CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil
penelusuran.hasil result : METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA (part 1)
.........................................................
METODE PENELITIAN HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,biodiversity ,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella
raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result ,search,result.search result :
H,M,P,metode,penelitian,Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman
hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe
ardella raisya putri kamarsyah,priankaputri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya
berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan metode penelitian
herpetofauna dari sumber sumber yang ada
di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat
Just trying to summarize everything connected with metode penelitian herpetofauna from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA
?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA ATAU
MENJADI VOLUNTEER UNTUK KAMI...(+62)85866178866 ( whatsapp only )
Link chloepedia :
Herpetofauna 1
herpetofauna 2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2
...........................................
Metode penelitian herpetofauna
Menurut
Mistar (2003), telah banyak dikembangkan metode survey herpetofauna yang cocok
untuk keadaan Indonesia. Susanto (2006) menyebutkan beberapa metode
tersebut diantaranya metode transek, visual encounter survey (VES), drift-fenced
pitfall trap (perangkap lubang dengan pagar pengarah), plot kuadrat,
dan tree buttres.
Metode transek digunakan untuk menjangkau areal yang luas dengan waktu yang
relatif singkat. Metode tersebut biasanya hanya menemukan jenis-jenis
yang umum terlihat, yaitu jenis yang populasinya relatif besar dan tersebar
merata serta jarang bersembunyi. Akan tetapi bila ada keterbatasan dana,
waktu, dan personil, Jaeger (1994) menyebutkan bahwa metode transek merupakan
salah satu metode terbaik untuk digunakan.
Metode VES merupakan modifikasi dari metode jelajah bebas dan belt
transect. Metode tersebut dilakukan dengan cara menyusuri berbagai
badan air dan mendata jenis yang ditemukan serta keadaan daerah tempat jenis
tersebut ditemukan. Menurut Susanto (2006), metode ini cocok untuk
digunakan mendata jenis dan mikrohabitat amfibi. Akan tetapi, data yang
didapatkan tidak dapat mencerminkan keadaan populasi seperti kepadatan.
Metode drift-fenced pitfall trap merupakan modifikasi
dari pitfall trap yang digunakan untuk serangga, dengan
tambahan pagar untuk mengarahkan hewan yang akan diperangkap. Metode
tersebut cocok digunakan untuk mendata jenis-jenis yang mobil, kecil dan
kriptik (Corn 1994). Mistar (2003) menambahkan bahwa metode tersebut
memiliki kelemahan berupa besarnya biaya, waktu, dan personil yang diperlukan.
Metode plot kuadrat dilakukan dengan cara membuat plot kuadrat di beberapa
tempat dan kemudian melakukan pencarian intensif di plot-plot tersebut (Jaeger
& Inger 1994). Menurut Susanto (2006), metode tersebut cocok untuk
mendata jenis-jenis kriptik dengan kepadatan yang tinggi. Akan tetapi
metode tersebut tidak cocok untuk mendata jenis kriptik yang sangat
mobil. Metode tree buttresmerupakan modifikasi dari metode
plot kuadrat. Metode tersebut dilakukan dengan membuat plot disekitar banir
pohon dan mendata jenis-jenis yang ada disana (Mistar 2003).
Metode-metode yang akan dipakai dalam survey HCVF kali ini adalah modifikasi
dari metode transek dan plot kuadrat. Plot-plot seluas minimal 10x10 m
akan diambil datanya mengikuti transek, secara selang-seling, dimana transek
yang dimaksudkan akan mengikuti transek pengambilan data burung (gambar 1).
Data di sepanjang transek juga akan diambil dengan metode VES.
Pengamatan pada malam hari juga akan dilakukan dengan cara mengambil data di
sekitar badan air memakai metode VES. Pengambilan data di badan air diam
akan dilakukan dengan cara mengambil data diwilayah sekeliling badan air dengan
radius minimal 10 m dan didalam badan air sebatas daerah yang dapat dilalui
dengan berjalan (gambar 2). Pengambilan data di badan air mengalir akan
dilakukan dengan cara menarik 3 transek melawan arus (gambar 3).
Pengambilan data dengan memakai drift-fenced pitfall trap (gambar
4) juga akan dilakukan bila tidak terbentur masalah dana, waktu, dan
personil. Perangkap akan diletakkan di sekitar badan air pada daerah yang
cukup padat tanahnya.
Alat dan bahan
a. Alat
Peralatan yang digunakan adalah: headlamp, tongkat ular, kantong plastik, label,
tali, jam tangan, GPS, alat tulis, kaliper, timbangan, termometer, pH
universalindikator, kotak plastik tertutup (dicky tray), kaleng kerupuk, alat
suntik, dan kamera digital.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah , kertas tisu
handuk, larutan formalin 4%, dan alkohol 70%.
Analisis dan pengolahan data
Data yang diperoleh akan dianalisis sebagai berikut:
a. Kelimpahan relatif
Penentuan kelimpahan relatif bagi setiap jenis Amfibi dalam suatu
habitat dilakukan dengan menggunakan rumus
(Cox 1996) :
Keterangan:
KR = Kelimpahan relatif
Ki = Kelimpahan mutlak jenis ke-i
ni
= jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu dalam komunitas
b. Frekuensi relatif
Frekuensi relatif setiap jenis Amfibi dihitung dengan rumus (Cox 1996):
Keterangan:
Fr = Frekuensi relatif
Fi = frekuensi jenis ke-i;
F = jumlah sampel yang mengandung jenis
ke-i;
N = jumlah sampel total
c. Nilai Penting
Nilai penting (NP) untuk setiap jenis Amfibi diperoleh dengan menjumlahkan
nilai kelimpahan relatif (Kr) dan nilai Frekuensi relatif (Fr) dari jenis
tersebut (Cox 1996).
d.
Indeks Dominansi
Indeks dominansi dapat dihitung dengan rumus (Cox 1996):
Keterangan:
Di = Indeks dominansi jenis ke-i;
Pi = proporsi Nilai Penting jenis ke-I
Dominansi jenis dalam komunitas dikelompokkan menurut kriteria Jorgenssen
menjadi tiga kelas dominansi, yaitu dominan (Di > 5%),
subdominan (Di = 2% – 5 %), nondominan (Di < 2%) (lihatArumasari
1989).
e. Keanekaragaman jenis Amfibi
Keanekargaman jenis dapat dihitung dengan menggunakan Indeks
Shannon-Wiener sebagai berikut:
H’ = - å Pi log Pi
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jenis ke-i
(Waite 2000)
f. Kemerataan
Ukuran kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara
setiap jenis dalam suatu lokasi. Kemerataan jenis Amfibi dalam komunitas
dihitung dengan rumus:
Keterangan:
J = Indeks Keseragaman
H = Indeks Keanekaragaman
S = jumlah jenis
(Waite 2000)
g. Indeks Kesamaan Jenis antar
habitat
Indeks kesamaan jenis dihitung untuk mengetahui kesamaan komunitas di dua
lokasi atau habitat yang berbeda. Indeks yang digunakan
adalah
Indeks Sorenson (Waite 2000) dengan rumus:
IS = Indeks Sorensen
a = Jumlah jenis di lokasi a
b = Jumlah jenis di lokasi b
c = Jumlah jenis yang terdapat di lokasi a dan b
h. Peluang perjumpaan
Peluang perjumpaan dihitung untuk mengetahui peluang melihat satwa dalam 1
jam. Peluang perjumpaan dapat diketahui dengan membagi jumlah total
individu jenis ke-i dengan waktu pengamatan (Fitri dkk. 2003).
DAFTAR ACUAN
Arumasari, R. 1989. Komunitas burung pada
berbagai habitat di kampus UI Depok. Skripsi Jurusan Biologi FMIPA
UI, Jakarta: viii + 89 hlm.
Cox, G. W. 1996.
Laboratory manual of general ecology. 7th ed. Wm. C.Brown Company
Publisher,Dubuque: x + 278 hlm.
Corn, P.S. 1994.
Straight-line drift fence and pitfall trap. Dalam: Heyer, W.R., M.A.
Donnelly, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek, & M.S. Foster (eds.). 1994. Measuring
and monitoring biological diversity: Standard
methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington: 109--117.
Fitri, A., M.D.
Kusrini, A. Priyono. 2003. Keanekaragaman jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun
RayaBogor. Dalam: Kusrini, M.D., A. Mardiastuti, T.
Harvey (eds.). 2003. Prosiding seminar hasil penelitian:
Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. IRATA, Bogor:
13—25.
Jaeger, R.G. 1994.
Transeck sampling. Dalam: Heyer, W.R., M.A. Donnelly, R.W.
McDiarmid, L.C. Hayek, & M.S. Foster (eds.). 1994. Measuring
and monitoring biological diversity: Standard
methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington: 103—107.
Jaeger, R.G. &
R.F. Inger. 1994. Quadrat sampling. Dalam: Heyer, W.R., M.A.
Donnelly, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek, & M.S. Foster (eds.). 1994. Measuring
and monitoring biological diversity: Standard
methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington: 97—102.
Mistar. 2003. Panduan
lapangan Amfibi di kawasan ekosistem Leuser. The Gibbon Foundation & PILI-NGO
Movement, Bogor: viii + 111 hlm.
Susanto,
D. 2006. Struktur komunitas amfibi di kampus universitas indonesia, depok, jawa
barat. Skripsi Departemen Biologi FMIPA UI, Depok: x + 68 hlm.
Waite,
S. 2000. Statistical ecology in practice: a guide to analysing
environmental and ecological field data. Pearson Education Limited,
Edinburgh Gate: xx + 414 hlm.
.....................
Transcript
Metodenya gak ada yg fomat digital, da juga buku n fotocopy-an. yg jelas
ada 2 cara: aktif n pasif. 1. metode pasif - pake trap/jebakan 2. metode aktif
- VES - kuadrat sampling - patch sampling -dll klo pengamatan biasanya pake VES
(visual encounter survey)/survei perjumpaan visual (jenis yg keliatan aja yg
dicatet, klo cuma suara gak dicatet, kan cuma visual). VES ada bagiannya lagi,
berdasarkan waktu, berdasarkan transek, dll. klo habitatnya aquatik atau deket
air biasanya pake VES with transect design (VES transek). 400 meter buat
amfibi, 800-1000m reptil, lebih panjang lebih bagus tapi standarnya sgtu. klo
terestrial pake VES with time search design (berdasarkan waktu), biasanya
metode ini cuma disebut time search aja. waktu: 2 jam bersih (pas ketemu herpet
n catet data, waktu di stop dulu, trus lanjut lagi waktunya klo udh beres catet
data), jadi bisa aja sampai lebih dari 2 jam normal klo ketemu banyak
herpetnya. data yg dicatet: -waktu awal n akhir -suhu awal n akhir -kelembaban
awal n akhir -nama jenis/kode jenis/nomor individu -lokasi pengamatan,
ketinggian tempat, dll -tipe habitat (aquatik/terestrial) -substrat (tempat
satwa ditemukan): tanah, air, pohon, diatas batu, dll -posisi/jarak dari jalur
pengamatan n dari titik awak (klo pke transek) -ketingian dari tanah -titik gps
-dll tergantung data apa yg mw diambil buat penelitiannya yg paling penting,
jgn lupa foto makro satwanya. buat identifikasi, klo spesimen g diambil. klo
masi blm jelas, donlod aja penelitian2 di ksh yg amfibi atau reptil..
.................................
Biodiversitas herpet
Kampus Ui
Jenis-jenis Herpetofauna
di wilayah FMIPA, Rektorat, MUI, FH, FPsi,dan FISIP Kampus UI Depok Kelompok
IV: Hadian, Husnul, Ira, Irma, Jane, Kurnia, Leny, Levi Asisten: K Made & K
Niki I. Tujuan • Mengetahui jenis-jenis herpetofauna di di wilayah FMIPA,
Rektorat, MUI, FH, FPsi,dan FISIP Kampus UI Depok Mengetahui habitat dari
herpetofauna yang ditemukan di wilayah kampus UI • II. Teori Herpetologi •
Herpeto = melata (Greek) • Cabang ilmu dari zoologi yang mempelajari semua
aspek kehidupan dari amphibi dan reptil, meliputi taxonomi (klasifikasi),
sistematik, ekologi, perilaku, anatomi, sejarah hidup, distribusi, dan biomedis
dari racun & bisa Amphibi Amphibi Amphi = dua (Greek) bio = hidup (Greek) •
Amphibi adalah hewan yang dapat hidup di dua alam (air dan darat) • Amphibi
merupakan vertebrata pertama yang hidup di darat karena memiliki 5 jari
(pentadactyl) pada setiap lengannya • ancestor dari reptil yang selanjutnya
berkembang menjadi aves dan mamalia Karakteristik Amphibi • • • •
Ektopokilothermal Tetrapoda Hidup di dua alam (darat dan air) Pernapasan
melalui insang, paruparu, kulit • Alat ekskresi berupa ginjal opistonefros •
Jantung beruang tiga • Reproduksi eksternal (kecuali Klasifikasi Amphibi
Kingdom : Animalia Filum : Cordata Sub filum : Vertebrata Sub kelas : 1.
