Jumat, 07 Oktober 2016

CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 2 )


CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 2 )


.........................................................

HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil result :
Herpetofauna,herpetology,biodiversity ,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana


Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe ardella raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan herpetofauna dari sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan bermanfaat


Just trying to summarize everything connected with herpetofauna from existing sources in the google search engine, may be helpful and useful
.................................................................

.................................................................


HURSDAY, MARCH 10, 2011

Fotografi Herpetofauna


Secara umum fotografi pada herpetofauna sama dengan fotografi pada umumnya, tetapi memiliki beberapa trik khusus agar foto herpetofauna yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Saya hanya akan menyampaikan beberapa saran yang saya dapt dari materi kuliah fotografi herpetofauna dan hasil sharing dengan orang-orang yang lebih berpengalaman serta sedikit pengalaman di lapang.
Herpetofauna adalah sebutan untuk amfibi dan reptil. Keduanya merupakn satwa yang memiliki ukuran tubuh relatif kecil, walaupun banyak juga yang memiliki ukuran tubuh besar. Sebagian besar herpetofauna merupakan satwa yang nikturnal atau aktif pada malam hari. Berdasarkan keadaan diatas maka, dalam fotografi herpet sangat diperlukan teknik atau mode makro yang menempatkan objek hampir sepenuh frame. Saat ini hampir semua jenis kamera digital baik camera pocket, prosummer, maupun SLR sudah memiliki mode makro dalam mode setting kamera. Sehingga sudah dapat memudahkan pengambilan gambar, hanya tinggal bagaimana kita menentukan komposisi fotonya. Teknik makro juga dapat digunakan dengan mode full auto, tetapi sebaiknya tidak menggunakan manual karena akan menyulitkan, sedangkan herpetofauna aktif di malam hari dan melakukan pergerakan juga. Fokus yang baik dalam pengambilan objek herpetofauna yaitu gambar yang dihasilkan fokus dari moncong/mulut sampai mata. Untuk teknik pengambilan gambar pada camera pocket atau SLR dengan lensa standar biasanya bisa dengan cara mendekatkan kamera pada objek daan menggunakan optical zoom maksimal pada kamera. Jangan pernah menggunakan digital zoom (untuk camera pocket atau prosummer) karena gambar yang dihasilkan akan tidak maksimal.
Selain itu sebagian besar gambar herpet daiambil pada malam hari yang berarti minim cahaya, maka diperlukan cahaya tambahan dan ISO yang tinggi. ISO yang digunakan biasanya diatas 800, bisa 1600 atau 3200 tapi kadang terjadi efek samping berupa timbulnya noise pada gambar yang dihasilkan. Flash sangat diperlukan dalam pengambilan gambar herpet. Cahaya tambahan dari senter atau headlamp juga diperlukan. Salah satu cara untuk mengatasi kurangnya cahaya dengan mengarahkan senter kepada objek (herpet). 
Dalam fotografi herpetofauna biasanya satwa ditangkap terlebih dahulu kemudian dibuat semacam ‘stidio alam’ dan dilekukan penyetingan dengan satwa sebagi ‘modelnya’. Studio yang dibuat tetap harus menyerupai habitat asli satwa yang ditemukan. Tetapi tetap perlu dilakukan “safety shooting” yaitu pengambilan gambar saat satwa pertama kali ditemukan di habitat aslinya.
Sebenarnya masih banyak cara yang dapat digunakan dalam fotografi herpetofauna. tpi yang namanya fotografi berarti jadi diri sendiri ga perlu terpaku sama aturan ini itu. aturan yang perlu dipatuhi cuma satu : foto dengan hati

have a nice try :D

sumber
.......................

Sabtu, 21 Februari 2015

KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI PINTU 2 KANAN KAMPUS IPB DARMAGA


KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI PINTU 2 KANAN KAMPUSIPB DARMAGA
Oleh :
Achmad Fajar P1 (E34120091), Maedyta Annafiandini (E34120061), Fitri Kusriyanti3(E34120075), Hidayatul Munawaroh4 (E34120080), dan Dian Widi Hasta5 (E34120081)
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata-Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT
Research on the distribution and diversity of herpetofauna in Bogor Agricultural University needs to be done. This relates to developed of biodiversity conservation program in Bogor Agricultural University. The objective of the research was to analyzed the distribution and diversity of herpetofauna in Bogor Agricultural University. The study was conducted in December 10th 2014. The data of herpetofauna were collected by Visual Encounter Survey (VES) who combined with Time Search method. Time of observation made in the night time (06.30 – 08.30 pm). Data were analyzed using Shannon-Wiener Diversity Index (H’) for species diversity and Index of Equitability or Evenness Simpsons (E) to determine to proportion of the abundance species. The result showed that 6 species of herpetofauna were found in Bogor Agricultural University. The Diversity Index was(H’= 1.641735), and Eveness Index was (E = 0.92). The most of species that found are Takydromus sexlineatus.

Keywords         : Bogor Agricultural University, distribution, diversity, herpetofauna.


