Sabtu, 08 Oktober 2016

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA (part 3)

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA  (part 3)


.........................................................

METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result,search,result.search result  :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,biodiversity ,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result ,search,result.search result  :

H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan metode penelitian herpetofauna  dari sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat

Just trying to summarize everything connected with metode penelitian herpetofauna  from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA  ?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA  ATAU  MENJADI VOLUNTEER UNTUK KAMI...(+62)85866178866  ( whatsapp only )
Link chloepedia  :
Herpetofauna 1
herpetofauna  2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2

Metode penelitian herpetofauna

DIVERSITY IN VARIOUS TYPES AMPHIBIANS HABITAT IN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Achmad A.*, Ambarwati M, Fajarani F, Tobias P, Gugum P, dan Dessy W.

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10, Rawamangun Jakarta13220. Telp/Fax (021)4894909
*email : ahmad_zerman@yahoo.co.id


Abstract

Amphibian is one of ecosystem compiler component having a real important role, both ecological and economical. Research about amphibian in Indonesia is still very limited. The study was implemented at three habitat types including forests, river and field. The data was collected by Visual Encounter Survey. That data was analyzed descriptively as well as statistically to calculate species dominance (D), diversity (H’) and similarities. There were 37 species recorded (Order Anura), consisting of 5 families: Bufonidae (1 species), Megophryidae (2 species), Microhylidae (1 species), Ranidae (7 species) and Rhacophoridae (1 species). The highest species diversity was in forest habitat  (7 species), while the lowest species diversity in field habitat  (5 species). The highest H’ value was in  forest habitat  (H’ = 1.61) while the lowest was in field habitat (H’ = 1.24). The highest similarity was between forest habitat and river (IS=31%), and the lowest was between field habitat and river (IS=9%)

Keywords:  Diversityamphibians,  

            KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT DI TAMAN NASIONAL                     GUNUNG HALIMUN SALAK



Achmad A.*, Ambarwati M, Fajarani F, Tobias P, Gugum P, dan Dessy W.

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10, Rawamangun Jakarta13220. Telp/Fax (021)4894909
*email : ahmad_zerman@yahoo.co.id


Abstrak

Amfibi adalah salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan yang sangat penting, baik ekologi dan ekonomis. Penelitian tentang amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian dilakukan di tiga jenis habitat termasuk hutan, sungai dan sawah. Data yang dikumpulkan oleh Survei Visual Encounter.Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik untuk menghitung dominasi spesies (D), keragaman (H ') dan kesamaanDitemukan sebanyak 12 spesies yang dicatat (Ordo Anura), terdiri dari lima family : Bufonidae (1 spesies), Megophryidae (2 spesies), Microhylidae (1 spesies), Ranidae (7 spesies) dan Rhacophoridae (1 spesies). Keragaman spesies tertinggi di habitat hutan (tujuh spesies), sementara keragaman spesies terendah di habitat sawah (5 spesies). Nilai keanekaragaman tertinggi di habitat hutan  (H' = 1.61) sedangkan terendah di habitat sawah (H '= 1,24). Kesamaan tertinggi antara habitat hutan dan sungai (IS = 31%), dan terendah adalah antara bidang habitat dan ri

Kata Kunci :  KeanekaragamanAmfibi



PENDAHULUAN


Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Jawa Barat merupakan kawasan konservasi dengan luas 113.357 ha. Kawasan meupakan daerah penting penting karena melindungi hutan hujan dataran rendah yang terluas di daerah ini, dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Dengan iklim yang basah, Taman Nasional ini merupakan sumber mata air dari beberapa sungai yang alirannya tidak pernah kering sepanjang tahun, dan delapan buah air terjun (Hartono, 2007). Banyaknya aliran sungai yang ada merupakan habitat yang tepat bagi satwa amfibi. Karena sebagian besar amfibi memerlukan air untuk berkembangbiak.
Beberapa penelitian mengenai keanekaragaman amfibi di daerah TNGHS menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman di wilayah ini cukup tinggi. Pada penelitian yang dilakukan di bulan Oktober 2001 (Liem,1973) ditemukan dua puluh jenis amfibi, yang terdiri dari dua jenis dari suku Megophryidae, empat jenis dari suku Bufonidae, satu jenis dari suku Microhylidae, sepuluh jenis dari suku Ranidae, dan lima jenis dari suku Rhacophoridae.
                Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi di berbagai tipe habitat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dengan mengetahui seberapa besar tingkat keanekaragaman jenis amfibi di TNGHS maka diharapkan dapat membantu upaya konservasi terhadap amfibi di TNGHS.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7-9 Juli 2011 di kawasan hutan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan observasi langsung secara Visual Encounter Survei.
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan penelitian amfibi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) antara lain:Senter, kantong spesimen, jangka sorong, meteran, weathermeter, biopori/linggis, paralon/trashbag, lembar pengamatan, kamera digital Sony 12,1 MP

PEMBAHASAN

        Lokasi penelitian pertama merupakan habitat hutan yang terletak pada ketinggian 950-1100 m dpl dengan kondisi kerapatan penutupan tajuk terhadap permukaan tanah tidak begitu rapat, sedangkan kondisi vegetasinya memiliki stratifikasi yang cukup tinggi tajuk mulai dari tumbuhan bawah (rumput dan semak) hingga tingkat pohon. Lokasi penelitian kedua yaitu habitat sungai, secara umum topografi habitat ini adalah datar dengan substrat sungai yaitu bebatuan, habitat sungai yang peneliti gunakan ada dua lokasi yaitu sungai yang terdapat di dalam hutan dan sungai yang terdapat di sekitar areal persawahan. Lokasi penelitian ketiga yaitu habitat persawahan, topografi dari habitat ini juga datar dengan vegetasi yang sangat minimal yaitu tanaman padi.
Kondisi fisik yang diambil dari tiap habitat yaitu suhu, kelembaban dan derajat kelembaban, dengan kisaran suhu 20-22 OC, sedangkan kelembaban berkisar antara 75-89%.
Jumlah jenis amfibi yang ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu 12 jenis amfibi. Dari 12 jenis amfibi yang ditemukan memiliki komposisi sebagai berikut: 7 jenis dari suku Ranidae, 2 jenis dari suku Megophrydae, 1 jenis dari suku Microhylidae, 1 jenis dari suku Rhacophoridae, dan 1 jenis dari suku Bufonidae. Jenis yang memiliki individu terbanyak adalah Rana calconata (20 individu) dan Limnonectes kuhlii (12 individu), sedangkan jenis yang memiliki individu terendah adalah Rana erythrea (1 individu).
Jenis yang ditemukan di lantai hutan lebih banyak (10) dibandingkan jenis yang ditemukan di perairan (2). Sebaran jenis anurayang ditemukan sangat bervariasi, misalnya jenis Limnonectes kuhlii lebih sering dijumpai di sekitar aliran sungai, diatas batu ditepi sungai, sedangkan jenis-jenis Rana lebih sering dijumpai pada tangkai pohon atau diatas dedaunan. Jenis dari suku Megophrydae yaitu Megophrys montana dan Leptobrachium haseltii lebih sering dijumpai di lantai hutan, hal ini karena M.montana danL.haseltii merupakan jenis katak terestrial yang hidup di serasah untuk bertahan hidup.
Berdasarkan tabel keanekaragaman (H’) di atas, maka nilai H’ tertinggi dari tiga tipe habitat terdapat pada tipe habitat hutan (1,61) dengan 7 jenis, sedangkan terendah pada tipe habitat sungai (1,52) dengan 6 jenis. Nilai keanekaragaman di habitat hutan dan sungai tergolong sedang karena menurut margalef (1972) dalam magurran (1988) menyatakan bahwa tingkat kelimpahan jenis yang tinggi ditunjukkan dengan nilai Indeks Shannon-Wienner lebih dari 3,5; digolongkan sedang bila nilai indeks 1,5 sampai 3,5 serta rendah bila kurang dari 1,5.
Menurut Primack et al. (1998) bahwa satwa liar akan semakin beranekaragam bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas, yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978), sedangkan menurut Goin & Goin (1971) kecocokan terhadap suhu dan kelembaban, penutupan tajuk dan formasi tanah merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman. Heterogenitas habitat pada daerah tropis memiliki ketidakseragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar pada jenis tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi komunitas hewan yang sangat beranekaragam (Campbell 2004b).
                Dari perhitungan yang dilakukan menggunakan rumus Sorensen (Odum, 1993)  untuk menghitung indeks kesamaan dari berbagai tipe habitat yang diamati. Didapatkan bahwa tipe habitat hutan dan sungai memiliki persamaan yang terbesar, yaitu sebesar 31%. Sedangkan sawah dan sungai memiliki persamaan terkecil sebesar 9%.  Pada tipe habitat hutan dan sawah memiliki persamaan 16%.
                Besarnya persentase persamaan tersebut disebabkan jenis amfibi yang ada dihabitat tersebut tidak terlalu berbeda. Pada hutan dan sungai ini disebabkan oleh struktur habitat di kedua tempat ini tidak terlalu berbeda karena lokasi sungai yang peneliti amati merupakan sungai yang terletak di dalam jalur hutan, sedangkan sungai yang terletak di pinggir sawah tidak kami temukan katak sama sekali, hal ini karena aliran sungai yang cukup deras. Sehingga ini menyebabkan jenis-jenis yang ada tidak terlalu beragam. Pada sungai dan sawah persamaan jenis yang ada kecil ini disebakan struktur habitat yang berbeda.

KESIMPULAN

        Jumlah jenis katak yang ditemukan sebanyak 12 jenis. Keanekaragaman yang terdapat pada habitat sawah lebih rendah dibandingkan pada habitat hutan dan sungai sedangkan dominansi pada habitat sawah merupakan dominansi yang paling tinggi dibandingkan habitat lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman yang terdapat pada tiga tipe habitat tidaklah begitu berbeda, pada habitat hutan dan sungai memiliki keanekaragaman jenis amfibi yang tergolong sedang dan pada habitat sawah memiliki keanekaragaman jenis amfibi yang tergolong rendah.
Pada indeks kesamaan pada tiga tipe habitat yang berbeda didapatkan bahwa tipe habitat hutan dan sungai memiliki persamaan yang terbesar, yaitu sebesar 31%. Sedangkan sawah dan sungai memiliki persamaan terkecil sebesar 9%.  Pada tipe habitat hutan dan sawah memiliki persamaan 16%.

UCAPAN TERIMA KASIH
                Terima kasih peneliti ucapkan kepada:
1.             Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin-Nya lah kami dapat melakukan penelitian ini dengan lancar.
2.             Ka Gugum Prayoga sebagai mentor kami yang telah meluangkan banyak waktu tidurnya untuk membantu kami dalam penelitian ini.
3.             Ka Dessy Widyanita sebagai asisten mentor yang telah memberikan banyak saran kepada kami.
4.             Ka Agus, Ka Insan, Ka Kilat, Ka Vivi, Ka Obi, Ka Yono, Rahmat F, Riko, dan Ardiansyah yang telah meluangkan waktu tidurnya untuk membantu kami dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI: Bogor.

Kusrini, Mirza D. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Pustaka Media Konservasi: Bogor.

Hartono, T., H. Kobayashi, H. Widjaya, M. Suparmo. 2007. Taman Nasional    Gunung  Halimun Salak. Edisi revisi. JICA-BTNGHS-Puslit Biologi LIPI-PHKA.Pp 48+vi
Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta


Fajri, Maria. 2009. Perbandingan keanekaragaman jenis amfibia di hutan kota srengseng dan cibubur. UNJ: Jakarta


Frost, D. R. Et. All. 2006. The Amfibin Tree of life. Bulletin of The American Museum of  Natural History, New York No.297:370 hlm.


