytopalmic inclusions yang terlihat dalam
sel tubuh ular yang terinfeksi. Penyebab utama penyakit ini adalah Retroviridae-like
virus. Gejala klinis terutama ditandai muntah diikuti gejala
sarafi. Infeksi sekunder bakterial biasanya mengikuti. Gejala klinis lain
termasuk letargi, anoreksia, kehilangan berat badan, pertumbuhan terhambat, mukosa
mulut pucat, stomatitis, diare, penumonia dan dermatitis. Diagnosa dilakukan
dengan pemeriksaan darah untuk menemukan inclusion bodies, biopsi
dan histologi tonsil, hati, ginjal dan mukosa lambung serta nekropsi pada ular
yang mati. Tidak ada treatmen yang efektif sehingga disarankan ular yang
positif terinfeksi IBD sebaiknya dietanasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan
prosedur karantina, kebersihan kandang dan kontrol ektoparasit.
2) Dermatitis pada Colubridae
Dermatitis pada Colubridae biasanya berasosiasi dengan manajemen kandang
dan pemeliharaan yang buruk. Kandang yang terlalu lembab dan ventilasi yang
jelek manjadikan mudahnya infeksi sekunder pada kulit ular. Gejala klinis
berupa keradangan pada kulit berupa kemerahan, kadang diikuti vesicula bahkan
pustula. Diagnosa berdasarkan pemeriksan fisik dan gejala klinis. Treatment
meliputi antibiotic topical atau sistemik diikuti perbaikan manajemen kandang
dan perawatan.
3) Ophidian Paramyxovirus (OPMV) pada Viperidae
Disebut juga Fer-de-Lance virus reptil. Salah satu
viral patogen yang penting pada reptil terutama ular dari famili Viperidae.
Penyakit ini menyebabkan imunosupresi. Penularan penyakit melalui droplet dan
muntahan. Infeksi kongenital dapat terjadi.
Gejala klinis yang muncul biasanya diawali anoreksia,
gejala respiratorik termasuk leleran dari glottis (kadang leleran berdarah),
pada kasus berat diikuti gejala sarafi.
Diagnosa dapat dilakukan dengan Haemaglutination
inhibition test (HI Test), penegcatan negatif dengan elektron mikroskop dari
sampel feses atau paru – paru, biopsi histopatologi, nekropsi dan isolasi
virus.
Treatment yang dapat diberikan termasuk antibiotik
untuk mengatasi infeksi sekunder dan terapi suportif. Pada kasus yang telah
menunjukkan gejala sarafi disarankan untuk dilakukan etanasi. Program
pencegahan sangat penting termasuk perbaikan manajemen kebersihan dan perawatan
serta karantina ular baru selama minimal 90 hari.
3. PEMERIKSAAN:
1. pemeriksaan fisik
(biasanya dari afrika ular dimasukkan narkoba, sehingga beberapa
negara dilakukan pemeriksaan x-ray)
2. pemeriksaan
laboratorium.
untuk pengujian sampel di laboratorium, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah:
a. cara dan jenis
pengambilan spesimen (darah, kotoran, dll).
cara dan pengambilan spesimen dan
jenis spesimen yang diambil tergantung pada jenis reptil dan tujuan pengujian
terhadap spesimen tersebut.
b. cara pengepakan dan
pengiriman spesimen
akurasi hasil pengujian ditentukan juga oleh cara
pengepkan dan pengiriman spesimen. Jika spesimen tidak dihandle
dengan cara yang tepat dapat menyebabkan kerusakan spesimen dan agen penyakit
sehingga hasil pengujian yang tidak valid (negatif palsu atau positif
palsu).
c. teknik dan metode
pengujian laboratorium
metode pengujian yang digunakan
untuk menguji spesimen harus tepat sesuai target agen penyakit yang diuji.
Detail
mengenai pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel 2.
4. PERAWATAN SELAMA MASA
KARANTINA DAN PERLAKUAN SEBELUM PENGIRIMAN
a. perawatan selama masa karantina
Perawatan reptil
khususnya ular selama masa karantina sebaiknya ditempatkan masing-masing satwa
pada terarium yang terpisah satu dengan yang lain, sehingga memudahkan
pengawasan secara langsung selama masa karantin. Disamping itu untuk
menghindari adanya kontak langsung antara satu jenis dengan jenis yang lain.
Dengan cara perlakuan seperti ini akan meminimalisasi penularan
penyakit dari satu jenis ke jenis yang lain.
Apabila ditemukan adanya gejala-gejala penyakit pada reptil yang
dikarantina segera ditangani dan dipindahkan ketempat lain agar tidak menular
pada jenis yang lain.
Satwa yang dikarantina jangan lupa dikasih makan atau minum sebab reptil
kalau terlambat dikasih minum akan cepat mengalami dehidrasi, karena
faces (kotoran) yang dikeluarkan sebagian besar cairan.