PENDAHULUAN
            Satwa merupakan satu komponen penting dalam kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat dari manfaat yang diberikan satwa secara langsung maupun tidak langsung. Kampus IPB memiliki keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Di areal kampus IPB paling tidak terdapat 12 jenis mamalia, 86 jenis burung, 37 jenis reptilia dan 4 jenis ikan (Hernowo et al. 1991). Keanekaragaman jenis adalah banyaknya spesies satwa yang menempati suatu ekosistem baik di darat maupun di perairan yang saling mempengaruhi. Pengamatan satwa merupakan bagian dari kegiatan untuk inventarisasi satwa. Inventarisasi satwa adalah kegiatan untuk mengetahui populasi jenis satwa dan habitatnya. Metode yang dapat digunakan dalam kegiatan inventarisasi satwa kali ini yaitu metode VES. Metode Visual Encounter Survey (VES), yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan penglihatan langsung pada jalur yang telah ditentukan (Heyer et al. 1994). Tujuan dari pengamatan ini adalah agar dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan tentang teknik-teknik inventarisasi dengan menggunakan metode VES, untuk menentukan ukuran populasi satwa berdasarkan metode tersebut serta dengan mempraktekkan metode tersebut diharapkan dapat mengetahui keefektifan penerapan metode-metode tersebut dalam kegiatan inventarisasi satwaliar.


METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Lokasi pengamatan dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Pengamatan dilakukan pada tanggal 10 Desember 2014. Waktu pengamatan dilakukan pada malam hari pukul 18.30 – 20.30 WIB.

Alat dan Bahan
Objek yang diamati adalah berbagai jenis herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Alat-alat yang digunakan pada pengamatan ini antara lain adalah tally sheet, alat tulis,plastik spesimen, alat pengukur waktu, meteran, pesola, fieldguide, dan kamera.

Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES) yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terrestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994). Metode VES ini dimodifikasi dengan metodetime search. Pengamatan dilakukan selama dua jam. Time search merupakan suatu metode pengambilan data dengan waktu penuh yang lamanya waktu telah ditentukan sebelumnya dengan waktu untuk mencatat satwa tidak dihitung. Pengamatan dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Pengamatan dilakukan pada malam hari pada pukul 18.30 – 20.30 WIB serta dilakukan dengan berjalan pada lokasi yang telah ditentukan. Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a.         Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada malam hari pukul 18.30 – 20.30 WIB. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan penerangan berupa cahaya senter atau headlamp yang diarahkan pada lokasi – lokasi yang memungkinkan ditemukannya reptil dan amfibi seperti di batang pohon, lubang, kayu lapuk, serasah, dan semak. Individu yang diamati kemudian ditangkap dan dimasukkan dalam plastik berlabel. Beberapa jenis reptil atau amfibi ditangkap untuk kebutuhan identifikasi dan dicatat ciri – ciri morfologinya.
b.        Dokumentasi dan identifikasi spesimen
Data yang dicatat pada saat pengamatan reptil atau amfibi adalah waktu, substrat, posisi, dan aktivitasnya. Dokumentasi berupa gambar diambil dengan kamera baik saat ditemukan ataupun setelah diidentifikasi. Data yang dicatat saat identifikasi adalah nama jenis, lokasi, dan informasi lain. Nama jenis dapat diketahui dengan menggunakan kunci identifikasi dan bila belum ditemukan atau untuk meyakinkan foto – foto detail reptil atau amfibi dicocokan kembali dengan fieldguide (Uetz dkk. 2012).

Analisis Data
Komposisi reptil atau amfibi di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga dianalisis dengan dua parameter, yaitu :
1.        Keanekaragaman Jenis
Jenis yang ditemukan kemudian ditentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997), yaitu :

                  H’ = -∑ Pi Ln Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener
 = Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-I dibagi jumlah seluruh individu yang diperoleh disuatu lokasi)
Variabel tersebut dapat digunakan dengan kriteria sebagai berikut :
H’ < 1              = Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah.
1 < H’ < 3        = Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang.
H’ > 3              = Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi.
Nilai yang diperoleh kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragamn jenis berdasarkan habitat.
2.        Kemerataan Jenis.
Derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi dianalisis dengan Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan Jenis (Brower & Zar 1997), yaitu :

                  E = H’/Ln S
Keterangan :
E          = Indeks Kemerataan Jenis
H’        = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener
S          = Jumlah jenis yang ditemukan
              
HASIL
Komposisi jenis, keanekaragaman, dan kemerataan jenis reptil dan amfibi
            Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan reptil sebanyak delapan ekor dan amfibi sebanyak tiga ekor. Jenis reptil yang ditemukan yaitu, Cosymbotus platyurus (1 ekor),Brochocela jubata (2 ekor), Takydromus sexlineatus (4 ekor), dan Rhabdophis subminatus(1 ekor). Sedangkan untuk jenis amfibi yang ditemukan yaitu, Duttaphrynus melanostictus (2 ekor) dan Phrynoidis aspera (1 ekor) (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik rekapitulasi hasil inventarisasi herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga.

                Hasil perhitungan indeks keanekaragaman herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga dengan analisis Shannon-Wiener didapatkan sebesar H’ = 1.641735 dan untuk perhitungan indeks kemerataan Evenness didapatkan sebesar E = 0.92.
            Masing – masing jenis reptil dan amfibi menyukai substrat yang berbeda untuk melakukan aktivitasnya, Gambar 2. menunjukkan jenis substrat yang banyak digunakan jenis reptil dan amfibi. Persentase terbesar yaitu pada serasah sebesar 28%. Serasah dan tanah sering digunakan oleh jenis – jenis reptil dan amfibi yang tergolong terrestrial. Persentase penggunaan substrat terkecil yaitu pada tumbuhan bawah sebesar 9%.