Apsidospondyli Kelas : Amphibi Ordo : 1. Temnospondyli (punah) 2.
Anthracosauria (punah) 3. Proanura (punah) 4. Anura (kodok dan katak) 2.
Lepospondyli 1. Aistopoda (punah) 2. Nectridia (punah) 3. Caudata (salamander)
4. Gymnophiona (caecilia) Anura • Kelompok Amphibi yang ekornya telah tereduksi,
tidak memiliki tulang rusuk & memiliki kaki belakang untuk melompat • Ada
dari zaman Jurassic sampai sekarang • Memiliki 18 familia Caudata • Kelompok
Amphibi yang badannya memanjang dan memiliki ekor, memiliki tulang rusuk &
kaki belakang tidak dapat digunakan untuk melompat • Ada dari zaman Crestaceous
sampai sekarang • Memiliki 8 familia Gymnophiona • Kelompok Amphibi yang
tubuhnya memanjang sehingga bentuknya menyerupai cacing, tidak memiliki kaki,
pada beberapa genus ada yang memiliki sisik, mata kecil atau vestigial •
Memiliki satu familia yaitu, Caeciliidae yang persebarannya meliputi daerah
Mexico, Amerika Selatan, Asia, & Afrika (kecuali Madagaskar) • Terdapat 16
genus Reptil Reptil • Reptil adalah perkembang dari amphibi • Telur reptil
memiliki kulit keras sehingga terlindung dari kekeringan, dan terutama adanya
membran yang memungkinkan bayi reptil dapat berkembang di dalam telur. • Reptil
tidak terlalu bergantung pada air sehingga dapat bebasb beraktivitas di
daratan. Karakteristik Reptil • Ektopokilothermal • Pernapasan melalui
paru-paru • Alat ekskresi berupa ginjal metanefros • Jantung beruang empat
(pada buaya terdapat foramen panizzae) • Reproduksi internal • Ovovivipar
Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Super
kelas: Tetrapoda Kelas : Reptil Ordo : 1. Chelonia (Kura-kura dan penyu) 2.
Squamata (kadal dan ular) 3. Crocodilia (buaya) 4. Rhynchocephalia Chelonia •
Terestrial, aquatik, atau reptil yang hidup di laut yang tubuhnya dilindungi
oleh dua rangka, tidak memilki gigi, rahang berbentuk seperti paruh, lidah
tidak dapat dijulurkan, memilki kelopak mata, biasanya leher dapat ditarik
masuk dan memilki 8 tulang belakang, pentadactyl • Ada dari zaman Permian
sampai sekarang • Memilki 12 familia dan 240 spesies Squamata • Terrestrial,
arboreal, aquatik, dan reptil yang hidup di laut yang tengkoraknya
bermodifikasi menjadi tipe diapsid, memiliki gigi, tubuh dilindungi sisik • Ada
dari zaman Jurassic sampai sekarang • Memilki 2 sub ordo yaitu, Lacertilia
(kadal): 21 familia dan Serpentes (ular): 13 familia Crocodilia • Tulang
tengkorak memanjang, nares terminal, gigi thecodont, • Ada dari zaman Triassic
sampai sekarang • Memiliki 3 familia Rhynchocephalia • Primitive, bentuk
seperti kadal lepidosauria, gigi akrodont • Ada dari zaman Triassic sampai
sekarang • Memilki satu familia yaitu, Sphenodontidae & satu spesies
(Spenodon punctatus) hanya terdapat di New Zealand. III. Lokasi & waktu,
alat & bahan, cara kerja A. Lokasi & waktu Praktikum lapangan herpetofaunadilakukan
dari MIPA sampai FISIP. Rute: Halte MIPA – MII – BNI – Rotunda – Danau
Balairung – MUI – Hukum – Psikologi – FISIP – Hutan FISIP Waktu dimulai dari
jam 19.00 s/d 22.00 WIB B. Alat dan Bahan • • • • • • • • • • • Kantung plastik
Karung terigu/goni Sarung tangan plastik Senter Kamera digital Karet gelang
Jangka sorong Papan jalan Alat tulis Meteran Data sheet •Spesimen yang
ditemukan C. Cara kerja • Metode yang dipakai adalah Visual Encounter Survei •
Spesimen ditangkap, diukur morfometrinya, difoto, kemudian dilepas. •
Pengambilan spesimen untuk pengawetan harap diminimalisir • Waktu pengambilan
data dari jam 20.00 sampai 22.00 • Rute dimulai dari FMIPA sampai dengan Hutan
FISIP UI . IV. Hasil & Pembahasan A. Hasil Tabel Pengamatan Praktikum
KeanHew : Herpetologi (15-11-06) No Jenis BL/SL (mm) 01 02 Gecko gecko Cicak
(10) 44,4/85,6 81/31,5 Data Morfometri Tl/TIL/DM (mm) Keterangan Hanya terlihat
didepan MIPA Kebanyakan ditemukan di pohon sepanjang trak dan di langit-langit
gedung Banyak terdapat di tempat yang jarang air (kering) Di temukan di besi
penyanggah bak air Dekat BNI 03 Buffo melanostictus (25) Polypedates
Leucomystax (1) Ular tanah 97,8 9,4 04 70,7 9,8 05 16,1 Ular tanahCicak
pohonCicak pohonBufo sp.Bufo sp. B. Pembahasan Ular tanah Taksonomi: Kingdom:
Animalia Filum: Chordata Kelas: Reptilia Ordo: Squamata Subordo: Serpentes
Famili: Viperidae Ciri-ciri: • Tidak berkaki dan bertubuh panjang • Mempunyai
sisik • Mempunyai gigi • Berdarah dingin • Tidak memiliki daun telinga dan
gendang telinga • Terdapat lubang di antara mata dan mulut berfungsi sebagai
thermosensorik (sensor panas) - organ ini biasa disebut ceruk atau organ
Jacobson. • Memiliki ceruk yang peka sekali Habitat: • di pepohonan • di atas
permukaan tanah • menyusup-nyusup di bawah serasah atau tumpukan bebatuan •
Berada di semua kontinen, kecuali Antartika Makanan: Berbagai jenis hewan
seperti burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil lainnya dan termasuk
telur-telurnya Gecko sp. Taksonomi: Kingdom: Animalia Phylum:Chordata Class:
Reptilia Order: Squamata Suborder: Lacertilia Family: Gekkonidae Genus: Gecko
Makanan: Serangga dan buah Habitat: Terestrial Cicak Taksonomi: Kingdom:
Animalia Phylum:Chordata Class: Reptilia Order: Squamata Suborder: Lacertilia
Family: Gekkonidae Ciri-ciri: • Berdarah dingin • Bertelur • Dapat memutuskan
ekornya bila terancam • Kebanyakan cicak termasuk nokturnal • Mempunyai kepala
yang kecil • Badan memanjang Habitat: Gurun, hutan, savana dan padang rumput
Makanan: Serangga Bufo sp. Taksonomi: Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Class:
Amphibia Order: Anura Family: Bufonidae Ciri-ciri : • “True toad” • Pupilnya
horizontal • Hewan nokturnal • Kaki depan lebih pendek dari kaki belakang •
Mempunyai web Habitat : Terrestrial dan akuatik Makanan : Serangga Polypedates
sp. Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Amphibia Order
: Anura Suborder : Neobatrachia Family : Rhacophoridae Genus
: Polypedates Species : Polypedates sp. Karakteristik • Tubuh
kecil dan ramping • Kaki belakang panjang dan kokoh • Bentuk mulut membundar •
Membran timpani mudah terlihat • Jari-jari dengan web yang tereduksi • Ada
lipatan kulit yang tipis dari atas timpani sampai lengan belakang • Tekstur dan
warna kulit bagian punggung halus, ada pola pada perut dan warna kulit punggung
dapat berubah • Panjang jantan 50 mm dan panjang betina 80 mm • Biasa ditemukan
di pohon-pohon dan sering terlihat pada pemukiman manusia V. Kesimpulan •
Herpetofauna yang ditemukan di sekitar bangunan sedikit • Herpetofauna yang
paling banyak ditemukan adalah Bufo sp. • Habitat yang paling banyak ditemukan
herpetofauna adalah di sekitar perairan (Danau) VI. DAFTAR ACUAN • Holtorf, G.
W. Street Atlas and Index of Jabotabek version 2.0®.© 2005 Katikom
CorporationHungary. All rights reserved • Merbabu. 2006. Munculnya Binatang. 17
Oktober 2006: 3 hlm.
http://www.merbabu.com/artikel/sejarahbinatang/sejarah-binatang.html, 12
Desember 2006, pk. 13.00 • Orr, R. T. 1976. Vertebrate Biology. Toppan Company
Limited. Tokyo: viii + 472 hlm. “Sekian..Terima kasih”
......................................
Herpetofauna atau
reptil dan amfibi adalah kelompok satwa yang sering terabaikan dalam
pengelolaan. Padahal banyak juga jenis herpetofauna yang endemik dan terancam
punah. Kelompok satwa ini banyak yang bersifat nokturnal dan memiliki
preferensi habitat yang spesifik. Selain itu beberapa jenis reptil dianggap
berbahaya bagi manusia seperti buaya dan jenis-jenis ular berbisa, sehingga
herpetofauna sering kali dianggap susah diteliti. Sebenarnya kalau karakter
kelompok satwa ini dipahami, penelitian herpetofauna tidaklah sulit.
Herpetofauna terestrial, khususnya amfibi adalah kelompok satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air. Oleh karena itu inventarisasi herpetofauna bisa dilakukan di sekitar sungai atau perairan air tawar lain di mana peluang perjumpaan terhadap satwa ini lebih besar. Hampir semua jenis amfibi dan beberapa jenis reptil aktif di malam hari sementara beberapa jenis yang lain juga aktif di siang hari, sehingga pengamatan satwa ini sebaiknya juga dilakukan pada malam dan siang hari, tergantung dari kelompok satwa target yang diteliti. Apabila penelitian lebih terfokus pada jenis amfibi, maka pengamatan hendaknya dilakukan pada malam hari, sementara apabila jenis yang diteliti adalah jenis yang diurnal, penelitian hendaknya dilakukan sesuai waktu aktif satwa tersebut.
Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, salah satu yang paling mudah adalah Visual Encounter Survey (VES) berbasis transek/jalur. Dalam metode ini pengamat berjalan menyusuri jalur yang sudah ditentukan dalam periode waktu tertentu untuk mencari herpetofauna. Setiap individu herpetofauna yang terlihat selama pengamatan ini dicatat jenis serta jumlahnya. Untuk keperluan identifikasi, individu herpetofauna yang belum bisa dipastikan jenisnya, bila memungkinkan, ditangkap untuk identifikasi lebih lanjut. Jalur yang digunakan dalam metode VES ini bisa berupa jalan setapak hutan atau alur sungai dan penempatan jalur-jalur pengamatan tersebut sebaiknya mewakili kondisi vegetasi kawasan yang diteliti. Lama waktu pengamatan ditentukan sesuai dengan tingkat capaiann hasil yang diharapkan, misalnya 1 jam untuk setiap 100 m transek atau 2 jam setiap 100 m.
Inventarisasi herpetofauna menggunakan metode ini telah diterapkan di beberapa kawasan konservasi, misalnya di TN Gunung Merbabu pada tahun 2010, TN Tanjung Puting tahun 2010, TN Gunung Merapi tahun 2011, dan CA Teluk Adang tahun 2012. Pada kegiatan inventarisasi herpetofauna yang dilakukan di CA Teluk Adang, jalur pengamatan ditempatkan pada berbagai tipe vegetasi yang ada untuk mewakili kondisi kawasan seperti hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dsb. Dalam kegiatan tersebut telah teridentifikasi sebanyak tujuh jenis amfibi dan delapan jenis reptil yang menghuni CA Teluk Adang, dan tiga jenis di antaranya termasuk dalam kategori Near Threatened atau hampir terancam punah berdasarkan IUCN Redlist and Criteria.