Duellman, W. E. & L. Trueb. 1986. Biology of Amfibins. USA: Mcgraw-hill, Inc



 LAMPIRAN
Tabel 1. Komposisi Jenis Amfibi Pada tiga habitat
No.
Jenis Kekerangan
Habitat
Hutan
Sungai
Sawah
1.       
       Rana Calconata
9
2
9
2.       
       Rana hosii
-
2
-
3.                  Rana nicobar
     -
-
2
4.                  Rana erythrea                                
-          -
-  
1
5.                  Huia masonii
     8
5
-
6.                  Limnonectes kuhlii
     1
11
-
7.                  Fejervarya cancrivora
     -
-
7
8.                 Megophrys montana   
     2
-
-
9.                 Leptobrachium haseltii  
     2
-
-
10.          Leptophryne borbonica  
     2
4
-
11.          Microhyla achatina
     2
-
1
12.          Rhacophorus javanus     
     -
2
-
Jumlah
     26
26
20

Tabel 2. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Dominasi (D) pada tiga habitat
Habitat
Pengamatan
indeks
Jumlah jenis
Keanekaragaman
(H’)
Dominansi
(D)
Hutan
1,61
0,25
7
Sungai
1,52
 0,24
6
Sawah
1,24
0,34
5

Tabel 3. Kondisi fisik di setiap tipe habitat
Tipe
Habitat
Suhu
(oC)
Kelembaban
(%)
Derajat kelembaban
(oC)
Hutan
21
87
22,5
Sungai
22,6
89
24,1
Sawah
20,4
75
22,7


Tabel 4. Posisi umum masing-masing jenis saat dijumpai

Tipe Habitat
Posisi
       Rana Calconata
Diatas daun dan tangkai pohon
       Rana hosii
Diatas daun
       Rana nicobar
Dilantai persawahan
       Rana erythrea                               
Dilantai persawahan
       Huia masonii
Diatas daun, tangkai, serasah, diatas batu, dan di dalam air
       Limnonectes kuhlii
Diatas batu dan di dalam air
       Fejervarya cancrivora
Dilantai persawahan
      Megophrys montana   
Di antara serasah daun/ lantai hutan
      Leptobrachium haseltii  
Di lantai hutan/ di antara serasah daun
     Leptophryne borbonica  
Diatas batu, di tepi sungai, di atas daun dan di tangkai daun
     Microhyla achatina
Diatas daun dan di lantai persawahan
     Rhacophorus margaritifer     
Diatas daun


Lampiran foto spesies yang di temukan

..............................
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kulit dapat digunakan sebagai sebuah produk dalam kondisi setelah proses penyamakan, retanning, peminyakan, pewarnaan, pengeringan saja. Umumnya kulit mengalami tahapan yang disebut finishing walaupun dilakukan dengan sangat sederhana/simple. Ada usaha untuk meningkatkan tampilan agar menambah daya tarik, meningkatkan daya jual dengan memperbaiki cacat yang ada baik yang disebabkan cacat alami, penyimpanan ( luka, bekas penyakit, serangga dll) atau terjadi selama proses berlangsung seperti warna dasar yang tidak rata, luntur, tidak matching dengan contoh maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan walau hanya untuk menyesuaikan dengan hue, shading, tone  warna seperti contoh.
Finishing juga dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu seperti memberikan tampilan, corak, pengangan permukaan (touch/feel/handle) yang berbeda lebih lembut, licin, kasar, berminyak (oily, waxy), silky, warna kontras, brilliant, pull-up, antictwo-tone, dan lain - lain.
Obyek finishing adalah memberikan sifat tertentu pada permukaan /grain dan dalam waktu yang bersamaan harus menonjolkan dan mempertahan sifat naturalis (alami) kulitnya.
B.Permasalahan  
1.      Apakah ada teknologi finishing untuk kulit reptil
2.      Bagaimana teknik Finishing yang baik untuk kulit reptil
3.      Apakah ada perbedaan antara permukaan kulit reptile yang di  finishing dengan kulit reptil yang tidak di finishing
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan proposal ini adalah :
1.      Untuk mengetahui teknik finishing pada kulit reptile
2.      Untuk meningkatkan kualitas kulit reptile dengan cara memahami betul cara finishing yang baik untuk kuli reptil
3.      Untuk memberikan informasi kepada pengusaha kulit bahwa kulit reptile yang difinishing memiliki nilai tambah yang tinggi
 D. Manfaat

Manfaat yang penulis harapkan diantaranya:
1.      Meningkatkan pemahaman tentang cara dan teknik finishing yang baik untuk kulit reptil
2.      Teknik finishing kulit reptile ini bertujuan untuk meningkatkan nilai jual kulit sehingga harapannya setelah kulit difinishing kenampakan kulit menjadi lebih baik dan lebih menarik
3.      Teknik Finishing untuk kulit reptil ini mempunyai peranan yang tinggi untuk mencetak generasi yang ahli dalam bidang finishing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Finishing
Menurut Purnomo ( 2009 ),finishing adalah usaha untuk meningkatkan tampilan agar menambah daya tarik, meningkatkan daya jual dengan memperbaiki cacat yang ada baik yang disebabkan cacat alami, penyimpanan ( luka, bekas penyakit, serangga dll) atau terjadi selama proses berlangsung seperti warna dasar yang tidak rata, luntur, tidakmatching dengan contoh maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan walau hanya untuk menyesuaikan dengan hue, shading, tone  warna seperti contoh. Finishing juga dilakukan untuk tujuan tertentu seperti memberikan tampilan, corak, pengangan permukaan (touch/feel/handle) yang berbeda lebih lembut, licin, kasar, berminyak (oily, waxy), silky, warna kontras, brilliant, pull-up, antictwo-tone, dll. Obyek finishing adalah memberikan sifat tertentu pada permukaan /grain dan dalam waktu yang bersamaan harus menonjolkan dan mempertahan sifat naturalis (alami) kulitnya.
Adapun tujuan dari finishing itu sendiri adalah sebagai berikut :
1) Melapisi permukaan kulit atau memberikan lapisan tipis/film pada permukaan kulit untuk melindungi (protecting) permukaan kulit dari pengaruh bahan kimia, panas, gosokan, air, benturan dan lain-lain.
2) Untuk memperbaiki (upgrading) cacat, defek – defek pada permukaan kulit sehingga permukaan (grain) tampak lebih natural.
3) Untuk memperindah, menghias (decorating) agar tampak lebih indah dan Fashionable.

Klasifikasi atau penggolongan jenis finishing dapat dikelompokan sebagai berikut:
1)      Klasifikasi finishing berdasarkan tehnik pengecatan yang digunakan.
Spray finish: Finishing yang dilakukan dengan  spraying saja.
- Roll coating finish: Menggunakan screen rollers atau engraved rollers.
- Curtain coating finish: Menggunakan mesin Curtain finishes untuk menutup permukaan kulit spt kulit corrected grainatau splits.
-  Padding finish.
- Film transfer finish: Polymer foils atau laminating. Juga dapat dibuat dari dua komponen campuran PU mixtures dalam coating machine.
- Glaze finish: Bila aplikasi akhir menggunakan Glazing machine. Kusus untukHight quality leathers.
- Plate finish: Menggunakan plating machines. High gloss dan smooth films.
- Glaze/plate finish: Combination of both.
Embossed finish: Artificial or fancy grain by embossing.
- Foam finish: Highly covering finish especially for furniture and car seat leathers.
2)      Klasifikasi cat tutup menurut finishing effects.
Corrected grain finish: Kulit yang diampelas permukaannya karena kualitasnya rendah atau Buffed leathers yang ditutup dengan lapisantebal dan kemudian dicetak permukaannya (embossed).
- Aniline finish: Kulit yang dilapisi dengan lapisan tanpa pigmen atau transparent coats. Natural appearance of the grain kusus untuk hight quality.
- Semi-aniline finish: Menggunakan small amounts atau pigment dan/atau dyes yang dicampur dengan binders atau covering base coat ditambah  aniline top coat with dyes only.
- Opaque finish: Permukaan kulit total merupakan covering pigments dan binders.
- Brush-off finish: Two-tone effect that appears after using a felt polishing disk.
- Easy-care finish.
- Antique finish: Irregular two-tone effect normally made by applying waxes.
- Fancy finish.
- Two- or multi-tone finish: Applied in two or more finishing coats of different colours by angle spraying, padding or printing.
- Invisible finish: Impression of unfinished surface using light coats and mechanical operations.
- Craquele finish: Cracked effect.

3). Klasifikasi menurur bahan binder yang digunakan.
Polymer or binder finish: The most common. Applying formulations of thermoplastic binders based on polyacrylate, polyurethane or polybutadiene and subsequent plating.
- Casein finish: Non thermoplastic protein or protein-like products for glazed finishing.
- Nitrocellulose solution or emulsion finish: Solvent lacquer. Film forming material is nitrated cellulose dissolved in organic solvents.Emulsion lacquers are water dilutable.
- CAB-finish solvent lacquer based on cellulose aceto-butyrate. Better resistance to yellowing than nitrocellulose.
- Patent finish: Lapisan laquer poliuretan yang tebal, cat yang sangat mengkilap.
Apapun klasifikasi finishing-nya yang penting harus memenuhi persyaratan teknis sementra itu syarat-syarat teknis pada finishing berbeda satu dengan yang lain ditentukan dan tergantung oleh jenis kulit atau artikel yang akan dibuat.

B.Hewan Reptil
            hewan reptil diantaranya adalah buaya,ular,biawak dan masih banyak lainnya,tetapi yang mempunyai nilai jual yang tinggi pada saat ini adalah buaya.bicara tetang hewan reftil biasanya seorang pengusaha kulit lebih sering menyebutnya dengan nama Novalty Leather.sehubungan hewan reftil lebih banyak yang dilindungi maka apabila akan menyamak kulit atau menyembelih hewan reftil harus menndapat izin dari departemen kehutanan.
BAB III
MATERI DAN METODE
A.     MATERI
Materi yang digunakan adalah :
1.      Kulit reptil dengan kualitas I-III
2.      Bahan –bahan Finishing seperti :
a.       Air
b.      Ethil glikol
c.       Wax emulsion
d.      Hand modifier
e.       Nitrocellusa emulsion
f.       Acrylic micro diversion
g.       Acrylic medium dispersion
h.      Pigment
i.        Non ionic surfactant
3.      Alat –Alat finishing seperti :
a)      Alat padding
b)      Spray gun unit
c)      Compressor
d)      Ironing mesin
e)      Mesin buffing
f)       Mesin staking
g)      Mesin toggle
h)      Alat penjepit
i)        Meja miring
Adapun Lokasi pelaksanaan magang adalah :
a.       Tempat      : Pabrik Kulit Cisarua
b.      Waktu        : 14 juni 2011-20 juli 2011
B.     METODE
Metode yang akan digunakan dalam kegiatan kerja praktek  ini yaitu Metode finishing berdasarkan teknik pengecatan yaitu teknik spray Gun.


DAFTAR PUSTAKA
BASF .1997 ,  Leather Finishing Manual, Badische Aniline & Soda Fabrik AG, 6700 Ludwigshafen.
Purnomo, E ,1985 , Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit, Akademi Teknology Kulit Yogyakarta.

Purnomo, E ( 2002 ), Penyamakan Kulit Ikan Pari, ISBN , KANISIUS Yogyakarta.