Gambar 2. Grafik perserntase penggunaan substrat oleh reptil dan amfibi pada saat perjumpaan.
               
                Aktivitas reptil dan amfibi pada perjumpaan yaitu terdiri dari diam, melompat, makan, dan merayap. Aktivitas yang banyak terlihat adalah diam yaitu sebesar 55%. Aktivitas diam ini banyak ditemukan pada jenis reptil seperti Takydromus sexlineatus dan Bronchocela jubata. Aktivitas paling sedikit ditemukan adalah makan dan merayap yaitu sebesar 9%, hanya ditemukan pada jenis reptil seperti Cosymbotus platyurus dan Takydromus sexlineatus(Gambar 3).

Gambar 3. Grafik persentase aktivitas herpetofauna pada saat perjumpaan.

Jenis Takydromus sexlineatus menunjukkan nilai kelimpahan paling tinggi yaitu 0,3636 dengan dominansi tertinggi 36,3636. (Tabel 1).





Tabel 1 Kelimpahan dan Dominansi jenis herpetofauna di Sisi Kanan Pintu II IPB.

PEMBAHASAN
Kondisi Umum
No
Nama Jenis
Jumlah Individu
Pi
D (%)
1
Duttaphrynus melanostictus
2
0.181818
18.18182
2
Cosymbutus platyurus
1
0.090909
9.090909
3
Bronchocela jubata
2
0.181818
18.18182
4
Takydromus sexlineatus
4
0.363636
36.36364
5
Ular picung
1
0.090909
9.090909
6
Phrynoidis aspera
1
0.090909
9.090909
Total
11
Kampus IPB Darmaga yang memiliki luas wilayah 267 Ha, terdapat beberapa jenis satwa liar yang tersebar hampir di seluruh wilayah kampus, di antaranya dari jenis – jenis burung, mamalia, reptil, dan amfibi. Kampus IPB saat ini sedang berada dalam tahap pembangunan dan pengembangan, terutama terhadap sarana fisiknya. Kegiatan tersebut akan menimbulkan perubahan lingkungan fisik maupun biotik. Menurut Hernowo (1985), perubahan tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup satwa liar yang terdapat di Kampus IPB. Secara geografis Kampus IPB Darmaga terletak antara 630” sampai 645” LS dan 10630” sampai 106 45” BT. Terletak di Jalan Raya Darmaga, 12 km dari Kotamadya Bogor. Secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Iklim kawasan termasuk iklim hujan tropik. Temperatur rata-rata tahunan sebesar 25.7C, curah hujan rata – rata adalah 340,3 mm. Jenis tanah adalah Latosol. Topografi kawasan terbagi dalam 4 kelas kemiringan dengan perincian terhadap luas kawasan kampus sebagai berikut: 0-5% sebanyak 41%, 5-15% sebanyak 37%, 15-25% se-banyak 17%, dan >25% sebanyak 5 %.
Kondisi jalur pengamatan yaitu berada di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Ada kondisi dengan vegetasi yang sangat rapat dan ada kondisi dengan vegetasi terbuka. Vegetasi yang dominan yaitu bambu. Cukup banyak kegiatan manusia di tempat tersebut salah satunya yaitu pejalan kaki yang sering berlalu-lalang.
Bahas Data
Data yang diperoleh berdasarkan pengamatan diolah dan menujukkan hasil berupa indeks kekayaan, kelimpahan, indeks keenekaragaman, kemerataan dan dominansi jenis. Indeks kekayaan jenis herpetofauna di lokasi pengamatan yaitu 2.0852. Nilai tersebut menunjukkan bahwa jenis herpetofauna di lokasi pengamatan cukup beragam.
Kelimpahan pada jenis herpetofauna di lokasi pengamatan menunjukkan kelimpahan terbesar pada jenis Takydromus sexlineatus yaitu 0.3636. Jenis tersebut ditemukan dengan jumlah 4 individu dan dalam SVL yang berbeda pada rentang 2,3 sampai 4 cm. Substrat ditemukannya jenis ini berupa rumput dan daun diketinggian 0,3 sampai 0,6 m dengan aktivitas sedang diam dan makan. Jenis Duttaphrynus melanostictus dan Bronchocela jubatadiperoleh dengan kelimpahan yang sama sebesar 0,1818 dan jumlah sebanyak 2 individu. JenisDuttaphrynus melanostictus ditemukan di atas rumput dan serasah dengan aktivitas melompat. Jenis tersebut memiliki ukuran berat yang cukup jauh berbeda yaitu 60 gram dan 9,5 gram dengan SVL 10 cm dan 3,5 cm. Kondisi tersebut menunjukkan jenis tersebut ditemukan masih anakan dan dewasa. Jenis Bronchocela jubata ditemukan pada ranting pohon dan daun dengan aktivitas diam dan ukuran berat serta SVL yang relatif sama. Jenis lain yang ditemukan pada pengamatan yaitu Cosymbutus platyurus, Ular picung dan Phrynoidis aspera menunjukkan kelimpahan yang rendah yaitu 0,0909 dengan hanya ditemukannya satu individu per jenis.
Indeks keanekaragaman hasil pengamatan menunjukkan nilai 1,6417. Nilai tersebut menunjukkan keanekaragaman jenis herpetofauna di lokasi pengamatan masuk dalam kriteria sedang berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman menurut Odum (1993) yaitu pada rentang 1-3. Menurut Campbell (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis suatu komunitas alamiah diantaranya ketersediaan energi, spesialisasi relung, iklim, interaksi populasi, dan kemampuan reproduksi. Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa lokasi pengamatan memiliki vegetasi yang cukup sesuai sehingga herpetofauna yang dapat ditemukan di lokasi cukup beragam dan dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan cukup baik.
Kemerataan di lokasi pengamatan diperoleh nilai 0.9163. Nilai tersebut menujukkan tingkat kemerataan herpetofauna di lokasi pengamatan cukup tinggi karena mendekati nilai satu. Santosa (1995) menjelaskan bahwa konsep kemerataan menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar spesies. Konsep ini dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominasi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan maksimum. Berdasarkan hasil yang diperoleh tidak setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, terdapat 3 jenis yang memiliki jumlah individu yang sama yaitu 1 individu, 2 jenis individu yang memiliki jumlah individu masing-masing 2 dan 1 jenis individu yang memiliki jumlah 4 individu. Jumlah tersebut menunjukkan nilai kemerataan tidak maksimum dan terdapat jenis yang mendominasi di lokasi pengamatan yaitu jenis Takydromus sexlineatus. Jenis tersebut mencapai nilai dominansi 36,364 %, sedangkan jenis lain berturut-turut dengan jumlah individu 2 jenis memiliki dominansi 18,182 % dan jenis dengan jumlah 1 individu memiliki dominansi paling kecil yaitu 9.091 % .
Hasil yang diperoleh berdasarkan penggunaan metode VES dan time searchmenunjukkan data yang cukup baik karena dapat diperoleh hasil pengolahan data yang cukup lengkap terkait indeks kelimpahan, indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominansi jenisherpetofauna. Penggunaan metode ini memberikan kesempatan terhadap setiap spesies untuk diamati, dapat diketahui habitat yang disukai tiap spesies dengan kriteria berat badan dan umur spesies (Tajalli 2001). Waktu selama dua jam juga memungkinkan ditemukannya jenis herpetofauna yang cukup untuk mewakili lokasi pengamatan dengan pengamatan yang juga dilakukan oleh jumlah pengamat yang cukup banyak yaitu lima orang.