Visual Encounter Survey adalah salah satu metode yang paling mudah dilakukan untuk inventarisasi herpetofauna karena selain waktu dan kebutuhan personelnya tidak banyak, biaya yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Meski demikian masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
Herpetofauna terestrial, khususnya amfibi adalah kelompok satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air. Oleh karena itu inventarisasi herpetofauna bisa dilakukan di sekitar sungai atau perairan air tawar lain di mana peluang perjumpaan terhadap satwa ini lebih besar. Hampir semua jenis amfibi dan beberapa jenis reptil aktif di malam hari sementara beberapa jenis yang lain juga aktif di siang hari, sehingga pengamatan satwa ini sebaiknya juga dilakukan pada malam dan siang hari, tergantung dari kelompok satwa target yang diteliti. Apabila penelitian lebih terfokus pada jenis amfibi, maka pengamatan hendaknya dilakukan pada malam hari, sementara apabila jenis yang diteliti adalah jenis yang diurnal, penelitian hendaknya dilakukan sesuai waktu aktif satwa tersebut.
Ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, salah satu yang paling mudah adalah Visual Encounter Survey (VES) berbasis transek/jalur. Dalam metode ini pengamat berjalan menyusuri jalur yang sudah ditentukan dalam periode waktu tertentu untuk mencari herpetofauna. Setiap individu herpetofauna yang terlihat selama pengamatan ini dicatat jenis serta jumlahnya. Untuk keperluan identifikasi, individu herpetofauna yang belum bisa dipastikan jenisnya, bila memungkinkan, ditangkap untuk identifikasi lebih lanjut. Jalur yang digunakan dalam metode VES ini bisa berupa jalan setapak hutan atau alur sungai dan penempatan jalur-jalur pengamatan tersebut sebaiknya mewakili kondisi vegetasi kawasan yang diteliti. Lama waktu pengamatan ditentukan sesuai dengan tingkat capaiann hasil yang diharapkan, misalnya 1 jam untuk setiap 100 m transek atau 2 jam setiap 100 m.
Inventarisasi herpetofauna menggunakan metode ini telah diterapkan di beberapa kawasan konservasi, misalnya di TN Gunung Merbabu pada tahun 2010, TN Tanjung Puting tahun 2010, TN Gunung Merapi tahun 2011, dan CA Teluk Adang tahun 2012. Pada kegiatan inventarisasi herpetofauna yang dilakukan di CA Teluk Adang, jalur pengamatan ditempatkan pada berbagai tipe vegetasi yang ada untuk mewakili kondisi kawasan seperti hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dsb. Dalam kegiatan tersebut telah teridentifikasi sebanyak tujuh jenis amfibi dan delapan jenis reptil yang menghuni CA Teluk Adang, dan tiga jenis di antaranya termasuk dalam kategori Near Threatened atau hampir terancam punah berdasarkan IUCN Redlist and Criteria.
Visual Encounter Survey adalah salah satu metode yang paling mudah dilakukan untuk inventarisasi herpetofauna karena selain waktu dan kebutuhan personelnya tidak banyak, biaya yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Meski demikian masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk melakukan inventarisasi herpetofauna, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
......................................
20 April 2013
Teknik Sampling Pengamatan di Lapangan
Jum’at sore kemarin, tepatnya pada tanggal
19 April 2013, kepengurusan KP3 Herpetofauna periode 2013-2014 mengadakan
pembekalan (materi ) perdana kepada para anggota KP3 H 2011 dan 2012. Pertemuan
perdana ini membahas mengenai Metode Penelitian .Alasan dari metode penelitian
ini diperkenalkan di pertemuan perdana, karena dalam pengamatan di lapangan
sangat diperlukan pengetahuan bagi si pengamat sebelum terjun langsung
dilapangan, karena jika tidak mempunyai bekal yang cukup, ditakutkan nanti saat
dilapangannya akan terjadi kebingungan. Kebingunan yang dimaksud disini adalah
mereka tidak atau kurang paham apa saja yang akan dilakukan saat pengamatan,
kemudian ketika bertemu dengan obyek yang dicari (amphibi atau reptil) takutnya
bingung bagaimana memperlakukan obyek tersebut. Dengan pembekalan mengenai
metode penelitian ini, diharapkan nantinya dilapangan mereka sudah paham,
mengerti dan mempunyai gambaran yang jelas tentang apa saja yang harus
dilakukan dan metode apa yang cocok untuk digunakan saat pengamatan dilapangan.
Materi metode penelitian ini disampaikan
oleh mbak Dayu (KSDH 2009). Dihadiri oleh 17 orang, yakni dari angkatan 2011
sebanyak 6 orang, 2012 sebanyak 10 orang dan angkatan 2010 sebanyak 1 orang
(mbak Pipin). Di pertemuan ini, mbak dayu menjelaskan secara detail mengenai
teknis dilapangan saat melakukan pengamatan, mulai dari alat, kapan waktu yang
tepat, buku yang dipakai, cara mengidentifikasi, sampai dengan teknik
sampling yang digunakan saat pengamatan dilapangan.
Di materi metode penelitian ini mbak Dayu
menekankan, bahwa salah satu yang harus diperhatikan saat pengamatan dilapangan
adalah mengenai teknik sampling yang digunakan. Teknik sampling disini
maksudnya adalah suatu cara yang digunakan saat pengamatan dengan tujuan untuk
mendapat data herpetofauna yang ada. Teknik Sampling ada dua macam, yaitu
Sampling secara langsung dan tidak langsung.
v Teknik
sampling langsung
Teknik sampling langsung ini, seperti
namanya yaitu ”langsung”, jadi teknik ini digunakan saat kita melakukan
pengamatan dilapangan bertemu dengan spesiesnya secara langsung. Teknik
sampling langsung ini ada empat cara yaitu Road cruising, VES, Quadrat sampling
dan transek garis.
Ø Road
cruising (mengeksplore jalan)
Biasanya yang tidak mau capek karena harus
berjalan kaki, jadi melakukan pengamatannya bisa dilakukan sambil berkendara
entah itu naik sepeda, motor, ataupun mobil. Teknik ini memiliki keuntungan
yaitu mudah, cepat dan tidak capek, namun kelemahannya yaitu terbatas
tempatnya. Masudnya adalah pengamatannya terbatas hanya di jalanan tertentu
saja yang bisa dilewati oleh kendaraan yang kita gunakan.
Ø VES
(visual encounter survey)
VES ini adalah teknik yang cukup mudah,
yaitu pengamatan yang mengunakan waktu sebagai acuan. Teknis dilapangannya
yaitu pengamatan dilapangan namun dibatasi oleh waktu. contoh ilustrasi :
dilapangan kita diberi waktu 20 menit untuk mencari spesies herpetofauna
dilapangan, jadi kalau waktu 20 menit tersebut sudah habis maka kita pengamatan
yang kita lakukan harus dihentikan, jikalau masih ingin melanjutkan lagi, baru
nantinya diteruskan, namun dibatasi dengan waktu yang sama seperti diawal
pengamatan tadi yaitu 20 menit. Kami (KP3 Herpetofauna) sering menggunakan
teknik ini saat pengamatan dilapangan.
Ø Quadrat
sampling
Seperti namanya “kuadrat” jadi
pengamatannya dilapangan dengan
cara membuat plot kuadrat di beberapa tempat dan kemudian melakukan pencarian
intensif di dalam plot-plot tersebut. Ukuran plotnya
mulai dari 2m x 2m sampai yang paling besar yaitu 10m x 10m.
Ø Transek
garis
Metode ini digunakan untuk menjangkau areal yang
luas dengan waktu yang relatif singkat. Jika
kita terbatas dengan masalah dana, waktu dan personil (pengamat), teknik ini merupakan salah satu metode terbaik
untuk digunakan.
v Teknik
sampling tidak langsung
Taknik sampling tidak langsung yang biasa
dipakai adalah drift-fenced
pitfall trap atau nama
kerennya adalah jebakan. Jadi untuk mendapatkan data saat pengamatan, terlebih
dahulu kita membuat jebakan ditempat-tempat tertentu yang biasa dilalui dari
satwa herpetofauna. Jebakan tersebut kita buat saat malam hari, dan baru kita
periksa saat keesokan harinya. Teknik ini memiliki beberapa kelemahan yaitu
butuh waktu yang lama untuk mendapatkan data dan biaya yang cukup mahal untuk
mempersiapkan jebakannya .
Di akhir pertemuan, mbak Dayu juga memberi
semacam kepelatihan kepada anggota KP3 H angkatan 2012 untuk mengidentifikasi
gambar katak (*yang setelah diidentifikasi ternyata spesies Rana
chalconota). Tujuan dari pelatihan tersebut adalah untuk melatih skill
dalam identifikasi menggunakan buku identifikasi agar nantinya memudahkan
menggunakan buku tersebut dilapangan. (Ikhwan_KP3H)
......................................
KEANEKARAGAMAN
JENIS HERPETOFAUNA DI PINTU 2 KANAN KAMPUSIPB DARMAGA
Oleh :
Achmad Fajar P1 (E34120091),
Maedyta Annafiandini2 (E34120061), Fitri Kusriyanti3(E34120075), Hidayatul
Munawaroh4 (E34120080), dan Dian Widi Hasta5 (E34120081)
Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata-Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor
ABSTRACT
Research on the distribution and diversity
of herpetofauna in Bogor Agricultural University needs to be done. This relates
to developed of biodiversity conservation program in Bogor Agricultural
University. The objective of the research was to analyzed the distribution and
diversity of herpetofauna in Bogor Agricultural University. The study was
conducted in December 10th 2014. The data of herpetofauna were
collected by Visual Encounter Survey (VES) who combined with Time Search
method. Time of observation made in the night time (06.30 – 08.30 pm). Data
were analyzed using Shannon-Wiener Diversity Index (H’) for species diversity
and Index of Equitability or Evenness Simpsons (E) to determine to proportion
of the abundance species. The result showed that 6 species of herpetofauna were
found in Bogor Agricultural University. The Diversity Index was(H’= 1.641735), and Eveness Index
was (E = 0.92). The most of species that found are Takydromus sexlineatus.
Keywords : Bogor
Agricultural University, distribution, diversity, herpetofauna.
PENDAHULUAN
Satwa
merupakan satu komponen penting dalam kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat
dari manfaat yang diberikan satwa secara langsung maupun tidak langsung. Kampus
IPB memiliki keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Di areal kampus IPB paling
tidak terdapat 12 jenis mamalia, 86 jenis burung, 37 jenis reptilia dan 4 jenis
ikan (Hernowo et al. 1991). Keanekaragaman jenis adalah
banyaknya spesies satwa yang menempati suatu ekosistem baik di darat maupun di
perairan yang saling mempengaruhi. Pengamatan satwa merupakan bagian dari
kegiatan untuk inventarisasi satwa. Inventarisasi satwa adalah kegiatan untuk
mengetahui populasi jenis satwa dan habitatnya. Metode yang dapat digunakan
dalam kegiatan inventarisasi satwa kali ini yaitu metode VES. Metode Visual
Encounter Survey (VES), yaitu pengambilan jenis satwa
berdasarkan penglihatan langsung pada jalur yang telah ditentukan (Heyer et
al. 1994). Tujuan dari pengamatan ini adalah agar dapat menerapkan
pengetahuan dan keterampilan tentang teknik-teknik inventarisasi dengan
menggunakan metode VES, untuk menentukan ukuran populasi satwa berdasarkan
metode tersebut serta dengan mempraktekkan metode tersebut diharapkan dapat
mengetahui keefektifan penerapan metode-metode tersebut dalam kegiatan inventarisasi
satwaliar.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Lokasi pengamatan
dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Pengamatan dilakukan pada
tanggal 10 Desember 2014. Waktu
pengamatan dilakukan pada malam hari pukul 18.30 – 20.30 WIB.
Alat dan Bahan
Objek yang diamati
adalah berbagai jenis herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB
Darmaga. Alat-alat yang digunakan pada pengamatan ini antara
lain adalah tally sheet, alat tulis,plastik spesimen, alat
pengukur waktu, meteran, pesola, fieldguide, dan
kamera.
Metode
Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES) yaitu
pengambilan jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di
daerah terrestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994). Metode VES
ini dimodifikasi dengan metodetime search. Pengamatan dilakukan selama
dua jam. Time search merupakan suatu metode pengambilan data
dengan waktu penuh yang lamanya waktu telah ditentukan sebelumnya dengan waktu
untuk mencatat satwa tidak dihitung. Pengamatan dilakukan di Pintu 2 Kanan
Kampus IPB Darmaga. Pengamatan dilakukan pada malam hari pada pukul 18.30 –
20.30 WIB serta dilakukan dengan berjalan pada lokasi yang telah ditentukan.
Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a. Pengamatan
Pengamatan dilakukan
pada malam hari pukul 18.30 – 20.30 WIB. Pengamatan dilakukan dengan
menggunakan penerangan berupa cahaya senter atau headlamp yang
diarahkan pada lokasi – lokasi yang memungkinkan ditemukannya reptil dan amfibi
seperti di batang pohon, lubang, kayu lapuk, serasah, dan semak. Individu yang
diamati kemudian ditangkap dan dimasukkan dalam plastik berlabel. Beberapa
jenis reptil atau amfibi ditangkap untuk kebutuhan identifikasi dan dicatat
ciri – ciri morfologinya.
b. Dokumentasi dan
identifikasi spesimen
Data yang dicatat pada
saat pengamatan reptil atau amfibi adalah waktu, substrat, posisi, dan
aktivitasnya. Dokumentasi berupa gambar diambil dengan kamera baik saat
ditemukan ataupun setelah diidentifikasi. Data yang dicatat saat identifikasi
adalah nama jenis, lokasi, dan informasi lain. Nama jenis dapat diketahui
dengan menggunakan kunci identifikasi dan bila belum ditemukan atau untuk
meyakinkan foto – foto detail reptil atau amfibi dicocokan kembali dengan fieldguide (Uetz dkk.