LEMBAR QUISIONER I

Nama                           :
Nama perusahaan        :
Alamat                        :
No
Pernyataan
Interval jawaban
Setuju
Tidak setuju
1.
Apakah perlu mengetahui teknik Finishing
2.
Seorang finisher harus mengetahui bahan dan alat finishing
3.
Finishing kulit reptile dengan sepray gun lebih mudah
4.
Saat finishing harus menggunakan masker
5.
Kulit reptile yang sudah difinishing memiliki nilai jual yang tinggi
6.
Kulit reptile yang sudah difinishing harus memiliki sifat alami
7.
Finishing dengan sepray gun memerlukan bahan finishing yang banyak












LEMBAR QUISIONER II
Nama                           :
Jabatan                        :
Lama bekerja   :

1.      sudah berapa lama anda bekerja?
2.      Hambatan apa yang sering terjadi pada proses Finishing?
3.      Apakah harga bahan-bahan finishing mahal?
4.      Bagaimana penjualan kulit reptile yang telah di finishing?
5.      apa tugas anda ketika ada karyawan baru?
6.      bagaiman teknik finishing yang baik untuk kulit reptile?
7.      apakah untuk menjadi seorang finisher yang baik harus memiliki ijasah s1?
8.      Bagaimana mencetak karyawan yang baik agar pabrik terus berjalan dengan baik?
9.      Apakah teknik finishing dengan menggunakan sepray dapat menimbulkan pemborosan bahan finishing?
10.  Apa kelebihan finishing menggunakan sepray gun ?

 DeDe DaRiaH  03.25 
.........................................

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI YOUTH CAMP DESA HURUN KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN

 Admin E-Jurnal  Jp Kehutanan dd 2014
ABSTRAK: Amfibi  merupakan  salah  satu  komponen  penyusun  ekosistem,  baik  secara  ekologis  maupun ekonomis.   Penelitian mengenai  amfibi  di  Indonesia  masih  sangat  terbatas.   Pulau  Sumatera sebagai  salah  satu  pulau  besar,  tetapi  belum  banyak  dilakukan  penelitian  mengenai  amfibi.   Penelitian  ini  bertujuan  untuk  membandingkan  keanekaragaman  jenis  amfibi  (Ordo  Anura) yang aktif pada malam hari yang terdapat di Youth Camp berdasarkan tipe habitat.  Penelitian dilakukan pada tiga tipe  habitat  yang berbeda, terdiri dari: (1) hutan, (2) perkebunan, dan (3) sungai.    Metode  yang  digunakan  dalam  pengambilan  data  amfibi  adalah  Visual  Encounter Survey    dengan    metode    jalur    transek.    Identifikasi  dilakukan  dengan  buku  panduan  turun lapang.    Analisis  data  dilakukan  secara  deskriptif  serta  statistik  untuk  menghitung  indeks keanekaragaman  jenis  Shannon-Wiener  dan  indeks  kemerataan.    Di  Youth  Camp ditemukan sebanyak 105 individu terdiri dari 15 jenis amfibi dan 5 famili: Bufonidae 3 jenis, Megophrydae 1 jenis, Microhylidae 2 jenis, Ranidae 7 jenis, dan Rhacophoridae 2 jenis.   Pada habitat hutan ditemukan 8 spesies, habitat perkebunan 5 spesies, dan habitat sungai 7 spesies.  Nilai keanekaragaman amfibi di tiga habitat dikategorikan sedang dan nilai kemerataan di tiga habitat yaitu, habitat hutan J=0,695, habitat perkebunan J=0,578 dan habitat sungai J=0,477.   
Kata kunci: amfibi, Hanura, keanekaragaman, Youth Camp

Penulis: Yudi Safril Ariza, Bainah Sari Dewi, dan Arief Darmawan
Kode Jurnal: jpkehutanandd140019
................................

SISTEMATIKA AMFIBI, MANFAAT DAN ANCAMAN KELESTARIAN

Selama ini, kebanyakan orang hanya mengenal katak atau kodok sebagai satu-satunya amfibi. Sebenarnya amfibi terdiri dari tiga bangsa, yaitu Sesilia, Caudata, dan Anura. Bangsa sesilia dikenal juga dengan nama apoda (a=tidak; pod=kaki; tidak berkaki) atau Gymnophioana. Ini adalah amfibi yang tidak memiliki kaki dan sepintas mirip seperti cacing. Hewan ini jarang muncul di permukaan, biasanya berada di dalam tanah, di dalam tumpukan serasah atau di air. Sesilia dijumpai di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada satu jernis sesilia yang ada di Jawa Barat yaitu Ichthyohpis hypocyaeneus (suku Ichthyophiidae) yang terdapat di Bodogol, Taman Nasiaonal Gede Pangrango (kusrini 2007). Berbeda dengan kebanyakan katak yang kawin secara eksterna, diduga semua sesilia memiliki fertilisasi internal. Beberapa jenis lainnya memiliki telur yang akan berkembang langsung menjadi bentuk dewasa terestial atau bahkan melahirkan anak.
Bangsa Caudata dikenal juga dengan nama Salamander dan merupakan satu-satunya bangsa yang tidak dijumpai di Indonesia. Hewan ini memiliki bentuk kepala, badan dan ekor yang jelas dengan empat tungkai yang berukuran sama. Sekilas seperti kadal namun tidak bersisik. Larva dari jenis ini jika akuatik, berbentuk hampirseperti induknyadan tidak ada metemorfosis yang nyata.
Bangsa Anura merupakan bangsa yang paling dikenal orang masyarakat luas dan ditemukan di hampir seluruh belahan dunia. Sebagian besar amfibi Indonesia umumnya masuk ke dalam kelompok ini. Anggota bangsa inilah yang disebut sebagai katak atau kodok dalam bahasa Indonesia. Tubuh umunya pendek dan lebar, terdiri dari kepala dan bagian badan serta memiliki dua pasang tungkai depan. Umunya kaki memiliki selaput yang digunakan untuk melompat dan berenang. Anura memiliki pita suara dan jantan akan mengeluarkan suara untuk menarik betina. Fertilisasi umumnya berlangsung eksternal. Telur yang menetes biasanya akan tumbuh menjadi larva yang berbeda dengan bentuk dewasa dan dikenal dengan nama berudu. Hampir semua berudu akan mengalami metamorfosis saat berubah menjadi dewasa, walau ada yang langsung menjadi bentuk dewasa. Di Indonesia ditemukan sekitar 450 jenis yang mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia dengan 28 jenis Anura di antaranya di temukan di Jawa Barat yang terdiri dari 6 suku yaitu Bufonidae, Dicroglossidae, Microhylidae,Megophryidae, Ranidae, Rhacophoridae.
Perkembangan ilmu taksonomi telah membuat beberapa perubahan dalam penamaan jenis amfibi. Penamaan pada buku ini mengacu pada referensi online Amphibian Species of the World (Frost 2011) yang didasari pada hasil penelitian frost at al. (2006). Walawpun penamaan jenis ini masihb diperdebatkan, namun kebanyakan la[poran telah menggunakan penamaan baru ini termasuk IUCN Red list (IUCN 2011). Untuk itu, pada buku ini nama sinonim yang telah dikenal lama untuk jenis-jenis yang berubah tetap disajikan. Contoh perubahan lama jenis amfibi anatara lain pada kodok buduk Bufo melanostictus yang menjadiDuttaphrynus melanostictus, dan Kongkang kolam Rana chalconota yang menjadi Hylarana chalconota. Adapun penamaan bahasa Indonesia menggunakan Iskandar(1998).


HABITAT
Amfibi menghuni berbagai habitat, mulai dari pohon-pohon dihutan hujan tropis, halaman disekitar pemukiman penduduk, disawah-sawah, kolam-kolam didalam hutan, sampai cela-cela batu didalam sungai yang mengalir deras. Oleh karna itu secara umum amfibi bisa dikelompkan berdasarkan habitat dan kebiasaan hidup, yaitu :
  1. Terestial : hidup diatas permukaan tanah dan agak jauh dari air kecuali pada saat musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus melanoustictus merupakan salah satu contoh .
  2. 2.       Arboreal : kelompok yang hidup diatas pohon. Jenis-jenis katak pohon umumnya arboreal misalkan Rhacophorusreinwardtti, R.margeritifer,Nyxticalus margaritiper dan Polipedates Leucomystax.
  3. Akuatix : kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat disekitar badan air. Phrynoidis aspera, limnonectes kuhlii, dan L.macrodon merupakan jenis yang umum dijumpai disekitar perairan .
  4. Fossorial : kelompok yang hidup didalam lubang-lubang tanah . jenis-jenis seperti kaloula baleataatau K.pulchra biasanya berada didalam lubang-lubang ditanah dan biasanya hanya keluar pada saat hujan . sesilia juga umumnya bersifat fossorial .
MANFAAT AMFIBI
Sebagai bagian dari ekosistem, amfibi memegang peranan pentik dalam rantai makanan. Kebanyakan amfibi adalah predator yang memakan berbagai jenis serangga atau larva serangga. Katak yang tinggal didaerah pesawahan, misalnya, diketahui memakan berbagai jenis serangga yang menjadi hama bagi pertanian. Katak juga dapat menekan keberadaan serangga yang merugikan kesehatan manusia. Serangkaian laporan hasil penelitian menunjukan bahwa berudu dan larva nyamuk berkompetisi memperebutkan makanan ( Mokany & Shine 2003a,2003b ). Keberadaan berudu secara nyata menekan pertumbuhan dan ketahanan hidup larva nyamuk.. kegunaan katak untuk penelitian medis telah diketahui sejak dulu. Katak merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian maupun p[raktikum dilabolatorium. Senyawa aktif biologi pada kulit katak kini dikembangkan sebagai obat-obatan bagi manusia (Tyler 1994). Tahun 1939 uji kehamilan mengguanakan Xenopus laevis diperkenalkan oleh Hogben. Dengan ditemukan metode yang lebih maju dan m udah, tes ini kemudian ditinggalkan mulai tahun 1960-an (Gurdon & Hopwood 2000)
Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti menyadari bahwa amfibi terutama pada tahap telur dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. Seringkali terjadi perubahan yang terukur baik secara morfologis maupun pada populasi satu jenis amfibi sebelum hewal lain terkena dampak kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu, amfibi menjadi indikator biologos yang penting, damana adana perubahan pada populasi katak menjadi ukuran kesehatn lingkungan disekitarnya.
Katak dikonsumsi diberbagai negara. Indonesia adalah salah satu pemasuk kaki katak beku terbesar didunia (kusrini dan alfod 2006). Ekspor terbesar katak Indonesia terutama negara-negara di Eropa seperti Prancis, Belanda, Belgia dan Luxemburg. Katak yang dikonsumsi adalah katak yaang berukuran besar yang hidup disawah seperti fejervaria cancrivora dan katak batu limnonectes macrodon yang hidup disungai. Katak lembu lithobates catesbeianus (sinonim rana catesbeiana) yang berasal dari Amerika selatan secara khusus dibudidayakan untuk konsumsi.
Beberapa orang senang memelihara katak didalam terarium. Biasanya katak yang dipelihara adalah katak yang berwarna bagus dan relatif tidak banyak melompat saat dipegang. Data kuota ekspor satwa liar yang dikeluarakan oleh departemen kehutanan setiap tahun menunjukan bahwa katak dari jawa barat semisalR.Reinwardti, R.margaritifer dan Nyxticalusmargaritifer diekspor untuk kepentingan hewan peliharaan .
ANCAMAN PELESTARIAN
Tahun 2004 IUCN meliris tentang kepunahan global populasi amfibi (Stuart et al.2005). Disebutkan bahwa lebih dari sepertiga populasi amfibi didunia sedang atau telah mengalami penurunan. Tidak kurang dari sembilan jenis telah punah sejak tahun 1980. Salah satu jenis yang hilang diAustralia adalah suku Rheobatrachidae. Ancaman kelestarian amfibi dapat berupa satu atau kmbinasi dari berbagai penyebab seperti penguranan habitat, pencemaran, introduksi spesies eksotik, penyakit dan parasit, serta penangkapan lebih. Selain itu para ahli juga cemas karena pada beberapa kasus terjadi kepunahan di daerah-daerah yang terpencil dan dilindungi serta tanpa sebab-sebab yang jelas.
Fibi sangat tergantung pada air. Lahan basah den habitat memijah amfibi lainnya seringkali menjadi tempat pembuangan dan penampungan bahn pencemar. Selain itu lahan basah dan hutan tempat tinggal katak kini banyak yang hilang, umunya untuk pembangunan. Manusia juga seringkali memasukan jenis katak lain dengan sengaja untuk kepentingan budidaya namun terlepas kealam. Misalkan, katak lembu lembu lithobates catesbeianus yang didatangkan dari Amerika Selatan. Jenis ini bila terlepas kealam dapat membunuhkatak lokal .
Amfibi juga terancam oleh penyakit. Sejenis jamur yang diduga kuat menjadi penyebab kematian masal amfibi di Amerika tengah, Australia dan belahan dunia lain telah diteliti secara intensif. Katak yang terjangkit jamur ini seringkali disebut menderita penyakit chytridiomycosis.
Katak ditangkap untuk dimakan dan juga untuk keperluan hewan peliharaan atau hewan percobaan dilaboratorium. Indonesia adalah negara pengekspor terbesar paha katak beku didunia. Jenis yang dapat dimakan biasanya berupa katak sawah dan juga beberapa spesies yang diintroduksi dari luar seperti katak lembu lithobates-chatesbeianus. Pengambilan dari alam diyakini memberi sumbangan penting bagi konsumsi daging katak dan dikawatirkan dapat mengakibatkan berkurangnya populasi katak dialam. Saat ini data mengenai keberadaan dan status amfibi di Indonesia sangat sedikit. Paling tidak dua jenis katak dari Bawa Barat telah masuk kedalam daftar merah Red list IUCN yaitu katak batu, limnonectes macrodon (vulnerable atau rawan) yang umum dijumpai disungai-sungai di Jawa Barat dan dikonsumsi sertaleptophryne cruentata, kodok berukuran relatif kecil yang populasinya dikawatirkan menurun. Survey yang dilakukan tim fakultas kehutanan IPB pada tahun 2004 hanya menemukan tiga individu dalam dua minggu. Oleh karena itu dalam daftar merah IUCN jenis ini masuk kedalam kategori Critically Endangered atau terancam punah.
sumber : Buku Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat oleh Mirza D. Kusri
.......................