KESIMPULAN
            Pengamatan herpetofauna dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga Bogor selama dua jam dengan menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) yang dikombinasikan dengan metode time search. Jumlah herpetofauna yang didapat sebanyak enam jenis dengan rincian 4 jenis reptil dan 2 jenis amfibi. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) sebesar 1.641735, yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut memiliki tingkat keragaman jenis herpetofauna yang sedang. Selain indeks keragaman



Shannon-Wiener, diketahui juga indeks kemerataan Evennes (E) sebesar 0.92, yang menunjukkan bahwa persebaran jenis herpetofauna yang didapat cukup merata.
           

DAFTAR PUSTAKA

Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Lowa: Brown.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi Edisi Kelima (Terjemahan). Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, hayer LC and Foster MS. 1994. Measuring and monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Oress. Washington.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi (Edisi Ketiga). Yogyakarta (ID): University Gadjah
Mada Pr.
Santosa Y. 1995. Teknuik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Tajalli A. 2001. Keanekaragaman jenis reptil di kawasan lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Depatemen Kehutanan. Iinstitut Pertanian Bogor.
Uetz P, Hallemann J. The Reptil Database. http://www.reptile-database.org/. [Diakses 14 Desember 2014]

 sumber
...................

Selasa, 17 Februari 2015

Sensasi Motret Satwa Malam


Di antara kesibukan kita akan pekerjaan, muncullah beragam kendala seperti menumpuknya deadline pekerjaan, kemacetan kota yang sudah tidak bisa terbendung lagi untuk jalan keluarnya, beragam permasalahan perekonomian semakin hari semakin membuat kepala seakan ingin pecah, dan rumitnya keinginan manusia. Terkadang hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu stress. Apabila tingkatan stress pada individual sudah memuncak, kebanyakan sisi negatif berpikir manusia pun mulai tidak sejalur dengan kemauan hati dan nurani individualnya.

Banyak cara yang dilakukan masyarakat perkotaan tentunya untuk mengurangi dampak stress pada diri mereka, antara lain mereka menyempatkan diri mereka seperti pergi berlibur ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Selain itu, ada juga yang menyempatkan diri mereka untuk pergi melakukan beberapa aktifitas seperti pergi ke tempat-tempat hiburan malam. Namun yang paling langka dijumpai adalah pergi bermeditasi ke alam liar yang jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan hanya guna untuk memotret satwa.

Memotret satwa di alamnya tentulah hal yang sangat jarang dilakukan di perkotaan seperti Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan hijau di ibukota dan menurun drastisnya satwa yang sangat sulit sekali perjumpaanya dengan kita tentunya. Bagi penduduk yang berdomisili di Jakarta sendiri, alternatif lain adalah dengan berlibur ke kawasan Bogor dan sekitarnya yang dapat mengapresiasikan meditasi kita dengan memadukan meditasi dan fotografi bersama satwa di alamnya.