Disamping itu pakan yang akan diberikan disesuaikan dengan jenis reptile
yang dikarantina. Sebagai contoh untuk jenis ular sebaiknya diberikan pakan
yang hidup misalnya tikus putih, anak ayam, burung. Jangan diberikan dalam
keadaan mati. Terarium tempat reptile sebaiknya tiap hari dibersihkan agar
supaya kotoran-kotoran yang menempel tidak menjadi media pembawa penyakit.
b. perlakuan sebelum pengiriman.
Perlakuan yang diberikan
sebelum pengiriman adalah dengan memuasakan ular tersebut dari makan kurang
lebih 14 hari. Ular hanya dikasih minum dan didalam minumannya ditambahkan
vitamin agar supaya tidak terlalu stress pada saat pengiriman dilaksanakan.
Biasanya ular atau reptil apabila diberikan makan 14 hari sebelum packing akan
muntah (vomit) dalam perjalanan.
BAB IV
PEMUSNAHAN
1. Untuk reptil yang termasuk dalam Apendiks I
a) Jika hewan masih hidup dan harus
dimusnahkan.
Hewan yang
termasuk dalam Apendiks I adalah hewan yang sangat langka sehingga apabila masih
hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan untuk pendidikan,
penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen penyakit, dapat
dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di
Karantina Hewan
b) Jika hewan sudah mati
dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai
prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di Karantina Hewan
2. Untuk reptil yang
termasuk dalam Apendiks II
a) Jika hewan masih
hidup dan harus dimusnahkan.
Hewan yang
termasuk dalam Apendiks II adalah hewan yang langka sehingga apabila masih
hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan untuk pendidikan,
penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen penyakit, dapat
dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di
Karantina Hewan
b) Jika hewan sudah mati
dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai
prosedur standar pemusnahan hewan sesuai peraturan perundangan perkarantinaan
hewan.
3. Pemusnahan media
pembawa berdasarkan Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Karantina Ikan dan Karantina Tumbuhan, serta Peraturan pemerintah Nomor 82
Tahun 2000:
a) dalam pelaksanaan
pemusnahan agar sebelumnya selalu dibuatkan berita acara penolakan untuk
memberi waktu pada pemilik melengkapi kekurangan dokumen dan atau di ekspor
kembali.
b) bila dalam waktu yang
telah ditetapkan dokumen tidak dapat dilengkapi segera diadakan pemusnahan
dengan persiapan sebagai berikut :
(1) Tentukan tempat /
lokasi pemusnahan;
(2) Tentukan hari dan
tanggal pemusnahan;
(3) Melibatkan instansi
terkait (Polisi, Bea cukai, Keamanan Pelabuhan /Bandara, Pelindo, Dinas yang
menangani Kesehatan Hewan setempat, Jaksa untuk menjadi saksi dalam berita acara
pemusnahan.
4.
Pemusnahan (disposal) adalah prosedur untuk melakukan
pembakaran dan penguburan terhadap reptil mati (bangkai), kandang yang tercemar
serta bahan dan peralatan lain terkontaminasi yang tidak dapat didekontaminasi/
didesinfeksi secara efektif.
Teknis pemusnahan dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. lokasi pelaksanaan
pembakaran/penguburan harus jauh dari penduduk untuk mencegah polusi maupun
penyebaran penyakit;
b. bila media pembawa
berupa hewan hidup, harus dijamin hewan tersebut sudah dibunuh sesuai etika
kesejahteraan hewan seperti dieuthanasi (hewan harus mati sempurna sebelum
dibakar);
c. dilakukan terlebih
dahulu proses pembakaran didalam lubang yang telah dipersiapkan untuk
penguburan atau dapat menggunakan incenerator untuk mencegah polusi;
d. lubang tempat
penguburan harus mempunyai kedalaman minimal 1,5 meter dan setelah itu ditutup
dengan tanah serapat mungkin dan kemudian harus ditaburi dengan kapur
secukupnya dan desinfektansia yang telah ditetapkan.
BAB V
PERTOLONGAN PERTAMA PADA KASUS GIGITAN ULAR BERBISA
Apabila
ada kasus gigitan ular berbisa dalam melakukan kegiatan tindak karantina atau
kegiatan lain maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Sebaiknya orang
tersebut jangan terlalu panik, sebab kepanikan akan membantu daya serang racun
dalam tubuh.
2. Bagian yang digigit
harus sesegera mungkin diikat agar supaya racun yang masuk kedalam tubuh bisa
terblokir tidak masuk jantung.
3. Usahakan bagian yang
digigit harus diposisikan dibawah jantung agar supaya aliran darah menuju
jantung diperlambat.
4. Segera dibawa kerumah
sakit dan jangan lupa membawa data jenis ular apa yang menggigit agar supaya
anti serum yang akan disuntik disesuikan dengan jenis ular yang menggigit.
BAB VI
PENUTUP
Demikian Pedoman Penanganan, Pemeriksaan dan Pengujian terhadap
Reptil (Herpetofauna) ini disusun untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan tindakan
karantina terhadap Reptil untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) melalui media pembawa
HPHK berupa reptil yang dilalulintaskan. Hal-hal teknis berkaitan dengan
penyusunan pedoman ini yang belum diatur akan disesuaikan kemudian.
...........................