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis Hewan di Situ Gunung, Sukabumi

..........................

Rabu, 07 April 2010

Laporan Metod lapangan_046

METODA – METODA LAPANGAN
Di dalam dunia taksonomi, para ahli sangat memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi hewan-hewan yang ada di lapangan. Para ahli tersebut membuat cara-cara yang mudah untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut. Ada dua macam metoda yang dapat digunakan untuk menangkap hewan di lapangan, yaitu metoda pasif dan metoda aktif. Metoda pasif merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan hewan vertebrata dengan mengunakan kecanggihan alat yang kita gunakan. Sedangkan metoda aktif adalah suatu metoda yang digunakan untuk menangkap hewan secara langsung di lapangan (peneliti terjun langsung ke lapangan). Setelah mendapatkan hewan vertebrata yang kita inginkan, maka kita bisa langsung mengidentifikasinya, dan memberi nama, atau mencari tahu namanya.
Beberapa metoda pasif yang dapat digunakan untuk menangkap hewan target adalah sebagai berikut:
1. Fish Trap
Fish Trap merupakan metode yang digunakan untuk menangkap ikan. Alat ini biasanya berbentuk segi empat yang terbuat dari rajutan tali dan kawat-kawat kecil. alat ini termasuk alat pasif, karena kita menggunakan kecanggihan alat ini untuk mendapatkan ikan. Cara penggunaan Fish Trap ini pertama kali dibuka tutupnya, kemudian diikatkan pelet sebagai umpan ikan didalam Fish Trap agar ikan mau mendekat ke Fish Trap. Celah tempat masuk ikan dipasangkan menghadap mengarah kea rah datangnya arus, agar ikan dengan mudah masuk ke alat ini, kemudian masukan batu kedalam alat ini agar alat ini tidak hanyut terbawa arus air, ikatkan alat ini dengan tali pada pepohonan terdekat, hal ini bertujuan agar alat yang kita pasang ini tidak hanyut juga.
Adapun alat-alat lain yang bisa digunakan untuk menangkap ikan adalah pancing ikan, yang biasanya berbentuk tongkat panjang. Sentruman, digunakan untuk menangkap ikan dengan mengalirkan listrik ke dalam air. Listriknya bisa berasal dari aki atau dari aliran listrikPLN. Setelah listrik dialiri ke dalam air, ikan akan pingsan, setelah itu ikan tersebut ditangkap dan diidentifikasi. Selanjutnya jaring, yang berbentuk rajutan pilinan benang yang digunakan untuk menangkap ikan, rajutan ini panjang. Digunakan secara merentangkanya dengan menghadap kearah datangnya arus.. Selanjutnya pukat, pada dasarnya prinsip kerja pukat sama dengan jala. Bentuk nya pun persis sama. Hanya saja pukat ini merupakan metode aktif untuk menangkap ikan. hal ini dikarenakan setelah dipasang alat ini harus ditarik secara melingkar untuk mengepung ikan, agar ikan yang didapat lebih banyak.
Gambar 1: Fish Trap
2. Pit Fiil Trap
Merupakan metode yang digunakan untuk menangkap hewan melata/Herpetofauna (Reptil & Amphibia). Metode penangkapan amphibi menggunakan dua metode, yaitu metode aktif dan metode pasif. Metode aktif terbagi dua, yaitu night visual encounter, yaitu pencarian binatang herpetofauna di lakuakan saat malam hari dan day visual encounter, yaitu biasa di lakukan pada siang hari. Sedangkan metode pasif ada Pit fall trap – drift fences methods merupakan metoda gabungan antara perangkap dengan pemakaian pagar pengarah. Metoda biasanya diterapkan pada daerah teresterial untuk menangkap hewan amphibi atau reptil yang aktif bergerak dan berukuran lebih kecil. Alat ini biasanya dipasang pada muara sungai dimana hewan amphibi air hidup sebagai habitatnya.
Alat dan bahan yang di gunakan pada metode ini adalah; 1). Bambu; 2). Terpal hitam; 3). Ember berukuran sedang sebanyak 4 buah atau lebih; 4). Oli.
Cara kerjanya, pertama tancapkan bambu ke tanah, ikat terpal ke bambu, masukkan ke dalam tanah kira-kira dengan kedalaman 10 cm. Tanah di gali dibalik terpal tersebut sebagai tempat meletakkan beberapa ember. Posisi ember di kanan kiri dibuat secara zig-zag agar hewan yang datang tidak akan mudah lolos. Pada permukaan bawah ember tersebut sebaiknya dilobangi supaya air yang masuk bisa keluar dengan mudah dan tidak tergenang dalam ember. Letakkan serasah supaya terjadi kelembapan dalam ember tersebut. Oleskan oli di mulut ember supaya licin. Agar hewan yang terperangkap tidak bisa keluar lagi.
Pemasangan hedaknya pada sore hari, dan dibiarkan semalam. Paginya di cek apakah ada reptile atau amphibi yang terjebak, hal ini dilakukan karena hewan Herpetofauna hanya aktif pada malam hari, sehingga pemasangan Pit Fill Trap dilakukan pada malam hari.
Metoda lain yang digunakan untuk kelas reptilia ini adalah snake tongs (penjepit seperti tang yang panjangnya 2 m ), snake hookkoma, dan menggunakan paralon yang cukup panjang. Dalam penggunaan paralon, pada ujung paralon diberi umpan dan diletakkan kearah akar pohon atau banir. Hal ini bertujuan agar ular yang tertangkap tidak bisa keluar lagi karena pada prinsipnya reptil tidak bisa bergerak mundur. Kemudian snack glue yaitu ini berupa lem yang dapat memerangkap hewan-hewan yang melintas diatasnya. Sedangkan Pipa paralon juga berfungsi untuk menjebak hewan-hewan yang masuk kedalamnya, yaitu dengan cara kita masukkan makanan kedalam pipa paralon itu
Gambar 2: Pit Fill Trap
3. Mist net Burung
Mist net burung merupakan alat yang digunakan untuk menangkap burung. Alat ini bentuknya seperti jala dengan lebar 2,5 meter. Panjang mist net ada yang 12,9, dan 6 meter. Alat dan bahan yang digunakan untuk memasang mist net adalah: pancang, mist net, Tonggak (bambu), tali, kantong burung, tali, kayu/tongkat.
Cara memasang alat ini yaitu: yang pertama tentukan dahulu tempat dan daerah kondusif yang diperkirakan banyak burungnya. Seperti di punggung bukit, dekat aliran sungai, dan tempat lainya. Kemudian rentangkan mist net dengan mengikatkanya ke tonggak atau bambu, Alat ini dipasang berjarak 50 cm dari permukaan tanah agar mamalia yang berjalan tidak ikut terjebak pada alat ini. Dalam pemasangan mist net ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama hindari pemakaian alat-alat asesoris seperti cincin kalung dan lainya dalam pemasangan mist net, karena bisa mengakibatkan mist net kusut. Kedua hendaknya pemasangan mist net ini dilakukan jam 6 pagi, dan dilepas jam 7 sore. Hal ini bertujuan agar burung yang didapatkan banyak, karena waktu aktif dari burung adalah dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam. Setelah dipasang dilakukan pengecekan 1 jam sekali, karena jika burung yang didapatkan dibiarkan saja terjebak di Mist net akan berakibat fatal, karena burung bisa mati. hal ini dikarenakan burung memiliki stress yang tinggi.
4. Digiscoping
Digiscoping merupakan alat yang digunakan untuk mengamati hewan-hewan yang letaknya jauh. Alat ini merupakan perpaduan antara teropong monokuler dengan kamera digital. Jadi ketika kita melihat hewan yang ingin kita amati di teropong maka kita bisa langsung memoto objek tersebut. Alat ini sangat bagus diguanakan untuk mengamati hewan-hewan liar dan suka terbang.
Cara kerjanya, letakkan alat tersebut di atas tanah, kemudian pasangkan tripodnya, monokuler, lensa okuler, focus. Lalu lihat atau cari sasaran dengan melihatnya melalui teropong. Setelah sasarannya dapat, kita akan mudah melihat bagian morfologinya melalui teropong itu. Kita juga bisa mengambil foto nya dengan menggunakan camera digital, ataupun handphone pribadi.
Penggunaan digiscoping ini memang kurang efektif karena membutuhkan ketelitian dankesabaran yang tinggi. Pada saat melakukan pengamatan dengan menggunakan metode ini sebaiknya mengenakan pakaian yang berwarna gelap, karena pakaian yang cerah dapat dikenali oleh burung, sehingga burung akan menjauh.
Gambar 3: Digidcoping
5. Harpa Trap
Harpa trap adalah alat yang digunakan untuk menangkap kelelawar yang ada di dalam gua. Alat ini disebut harpa trap, karena alat ini mirip dengan alat music harpa. Kelebihan dari Harpa Trap ini adalah bisa menangkap dalam jumlah banyak. Terdiri dari 2 layer. Ada yang 3-4 layer, tapi yang kita gunakan di sini adalah menggunakan 2 layer. Semakin banyak layer maka akan semakin baik alat ini digunakan untuk menangkap kelelawar. Layer yang digunakan adalah berwarna bening agar kelelawar tidak bisa dengan mudah mengetahui keberadaan dari harpa trap ini.
Selain layer, juga terdapat tiang penggulung layer, kantung perangkap, plastik pengarah agar kelelawar yang didapat akan turun ke kantung perangkap. Alat ini bisa dibongkar pasang dengan mudah, sehingga membawa alat ini sangat mudah kemanapun.
Pada saat melakukan penelitian ini sebaiknya menggunakan sarung tangan agar tidak luka karena layer yang digunakan bias melukai tangan kita, head lamp sebagai penerang, kantung kelelawar dan alat-alat hitung lainnya. Tinggi dari alat ini bisa di atur ukurannya tapi lebarnya tidak bisa. Harpa Trap ini sebaiknya digunakan dimulut gua.
Alat ini biasanya dipasangkan di mulut gua. Jadi ketika kelelawar yang mau keluar ataupun masuk gua akan terjebak di alat ini. Alat ini dilakukan pemasangan pada saat menjelang senja sampai pagi hari, karena sama-sama kita ketahui bahwa kelelawar waktu aktifnya adalah malam hari.
Gambar 4: Harpa Trap
6. Mist net kelelawar
Pada dasarnya prinsip kerja dan cara pemasanganya sama dengan mist net burung, Tapi alat ini digunakan untuk menangkap kelelawar. Disamping itu mata dari jala mist net kelelawar ini lebih besar dan lebih halus dari pada mist net burung, pemasanganya pun lebih mudah daripada mist net burung.
Cara kerja mist net ini pertama tancapkan kayu atau bambu ke tanah dan ikat net nya ke kayu itu. Pengecekannya dilakukan tiap 1 jam sekali. Dengan tujuan agar kelelawar yang tersangkut tidak merusak net.
Tempat pemasangan alat ini harus di tempat refresentatif yang diduga banyak terdapat kelelawar, sepert di mulut gua, atau di tempat-tempat yang banyak tersedia makanan kelelawar. Cara pengambilan kelelawar yang sudah terperangkap adalah harus dari tempat dimana kelelawar itu datang. Diambil kaki nya dulu, setelah itu sayap lalu badannya. Hal ini bertujuan agar alat ini tidak rusak dan kelelawarnya pun tidak mati.
7. Kamera Trap
Kamera trap sering digunakan oleh para peneliti untuk mengidentifikasi hewan-hewan vertebrata, mamalia besar khususnya, karena penggunaan alat ini sangat mudah dan lebih efisien waktu dan biaya. kamera trap terbagi menjadi dua, yaitu: kamera trap manual dan kamera trap digital.
Kamera Trap manual adalah kamera trap yang menggunakan kamera biasa, Bagian – bagiannya terdiri dari; 1) Kamera pocket; 2). Sensor , yang terdiri dari 4 buah tombol, yaitu; a). Kamera (atas), laser (bawah); b). Delay A untuk tenggang waktu 1 menit dan Delay B untuk tenggang waktu 5 menit, untuk pemotretan selanjutnya, apabila ada objek yang tersensor lainnya; c). Start, untuk memulai dan memanaskan kamera; d). tombol 24 hours (kamera aktif 24 jam penuh), day only (aktif 12 jam saja atau siang hari saja), masa aktif dari kamera.
Cara kerja alat ini pertama diukur ketinggian pemasangan kamera, sebaiknya 60 – 70 cm dari permukaan tanah tergantung jenis hewan yang akan diamati. Pilih Delay A atau Delay B. sebaiknya pilih Delay A (1 menit) supaya jika ada hewan yang lewat dalam kurun waktu satu menit bisa diamati. Setelah itu pilih tombol ‘day only (24 jam)’ agar kamera ini aktif tiap saat. Terakhir naikkan ke atas tombol start untuk memulai mengaktifkan kamera. Tombol start ditekan sampai konstan dengan kedipan lampu, apabila lampu tidak berkedip lagi maka kamera siap digunakan.
Kelebihan dari kamera ini ialah kamera ini dapat menghasilakan foto yang berwarna, sedangkan kekurangannya, kamera ini hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 12 jam dan hanya menggunakan batterai biasa. Untuk melindungi kamera ini dari panas dan hujan, maka di atas kamera ini dipasang seng bekas yang berkarat, bukan seng yang baru, karena seng bekas warnanya tidak mencolok dan hewan-hewan yang lewat tidak akan mengetahui keberadaan seng ini.. Di dalam kamera ini diletakkan silica gel secukupnya untuk menyerap kelembapan. Hendaklah kamera ini diletakkan pada daerah yang kemungkinan dilewati oleh mammalia besar dan diukur jaraknya dengan menggunakan lampu sensor.
Gambar 5: Camera Trap Manual
Yang kedua adalah kamera trap digital Kamera ini terdiri dari : 1). Blitz yang berfungsi untuk pencahayaan. 2). Aim untuk mengukur ketinggian. 3). Status light untuk menandakan kamera sudah aktif. 4). Camera untuk mengambil gambar. 5). Layar sebagai pemandu, yang akan kita atur, seperti waktu, berapa gambar yang diambil. 6) Mode untuk mengaktifkan kamera atau untuk memulai merekam. 7). Rest delete untuk menghapus gambar. 8). Sensor untuk menangkap gambar. 9) Select untuk mengubah angka/huruf atau perpindahan. Kelebihan dari kamera ini adalah kamera ini sedah menggunakan memory dan usb digital. Jadi kita akan dengan mudah memindahkan data yang ada dalam kamera ini ke laptop dengan mudah. Selain itu di kamera ini terdapat video untuk merekam dan bisa menyimpan banyak foto, yaitu 3726 foto. Jadi kita tidak perlu takut kehabisan memory jika menggunakan kamera ini. Sedangkan kekurang dari kamera ini adalah apabila kamera ini dipasang pada tempat yang ternaung dan agak gelap akan menghasilkan gambar yang kurang bagus atau tidak berwarna.. Setiap pemeriksaan dilakukan pembersihan kamera, pergantian silica gel, penggantian baterai jika diperlukan dan penggantian memory card, serta pemeriksaan hasil foto yang didapat.Hendaklah kamera ini diletakkan pada daerah yang kemungkinan dilewati oleh mammalia besar dan diukur jaraknya dengan menggunakan lampu sensor.
Gambar 6: Camera Trap Digital
8. Small Mammal Trap
Small mammal trap merupakan perangkap yang digunakan untuk menangkap jenis hewan mamalia yang berukuran kecil. Perangkap ini termasuk ke dalam metode pasif. Bagian-bagiannya: pintu tempat memasukkan umpan dan mengeluarkan target. Kunci dan penahan pintunya agar target yang didapat tidak bisa keluar lagi. Jika kita akan memasang umpan sebaiknya kita menggunakan sarung tangan agar aroma buah yang dipasang sebagai umpan kita tidak tinggal dan lengket ke tangan karena hewan ini dapat mencium aroma yang tinggal di tangan tadi. Umpan tersebut harus diletakkan di ujung pengait. Klau ada hewan yang terperangkap jangan mengeluarkannya pada waktu hewan itu masih hidup. Masukkan dulu hewan tersebut ke air sampai mati atau pingsan setelah itu baru dikeluarkan. Karena apabila hewan tersebut diambil hidup-hidup akan membahayakan kita, bisa saja hewan itu menggigit tangan kita.
Umpan yang biasa digunakan adalah ikan asin, ikan teri, buah-buahan dan bungkit kelapa. Alat ini biasanya diletakan disudut-sudut ruangan (Mencit. Tikus), Diikatkan pada pohon (Tupai, Musang) yang pintunya mengarah kebagian atas.
9. Audotory Census
Auditory sensus merupakan metoda yang digunakan untuk menghitung, mengidentifikasi suatu hewan dengan cara mendengarkan suara hewan yang akan diidentifikasi, biasanya untuk keluarga Hylobatidae. seperti ungko dan siamang. Alat-alat yang digunakan : kompas, alat tulis dan peta lokasi.
Cara kerja dari metode ini adalah pertama tentukan tempat yang senyaman mungkin untuk mengamati dan mendengarkan suara-suara binatang, seperti dibawah pohon atau tempat lainya. Setelah itu tentukan arah utara tempat posisi kita berada, dengan menggunakan kompas dan peta. Kemudian dengarkanlah suara binatang terutama suara-suara primate, karena suara primate memilki cirri yang khas, sehingga mudah dikenali. Lalu tentukan berapa derajat suara binatang itu berasal dari arah utara. Kemudian tentukan jarak suara tersebut dari posisi kita. Selain itu, dengarkan juga suara-suara dari arah lainya. kemudian suara tersebut diidentifikasi.
Pada umumnya didaerah kita para peneliti lebih cenderung untuk meneliti ungko dan siamang, karena kedua hewan ini memiliki suara yang khas daripada hewan lainnya. Siamang memiliki suara yang khas, yaitu suaranya hanya satu-satu, sedangkan ungko memiliki suara yang bertingkat.