2012).
Analisis Data
Komposisi reptil atau
amfibi di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga dianalisis dengan dua parameter,
yaitu :
1. Keanekaragaman Jenis
Jenis yang ditemukan
kemudian ditentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dengan menggunakan Indeks
Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997), yaitu :
H’
= -∑ Pi Ln Pi
Keterangan :
H’ = Indeks
Keanekaragaman Shannon- Wiener
P =
Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-I dibagi jumlah
seluruh individu yang diperoleh disuatu lokasi)
Variabel tersebut dapat digunakan dengan
kriteria sebagai berikut :
H’ <
1 =
Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah.
1 < H’ <
3 = Menunjukkan tingkat
keanekaragaman jenis yang sedang.
H’ > 3 =
Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi.
Nilai yang diperoleh kemudian akan
digunakan untuk membandingkan keanekaragamn jenis berdasarkan habitat.
2. Kemerataan Jenis.
Derajat kemerataan
jenis pada suatu lokasi dianalisis dengan Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan Jenis (Brower & Zar
1997), yaitu :
E
= H’/Ln S
Keterangan :
E =
Indeks Kemerataan Jenis
H’ =
Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener
S =
Jumlah jenis yang ditemukan
HASIL
Komposisi jenis, keanekaragaman, dan kemerataan jenis reptil dan amfibi
Berdasarkan hasil
pengamatan, ditemukan reptil sebanyak delapan ekor dan amfibi sebanyak tiga
ekor. Jenis reptil yang ditemukan yaitu, Cosymbotus platyurus (1 ekor),Brochocela
jubata (2 ekor), Takydromus sexlineatus (4 ekor),
dan Rhabdophis subminatus(1 ekor). Sedangkan untuk jenis amfibi
yang ditemukan yaitu, Duttaphrynus melanostictus (2 ekor)
dan Phrynoidis aspera (1 ekor) (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik rekapitulasi hasil inventarisasi herpetofauna di Pintu 2
Kanan Kampus IPB Darmaga.
Hasil perhitungan indeks
keanekaragaman herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga dengan analisis
Shannon-Wiener didapatkan sebesar H’ = 1.641735 dan untuk perhitungan
indeks kemerataan Evenness didapatkan sebesar E = 0.92.
Masing
– masing jenis reptil dan amfibi menyukai substrat yang berbeda untuk melakukan
aktivitasnya, Gambar 2. menunjukkan jenis substrat yang banyak digunakan jenis
reptil dan amfibi. Persentase terbesar yaitu pada serasah sebesar 28%. Serasah
dan tanah sering digunakan oleh jenis – jenis reptil dan amfibi yang tergolong
terrestrial. Persentase penggunaan substrat terkecil yaitu pada tumbuhan bawah
sebesar 9%.
Gambar 2. Grafik perserntase penggunaan
substrat oleh reptil dan amfibi pada saat perjumpaan.
Aktivitas reptil dan
amfibi pada perjumpaan yaitu terdiri dari diam, melompat, makan, dan merayap.
Aktivitas yang banyak terlihat adalah diam yaitu sebesar 55%. Aktivitas diam
ini banyak ditemukan pada jenis reptil seperti Takydromus
sexlineatus dan Bronchocela jubata. Aktivitas paling
sedikit ditemukan adalah makan dan merayap yaitu sebesar 9%, hanya ditemukan
pada jenis reptil seperti Cosymbotus platyurus dan Takydromus
sexlineatus(Gambar 3).
Gambar 3. Grafik persentase aktivitas
herpetofauna pada saat perjumpaan.
Jenis Takydromus
sexlineatus menunjukkan nilai
kelimpahan paling tinggi yaitu 0,3636 dengan dominansi tertinggi 36,3636.
(Tabel 1).
Tabel 1 Kelimpahan dan
Dominansi jenis herpetofauna di Sisi Kanan Pintu II IPB.
PEMBAHASAN
Kondisi Umum
No
|
Nama Jenis
|
Jumlah Individu
|
Pi
|
D (%)
|
1
|
Duttaphrynus
melanostictus
|
2
|
0.181818
|
18.18182
|
2
|
Cosymbutus
platyurus
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
3
|
Bronchocela
jubata
|
2
|
0.181818
|
18.18182
|
4
|
Takydromus
sexlineatus
|
4
|
0.363636
|
36.36364
|
5
|
Ular picung
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
6
|
Phrynoidis
aspera
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
Total
|
11
|
Kampus IPB Darmaga yang
memiliki luas wilayah 267 Ha, terdapat beberapa jenis satwa liar yang tersebar
hampir di seluruh wilayah kampus, di antaranya dari jenis – jenis
burung, mamalia, reptil, dan amfibi. Kampus IPB saat ini sedang berada dalam
tahap pembangunan dan pengembangan, terutama terhadap sarana fisiknya. Kegiatan
tersebut akan menimbulkan perubahan lingkungan fisik maupun biotik. Menurut
Hernowo (1985), perubahan tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap keberadaan
dan kelangsungan hidup satwa liar yang terdapat di Kampus
IPB. Secara geografis
Kampus IPB Darmaga terletak antara 6⁰30”
sampai 6⁰45” LS dan 106⁰30” sampai 106⁰ 45” BT.
Terletak di Jalan Raya Darmaga, 12 km dari Kotamadya Bogor. Secara administrasi
termasuk dalam wilayah Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Iklim kawasan termasuk iklim hujan tropik. Temperatur rata-rata tahunan
sebesar 25.7⁰C, curah hujan rata –
rata adalah 340,3 mm. Jenis tanah adalah Latosol. Topografi kawasan terbagi
dalam 4 kelas kemiringan dengan perincian terhadap luas kawasan kampus sebagai
berikut: 0-5% sebanyak 41%, 5-15% sebanyak 37%, 15-25% se-banyak 17%, dan
>25% sebanyak 5 %.
Kondisi jalur
pengamatan yaitu berada di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Ada kondisi dengan
vegetasi yang sangat rapat dan ada kondisi dengan vegetasi terbuka. Vegetasi
yang dominan yaitu bambu. Cukup banyak kegiatan manusia di tempat tersebut
salah satunya yaitu pejalan kaki yang sering berlalu-lalang.
Bahas Data
Data yang diperoleh
berdasarkan pengamatan diolah dan menujukkan hasil berupa indeks kekayaan,
kelimpahan, indeks keenekaragaman, kemerataan dan dominansi jenis. Indeks
kekayaan jenis herpetofauna di lokasi pengamatan yaitu 2.0852. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa jenis herpetofauna di lokasi pengamatan cukup beragam.
Kelimpahan pada jenis herpetofauna di
lokasi pengamatan menunjukkan kelimpahan terbesar pada jenis Takydromus sexlineatus yaitu 0.3636. Jenis tersebut
ditemukan dengan jumlah 4 individu dan dalam SVL yang berbeda pada rentang 2,3
sampai 4 cm. Substrat ditemukannya jenis ini berupa rumput dan daun
diketinggian 0,3 sampai 0,6 m dengan aktivitas sedang diam dan makan. Jenis Duttaphrynus melanostictus dan Bronchocela
jubatadiperoleh dengan kelimpahan yang sama sebesar 0,1818 dan jumlah
sebanyak 2 individu. JenisDuttaphrynus melanostictus ditemukan di atas rumput dan
serasah dengan aktivitas melompat. Jenis tersebut memiliki ukuran berat yang
cukup jauh berbeda yaitu 60 gram dan 9,5 gram dengan SVL 10 cm dan 3,5 cm.
Kondisi tersebut menunjukkan jenis tersebut ditemukan masih anakan dan dewasa.
Jenis Bronchocela jubata ditemukan pada ranting pohon dan
daun dengan aktivitas diam dan ukuran berat serta SVL yang relatif sama. Jenis
lain yang ditemukan pada pengamatan yaitu Cosymbutus platyurus, Ular picung dan
Phrynoidis aspera menunjukkan kelimpahan yang rendah yaitu 0,0909 dengan hanya
ditemukannya satu individu per jenis.
Indeks keanekaragaman hasil pengamatan
menunjukkan nilai 1,6417. Nilai tersebut menunjukkan keanekaragaman jenis
herpetofauna di lokasi pengamatan masuk dalam kriteria sedang berdasarkan
kriteria indeks keanekaragaman menurut Odum (1993) yaitu pada rentang 1-3.
Menurut Campbell (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman jenis suatu komunitas alamiah diantaranya ketersediaan energi,
spesialisasi relung, iklim, interaksi populasi, dan kemampuan reproduksi. Nilai
indeks keanekaragaman yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa lokasi
pengamatan memiliki vegetasi yang cukup sesuai sehingga herpetofauna yang dapat
ditemukan di lokasi cukup beragam dan dapat beradaptasi dengan lingkungan
dengan cukup baik.
Kemerataan di lokasi pengamatan diperoleh
nilai 0.9163. Nilai tersebut menujukkan tingkat kemerataan herpetofauna di
lokasi pengamatan cukup tinggi karena mendekati nilai satu. Santosa (1995)
menjelaskan bahwa konsep kemerataan menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan
individu antar spesies. Konsep ini dapat digunakan sebagai indikator adanya
gejala dominasi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Apabila setiap
jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai
nilai kemerataan maksimum. Berdasarkan hasil yang diperoleh tidak setiap jenis
memiliki jumlah individu yang sama, terdapat 3 jenis yang memiliki jumlah
individu yang sama yaitu 1 individu, 2 jenis individu yang memiliki jumlah
individu masing-masing 2 dan 1 jenis individu yang memiliki jumlah 4 individu.
Jumlah tersebut menunjukkan nilai kemerataan tidak maksimum dan terdapat jenis
yang mendominasi di lokasi pengamatan yaitu jenis Takydromus sexlineatus. Jenis
tersebut mencapai nilai dominansi 36,364 %, sedangkan jenis lain berturut-turut
dengan jumlah individu 2 jenis memiliki dominansi 18,182 % dan jenis dengan
jumlah 1 individu memiliki dominansi paling kecil yaitu 9.091 % .
Hasil yang diperoleh berdasarkan
penggunaan metode VES dan time
searchmenunjukkan data yang cukup baik karena dapat diperoleh hasil
pengolahan data yang cukup lengkap terkait indeks
kelimpahan, indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominansi jenisherpetofauna.
Penggunaan metode ini memberikan kesempatan terhadap setiap spesies untuk
diamati, dapat diketahui habitat yang disukai tiap spesies dengan kriteria
berat badan dan umur spesies (Tajalli 2001). Waktu selama dua jam juga
memungkinkan ditemukannya jenis herpetofauna yang cukup untuk mewakili lokasi
pengamatan dengan pengamatan yang juga dilakukan oleh jumlah pengamat yang
cukup banyak yaitu lima orang.
KESIMPULAN
Pengamatan herpetofauna dilakukan di
Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga Bogor selama dua jam dengan menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) yang dikombinasikan dengan
metode time search. Jumlah
herpetofauna yang didapat sebanyak enam jenis dengan rincian 4 jenis reptil dan
2 jenis amfibi. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui indeks keragaman
Shannon-Wiener (H’) sebesar 1.641735, yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut
memiliki tingkat keragaman jenis herpetofauna yang sedang. Selain indeks
keragaman
Shannon-Wiener, diketahui juga indeks
kemerataan Evennes (E) sebesar 0.92, yang menunjukkan bahwa persebaran jenis
herpetofauna yang didapat cukup merata.
DAFTAR PUSTAKA
Brower JE, Zar JH.
1997. Field and Laboratory
Methods for General Ecology. Lowa: Brown.
Campbell NA, Reece JB,
Mitchell LG. 2004. Biologi Edisi Kelima (Terjemahan). Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Heyer WR, Donnelly MA,
McDiarmid RW, hayer LC and Foster MS. 1994. Measuring
and monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Oress.
Washington.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi (Edisi Ketiga).
Yogyakarta (ID): University Gadjah
Mada Pr.
Santosa Y. 1995. Teknuik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar.
Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Tajalli A. 2001.
Keanekaragaman jenis reptil di kawasan lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur.
[Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Depatemen
Kehutanan. Iinstitut Pertanian Bogor.
Uetz P, Hallemann J.
The Reptil Database. http://www.reptile-database.org/. [Diakses 14 Desember 2014]
....................................
BUKU
PANDUAN LAPANGAN KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI SISWA SMP/MTs
Bayu Indra
Pradana, 4401406550 (2013) BUKU PANDUAN LAPANGAN KEANEKARAGAMAN JENIS
HERPETOFAUNA DI KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR
BIOLOGI SISWA SMP/MTs. Under
Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.
Abstract
Keanekaragaman herpetofauna merupakan
contoh implementasi dari materi keanekaragaman makhluk hidup yang dapat
dipelajari dan ditemukan di lingkungan sekitar siswa, terkait hal tersebut
perlu dikembangkan buku yang dapat menunjang siswa mempelajari materi tersebut.
Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman herpetofauna di kampus Unnes
dan kelayakan buku panduan herpetofauna Unnes yang dikembangkan sebagai sumber
belajar pada materi keanekaragaman makhluk hidup. Penelitian keanekaragaman
herpetofauna kampus Unnes menggunakan metode VES (Visual Encounter Survey) dan
pengembangan buku menggunakan metode Reseach and Development (R&D), Uji
coba dilaksanakan di kelas VII 1, 2 dan 8 SMP Teuku Umar Semarang Tahun ajaran
2011/2012. Hasil penelitian menunjukkan, ditemukan 22 jenis herpetofauna di
kampus Unnes. Penilaian pakar terhadap buku panduan herpetofauna mencapai
kelayakan sebesar 94% dan menunjukkan buku yang dikembangkan sangat layak
sesuai standar BSNP. Penilaian tersebut didukung dengan tanggapan positif dari
siswa dan guru sebesar 92% dan 100%. Hasil belajar dua kelas uji coba
menunjukkan 81% dan 79% siswa mencapai KKM yang ditetapkan, dengan rata-rata
nilai hasil belajar sebesar 77. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan
buku keanekaragaman herpetofauna kampus Unnes yang dikembangkan pada materi
keanekaragaman makhluk hidup memenuhi kriteria standar BSNP dan layak digunakan
sebagai sumber belajar siswa kelas VII.
Item Type:
|
Thesis (Under Graduates)
|
Uncontrolled Keywords:
|
Herpetofauna, Unnes,
keanekaragaman makhluk hidup
|
Subjects:
|
|
Fakultas:
|
|
Depositing User:
|
|
Date Deposited:
|
19 May 2014 06:50
|
Last Modified:
|
19 May 2014 06:50
|
.....................................
KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI
LESAN, KALIMANTAN TIMUR
Reptile Diversity in Lesan River
Protected Area, East Kalimantan.
Herpetofauna is an animal group most likely to be impacted by deforestation
because most species has limited range and microhabitat which are dependent on
the conditions of its environment. The Lesan River Protected Area is an ex
natural forest logging concession essential for life supporting systems and
controlling the impacts of homogeneous forest. Therefore there is need to
assess the diversity and richness of reptile species in Lesan River
ProtectedArea. Research was conducted in three sites within the Lesan River
Protected Area on 29 July – 28 August 2010. Reptile data was collected using
Visual Encounter Survey (VES) modified with timed search and line transect
methods. Habitat data was collected by measuring habitat parameters such as
temperature, humidity, water pH, substrate, rainfall, and weather, as well as several
physical parameters such as topography, forest canopy, light intensity, and
dominant vegetation. Reptile activity patterns and ecological distribution were
recorded by observing activities and position of each individual detected. This
data was then compared with habitat data and analyzed using Ward method using
SPSS software to observe groupings in habitat use. Data was analyzed with CCA
method using CANOCO software to identify the correlation between microhabitat
and species distribution. A total o 31 reptile species were recorded in the
study from 9 families consisting of 145 individuals. Two of the species are
listed as Vulnerable in the IUCN Redlist and Appendix II of CITES, the Malayan
Flat-shelled Turtle (Notochelys platynota) and Asiatic Softshell Turtle (Amyda
cartilaginea). The Lesan River transect has the highest diversity but lowest
evenness index, while the Anak Sungai Lejak transect has lowest diversity and
Lejak River transect has the highest evenness index. Differences between aquatic
and terestrial habitats are evident in the higher number of species detected in
aquatic habitat but a higher number of individuals were recorded in the
terestrial habitat. Microhabitat greatly influences reptile presence because it
is correlated with activity and ecological distribution and therefore species
with similar activity and movement patterns can been found on the same
microhabitat.
Kelompok hewan yang paling memungkinkan terkena dampak akibat
kerusakan hutan adalah herpetofauna karena sebagian besar memiliki ruang
lingkup pergerakan yang sempit dan mikrohabitat yang tergantung pada kondisi
lingkungannya. Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan areal eks IUPHHK-HA yang
penting bagi sistem penyangga kehidupan dan pengendali dampak yang ditimbulkan
dari hutan homogen. Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian mengenai
inventarisasi keanekaragaman reptil perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman serta menggali semua kekayaan jenis dan potensi reptil di
Kawasan Lindung Sungai Lesan. Penelitian dilakukan di tiga lokasi dalam Kawasan
Lindung Sungai Lesan pada tanggal 29 Juli - 28 Agustus 2010. Pengumpulan data
reptil dilakukan dengan metode Visual Ecounter Survey (VES) yang dimodifikasi
dengan time search dan line transect. Pengumpulan data habitat dilakukan dengan
cara mengukur beberapa parameter habitat seperti suhu, kelembaban, pH air,
substrat, curah hujan dan cuaca serta beberapa parameten fisik lain seperti
topografi, penutupan tajuk, intensitas cahaya dan vegetasi dominan. Data pola
aktivitas dan sebaran ekologis diperoleh dari pencatatan data reptil yang
berupa aktivitas dan posisi pada saat ditemukan. Data tersebut dikaitkan dengan
data habitat kemudian dianalisis dengan metode Ward menggunakan software SPSS
untuk melihat pengelompokan penggunaan ruang, serta menggunakan metode CCA
menggunakan software CANOCO for WINDOWS untuk melihat korelasi mikrohabitat
terhadap penyebaran jenis.
URI
Collections
Date
2011
Author
Tajalli,
Arief
Metadata
..........................
Keanekaragaman Jenis Mamalia,
Burung dan Herpetofauna di Tegakan Pinus Cangkurawok
Kampus IPB Dramaga
Diversity type of mammal,
bird and herpetofauna in Standing Pine Cangkurawok Campus IPB Dramaga
Rifqi Rahmat Hidayatullah
Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Email : rifqibanten_ipb@yahoo.com, No. Telp : 085811233221
Abstract
Species diversity is the most
fundamental of biological diversity (Ramadan EP, 2008), species diversity is
the number of species that occupy an ecosystem both on land and in the waters
of mutual mempengaruhi.Metode inventory used are: line transect (line method)
to type mammals. Observation of birds calculated using IPA (Index Point of
Abundance). As for the observations made with the kind of herpetofauna
menggunakanmetode Visual Encounter Surveys (VES). In general, the observation
is intended to be able to apply their knowledge and skills in the techniques of
inventory using the line transect (transect line), IPA method (Index Point of
Abundance), and the method of Visual Encounter Surveys (VES). Based on the
observation of inventory mammals, birds and herpetofauna in pine stands
Cangkurawok, Campus IPB Daramaga obtained the number density of mammals with
line transect method for 87 ind/m2. Based on the observation of inventory
mammals, birds and herpetofauna in pine stands Cangkurawo,. Bird species
diversity index was (H ‘= 1.36), evenness index (E = 0.47), an index of species
richness (Dmg = 2.64), species abundance index (K = 1114 ps / ha). To
herpetofana diversity index (H ‘= 1.48), evenness index (E = 0.76), an index of
species richness (Dmg = 1.59), an index of abundance of K = (1837) eng / index
ha.Untuk mammals diversity (H ‘= 0.38), evenness index (E = 0.55), an index of
species richness dmg = (0.27), P = population density (87 ind/m2), an index of
abundance of K = (1668 id / ha). bird diversity in Pinus stands Cangkurawok of
1.36, which means diversity in Pinus stands Cangkurawok is included in the
class was. that the diversity of mammals in pine stands Cangkurawok is 0.38,
which means diversity of mammals included in the lower class. herpetofauna
diversity in Pinus stands at 1.48 Cangkurawok this suggests that the diversity
of herpetofauna in stands of Pinus Cangkurawok classified as moderate.
Keywords : diversity, Standing
Pine Cangkurawok,mammal, bird and herpetofauna
Abstrak
Keanekaragaman jenis merupakan
hal yang paling mendasar dari keanekaragaman hayati ( Ramadhan E.P, 2008),
Keanekaragaman jenis adalah banyaknya spesies satwa yang menempati suatu
ekosistem baik di darat maupun di perairan yang saling
mempengaruhi.Metode inventarisasi digunakan adalah: line transect (metode
garis) untuk jenis mamalia. Pengamatan jenis burung dilakukan dengan
menggunakan metode IPA (Index Point of Abundance). Sedangkan untuk
pengamatan jenis herpetofauna dilakukan dengan menggunakanmetode Visual
Encounter Surveys (VES). Secara umum pengamatan ini bertujuan untuk
dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan tentang teknik-teknik
inventarisasi dengan menggunakan metode line transect (transek
garis), metode IPA (Index Point of Abundance), dan metode Visual
Encounter Surveys (VES). Berdasarkan pengamatan inventarisasi mamalia,
burung dan herpetofauna di tegakan Pinus Cangkurawok, Kampus IPB Daramaga
diperoleh jumlah kepadatan mamalia dengan metode line transectsebesar
87 ind/m2. Berdasarkan pengamatan
inventarisasi mamalia, burung dan herpetofauna di tegakan Pinus Cangkurawo,.
Indeks keragaman jenis burung adalah (H’=1,36), indeks kemerataan jenis
(E = 0,47), indeks kekayaan jenis (Dmg = 2,64), indeks kelimpahan jenis (K= 1114 id/ha).
Untuk herpetofana Indeks keragaman (H’=1,48), indeks kemerataan jenis (E =
0,76),indeks kekayaan jenis (Dmg =1,59), indeks kelimpahan jenis K= (1837) ind/ha.Untuk
mamalia Indeks keragaman (H’=0,38), indeks kemerataan jenis (E = 0,55), indeks
kekayaan jenis Dmg = (0,27), Kepadatan populasi
P=( 87 ind/m2 ), indeks kelimpahan jenis K=
(1668 id/ha). keanekaragaman burung di Tegakan Pinus Cangkurawok sebesar
1,36 yang berarti keanekaragaman di Tegakan Pinus Cangkurawok ini
termasuk dalam golongan sedang. bahwa keanekaragaman mamalia di Tegakan Pinus
Cangkurawok adalah 0,38 yang artinya keanekaragaman mamalia termasuk dalam
golongan rendah. keanekaragaman herpetofauna di Tegakan Pinus Cangkurawok
sebesar 1,48 hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman herpetofauna di
tegakan Pinus Cangkurawok tergolong sedang.
Kata Kunci : Keanekaragaman,
Tegakan Pinus Cangkurawok, mamalia, burung dan herpetofauna
Pendahuluan
Satwa merupakan
satu komponen penting dalam kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat dari manfaat
yang diberikan satwa secara langsung maupun tidak langsung. Kampus IPB memiliki
keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Di areal kampus IPB paling tidak terdapat
12 jenis mamalia, 86 jenis burung, 37 jenis reptilia dab 4 jenis ikan
(Hernowo et al 1991). Jenis satwa yang sering dijumpai
merupakan jenis burung. Keanekaragaman jenis merupakan hal yang paling mendasar
dari keanekaragaman hayati (Ramadhan E.P, 2008), Keanekaragaman jenis adalah
banyaknya spesies satwa yang menempati suatu ekosistem baik di darat maupun di
perairan yang saling mempengaruhi.
Pengamatan satwa
merupakan bagian dari kegiatan untuk inventarisasi satwa. Inventarisasi satwa
adalah kegiatan untuk mengetahui populasi jenis satwa dan habitatnya. Metode
yang dapat digunakan dalam kegiatan inventarisasi satwa, yaitu;metode garis
(line transek), metode jalur (strip transek), dan metode titik (IPA).
Metode line
transek merupakan suatu petak contoh dimana seorang pengamat berjalan sepanjang
garis transek dan mencatat setiap data yang diperlukan. Dalam menggunakan
metode ini, lebar atau luas dari lokasi pengamatan tidak langsung ditetapkan.