Namun, terkadang masyarakat umum yang mengenal fotografi itu sendiri seakan kurang memahami fotografi satwa liar. Yang selalu menjadi polemik adalah, jika kita ingin terjun ke dunia fotografi alam liar tentulah harus memiliki perlengkapan kamera yang super mahal dengan beragam tipe. Termasuk dengan lensa super tele yang harganya membuat penggemar fotografi enggan untuk terjun ke dunia alam liar. Di dunia fotografi alam liar, tak haruslah kita memiliki perlengkapan super mahal dan banyak seperti anggapan umum itu. Cukup dengan menggunakan kamera DSLR atau pun poket pun kita dapat melakukan aktifitas super murah meriah dan bermanfaat.

Dengan bermodalkan niat, kesabaran dan juga kamera seadanya kita dapat memulai aktifitas alam. Paling menggoda adalah melakukan aktifitas fotografi malam hari. Peralatan senter atau pun head lamp sebagai penerangan, kamera, flasheksternal jika memiliki jika tidak ada bisa menggunakan internal flash dari kamera dan juga tripod tentunya, kita dapat berwisata dan berbaur dengan alam. Ada beberapa spot untuk melakukan fotografi satwa malam yang sangat memacu adrenalin kita. Salah satunya di kampung Loji Cijeruk, Bogor. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam melalui Ciawi. Hamparan persawahan di kaki bukit Gunung Salak sangatlah indah di kanan kiri perjalanan menuju lokasi. Saran terbaik untuk melakukan trip fotografi malam di lokasi ini adalah mengunjungi kawasan Loji dari Jakarta pada sore hari, sehingga setelah maghrib para fotografer dapat melakukan aktifitasnya langsung mengeksplor kawasan Loji pada malam hari. Satwa malam yang dapat dijumpa kebanyakan adalah microfauna, seperti aneka jenis siput, ngengat dan serangga lainnya. Sedangkan yang menjadi trend satwa fotografi malam di lokasi ini adalah beberapa jenis katak seperti Rana hosii (kongkang racun) atau katak pohon, serta katak tanduk. Satwa melata lain yangh dapat dijumpai di lokasi ini antara lain seperti bunglon, ular pucuk, ular siput, dan ular berbisa sepertigreen tree pit viper .

Tak hanya kaum lelaki saja yang mencintai fotografi dan mengikuti sensasinya memotret satwa pada malam hari. Namun dari kaum hawa pun, ada yang menyempatkan waktunya untuk berekspresi dengan satwa melalui rana cahaya.

Dengan media visualisasilah seharusnya kita mengagungkan karya yang maha Kuasa ini, dan tentunya tetap di alamnya. Bukan untuk dipelihara. Memang satwa-satwa pada malam hari kebanyakan memiliki keunikan luar biasa dibandingkan satwa-satwa yang mudah dijumpai pada siang hari. Namun, keunikan tersebut lebihlah indah berada tetap di alamnya. Kebanyakan satwa yang dapat kita eksekusi melalui kamera kita adalah herpetofauna. Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani, “herpeton” berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin (poikilotermik). Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amfibi dan reptil berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.

Dari dua kategori reptil dan amfibi inilah kebanyakan dapat kita jumpai dengan mudah pada malam hari. Dan kelompok itu menjadikan fotografi malam menjadi sangat menarik. Caranya dengan berjalan menyusuri pinggiran sungai. Bermain dengan komposisi dan pencahayaan dalam lukisan cahaya sangatlah seru dan unik. Namun tentunya kita di sini juga memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi mereka. Salah satunya memperhatikan perilaku satwa tersebut. Jika dirasa satwa tersebut sudah berada di titik stress, sebaiknya kita menghentikan pola pencahayaan yang mengarah ke arah mata satwa, seperti katak misalnya. Jika kita mengeksplor sebuah foto katak, dan terus dihajar dengan flash ekternal, pupil katak akan mengecil. Saat itu, sebaiknya diberikan jeda atau lebih baik kita mencari lagi jenis satwa lainnya.

Beberapa tips dalam memotret satwa malam antara lain:
1.            Sebaiknya kita menggunakan flash eksternal (speedlight), gunanya untuk membuat foto lebih berdimensi dalam proses pencahayaanya.
2.            Sebaiknya menggunakan mode manual. Manual dari setting-an kamera, kita akan lebih mengetahui keinginan akhir dari sebuah foto ketimbang menggunakan setting-an auto atau setting-an selain manual dari kamera. Dengan menggunakan bukaan F11 tentunya nampak belakang objek foto akan pekat dan objek depan akan lebih menonjol struktur warnanya. ISO yang kita gunakan adalah tidak lebih dari 320.
3.            Usahakan headlamp tidak berada di bagian kepala, kita takutkan satwa melata seperti ular yang berada di dahan pepohonan di atas kepala tidak sempat kita lihat akan membahayakan kita. Kewaspadaan tentunya diperlukan dalam memotret satwa pada malam hari.
4.            Usahakan menggunakan sepatu boat waterproof jika memungkinkan.
5.            Tetap selalu menggunakan jasa pemandu lokal di lokasi yang akan kita eksplor, Hal tersebut lebih baik ketimbang hanya dengan modal nekat sendiri.
6.            Seandainya satwa seperti amfibi dirasa kurang komposisinya karena keberadaanya kurang bagus misalnya, disarankan untuk memindahkan objek di sekitaran lokasi yang sekiranya kita dapat memperoleh sebuah komposisi foto yang bagus. Setelah foto barulah kita mengembalikan satwa tersebut ke posisi semula mereka berada.
7.            Maksimal fotografer tidak lebih dari 5–6 di lokasi yang sama di diameter jarak 10 meter. Dalam artian untuk setiapspotting disarankan untuk tidak banyak orang karena faktor kesulitan kita mendekati objek dan juga faktor lainya.
Dari catatan kecil di atas, setidaknya kita kelak dapat sedikit pengetahuan mengenai kehidupan satwa malam dan dapat mengabadikanya walau hanya dari kamera standar kita. Abadikanlah mereka dengan hati dan kesabaran. Sehingga kelak foto-foto tersebut dapat menceritakan kelak ke anak cucu kita bahwa satwa-satwa ini pernah ada di muka bumi Indonesia sebelum punah.
sumber
..................