.............................

PEDOMAN TINDAKAN KARANTINA TERHADAP REPTIL

Untuk impor maupun ekspor reptil dipersyaratkan tindakan karantina, berikut ini adalah pedoman tindakan karantina hewan terhadap reptil bagi petugas karantina dilapangan dan agar pengguna jasa (importir /eksportir) dapat memahami penanganan, pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan, sehingga tindak karantina bisa dilakukan secara cermat, cepat dan sistematis, dengan dasar ilmiah sesuai peraturan perundangan.
KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN
                                         NOMOR :  593/Kpts/HK.060/L/12/2009

TENTANG
PEDOMAN TINDAKAN KARANTINA TERHADAP REPTIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN,

Menimbang    :a.     bahwa lalulintas pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan karantina berupa hewan reptil dari dan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia cukup tinggi sehingga berpotensi untuk menyebarkan hama dan penyakit hewan karantina di dalam dan keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
b.    bahwa hewan reptil memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan pelaksanaan tindakan karantina secara spesifik;
c.    bahwa hewan reptil perlu dilindungi dari ancaman kepunahannya; 
d.    bahwa berdasarkan butir a, b dan c, serta agar ada keseragaman pelaksanaan tindakan karantina pada media pembawa berupa reptil sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu ditetapkan Pedoman Tindakan Karantina terhadap Reptil;

Mengingat          1.   Undang-undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan,  Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun   1992  Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia          Nomor 3482);
2.Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009  Nomor 84);
3.    Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
4.    Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
5.Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
6.    Keputusan Presiden Nomor 131/M/Tahun 2008 tentang Pengangkatan Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Pertanian; 
7.    Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/ LB.720/8/ 2001 tentang Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Hewan Karantina;
8.    Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/ OT.140/10/2006  tentang  Pedoman   Tata Hubungan Kerja Fungsional Pemeriksaan, Pengamatan dan Perlakuan Penyakit Hewan Karantina;
9.    Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/ OT.140/1/2007 tentang Dokumen dan Sertifikat Karantina Hewan;
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 110/Kpts/TN.530/2/2008 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor 206/Kpts/TN.530/3/2003 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa;

MEMUTUSKAN


MENETAPKAN  :    
KESATU              :     Pedoman Tindakan Karantina Terhadap Reptil.
KEDUA                :     Pedoman Penanganan, Pemeriksaan dan Pengujian Reptil seperti tercantum dalam lampiran keputusan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Keputusan ini.
KETIGA                :     Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA menjadi panduan bagi petugas karantina hewan untuk penanganan, pemeriksaan dan pengujian terhadap reptil dalam rangka melaksanakan tindakan karantina.
KEEMPAT           :     Pedoman yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
KELIMA                   Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.           

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 30 Desember 2009










Tembusan disampaikan kepada Yth,
1.    Menteri Pertanian;
2.    Para Pejabat Eselon I Departemen Pertanian;
3.    Para Pejabat Eselon II Badan Karantina Pertanian;
4.    Para Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian di seluruh Indonesia.