Seorang pengamat, dapat mencatat setaip jenis mamalia yang teramati walau
sejauh jarak apapun sesuai dengan kemampuan jarak pandang masing-masing
pengamat.Menurut Napitu (2007) penggunaan line transek terdapat
asumsi-asumsi yang harus diperhatikan, yaitu: satwa dan garis transek terletak
secara random, satwa tidak bergerak/berpindah sebelum terdeteksi, tidak ada
satwa yang terhitung dua kali (double counting), seekor satwa atau kelompok
satwa berbeda satu sama lainnya. Seekor satwa yangterbang tidak mempengaruhi
kegiatan satwa yang lainnya, respon tingkah laku satwa terhadap kedatangan
pengamat tidak berubah selama dilakukan sensus, serta habitat homogen, bila
tidak homogen dapat dipergunakan stratifikasi. Pada metode line
transect(transek garis) pengamatan dilakukan pada unit contoh yang tidak
ditentukan batas-batasnya. Desain pengamatan berbentuk garis transek lurus.
Pada metode ini jarak diukur tegak lurus antara posisi satwa dengan garis
transek. Metode ini dapat diterapkan pada marine mamals, mamalia
dan burung. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi adalah satwa yang
berada pada jalur atau dekat jalur harus bisa terdeteksi, posisi satwa yang
diukur adalah posisi ketika pertama kali terlihat oleh pengamat, jarak
dan sudut pandang satwa terhadap jalur diukur , serta perjumpaan dengan satwa
mewakili kejadian yang bebas satu dengan lainnya.
Metode IPA
(Indeks Point of Abundance) merupakan metode titik yang merupakan metode dimana
pengamat diam pada suatu titik dengan ukuran lingkaran yang telah diketahui dan
mencatat satwa apa saja yang masuk ke wilayah pengamatan. Metode Visual
Encounter Survey(VES), yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan
penglihatan langsung pada jalur yang telah ditentukan (Heyer et al.
1994).
Tujuan dari
pengamatan ini adalah agar dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan tentang
teknik-teknik inventarisasi dengan menggunakan metode line
transect (transek garis), visual encounter survey (VES),
dan Indeks Point of Abundance (IPA), menentukan ukuran
populasi satwa berdasarkan metode tersebut serta dengan mempraktekkan metode tersebut
diharapkan dapat mengetahui keefektifan penerapan metode-metode tersebut dalam
kegiatan inventarisasi satwaliar.
Metodologi
Pengambilan data
dengan menggunakan menggunakan metode line transect (transek
garis) untuk mamalia, visual encounter survey (VES) untuk
herpetofauna, dan Indeks pont of abundance (IPA) untuk burung
dilakukan di tegakan karet, Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Waktu pengamatan
dilakukan mulai pada tanggal 10-12 Oktober 2012, setiap pagi dan sore untuk
jenis mamalia dan burung sedangkan untuk herpetofauna dilakukan pada malam.
Bahan dan Alat
Alat-alat yang
digunakan pada pengamatan ini adalah alat tulis, penunjuk waktu, meteran,
kompas, binokuler, kamera, field guide buku panduan lapang
dan tally sheet. Dengan mengamati mamalia, burung dan
herpetofauna yang ada di tegakan karet, Cikabayan Kampus IPB Bogor.
Teknik
pengambilan data
Metode line
transect (Transek Garis)
Pada dasarnya
metode transek garis (line transect) hampir sama dengan meode
transek jalur, langkah yang dilkaukan pun juga sama dengan metode transek
jalur. Namun, perbedaan yang paling mendasar adalah: tidak
ditentukan jarak ke kanan dan ke kiri, jarak antara satwa liar dan pengamat
ditentukan, dan sudut kontak anatara satwa yang terdeteksi dengan jalur
pengamatan harus dicatatat.
Gambar
1. Desain metode Line Transect (Transek Garis)
Metode IPA (index
point of abundance)
Metode IPA (index
point of abundance) merupakan metode pengamatan burung dengan mengambil
sampel dari komunitas burung untuk dihitung dalam waktu dan lokasi tertentu.
Pengamatan dilakukan dengan berdiri pada titik tertentu pada habitat yang
diteliti kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam rentang waktu
tertentu. Pengamatan dilakukan melalui perjumpaan langsung (visual) dan tidak
langsung (suara). Parameter yang dicatat adalah jenis, jumlah yang ditemukan,
aktivitas, posisi burung pada tajuk pohon, struktur dan jenis vegetasi yang
digunakan burung. Perjumpaan terhadap jenis burung di luar titik pengamatan
tidak diperhitungkan.
Gambar
2. Metode IPA (index point of abundance)
Metode VES (Visual
Encounier Survey)
Pengamat mencari secara langsung dan mencatat jumlah individu, komposisi dan
kepadatan kelompok. Data jumlah individu didapat dengan menghitung individu
dari semua kelompok. Komposisi kelompok dibagi berdasarkan struktur umur yang
diidentifikasi dari ukuran tubuh dan perilakunya. Kelompok dibedakan
dengan mengidentifikasi jumlah, struktur umur, ciri fisik dan lokasi penemuan.
Pengambilan data kepadatan populasi dilakukan dengan VES lapang untuk menemukan
ukuran dan komposisi. Kelompok yang ditemukan sebisa mungkin diikuti sehingga
data yang didapat semakin akurat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
anggota kelompok yang sedang memisahkan diri.
Analisis data
1. Metode Line transect
Pendugaan
populasi pada metode transek garis dapat dilakukan dengan menggunakan metode
Poole ataupun Webb. Model untuk persamaan Poole (Poole Methods) adalah
∑ xi. (2∑ xi + 1)
D =
———————
2.
∑ Lj. dj
∑
ri . Sin θi
dj =
——————-
nj
P = D.A
Keterangan:
D = Kepadatan populasi (indiv/km2)
P = Populasi dugaan (individu)
A = luas wilayah pengamatan (km2)
xi = jumlah individu pada kontak
ke-i
Lj = panjang transek
jalur ke-j (m)
dj = rata-rata lebar
kiriatau kanan jalur ke j (m)
nj = jumlah kontak pada jalur ke-j
1. Metode IPA (index point of
abundance)
Analisis data
untuk kelimpahan individu :
n
(PA)j = Σ Xi
Πr2j
Dimana :
(PA)j = Kelimpahan populasi pada
titik
pengamatan ke-j (individu/km2)
xi
= Jumlah individu yang dijumpai pada
kontak ke-I selama periode tertentu.
1. Indeks keanekaragaman jenis
Jenis yang
ditemukan ditentukan Keanekaragaman Jenis dengan menggunakan persamaan
indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997) sebagai berikut
:
H’ = -Σ Pi
Ln Pi
Keterangan:
H’
= Indeks diversitas Shannon-Wiener
Pi
= Proporsi jenis ke-i
Nilai indeks ini
dibandingkan untuk masing-masing lokasi. Kategori tingkat keanekaragaman jenis
(Margalef 1972 dalam Magurran 1988):
Tabel 1.
Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
Nilai Indeks
Shanon-Wiener
|
Kategori
|
>3
|
Keanekaragaman
tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan
komunitas tinggi.
|
1 – 3
|
Keanekaragaman
sedang, penyebaran jumlah individu tiapspesies sedang dan kestabilan komunitas
sedang.
|
< 1
|
Keanekaragaman
rendah, penyebaran jumlah individu tiapspesies rendah dan kestabilan
komunitas rendah.
|
1. Indeks Kekayaan jenis
Dmg = S-1
In N
Keterangan :
Dmg
= Indek kekayaan jenis
S
= Jumlah Jenis
N
= Jumlah Total Individu
1. Indeks kemerataan jenis
Untuk kemerataan
jenis digunakan untuk mengetahui dominansi diantara setiap jenis dalam suatu
lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes (Brower
& Zar 1997) adalah :
E = H’ / Ln
S
Keterangan :
E
= Indeks kemerataan jenis
H’
= Indeks Shannon-Wiener
S
= Jumlah jenis
Kategori tingkat
kemerataan (Santosa 1995):
E ≈ 1
: merata
E ≈ 0
: tidak merata
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil
pengamatan inventarisasi keanekaragaman mamalia, burung dan herpetofauna
yang dilaksanakan di Tegakan Karet Cikabayan, didapatkan jumlah kepadatan dan
populasi dari ketiga metode yang digunakan.
Tabel 2.
Rekapitulasi kepadatan dan populasi Satwa liar yang ditemukan di tegakan Pinus
Cangkurawok
Spesies
|
Mamalia
|
Burung
|
Herpetofauna
|
Jumlah jenis
|
2
|
18
|
8
|
Jumlah individu
|
40
|
626
|
52
|
Kepadatan
|
87
ind/m2
|
|
|
Tabel 3.
Rekapitulasi keanekaragamn jenis dan kemerataan jenis yang ditemukan di tegakan
Pinus Cangkurawok
Spesies
|
Mamalia
|
Burung
|
Herpetofauna
|
Keanekaragaman
jenis (H’)
|
0,38
|
1,36
|
1,48
|
Kekayaan jenis
(Dmg)
|
0,27
|
2,64
|
1,59
|
Kemerataan
Jenis (E’)
|
0,55
|
0,47
|
0,76
|
Secara rinci informasi tentang kondisi populasi yang penting diperoleh melalui
kegiatan inventarisasi diantaranya dalam rangka perumusan kebijaksanaan antara
lain berupa (1) keadaan habitat dan data populasi termasuk status biologisnya
(2) Peta penyebaran jenis beserta habitatnya dengan skala yang cukup
rinci.Parameter populasi merupakan besaran/ukuran yang dapat dijadikan
bahan untuk ditindak lanjuti pada aktivitas management terhadap populasi.
Dimana jumlah merupakan variabel yang menggambarkan banyaknya individu dalam
populasi. Sedangkan kelimpahan (abundance) merupakan variabel yang
menggambarkan ukuran/banyaknya populasi secara relatif. Berdasarkan hasil
populasi maka dapat ditentukan kepadatan suatu spesies, dimana kepadatan
(density) merupakan besaran populasi yang berkaitan dengan jumlah setiap unit
luas atau ruang.
Herpetofauna
Menurut Alikodra
(2002) habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik
yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Herpetofauna sangat menyukai
tempat-tempat yang kondisi kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan
air. Habitat amfibi relatif bervariasi seperti habitat sawah, rawa dan kolam
(Fitri 2002) disesuaikan dengan morfologi masing-masing jenis. Menurut Iskandar
(1998) amfibi dapat dikelompokan berdasarkan pemisahan habitat, yakni jenis
yang berkaitan dengan kehidupan manusia, di atas pepohonan, habitat terganggu,
sepanjang sungai, dan air yang mengalir, hutan primer, dan hutan sekunder.
Tidak jauh
berbeda dengan amfibi, reptil juga menyukai habitat lembab dengan tajuk pohon
yang rapat. Penyebaran reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang
mencapai daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000 dalam Endarwin
2006).
Inventarisasi
herpetofauna dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan selama tiga hari
pada malam hari dengan menggunakan metode VES (Visual Encounier Survey)di
tegakan Pinus Cangkurawok diperoleh 8 jenis. Dengan jumlah populasi 52
individu.
Amfibi
lebih sering ditemukan dibandingkan reptil karena amfibi memiliki efektifitas
reproduksi yang tinggi dan memiliki kebutuhan akan makanan dan habitat yang
lebih mudah ditemui. Reptil sebagian besar merupakan satwa karnivora sehingga
jumlahnya lebih sedikit. Reptil sering memangsa amfibi sehingga jumlahnya
tergantung pada amfibi yang ditemukan.
Berdasarkan data
tersebut didapat keanekaragaman herpetofauna di Tegakan Pinus Cangkurawok
sebesar 1,48 hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman herpetofauna di
tegakan Pinus Cangkurawok tergolong sedang. Kekayaan jenisnya sebesar
1,59. Sedangkan kemerataan jenis yang didapat sebesaar 0,76 yang artinya
kemerataan jenis herpetofauna di tegakan karet tergolong merata karena memiliki
nilai indeks kemerataan jenis lebih dari satu.
Adapun beberapa
kelamahan dan kelebihan dari metode line transek, metode IPA
maupun metode VES dalam pengunaan inventarisasi satwaliar. Metode Visual
enconter survey yang merupakan modifikasi dari metode jelajah bebas
dan belt transek kelebihan dari metode ini adalah sangat
cocok untuk digunakan mendata jenis dan mikrohabitat amfibi, metode ini juga
memiliki kelemahan yaitu data yang didapatkan tidak dapat mencerminkan keadaan
populasi seperti kepadatan (Heyeret al. 1994).