PELATIHAN PENGENALAN DAN METODE PENGAMATAN HERPETOFAUNA 2016 - SESI JAWA BARAT

On: Friday, June 17, 2016


By: Tambora
Pelatihan Pengenalan dan Metode Pengamatan Herpetofauna 2016 - sesi Jawa Barat

Diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia. Pelatihan yang diketuai oleh Dr. Mirza D. Kusrini ini merupakan bagian dari kampanye program “Amfibi Reptil Kita” yaitu monitoring amfibi dan reptil di Jawa dan Bali melalui citizen science yang didukung oleh National Geographic Society. Peserta dibatasi 20 orang. Panitia akan memilih peserta bukan berdasarkan pendaftaran pertama namun berdasarkan potensi pendaftar sebagai calon herpetolog di masa datang. Pendaftaran untuk sesi Jawa Barat dibuka dari tanggal 1-19 Juni 2016 dan pengumuman penerimaan pada tanggal 22 Juni 2016.

Syarat dan Ketentuan Pendaftaran
Dalam hal ini pihak penyelenggara pelatihan adalah Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penyelenggara. Sedangkan pendaftar kegiatan pelatihan ini selanjutnya disebut sebagai Calon Peserta.

A. Pendaftaran 
1. Prioritas diberikan kepada calon peserta yang telah terdaftar menjadi anggota milis (forum_herpetologi_indonesia@yahoogroups.com) dan FB group PHI (Perhimpunan Herpetologi Indonesia)
2. Usia calon peserta minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun yang ditunjukkan dengan scan Kartu Identitas (KTP, Paspor, KTM, SIM) saat peserta telah resmi diterima sebagai peserta
3. Pendaftaran dilakukan melalui online. Silahkan klik link ini dan langsung di isi:
http://goo.gl/forms/9MDISAZ450jm4dyd2 
4. Bagi calon peserta yang memiliki penyakit khusus wajib konfirmasi ke Penyelenggara
5. Bagi peserta yang sudah diterima dan membutuhkan surat resmi undangan pelatihan dapat memberitahukan kepada panitia melalui email 
herpetologiindonesia@gmail.com
6. Peserta bersedia mengikuti peraturan dan tata tertib serta mengikuti kegiatan hingga akhir
7. Peserta yang diterima bersedia menjadi simpul kegiatan monitoring herpetofauna di kota masing masing

B. Biaya
1. Peserta tidak dikenakan biaya selama pelatihan berlangsung
2. Selama pelatihan panitia akan menanggung makan, akomodasi sederhana (berbagi kamar) dan transportasi dari tempat berkumpul ke lokasi pelatihan (untuk sesi Jawa Barat adalah dari Fakultas Kehutanan IPB ke Bodogol pp)
3. Biaya (transportasi, makan, akomodasi) yang keluar di luar pelatihan dan point 2 menjadi tanggung jawab para peserta

C. Penyelenggaraan
1. Kegiatan pelatihan sesi Jawa Barat akan diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Taman nasional Gunung Gede Pangrango, tanggal 18-21 Juli 2016
2. Pelatihan akan terdiri dari pengajaran kelas dan praktek langsung di lapang, yang akan di berikan oleh para ahli di bidang herpetologi.
3. Penyelenggara dapat menunda, membatalkan atau mengubah jadwal pelaksanaan pelatihan karena alasan tertentu yang dianggap penting.
sumber
.......................

Foto: Enggano dalam Bingkai Herpetofauna

Enggano merupakan pulau terluar Indonesia yang berada di pesisir Bengkulu dan langsung menghadap Samudera Hindia. Secara administratif, pulau seluas 400,6 kilometer persegi ini berada di Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
Melalui Eksplorasi Bioresources Enggano yang dilakukan pada 16 April-5 Mei 2015, Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menemukan 20 spesies baru dan sejumlah catatan penting terkait keragaman hayati di pulau penuh potensi ini.
Khusus herpetofauna, sejatinya eksplorasi telah dilakukan sejak abad ke-19. Adalah Vinciguerra (1892) yang telah mencatatkan 16 jenis herpetofauna dari koleksi peneliti asal Itali, Elio Modigliani. Keterangannya tertera dalam bab buku berjudul “Rettili e batraci di Engano”.
Amir Hamidy, Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI, menjelaskan berdasarkan data koleksi spesimen Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) koleksi di Enggano bertambah seiring ditemukannya dua jenis ular yaitu Coelognathus enganensis dan Psammodynastes pulverulentus. “Dua jenis ular ini dikoleksi oleh naturalis Belanda bernama De Jong pada 1936.”