Lampiran I Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian
Nomor             : 593/Kpts/HK.060/L/12/2009
Tanggal          : 30 Desember 2009

PEDOMAN PENANGANAN, PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN REPTIL
                         
BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
      Lalulintas reptil di Indonesia cukup tinggi baik impor maupun ekspor sementara hewan ini mempunyai sistem suhu dan kelembaban tubuh yang berbeda dibanding hewan spesies lain seperti mamalia dan unggas.  Kondisi (temperatur dan kelembaban) tertentu ini dapat bermanfaat bagi satu spesies namun dapat merugikan bagi spesies lain.  KarantinaHewan mempunyai peranan yang strategis di posisi terdepan dalam melindungikeamanan hayati dan kesehatan reptil yang dilalulintaskan tersebut, agar tidak berpotensi sebagai media pembawa hama penyakit hewan karantina yang mengancam kesehatan hewan, kesehatan manusia dan lingkungan.  Untuk meningkatkan peranan karantina hewan dalam pemeriksaan dan pengawasan lalulintas reptil mengingat bahwa hewan ini sering tidak menunjukkan gejala klinis (sakit) kecuali pada kondisi sakit/infeksi yang cukup parah, serta adanya keseragaman dalam pelaksanaan tindakan karantina pada seluruh UPT dengan mengacu ketentuan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu disusun Pedoman Tindakan Karantina terhadap Reptil.
2.    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penyusunan pedoman ini adalah:
a.        menyediakan pedoman bagi petugas karantina dilapangan dalam melaksanakan penanganan, pemeriksaan dan pengujian terhadap reptil.
b.        adanya keseragaman dalam pelaksanaan pelayanan penanganan terhadap reptil.
c.        petugas dapat melaksanakan pelayanan tindak karantina secara lebih cermat, cepat dan sistematis, dengan dasar ilmiah sesuai peraturan perundangan.
d.        pengguna jasa dapat memahami penanganan, pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan petugas karantina terhadap reptil.

3.    Ruang Lingkup
  Pedoman ini mengatur tentang penanganan, pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan reptil, termasuk identifikasi reptil dan jenis penyakit yang dapat dibawa oleh reptil.        
4.    Identifikasi Reptil
Hewan sejati berkaki empat yang pertama kali mendiami daratan adalah Labirinthodontia/Anthracosauria, pertama kali muncul di bumi lebih dari 300 juta tahun lalu dan pada awal era karbon berkembang menjadi klas vertebrata baru yaitu Reptilia.
Era Karbon merupakan zaman keemasan perkembangan reptil. Reptil primitif kerabat dekat Anthracosauria pada awal zaman karbon berkembang menjadi dua cabang utama; Anapsida, merupakan nenek moyang reptil modern (Cotylosauria) dan Synapsida, merupakan nenek moyang mamalia. Cabang Cotylosauria merupakan sejarah terpenting karena merupakan pendahulu reptilia diapsid yang meliputi ordo Lepidosauria, Archosauria serta reptilia Euryapsid yang meliputi Ichthyopterygia dan Euryapsida.
Reptilia diapsid dan euryapsid mencapai puncak evolusi pada era Mesozoic dan berlangsung sekitar 160 juta tahun. Pada era ini karena banyaknya jenis reptilia yang hidup disebut juga sebagai “zaman Reptilia”. Ketika zaman ini berakhir, hampir semua kelompok besar reptil ikut menghilang (punah). Dari sekitar 20 ordo yang dikenal pada era mesozoic sekarang tinggal tersisa 4 ordo yang masih memiliki spesies yang hidup di bumi yaitu ordo Chelonia meliputi bangsa kura-kura dan penyu masih tersisa sekitar 270 spesies, Ordo Squamata atau reptil bersisik meliputi bangsa ular, biawak dan kadal masih tersisa sekitar 6280 spesies, Ordo Rynchocephalia meliputi bangsa Tuatara masih tersisa 1 spesies dan Ordo Crocodylia meliputi bangsa buaya dan alligator masih tersisa 22 spesies.
Saat ini reptilia menjadi satu – satunya klas dari kingdom animalia yang masih memiliki spesies hidup paling banyak dan sebagian diantaranya secara ilmiah masih tetap menjadi misteri yang belum terungkap. Keragaman bentuk tubuh/anatomi, fisiologi, habitat, behavior, pakan, reproduksi dan penyakit masih menjadi bahasan ilmiah yang tiada habisnya.
a.    Reptil
1.    Ordo Chelonia
Ordo Chelonia terbagi menjadi 13 familia; lima (5) familia merupakan kura – kura dan penyu aquatik dengan habitat air laut/lautan yaitu Carettochelyidae, Chelydridae, Cheloniidae, Dermatemydidae dan Dermochelyidae dan enam (6) familia merupakan kura – kura dengan habitat air tawar yang meliputi sungai,  danau atau rawa-rawa baik yang bersifat aquatik murni maupun semiaquatik yaitu Emydidae, Kinosternidae, Staurotypidae, Trionychidae, Cheliidae dan Pelomedusidae serta dua (2) familia merupakan kura – kura darat yang habitatnya di daratan, hutan – hutan lebat, pegunungan sampai gurun  yaitu familia Testudinidae dan Platysternidae.
Saat ini diseluruh dunia masih tersisa sekitar 270 spesies kura- kura air laut dan tawar. Beberapa spesies kura – kura terkenal karena kelangkaannya atau motif karapasnya yang unik. Usia yang bisa mencapai 2 abad juga menjadi misteri dari spesies ini. Semua spesies Ordo Chelonia tidak memiliki gigi dan tidak berbisa (non venomous). Ukuran tubuh dewasa berkisar dari beberapa cm dengan berat kurang dari 1 kg sampai 2 meter lebih dengan berat badan mencapai 500 kg.
Beberapa spesies kura – kura yang terkenal antara lain Indian star, radiata, terrapin/brazil, aldabra, galapagos, emys darat, matahari, dll.
2.    Ordo Squamata
Ordo ini meliputi 3 subordo yaitu Sauria, Serpentes dan Amphisbaenia.
1)    Subordo Sauria terdiri 16 familia meliputi berbagai jenis kadal, biawak, cecak, tokek, bunglon dan iguana. Sauria memiliki 4 kaki dan habitat bervariasi dari tembok, sungai, pohon, hutan dan bahkan lautan. Dari sekitar 3751 spesies ordo Sauria yang sudah teridentifikasi hanya 2 spesies yang memiliki bisa/venom yaitu Gila monster (Heloderma suspectum) dari Florida dan Mexican bearded lizard dari Mexico namun keduanya tidak memiliki taring (fang) seperti pada ular.
2)    Subordo Serpentes disebut juga Ophidia terdiri 12 familia meliputi 409 genus dan 2426 spesies yang sudah teridentifikasi. Subordo ini mencakup berbagai jenis ular tidak berbisa (non venomous) dan dan berbisa (venomous) yang habitat hidupnya di tanah/daratan (terrestrial), pepohonan (arboreal) dan air (aquatic) dari semak – semak, pohon, sungai, kolam, gunung sampai lautan.
Rincian familia dari subordo Serpentes :
No
Familia
Σ Genus
Σ Spesies
01
Leptotyphlopidae
2
78
02
Typhlopidae
3
180
03
Anomalepidae
4
20
04
Acrochordidae
2
3
05
Aniliidae
1
9
06
Uropeltidae
8
44
07
Xenopeltidae
1
1
08
Boidae
27
88
09
Colubridae
292
1562
10
Elapidae
61
236
11
Viperidae
7
187
12
Hydrophydae
1
18
Total
409
2426

Diantara 2426 spesies yang sudah teridentifikasi, 3 familia diantaranya yaitu Elapidae, Viperidae dan Colubridae mencakup ular – ular berbisa (venomous snake). Sebagian besar spesies dari familia Elapidae adalah ular berbisa dengan type venom neurotoksik tinggi (high – very high neurotoxic venom). Semua spesies dari familia Viperidae adalah ular berbisa dengan type venom hemotoksik moderat – medium (moderate – medium hemotoxic venom). Beberapa spesies dari familia Colubridae adalah ular berbisa dengan type venom hemotoksik atau neurotoksik ringan dan tidak berbahaya bagi manusia.

Beberapa spesies ular yang terkenal sebagai satwa kelangenan antara lain sanca pohon hijau papua (Morelia viridis), sanca karpet (Morelia spilota), sanca bodo (Python molurus), sanca batik (Python reticulatus), dll.
Beberapa contoh ular tidak berbisa/non venomous;
3)    Subordo Amphisbaenia disebut juga sebagai kadal cacing, karena anatominya seperti kadal tetapi tanpa anggota gerak/kaki dan habitatnya di dalam tanah sehingga sering dikelirukan dengan cacing. Dari 140 spesies amphisbaenia yang sudah teridentifikasi sebagian besar habitatnya di dalam tanah dan tumpukan vegetasi yang membusuk sehingga sangat jarang terlihat misalnyaTragophys sp.
b.    Ordo Rynchocephalia
Ordo Rynchocephalia hanya memiliki satu subordo yang tersisa yaitu Sphenodontidae dan saat ini hanya tersisa satu genus Sphenodon terdiri satu spesies yaitu Tuatara (Sphenodon punctatus) yang hidup di pulau – pulau terpencil New Zealand.
c.    Ordo Crocodylia
Ordo Crocodylia terbagi menjadi 3 familia; Aligatoridae, Crocodylidae dan Gabialidae. Ordo ini meliputi berbagai bangsa buaya, alligator, caiman dan gavial dengan habitat sungai dan danau berair tawar serta rawa – rawa ataupun muara sungai berair payau dan bahkan air laut/air asin.
Indonesia memiliki 4 spesies buaya dari familia Crocodylidae yaitu  buaya muara (Crocodylus porosus), buaya siam/air tawar kerdil (Crocodylus siamensis), buaya papua (Crocodylus novaeguineae) dan buaya moncong sapit/senyulong (Tomistoma schlegelii). Dari keempat spesies tersebut buaya siam memiliki ukuran tubuh paling kecil dengan panjang tubuh berkisar 2.5 – 3 meter termasuk ekor dan buaya muara adalah buaya terbesar dengan panjang tubuh dapat mencapai 6 meter (termasuk ekor) dengan berat badan lebih dari 600 kg.
BAB II
RESTRAIN DAN HANDLING

Reptil merupakan salah satu jenis satwa yang unik dan eksotis. Dikatakan unik karena memiliki sifat morfologi yang berbeda dengan satwa yang lain. Dengan keunikan tersebut maka penanganan pada masing masing jenis reptil berbeda beda antara satu jenis dengan jenis yang lain. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan reptil antara lain:
a.    perlunya mengetahui sifat-sifat morfologi dan biologi reptil yang akan kita handling agar supaya dalam melakukan perlakuan pada reptil yang kita tangani tidak mengalami stress. Reptil yang mengalami stress akan sangat berpengaruh pada proses metabolisme dalam tubuh yang diikuti dengan nafsu makan yang menurun.
b.    harus bisa membedakan reptil yang beracun (venomous) dengan yang tidak beracun (non venomous), agar supaya dalam melakukan perlakuan tidak menyebabkan stress (tekanan) yang luar biasa pada satwa yang akan kita tangani. Dalam hal ini diperlukan ketenangan dan kesabaran serta keahlian sebelum melakukan perlakuan. Apabila penanganan dan perlakukan dilakukan secara kasar maka dikhawatirkan akan menyebabkan terganggunya ketenangan satwa yang akan di tangani. Dampak negatif yang paling fatal adalah bilamana reptil tersebut menggigit atau menyerang orang yang melakukan perlakuan.