Mamalia
Inventarisasi Mamalia dilakukan sebanyak tiga kali
dengan pengulangan setiap pagi maupun sore pada tegakan karet cikabayan
diperoleh dua jenis mamalia. Dengan jumlah kepadatan sebesar 87 ind/m2. Pengamatan yang telah dilakukan pada mamalia dengan
metode line transect di dapat bahwa ada jenis mamalia
dengan jumlah 40 individu yang berada di Tegakan Pinus Cangkurawok. Jenis
dan jumlah tersebut memberikan informasi bahwa keanekaragaman mamalia di
Tegakan Pinus Cangkurawok adalah 0,38 yang artinya keanekaragaman mamalia
termasuk dalam golongan rendah. Kekayaan jenis mamalia 2,64. Sedangkan
kemerataannya sebesar 0,55 hal ini menunjukkan bahwa mamalia pada tegakan Pinus
Cangkurawok tidak menyebar secara merata dikarenakan indeks kemerataan jenisnya
kurang dari 1.
Burung
Inventarisasi
burung dilakukan sebanyak tiga kali dengan pengulangan setiap pagi maupun
sore pada tegakan Pinus Cangkurawok diperoleh 18 jenis burung.
Pada pengamatan
burung dengan menggunakan metode IPA (Index Point of Abundance)
terdapat 18 jenis burung dengan jumlah 626 individu. Berdasarkan data
tersebut didapat keanekaragaman burung di Tegakan Pinus Cangkurawok
sebesar 1,36 yang berarti keanekaragaman di Tegakan Pinus Cangkurawok ini
termasuk dalam golongan sedang. Kekayaan jenisnya sebesar 2,11. Sedangkan
kemerataan jenis yang didapat adalah sebesar 0,47, hal ini menunjukkan bahwa
kemerataan burung tidak merata karena memiliki nilai indeks kemerataan jenis
kurang dari satu.
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan inventarisasi mamalia, burung
dan herpetofauna di tegakan Pinus Cangkurawo,. Indeks keragaman jenis burung
adalah (H’=1,36), indeks kemerataan jenis (E = 0,47), indeks kekayaan
jenis (Dmg = 2,64), indeks kelimpahan
jenis (K= 1114 id/ha). Untuk herpetofana Indeks keragaman (H’=1,48), indeks
kemerataan jenis (E = 0,76),indeks kekayaan jenis (Dmg =1,59), indeks kelimpahan jenis
K= (1837) ind/ha.Untuk mamalia Indeks keragaman (H’=0,38), indeks kemerataan
jenis (E = 0,55), indeks kekayaan jenis Dmg = (0,27), Kepadatan populasi P=( 87 ind/m2 ), indeks kelimpahan jenis K=
(1668 id/ha). keanekaragaman burung di Tegakan Pinus Cangkurawok sebesar
1,36 yang berarti keanekaragaman di Tegakan Pinus Cangkurawok ini
termasuk dalam golongan sedang. bahwa keanekaragaman mamalia di Tegakan Pinus
Cangkurawok adalah 0,38 yang artinya keanekaragaman mamalia termasuk dalam
golongan rendah. keanekaragaman herpetofauna di Tegakan Pinus Cangkurawok
sebesar 1,48 hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman herpetofauna di
tegakan Pinus Cangkurawok tergolong sedang.
Daftar Pustaka
Alikodra HS.
2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB.
Brower JE dan Zar
JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuge,
Iowa: Wn.C. Brown Company Publisher.
Endarwin W. 2006.
Keanekaragaman Jenis Reptil dan BiologiCyrtodactylus fumosus Di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, Bengkulu. [Skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Fitri A. 2002.
Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. [Skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan,IPB.
Herwono, J.B.
1999. Kajian Pelestarian SatwaLiar di Kampus IPB Darmaga. Media
Konservasi. 3(2) : 43 – 65.
Heyer WR,
Donnelly MA, McDiarmid RW, dan Hayek LC. 1994.Measuring and Monitoring Biological
Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington: Smithsonian
Institution Press.
Iskandar DT.
1998. Amfibi Jawa dan Bali-Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang
LIPI.
Magurran AE.
1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey:
Priceton University Press.
Napitu JP,
Rahayungtyas, Ekasari I, Basuki T, Basori AF, Amri U dan Kurnia D. 2007. Konservasi
Satwa Langka. Yogyakarta Universitas Yogyakata.
Ramadhan E.P.
2008. Study Keanekaragaman Mamalia Pada Beberapa Tipe Habitat di Stasiun
Penelitian Pondok Ambung di Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah.
Fakultas Kehutanan IPB.
Santosa Y.
1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
....................................
Penelitian: Indonesia Surga
Perdagangan Amfibi dan Reptil Ilegal
Penelitian:
Indonesia Surga Perdagangan Amfibi dan Reptil Ilegal
Tingginya
permintaan akan hewan peliharaan yang eksotis menyebabkan penangkapan dan
perdagangan reptil dan amfibi di Papua terus berlangsung. Hal ini
terungkap dalam sebuah studi yang dilansir baru-baru ini jurnal Biodiversity and Conservation.
Antara bulan September 2010 dan April
2011, Daniel Natusch dan Jessica Lyons dari Universitas New South Wales
Australia telah melakukan survey terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi
Maluku, Papua Barat dan Papua.
Para
penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak diperdagangkan,
diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis),
ular piton boelen (Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus
kingii), Kura-kura Papua/snapping turtle (Elseya
brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides),
katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari
biawak (Varanus sp.)
Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370
individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya
sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan
perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal. Sekitar setengah dari jumlah
spesies yang ditemukan ini tercatat dalam CITES atau Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna.
CITES, dimana Indonesia menjadi
anggotanya di tahun 1979, mengatur perdagangan satwa liar di Indonesia. Dibawah
peraturan CITES ini, beberapa spesies tertentu diatur penangkarannya; serta
jumlah yang bisa diambil dari alam. Satwa yang masuk dalam daftar “dilindungi’
serta tidak memiliki keterangan kuota penangkaran, dilarang untuk diambil dari
alam atau diperdagangkan.
Di Indonesia, Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bertanggung jawab untuk memonitor
dan menegakkan aturan yang ada di dalam CITES ini. Dalam penelitian ini, kedua
ahli melihat adanya kelemahan dalam penegakan hukum aturan CITES ini di
Indonesia.
“Perdagangan ilegal yerjadi akibat tidak
adanya pemahaman yang benar tentang spesies yang diperdagangkan dan ditambah
dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ungkap para penulis dalam
laporan ini.
Dalam laporan tahun 2011 yang juga
dibuat oleh Lyons dan Natusch, yang memfokuskan pada perdagangan ular piton
hijau, juga menemukan hal yang serupa. Laporan ini dimasukkan oleh pemerintah
Indonesia dalam CITES Asian Snake Trade Workshopdi tahun 2011, yang mengklaim
tidak ada perdagangan ular secara ilegal di Indonesia.
Antara bulan April 2009 dan September
2011, para peneliti melakukan survey kepada para pedagang yang mendistribusikan
ular piton hijau ke pasar. Perdagangan ular piton hijau ini sah jika individu
yang diperdagangkan ini dibesarkan dari hasil penangkaran dan bukan
menangkapnya di alam liar. Namun para pedagang memanfaatkan celah dari sistem
yang tidak bekerja dengan sempurna. Kolektor lokal menangkap ular ini dari alam
liar, dan menjualnya ke tempat penangkaran, dan membuatnya lulus uji sebagai
ular yang dibesarkan di penangkaran.
“Dari hasil temuan kami diperkirakan
sekitar 5.337 ular piton hijau dikoleksi setiap tahun, sekitar 80% ular ekspor
dari Indonesia diperkirakan adalah hasil penangkapan di alam liar,” demikian
papar para ahli dalam laporan yang dibuat setahun sebelumnya.
Para ahli menyarankan berbagai metode
untuk menekan penjualan ular secara ilegal ini, salah satunya adalah dengan
menjualnya dengan cangkang telur mereka, sehingga bisa dilakukan verifikasi.
Namun demikian, metode ini belum diimplementasikan.
Para ahli juga menyarankan pentingnya meningkatkan
pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan pengetahuan tentang berbagai
jenis satwa yang bisa diperdagangkan dan tidak, serta mendidik konsumen tentang
dampak tingginya permintaan spesies-spesies ini untuk dijadikan peliharaan.
CITATION: Lyons, J.A., Natusch, D.J.D.
Wildlife laundering through breeding farms: Illegal harvest, population
declines and a means of regulating the trade of green pythons (Morelia viridis)
from Indonesia. Biological Conservation. (2011), doi:10.1016/j.biocon.2011.10.002
Natusch, D. J. D., and Lyons, J.A.
Exploited for pets: the harvest and trade of amphibians and reptiles from
Indonesian New Guinea. Biodiversity and Conservation. (2012)
.........................
Buku Panduan Lapangan Keanekaragaman Jenis
Herpetofauna Di Kampus Universitas Negeri Semarang Sebagai Sumber Belajar
Biologi Siswa Smp/Mts
ABSTRACT: Keanekaragaman
herpetofauna merupakan contoh implementasi dari materi keanekaragaman makhluk
hidup yang dapat dipelajari dan ditemukan di lingkungan sekitar siswa, terkait
hal tersebut perlu dikembangkan buku yang dapat menunjang siswa mempelajari
materi tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman
herpetofauna di kampus Unnes dan kelayakan buku panduan herpetofauna Unnes yang
dikembangkan sebagai sumber belajar pada materi keanekaragaman makhluk hidup.
Penelitian keanekaragaman herpetofauna kampus Unnes menggunakan metode VES
(Visual Encounter Survey) dan pengembangan buku menggunakan metode Reseach and
Development (R&D), Uji coba dilaksanakan di kelas VII 1, 2 dan 8 SMP Teuku Umar
Semarang Tahun ajaran 2011/2012. Hasil penelitian menunjukkan, ditemukan 22
jenis herpetofauna di kampus Unnes. Penilaian pakar terhadap buku panduan
herpetofauna mencapai kelayakan sebesar 94% dan menunjukkan buku yang
dikembangkan sangat layak sesuai standar BSNP. Penilaian tersebut didukung
dengan tanggapan positif dari siswa dan guru sebesar 92% dan 100%. Hasil
belajar dua kelas uji coba menunjukkan 81% dan 79% siswa mencapai KKM yang
ditetapkan, dengan rata-rata nilai hasil belajar sebesar 77. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat disimpulkan buku keanekaragaman herpetofauna kampus Unnes
yang dikembangkan pada materi keanekaragaman makhluk hidup memenuhi kriteria
standar BSNP dan layak digunakan sebagai sumber belajar siswa kelas VII.
KEYWORDS: Herpetofauna, Unnes, Keanekaragaman Makhluk
Hidup
ABSTRACT: Ali M. 1994.
Prosedur Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Anonim. 2009. Profil
Universitas Negeri Semarang.Semarang http://www.unnes.ac.id/v6_alpha/. [diakses
30 juli 2010] Aritonang TK. 2008. Minat dan motivasi dalam meningkatkan hasil
belajar siswa. Jurnal pendidikan penabur No. 10 tahun 2008:11-21 Arsyad A.
2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers Banowati E. 2007. Buku Teks
Dalam Pembelajaran Geografi Di Kota Semarang. Jurnal geografi Vol 4. No 2 tahun
2007:147-158 Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi Di Berbagai Tipe Habitat:
Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi
(skripsi). Fakultas kehutanan institut pertanian bogor.online at http://202.153.132.136/hadiruntukmu/fahutanipb/BOBY%20DARMA
WAN_E34103018.pdf.[diakses 28 desember 2010 ] Deris. 2006. Beberapa spesies
cicak dan tokek (famili Gekkonidae) di wilayah Pandeglang dan Bandung
(skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor Djamarah BS & Zain A. 2002.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Endarwin W. 2006.
Keanekaragaman jenis reptil dan biologi Cyrtodactylus cf fumosus di taman
nasional bukit barisan lampungbengkulu (skripsi). Bogor: Institut Pertanian
Bogor Fachrul FM. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara Fitri
A, Mirza DK, & Agus P. 2003. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di
Kebun Raya Bogor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor 8 Mei 2003. Hlm
13-24. Goin CJ & OB Goin. 1962. Introduction to Herpetology. W.H. Freeman
and Company. San Francisco. Ibrahim & Syaodih. 2003. Perencanaan dan
Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan
Bali – Seri Panduan Lapangan. Puslitbang LIPI, Bogor. Iskandar DT & E
Colijin. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean
Herpetofauna. I. Amphibian Treubia 31(3): 1-133. IUCN, Conservation
International, and Nature Serve. 2012. Red List Category. online at : http://
www.iucnredlist.org. [diakses 30 juli 2012] Hendarto & Suka. 2005.