Menurut Amir, dari hasil pendataan literatur, catatan spesimen di MZB dan hasil survei lapangan Eksplorasi Bioresources 2015, Enggano memiliki 20 jenis reptil dan 2 jenis amfibi. Empat reptil tercatat sebagai jenis endemik alias hanya dapat dilihat di Enggano saja. “Satwa tersebut adalah Coelognathus enganensis (Ular tikus enggano), Draco modigliani (Cicak terbang modigliani), Cnemaspis modigliani (Cicak batu modigliani), danHemiphyllodactylus engganonensis (Cicak ramping enggano).”
Berikut sejumlah foto Herpetofauna (amfibi dan reptil) Pulau Enggano yang telah didokumentasikan oleh Amir Hamidy, yang juga peneliti bidang Herpetologi LIPI, saat ekspedisi tersebut.

sumber
........................

Selasa, 27 Maret 2012

Merapi Pasca Erupsi : Bagaimana Herpetofauna Bertahan Hidup?

Tentu masih segar dalam ingatan kita, letusan besar Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 yang lalu, yang memuntahkan material vulkaniknya sehingga merusak apapun yang dilewatinya, termasuk satwa dan tumbuhan yang ada. Herpetofauna merupakan kelompok satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam. Sebelum erupsi Gunung Merapi tahun 2010, di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), setidaknya telah ditemukan sebanyak 20 jenis herpetofauna, dan empat diantaranya adalah endemik Indonesia. Bagaimanakah kondisi komunitas herpetofauna di TNGM paska erupsi gunung Merapi 2010?
Untuk mengungkap kondisi komunitas herpetofauna paska erupsi, pada bulan Mei-Juli 2011 dilakukan sebuah penelitian dengan melakukan survey pada kawasan yang kelas kerusakan vegetasinya karena erupsi tergolong ringan. Kawasan ini merupakan lokasi dengan potensi biodiversitas tertinggi. Meskipun sisa-sisa erupsi masih terlihat di sekitar lokasi penelitian, ternyata jenis-jenis yang ditemukan masih cukup banyak, bahkan beberapa jenis merupakan catatan baru di TNGM. Penelitian ini berhasil menemukan 15 jenis amfibi dan sembilan jenis reptil. Sebelas jenis diantaranya merupakan endemik Indonesia, termasuk jenisMegophrys montana dan Rhacophorus margaritifer yang adalah endemik jawa. Jenis Limnonectes macrodon yang saat ini tercatat dalan daftar merah IUCN sebagai rentan terhadap kepunahan juga merupakan salah satu jenis yang baru ditemukan di TNGM dan sekaligus endemik di Indonesia.
Selain data komunitas herpetofauna, penelitian ini juga mengkaji karakteristik vegetasi yang mempengaruhi kelimpahan herpetofauna. Hasilnya penutupan horizontal tumbuhan bawah, kepadatan vertikal semak, dan kepadatan vertikal pohon signifikan berpengaruh.
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa Taman Nasional Gunung Merapi memang merupakan salah satu benteng pertahanan yang baik bagi herpetofauna. Terbukti masih banyak jenis-jenis herpetofauna yang bisa bertahan hidup meskipun merapi belum lama menunjukkan kedasyatan letusannya.

sumber
........................
TUGAS
MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA POPULASI

SETHA GUSTI MAYASA
D1D01371


DOSEN PENGGAMPU
NOVRIYANTI,S.HUT,M.SI


PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016

Herpetofauna
Secara etimologi berasal dari bahasa yunani,yaitu ‘’herpetofauna’’yang berarti melata dan ‘’fauna’’yang berarti bintang.jadi  bintang herpetofauna  adalah bintang-bintabg melata herpetofauna sendiri memiliki  ukuran tubuh yang bernacan-macam,namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotemik,fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya.kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu ,kelas amphibia dan reptila berdasarkan beberapa cirri yang berbeda dan mencolok.kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi –bagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan berlanju ke familil.
Satwa yang dilindungin dalam lampiran peraturan pemerintah nomor  7 tahun 1999:
Reptila
1.      Buaya muara (crocodylus porosus)
Kingdom   : animalia
Filum         : chordate(mempunyi penyokong tubuh dalam)
Subfilum   : verterbata(hewan bertulang balakang)
Kelas          : reptilian(hewan melata)
Ordo          : crocodilian(kadar besar:buaya,caiman dan gharial)
Family       : crocodiliae(keluarga buaya)
Gunes       : crocodius
Spesies     : crocodius porosu
Panjang tubuh buaya muara (termasuk ekor )biasanya antara 2,5 sampai 3,3 meter ,namun hewan dewasa biasa mencapai  12 meter seperti yang pernah ditemukan di sangkatta Kalimantan timur.bobotnya bisa mencapai 200 kg.mocong spesies ini cukup leber dan tidak punya sisik lebar pada tengkuknya .buaya muara dikenal sebagai buaya yang jauh lebih besar dari buaya Nil(crocodylus niloticus) dan Aligator amerika (Aligator mississipiensis).penyebaraan pun juga “terluas”didunia.
Buaya  umumnya menghuni habibita perairan tawar seperti sungai,danau,rawadan lahan basah lainya,namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan ,reptile dan mamalia,kadang-kandang juga memangsa moluskan dan krustaea bergantung pada spesiesnya .buaya merupakan hewan purba,yang hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus.
Buaya aktif pada siang dan malam hari.buaya ini memangsa siapapun yang memasuki wilayahnya.mangsanya adalah salah satu ikan,amfibi,refitlia,burung, dan mamalia(termasuk mamalia besar).buaya ini adalah salah satu dari buaya-buaya yang berbahaya bagi manusia.buaya muara mampu melompat keluar  dari air untuk menyerang masangsanya.bahkan bilamana ke dalaman air melebihi panjang tubuhnya,buaya muara mampu melopat serta menerkam secara vertical mencapai tinggian yang sama dengan panjang tubunya. Buaya muara menyukai air payau/asin oleh sebab itu bansa Australia menamakannya saltwatwr crocodile(buaya air asin).selain terbesar dan panjang,buaya muara terkenal juga sebagai  jenis buaya teganas didunia.