1.    Restrain
       Restrain pada reptil bertujuan pemeriksaan terutama untuk keamanan bagi pemeriksa (dokter hewan), keamanan bagi satwa dan untuk keamanan transportasi. Secara umum restrain pada reptil digolongkan menjadi dua yaitu:
a.    physical restraint/restrain fisik
Restrain fisik dapat dilakukan dengan teknik satu tangan, teknik dua tangan dan penggunaan alat bantu seperti jarring/net, snake hooksgrab stick danclear plastic tubing. Restrain fisik untuk reptil besar seperti buaya, ularBurmese, Reticulatus dan Anaconda dibutuhkan beberapa orang agar tidak menimbulkan resiko bagi satwa, klien maupun staff.
Restrain fisik dengan teknik satu tangan dilakukan untuk reptil berukuran tubuh kecil dan jinak. Satwa dipegang dengan satu tangan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk tepat di belakang kepala dan jari lainnya menopang bagian leher satwa dan atau bagian tubuh yang lain.
Restrain fisik dengan teknik dua tangan dilakukan untuk reptil berukuran sedang atau sedikit agresif. Satwa dipegang dengan satu tangan pada bagian tepat dibelakang kepala dan tangan satunya memegang bagian tengah atau belakang tubuh satwa.
Restrain fisik dengan menggunakan alat bantu seperti jaring/net, tali, grab stick, snake hook, clear plastic tubing dilakukan pada reptil yang agresif dan ular berbisa/venomous snakes. Jaring/net dan tali berfungsi untuk imobilisasi alat gerak dan mulut. Grab stick berfungsi untuk menangkap dan memegang ular dari jarak jauh. Snake hook digunakan untuk imobilisasi ular dengan cara menekan ular pada bagian belakang kepala sebelum dipegang dengan tangan.Clear plastic tubing digunakan untuk ular venomous berukuran tubuh pendek, dengan cara memasukkan ular kedalam tube transparan tersebut sehingga dapat diamati bagian – bagian tubuh ular tersebut dari luar tube.
b.    Chemical restraint/restrain kimiawi
 Restrain kimiawi menggunakan sedativa maupun anestetika umumnya dilakukan pada reptil yang agresif dan ular berbisa (venomous snakes) serta untuk tujuan transportasi. Namun demikian restrain kimiawi harus dilakukan secara hati-hati karena induksi anestesi dan recovery yang lambat.
Restrain kimiawi dapat dilakukan dengan anestetika inhalasi/gas sepertidiethyl etherisoflurane atau halothane. Keuntungan anestetika inhalasi pada reptil adalah induksi anestesi yang cepat dan recovery juga cepat. Namunrecovery yang cepat ini menjadi kelemahan manakala digunakan untuk reptile - reptil yang agresif dan membutuhkan penanganan yang lama.
Restrain kimiawi lainnya dapat dilakukan dengan anestetika non inhalasi. Yang sering digunakan adalah Ketamine HCl yang dikombinasikan dengan muskulorelaksan seperti Chlorpomazine HClXylazineDiazepam danMidazolam. Dosis yang dianjurkan untuk Ketamin adalah 20 – 40 mg/Kg BB untuk sedasi dan 60 – 80 mg/Kg BB untuk anestesi, Chlorpromazine 0,1 – 0,5 mg/Kg BB, Diazepam 2 mg/Kg BB, Midazolam 2 mg/Kg BB dan Xylazine 0,10 – 1,25 mg/Kg BB. Penggunaan Xylazine hendaknya disediakan reversalnya yaitu Yohimbin dengan            dosis 0,1 mg/Kg BB (Carpenter et al., 2001). Induksi anestesi pada ular berjalan sangat lambat, sekitar 30 menit baru teranestesi dan recoverynya juga lambat      berkisar 24 – 48 jam.
2.    Handling
Untuk melakukan teknik penanganan (handling) pada reptil yang perlu diperhatikan adalah membedakan reptil yang beracun dengan yang tidak beracun. Penanganan pada reptil beracun khususnya ular biasanya menggunakan alat khusus, dimana dengan bantuan alat tersebut bagian kepala ular di tekan sedemikian rupa sehingga merasa aman bagi orang yang melakukan perlakukan. Setelah kepala di tekan maka secara perlahan bagian kepala tersebut dipegang dan jangan sampai lepas, agar supaya ular tersebut tidak menggigit. Harus diingat bahwa dalam menangani ular beracun perlu keahlian dan ketenangan.
Handling secara benar akan memberikan rasa nyaman bagi satwa reptil. Adakalanya dibutuhkan restrain agar reptil dapat dihandle dengan aman.
Beberapa tips agar aman pada saat menghandle reptil:
a.    lakukan handling dengan lembut dan tenang pada semua jenis reptil. Jangan ragu – ragu pada saat menghandle;
b.    beberapa spesies harus dilakukan handling dengan hati – hati, meskipun bukan satwa venomous karena satwa yang ‘kagol’ dapat menjadi agresif;
c.    spesies reptil besar seperti buaya, Python molurusPython reticulatus dan Anaconda (Eunectes murinus) dewasanya dapat mencapai panjang 6 meter dan berat diatas 100 kg, diperlukan beberapa orang untuk menghandle dengan aman. Jangan bertaruh nyawa sendirian saat menghandle reptil besar tersebut;
d.    beberapa spesies reptil seperti ular dan biawak seringkali defekasi dan urinasi saat dihandle/restrain manual, sabaiknya bagian belakang tubuh satwa termasuk kloaka dan ekor tetap berada dalam wadahnya (kantong kain atau kotak) untuk menghindari kontaminasi.
3.    Handling ular berbisa dan berbahaya
a.    handling sebaiknya dilakukan oleh staf yang sudah berpengalaman gunakan alat bantu restrain seperti snake hook, grab stick dan clear plastic tubing.
b.    antivenin hendaknya selalu tersedia saat menghandle ular – ular venomous
c.sebaiknya jangan menggunakan sarung tangan karet karena bersifat licin.

4.                Saran penting untuk Handling dan Restrain pada Reptil
a.    idealnya satwa/reptil dihandle seminimal mungkin.
b.    perlu mengetahui tentang karakter satwa tersebut dengan menanyakan pada pemilik atau yang membawa. Tidak diperkenankan menghandle satwa secara sembarangan.
c.    handling pertama kali akan aman apabila satwa dipegang tepat dibelakang kepala sebelum mengangkat satwa dari tempatnya.
d.    untuk keperluan transportasi jarak pendek bagi reptil tidak berbisa dan jinak, penggunaan kantong kain cukup memadai, karena kelenturannya dapat mengikuti gerakan satwa.
e.    handling dan restrain ular berbisa/venomous sebaiknya menggunakan alat bantu seperti snake hook, grab stick atau clear plastic tubing.
f.     ular (reptil) yang tidak beracun penanganan yang dilakukan adalah:
1)    ular terlebih dahulu dimasukkan dalam kantong agar supaya  pergerakannya terbatas;
2)    kantong yang sudah berisi ular diikat sedemikan rupa  dan diusahakan teknik pengikatan meminimalisasi pergerakan ular dalam kantong agar supaya memudahkan penanganan yang akan dilakukan;
3)    tunggu beberapa menit agar supaya ular dalam kantong dalam keadaan tenang, setelah itu baru dilakukan perabaan dari luar kantong yang mengarah ke bagian kepala. Bagian kepala yang sudah teraba segera dipegang  lalu secara perlahan kantong di sisihkan.
5.    Cara Pengemasan dan Pengiriman Reptil
                1.     Pengemasan.
Pengemasan pada reptil pada umumnya dilakukan dengan menggunakan kantong yang terbuat dari bahan kain. Sebelum ular dimasukkan dalam kantong terlebih dahulu diisi dengan sobekan-sobekan kertas diantarnya sobekan kertas koran yang bertujuan untuk menghangatkan badan ular tersebut selama dalam perjalanan dan juga untuk menyerap faces(kotoran) yang dikeluarkan.  Isi kantong disesuaikan dengan besar kecilnya ular yang akan dimasukkan dalam kantong. Khusus untuk ular-ular beracun sebaiknya pengemasan dilakukan dengan menggunakan kantong dua lapis agar keamanan bisa terjamin pada saat pengepakan dan setelah sampai di tempat tujuan. Setiap kantong yang berisi ular-ular beracun sebaiknya diberi tanda “ Ular beracun berbahaya” ( Danger Venomous Snake).
Untuk ular-ular yang bersifat kanibalisme sebaiknya pengemasan dilakukan terpisah, setiap kantong hanya di isi dengan satu ekor ular.
            2.        Pengiriman Reptil
Setelah selasai pengemasan maka pengiriaman dilakukan dengan menggunakan peti yang terbuat dari triplek, kawat nyamuk dan kawat ayak. Peti pengiriman dibentuk sedemikian rupa dimana keempat sisinya dilubangi dengan diameter 1 cm. Adapun fungsi lubang tersebut adalah sebagai ventilasi (lubang udara) kemudian sisi bagian dalam dilapisi dengan kawat nyamuk, sedangkan permukaan sisi bagian luar di lapisi dengan kawat ayak. Kantong-kantong yang berisi ular di susun dalam peti serapi mungkin kemudian ditutup dengan triplek.  Peti yang sudah ditutup rapi sebaiknya di klem agar agar selama dalam perjalanan tidak mengalami kerusakan.  Peti yang berisi ular beracun pada bagian luarnya diberi tanda “ Ular beracun” agar penerima lebih hati-hati membuka peti tersebut setelah sampai di tempat tujuan.