Appendiks CITES di Indonesia Bagaimana agar lebih efektif?. Buletin Konservasi
alam Vol. 5-No.1 Maret 2005. Kurniati H. 2006. The amphibians species in Gunung
Halimun National Park, West Java. Zoo Indonesia Vol. 15 (2) tahun 2006: 107-120
Kusmiyati. 2007. Meningkatkan minat belajar IPA biologi siswa sekolah menengah
pertama. Jurnal Pijar MIPA Vol. 2, No. 2 September 2007: 63-68 Kusrini MD.
2007. Konservasi Amfibi Di Indonesia: Masalah Global Dan Tantangan
(Conservation of Amphibian in Indonesia: Global Problems and Challenges). Media
Konservasi Vol. XII, No. 2 Agustus 2007 : 89-95 Kusrini MD, U Adininggar,
Ul-Hasanah & W Endarwin. 2008. Pengenalan Herpetofauna. Disampaikan pada
Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional, Jum’at 24 Oktober 2008. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
online at: http://alasyjaaripb.files.wordpress.com/2008/11/pengenalan herpetofauna2008.doc.
[diakses 30 juli 2010] Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its
Measurement. New Jersey : Princeton University Press. Majid A. 2005.
Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Resda Karya. Marijan. 2012.
Pemanfaatan Lingkungan Sekitar Sekolah Sebagai Sumber Belajar Keanekaragaman
Tumbuhan Bagi Peserta Didik Kelas Vii Semester 2 Smp Negeri 5 Wates Kulon
Progo. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerpan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012. Hlm B1-B11 Masitoh
D. 2009. Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Mengidentifikasi Hewan Vertebrata
Melalui Kartu bergambar dan Kunci Determinasi Di SMA N 15 Semarang (skripsi).
Semarang: Unversitas Negeri Semarang Mistar. 2003. Panduan lapangan amfibi
Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.
Indonesia. ____ . 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Area Mawas
Propinsi Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). The Gibbon
Foundation & PILI-NGO Movement. Indoneia. Mudzakir AS. 2009. Penulisan Buku
Teks yang Berkualitas. Jurnal bahasa dan sastra. Vol 9 No. 1 April 2009 Mulyani
S, A Marianti, NE Kartijono, T Widianti, S Saptono, KK Pukan & SH Bintari.
2008. Jelajah Alam Sekitar (JAS) Pendekatan Pembelajaran Biologi. Semarang : Jurusan
Biologi FMIPA UNNES. Mumpuni. 2011. Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau
Ternate dan Moti, Maluku Utara. Ekologi Ternate tahun 2011:105-120 Nafisah D.
2011. Identifikasi kesulitan belajar Ipa biologi siswa kelas IX smp negeri 5
ungaran (skripsi). Semarang : Jurusan Biologi FMIPA UNNES Norval G, Simon D,
Shao-chang H, Jean-jay M, Hsien-pin C & SR Goldberg. 2011. Does the tokay
gecko (Gecko gecko Linneus, 1758) occur in the wild in taiwan?. Herpetology
notes Volume 4: 203-205 Odum PE. 1971. Dasar-dasar ekologi. terjemahan Tjahjono
samingan,1998. Edisi Ketiga.yogyakarta: Gadjah Mada University Press Phade AD
& HT Ghate. 2002. An overvieuw of amphibian fauna of maharashtra state.
Zoos print journal 17(3): 735-740 Qurniawan FT. 2010. Herpetofauna Sahabatku.
online at http://www.scribd.com/doc/26138194/Tony-Febri-Qurniawan [diakses 30
Juli 2010] Rahayuningsih M & M Abdullah. 2012. Persebaran dan
keanekaragaman herpetofauna dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati di
kampus Sekaran Universitas Negeri Semarang. Indonesian Journal of Conservation
Vol. 1 No. 1 - Juni 2012: 1-10 Raven P. 1992. Sifat dan nilai keanekaragaman
hayati. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Jakarta: PT. Gramedia. Santosa
K. 2004. Pengantar Ilmu Lingkungan. Semarang: UNNES Press. Sardiman. 2005.
Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta : Rineka
Cipta Suardana IN. 2007. Kesulitan siswa SMA memahami daur biogeokimia. Jurnal
Ilmiah Guru Kanderang Tingang Vol 01 No 01- Desember 2007: 46-51 Sudijono A.
2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Sudjana & Rivai. 1991. Media pengajaran. Bandung: CV. Sinar Baru Bandung.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi
Hewan. Jakarta: PGSM Dirjen Dikti Depdiknas. Sutrisno. 2010. Efektifitas
Penggunaan Media Asli Dibantu Dengan Kartu Bergambar Sebagai Sumber Belajar
Biologi Materi Klasifikasi Makhluk Hidup Di SMP N 41 Semarang (skripsi).
Semarang: Universitas Negeri Semarang Wanger TC, Iris M, Shahabuddin S &
Djoko TI. 2011. The amphibians and reptiles of the lore lindu national park
area, central sulawesi, indonesia. SALAMANDRA 47(1) tahun 2011:17-29
Winataputra & Udin S. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas
Terbuka.
........................
FAKTOR LINGKUNGAN FISIK YANG MEMPENGARUHI
JUMLAH JENIS BURUNG DI PETAK 14 HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I
Ida Ayu Ari Janiawati
(09/285018/KT/06517)
Laboratorium Satwa Liar,Bagian Konservasi Sumber Daya
Hutan,UGM
INTISARI
Burung merupakan salah satu satwa yang dapat dijadikan
bioindikator kualitas lingkungan. Burung bisa menjadi indikator kesehatan yang
baik. Karena burung bisa tinggal di banyak habitat, mulai dari hutan belantara
sampai perkotaan. Burung juga bisa tinggal di berbagai tipe habitat, seperti
danau dan sawah. Keanekaragaman jenis burung yang ada dalam suatu kawasan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Vegetasi dan lingkungan fisik ) di mana
dia tinggal. Jenis burung yang ada di suatu kawasan ditentukan oleh
kemampuan habitat tersebut untuk mendukung kehidupannya. Wanagama I
memiliki berbagai petak dengan kondisi lingkungan fisik yang berbeda – beda.
Petak 14 merupakan petak yang banyak terdapat tanaman pertanian dan
agroforestry sehingga kondisi vegetasinya berbeda dengan petak lain sehingga
kondisi lingkungan fisiknyapun akan berbeda dengan petak lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah jenis burung di petak 14 Hutan
Pendidikan Wanagama 1 dan mengetahui faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi
jumlah jenis burung di petak 14 Hutan Pendidikan Wanagama I. Sehingga melalui
penelitian ini dapat ditentukan pengelolaan yang tepat terhadap petak 14 agar
jumlah jenis burung pada petak ini tidak mengalami penurunan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
dalam 2 metode yaitu metode point count untuk menghitung
jumlah kehadiran individu burung dan metode protocol sampling digunakan
untuk mengetahui kondisi fisik lingkungan. Masing-masing metode dibuat sebanyak
15 plot ukur. Data yang diperoleh dari kedua metode tersebut
dianalisis berupa pengujian faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi jumlah
jenis burung regeresi berganda dengan bantuan software R statistik
model generalized linear models.
Hasil yang didapat menunjukan bahwa jumlah jenis
burung di petak 14 Hutan Wanagama I sebanyak 15 jenis dengan 470 individu
dan 10 family yang 5 family diantaranya merupakan pemakan serangga. Jenis
terbanyak yang ditemukan adalah jenis Walet Linchi (Collocolia linchi).
Dan berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh hasil bahwa ketebalan
seresha merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah
jenis burung di petak 14 Wanagama I.
Kata kunci:
Burung ,Faktor fisik lingkungan, Jumlah jenis,Wanagama I, generalized
linear models
PENGARUH TUTUPAN VEGETASI,KELEMBABAN DAN JARAK DARI
SUMBER AIR TERHADAP JUMLAH INDIVIDU HERPETOFAUNA DI PETAK 14 HUTAN WANAGAMA I
Ida Ayu Ari Janiawati
(09/285018/KT/06517)
Laboratorium Satwa Liar,Bagian Konservasi Sumber Daya
Hutan,UGM
INTISARI
Herpetofauna merupakan fauna yang meliputi kelas
Amphibia dan Reptilia. Herpetofauna pada masa kini mendapat
tantangan yang begitu berat melawan kepunahan. Reptile dan amfibi adalah satwa yang
relative sensitiveterhadap pengaruh manusia. Jenis hewan ini
merupakan hewan berdarah dingin, artinya tidak
memiliki suhu badan sendiri yang tetap melainkan tergantung dari lingkungan
dan suhu lingkungan bergantung pada beberapa faktor, salah satu diantaranya
berupa penutupan vegetasi. Petak 14 Hutan Wangama I memiliki kondisi yang berbeda
dibandingkan petak yang lain ,karena terdapat aktivitas agroforestry dan
kegiatan pertanian yang sudah tentunya berbeda dari petak lain yang tidak
terdapat kegiatan serupa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
jumlah individu herpetofauna dan pengaruh tutupan vegetasi,kelembaban dan jarak
dari sumber air terhadapa jumlah individu herpetofauna di petak 14 Hutan
Pendidikan Wanagama I.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuadrati
sampling untuk data satwa dan protocol samplinguntuk
mengambil data penutupan vegetasi. Metode analisis yang digunakan adalah metode
analisis Generalized Linnear Models dengan software R
statistic dan dengan menggunakan variable tutupan vegetasi, kelembaban,dan
jarak dari sumber air.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah jumlah
individu herpetofauna yang ditemukan di petak 14 sebanyak 4535
individu dan adanya pengaruh yang signifikan anatara penutupan
tumbuhan bawah, kelembaban dan jarak dari sumber air dengan jumlah individu
herpetofauna di petak 14 Hutan Pendidikan Wanagama I
Kata kunci :
Herpetofauna,Penutupan vegetasi,Kelembaban,JDSA, Generalized Linnear
Models
PRODUKTIVITAS PAKAN RUSA JAWA (Cervus
timorensis) DI PETAK 14 HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I
Ida Ayu Ari Janiawati
(09/285018/KT/06517)
Laboratorium Satwa Liar,Bagian Konservasi Sumber Daya
Hutan,UGM
INTISARI
Rusa jawa (Cervus timorensis) tersebar alami hampir di
seluruh kepulauan Indonesia kecuali di pulau Sumatera, Kalimantan,dan Irian
Jaya. Habitat rusa jawa umumnya terdapat dihutan daratan terbuka, padang
rumput, hutan, dan semak yang rapat. Hutan dan semak yang rapat dijadikan
sebagai tempat berlindung sedangkan padang rumput digunakan sebagai sumber
pakannya. Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata. Energi yang
didapat dari makanan berfungsi sebagai bahan bakar bagi proses-proses
metabolisme yang terjadi pada tubuh satwa. Wanagama I merupakan salah satu
bentuk reboisasi yang berhasil,keberhasilan tersebut menjadi motivasi
untuk diadakannya restorasi rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama pada tahun
1999. Kegiatan restorasi diawali dengan diadakannya penangkaran rusa di daerah
Bunder, Gading, Gunung Kidul. Wanagama I memiliki 8 petak dengan tipe
habitat yang berbeda - beda. Terbetuk dilahan berdekatan dengan masyarakat
membuat beberapa petak di Wanagama dijadikan ladang tumpang sari dalam wujud
agroforestry.
Petak 14
merupakan salah satu petak yang dijadikan lahan agroforestry. Rusa Jawa
membutuhkan rumput dan tumbuhan bawah sebagai pakan dan pakan tersebut ada di
petak 14. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
produktivitas pakan Rusa Jawa di petak 14 Hutan Pendidikan Wanagama
I sebagai tindak lanjut dari kegiatan restorasi yang dilakukan di Hutan
Pendidikan Wanagama. Dengan penelitian ini diharapkan kegiatan restorasi lebih
optimal dan dikembangkan ke petak 14 apabila ketersedian pakan di petak 14
mencukupi kebutuhan pakan rusa jawa.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pellet
count untuk estimasi populasi dan pembuatan PUP untuk melihat
produktivitas pakan yang berbentuk persegi dengan ukuran 1 x 1 m untuk jenis
rumput dan 2 x 2 m untuk jenis tumbuhan bawah. PUP yang dibuat sebanyak 5 PUP.
Metode analisis untuk mengetahui kecocokan pakan digunakan Faecal
analysis.
Hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu Estimasi populasi Rusa Jawa di
Wanagama sebanyak 19 individu dengan tumbuhan yang menjadi pakan Rusa Jawa di
Wanagama diantaranya rumput jarum, rumput laronan, kolonjono,singkong,dan
rumput setaria. Produktivitas pakan tertinggi di Petak 14 adalah Rumput Jarum
dengan produktivitas 24,9710 ton/tahun.
Kata Kunci :
Rusa Jawa, Restorasi,populasi Produktivitas pakan,Faecal Analysis,Pellet
count
............................