BAB III
JENIS PENYAKIT PADA SPESIES
1.    Parasit
a.    Ektoparasit (caplak, aponoma, hyaloma, tungau ophionyss)
b.    Endoparasit
§  Nematoda:  Ascarids (Ophidascaris sp), Hookworms (Kalicephalus sp), Lungworm (Rhabdias sp).
§  Cestoda
§  Protozoa Cryptosporidia (amoeba dan entamoeba
§  Pentastomid
2.    Bakteri
a.    Salmonella
        Bakteri ini merupakan bakteri yang paling sering dijumpai pada reptil. Sepanjang karapas digunakan sebagai tempat yang potensial untuk menyebarkan salmonella. Salmonella dapat tetap virulen sampai 89 hari pada air keran, 115 hari pada air kolam, 280 hari pada tanah taman, 28 bulan pada feses burung. Reptil dapat menjadi carrier.
      Meskipun tingkat kejadian salmonellosis pada reptil cukup tinggi, biasanya reptil tidak menunjukkan gejala penyakit dari infeksi salmonella. Beberapa strain salmonella menjadi penyebab penyakit spontan pada reptil yang menunjukkan septicemia, pneumonia, coelomitis, abses, granuloma, hypovolemic shock, dan kematian.  Reptil termasuk buaya dan ular dapat menjadi sumber salmonellosis pada manusia.
Pseudomonas. Pseudomonas aeruginosa dapat diisolasi dari luka pada mulut ular. Manusia tertular akibat kontak langsung dengan organisme melalui luka goresan atau luka bekas gigitan kutu, inhalasi (dengan cara terhirup) atau ingesti (dari makanan yang tercemar).
b.    Aeromonas
Aeromonas merupakan bakteri yang biasa terdapat pada danau, kolam dan air tempat reptil, amphibi dan ikan. Penularan dapat melalui kontak dengan air pada luka terbuka atau dari kutu yang berada pada lingkungan reptil yang terinfeksi.
c.    Campylobacter
Bakteri ini dapat menyebabkan diare dan akut gastroenteritis (radang saluran pencernaan) pada manusia. Gejala yang tampak adalah diare, mual, muntah, nyeri perut dan demam.
d.    Bakteri enterik yang lain
Beberapa spesies yang bersifat patogen yang diisolasi dari reptil yang secara klinis sehat dan yang sakit adalah Aeromonas, Citrobacter, Enterobacter, Klebsiella, Proteus dan Serratia.
Enterobacter cloacae dan Klebsiella pneumoniae menjadi penyebab infeksi urogenital (saluran perkencingan dan reproduksi) pada manusia. Proteus dan beberapa bakteri enteric yang lain menyebabkan diare pada manusia.bakteri ini ditularkan pada manusia melalui kontak langsung.
Erysipelothrix rhusiopathiae diisolasi dari alligator dan American crocodiles. Pada manusia menyebabkan infeksi pada kulit, menimbulkan rasa sakit, rasa terbakar, gatal-gatal, radang sendi dan septicemia yang dapat menyebabkan endokarditis (radang endokardium jantung) dan kematian. Manusia tertular melalui luka atau kulit yang tergores.
Yersinia enterocolitica dapat menyebabkan bermacam penyakit pada manusia termasuk gastroenteritis hebat dengan rasa sakit pada bagian perut seperti gejala radang usus buntu. Penyebaran penyakit terjadi juga pada marmut, kelinci, kucing, tikus, domba, burung liar, kalkun, itik, merpati dan kenari. Penyakit ini menyerang pada anak-anak, remaja dan dewasa dengan muntah, gejala serupa radang usus buntu, dan mesenteritic adenitis. Pada perkembangannya penyakit dapat menyebabkan radang sendi, radang ginjal, eritrema nodusum, dan iritis.
e.    Mycobacterium
Mycobacterium marinum menyebabkan nodul pada kulit maupun dibawah kulit.Mycobacterium sp menyebabkan lesi patologis yang bermacam-macam pada reptil, biasanya bersifat kronis termasuk lesi granuloma dan non granuloma pada paru-paru, hati, limpa,kulit, jaringan sub kutan, mukosa mulut, gonad, tulang, dan sistem saraf pusat.
      Manusia tertular melalui kontak langsung dengan organisme pada kulit yang luka, pada waktu handling hewan atau saat membersihkan tempat reptil.gigitan kutu pada kulit, atau melalui pernafasan dan kontak dengan mukosa mulut atau respirasi.
f.     Q fever- Coxiella burnetii.
      Penyakit ini disebabkan oleh ricketsia Coxiella burnetii yang disebarkan oleh kutuAmblyomma nuttalli.
g.    Fungal
Infeksi fungal biasanya berasosiasi dengan pathogen lain dan factor predisposisi seperti manajemen pemeliharaan yang jelek.
Beberapa jenis fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada reptile antara lain Mucor spp, Paecylomyces spp., Candida albicans, Geotrichum spp., Aspergillus spp., TYrichophyton spp., dan Trichoderma spp. Gejala Klinis yang ditimbulkan bervariasi tergantung organ yang terinfeksi. Perubahan yang paling umum ditemukan adalah lesi – lesi pada kulit dan kadang diserta subspectakular abses.
Diagnosa dilakukan secara mikroskopik dan kultur menggunakan Sabouraud’s dextrose agar. Treatment meliputi topikal antifungal, suportif dan perbaikan manajeman pemeliharaan.
h.    viral:
1)    Inclusion Body Disease  (IBD)  pada Boidaea (Python, Boa)
Penyakit viral yang tersebar luas di seluruh dunia menyerang terutama ular famili Boidae (python da Boa). Penyakit viral ini dinamakan mengikuti karakteristik intracytopalmic inclusions yang terlihat dalam sel tubuh ular yang terinfeksi. Penyebab utama penyakit ini adalah Retroviridae-like virusGejala klinis terutama ditandai muntah diikuti gejala sarafi. Infeksi sekunder bakterial biasanya mengikuti. Gejala klinis lain termasuk letargi, anoreksia, kehilangan berat badan, pertumbuhan terhambat, mukosa mulut pucat, stomatitis, diare, penumonia dan dermatitis. Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk menemukan inclusion bodies, biopsi dan histologi tonsil, hati, ginjal dan mukosa lambung serta nekropsi pada ular yang mati. Tidak ada treatmen yang efektif sehingga disarankan ular yang positif terinfeksi IBD sebaiknya dietanasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan prosedur karantina, kebersihan kandang dan kontrol ektoparasit.
2)    Dermatitis pada Colubridae
Dermatitis pada Colubridae biasanya berasosiasi dengan manajemen kandang dan pemeliharaan yang buruk. Kandang yang terlalu lembab dan ventilasi yang jelek manjadikan mudahnya infeksi sekunder pada kulit ular. Gejala klinis berupa keradangan pada kulit berupa kemerahan, kadang diikuti vesicula bahkan pustula. Diagnosa berdasarkan pemeriksan fisik dan gejala klinis. Treatment meliputi antibiotic topical atau sistemik diikuti perbaikan manajemen kandang dan perawatan.
3)    Ophidian Paramyxovirus (OPMV) pada Viperidae
Disebut juga Fer-de-Lance virus reptil. Salah satu viral patogen yang penting pada reptil terutama ular dari famili Viperidae. Penyakit ini menyebabkan imunosupresi. Penularan penyakit melalui droplet dan muntahan. Infeksi kongenital dapat terjadi.
Gejala klinis yang muncul biasanya diawali anoreksia, gejala respiratorik termasuk leleran dari glottis (kadang leleran berdarah), pada kasus berat diikuti gejala sarafi.
Diagnosa dapat dilakukan dengan Haemaglutination inhibition test (HI Test), penegcatan negatif dengan elektron mikroskop dari sampel feses atau paru – paru, biopsi histopatologi, nekropsi dan isolasi virus.
Treatment yang dapat diberikan termasuk antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder dan terapi suportif. Pada kasus yang telah menunjukkan gejala sarafi disarankan untuk dilakukan etanasi. Program pencegahan sangat penting termasuk perbaikan manajemen kebersihan dan perawatan serta karantina ular baru selama minimal 90 hari.
3.    PEMERIKSAAN:
1.    pemeriksaan fisik (biasanya dari afrika ular dimasukkan narkoba, sehingga beberapa negara dilakukan pemeriksaan x-ray)
2.    pemeriksaan laboratorium.
untuk pengujian sampel di laboratorium, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
a.    cara dan jenis pengambilan spesimen (darah, kotoran, dll).
cara dan pengambilan spesimen dan jenis spesimen yang diambil tergantung pada jenis reptil dan tujuan pengujian terhadap spesimen tersebut.
b.    cara pengepakan dan pengiriman spesimen
akurasi hasil pengujian ditentukan juga oleh cara pengepkan dan pengiriman spesimen.  Jika spesimen tidak dihandle dengan cara yang tepat dapat menyebabkan kerusakan spesimen dan agen penyakit sehingga hasil pengujian yang tidak valid (negatif palsu atau positif palsu).     
c.    teknik dan metode pengujian laboratorium
metode pengujian yang digunakan untuk menguji spesimen harus tepat sesuai target agen penyakit yang diuji.
Detail mengenai pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel 2.
4.    PERAWATAN SELAMA MASA KARANTINA DAN PERLAKUAN SEBELUM PENGIRIMAN
a.    perawatan selama masa karantina
Perawatan reptil khususnya ular selama masa karantina sebaiknya ditempatkan masing-masing satwa pada terarium yang terpisah satu dengan yang lain, sehingga memudahkan pengawasan secara langsung selama masa karantin. Disamping itu untuk menghindari adanya kontak langsung antara satu jenis dengan jenis yang lain. Dengan cara perlakuan seperti ini  akan meminimalisasi penularan penyakit  dari satu jenis ke jenis yang lain.
Apabila ditemukan adanya gejala-gejala penyakit pada reptil yang dikarantina segera ditangani dan dipindahkan ketempat lain agar tidak menular pada jenis yang lain.
Satwa yang dikarantina jangan lupa dikasih makan atau minum sebab reptil kalau terlambat  dikasih minum akan cepat mengalami dehidrasi, karena faces (kotoran) yang dikeluarkan sebagian besar cairan.
Disamping itu pakan yang akan diberikan disesuaikan dengan jenis reptile yang dikarantina. Sebagai contoh untuk jenis ular sebaiknya diberikan pakan yang hidup misalnya tikus putih, anak ayam, burung. Jangan diberikan dalam keadaan mati. Terarium tempat reptile sebaiknya tiap hari dibersihkan agar supaya kotoran-kotoran yang menempel tidak menjadi media pembawa penyakit.
b.    perlakuan sebelum pengiriman.
Perlakuan yang diberikan sebelum pengiriman adalah dengan memuasakan ular tersebut dari makan kurang lebih 14 hari. Ular hanya dikasih minum dan didalam minumannya ditambahkan vitamin agar supaya tidak terlalu stress pada saat pengiriman dilaksanakan. Biasanya ular atau reptil apabila diberikan makan 14 hari sebelum packing akan muntah (vomit) dalam perjalanan.



BAB IV
PEMUSNAHAN

1.    Untuk reptil yang termasuk dalam Apendiks I
                a)     Jika hewan masih hidup dan harus dimusnahkan.
Hewan yang termasuk dalam Apendiks I adalah hewan yang sangat langka sehingga apabila masih hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan untuk pendidikan, penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen penyakit, dapat dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di Karantina Hewan
                b)     Jika hewan sudah mati dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di Karantina Hewan
2.    Untuk reptil yang termasuk dalam Apendiks II
a)    Jika hewan masih hidup dan harus dimusnahkan.
Hewan yang termasuk dalam Apendiks II adalah hewan yang langka sehingga apabila masih hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan untuk pendidikan, penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen penyakit, dapat dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku di Karantina Hewan
b)    Jika hewan sudah mati dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan sesuai peraturan perundangan perkarantinaan hewan.
3.    Pemusnahan media pembawa berdasarkan Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan dan Karantina Tumbuhan, serta Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2000:
a)    dalam pelaksanaan pemusnahan agar sebelumnya selalu dibuatkan berita acara penolakan untuk memberi waktu pada pemilik melengkapi kekurangan dokumen dan atau di ekspor kembali.
b)    bila dalam waktu yang telah ditetapkan dokumen tidak dapat dilengkapi segera diadakan pemusnahan dengan persiapan sebagai berikut :
(1)      Tentukan tempat / lokasi pemusnahan;
(2)  Tentukan hari dan tanggal pemusnahan;
(3)  Melibatkan instansi terkait (Polisi, Bea cukai, Keamanan Pelabuhan /Bandara, Pelindo, Dinas yang menangani Kesehatan Hewan setempat, Jaksa untuk menjadi saksi dalam berita acara pemusnahan.
4.            Pemusnahan (disposal) adalah prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap reptil mati (bangkai), kandang yang tercemar serta bahan dan peralatan lain terkontaminasi yang tidak dapat didekontaminasi/ didesinfeksi secara efektif.
Teknis pemusnahan dapat dilakukan sebagai berikut :
a.        lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus jauh dari penduduk untuk mencegah polusi maupun penyebaran penyakit;
b.        bila media pembawa berupa hewan hidup, harus dijamin hewan tersebut sudah dibunuh sesuai etika kesejahteraan hewan seperti dieuthanasi (hewan harus mati sempurna sebelum dibakar);
c.        dilakukan terlebih dahulu proses pembakaran didalam lubang yang telah dipersiapkan untuk penguburan atau dapat menggunakan incenerator untuk mencegah polusi;
d.        lubang tempat penguburan harus mempunyai kedalaman minimal 1,5 meter dan setelah itu ditutup dengan tanah serapat mungkin dan kemudian harus ditaburi dengan kapur secukupnya dan desinfektansia yang telah ditetapkan.




BAB V
PERTOLONGAN PERTAMA PADA KASUS GIGITAN ULAR BERBISA
Apabila ada kasus gigitan ular berbisa dalam melakukan kegiatan tindak karantina atau kegiatan lain maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.    Sebaiknya orang tersebut jangan terlalu panik, sebab kepanikan akan membantu daya serang racun dalam tubuh.
2.    Bagian yang digigit harus sesegera mungkin diikat agar supaya racun yang masuk kedalam tubuh bisa terblokir tidak masuk jantung.
3.    Usahakan bagian yang digigit harus diposisikan dibawah jantung agar supaya aliran darah menuju jantung diperlambat.
4.    Segera dibawa kerumah sakit dan jangan lupa membawa data jenis ular apa yang menggigit agar supaya anti serum yang akan disuntik disesuikan dengan jenis ular yang menggigit.

BAB VI
PENUTUP

Demikian Pedoman Penanganan, Pemeriksaan dan Pengujian terhadap Reptil (Herpetofaunaini disusun untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan tindakan karantina terhadap Reptil untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) melalui media pembawa HPHK berupa reptil yang dilalulintaskan. Hal-hal teknis berkaitan dengan penyusunan pedoman ini yang belum diatur akan disesuaikan kemudian.

...........................