2.      Penyu hijau (chelonian mydas )

Kingdom   : animalia
Filum         : chordate(mempunyi penyokong tubuh dalam)
Kelas          : reptilia (hewan melata)
Ordo          : testudinata
Family       : cheloniidae
Gunes       : chelonia
Spesies     : chelonian mydas
Penyu hijau adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga cheloniidae.hewan ini adalah salah satu-satunya spesies dalam golongan chelonian.mereka hidup disemua laut tropis dan subtropis ,terutama disamudera atlantik dan samudera pasifik.namanya didapat dari lemak bewarna hijau yang terletak dibawah cangkang mereka.jumlah penyu hijau semakin berkurang karena banyak diburu untuk diambil pelindung tubuhnya (karapaks dan platron) sebagai hiasan terlurnya sebagai sumber protein tinggi dan obat, juga dagingnya sebagai bahan makanan. Penyu hijau ditankarkan diujng genteng sukbumi.
Ekologi dan habitat penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan berikilim sedang,tapi sangat banyak besar  diwilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan sekitar kepulauan. Perkembangbiakan usia untuk kematangan seksualnya tidak pasti; sampai saat ini diperkirakan  45-50 tahun. Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah yang luas,antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung untuk mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka.
Makanan penyu hijau dewasa serupakan penyu laut herbivore.makanan utama mereka adalah lamun laut atau alga,yang hidup di perairan tropis dansubtropik.tetapi anak-anaknya diasumsikan omnivore untuk mempercepat pertumbuhan tubuh mereka.kemungkinan besar terjadi transisi bertahap saat penyu mencapai besar yang cukup untuk dapat menghindari predatornya.
Populasi dan distribusi dikawasan pesisir afirka,india,dan asia tenggara,sera sepanjang garis pantai pesisir austalia dan kepulauan pasifik selatan terdapat sejumlah kawasan peneluaran dan kawasan pencarian makan peting bag penyu hijau. Merka juga dapat ditemukan dimediterania dan terkadang dikawasan utara hingga pesisir inggris.
Ancaman
Hilang dan rusakanya habitat pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan rusakanya pantai-pantai yang penting bagi penyu hijau untuk bertelur. Demikian juga habitat tempat penyu hijau mencari makan seperti terumbu karang dan hamparan laut terus mengalami kerusakan akibat sedimentasi atau pun pengrusakan oleh manusia.


Pengambilan secara  langsung
Para peneliti memperkirakan setiap tahun sekitar 30.000 penyu hijau ditangkap dibajak,California dan lebih  dari 50.000 penyu laut dibunuh dikawasan asia tengara (khusunya dibali,Indonesia)dan dipasifik selatan. Dibanyak Negara,anak-anak penyu laut ditangkap,diawetkan dan dijual sebagai cendar mata kepada wisatawan.
Pengambilan secara tidak langsung
Setiap tahun,ribuan penyu hijau terperangkap dalam jaringan penangkap.penyu laut yang terdamapr reptile dan mereka bernafas dengan paru-paru,sehingga saat merak gagal untuk mencapai permukaan laut mereka mati karena tenggelam.
Penyakit disejumbalah pulau dikepulauan hawai hamper 70% dari penyu laut merupakan terkena fibropapillomas, yaitu penyakit tumor yang dapat membunuh penyu laut. Sampai saat ini,penyakit tumorbelum diketahui.
Amphibian
1.      Kodok darah(leptophryne crucntara)

Kingdom   : animalia
Filum         : chordata
Kelas          : amphibia
Ordo          : anura
Family       : bufonidae
Gunes       : leptophryne
Spesies     : l.cruentata
Kodok darah adalah salah satu hewan endemis Indonesia artinya hewan tersebut hanya ada di Indonesia. Kodok darah termasuk hewan langka dan dilindungi karena keberadaanya sudah hamper punah. Hewan tersebut hanya dapat ditemui di taman nasional gunung gede pangrango dan taman nasional gunung halimun salak. Kodok darah juga sering disebut dengan naman kodok merah. Nama kodok merah atau kodok darah diambil dari warna kulit kodok yang berwarna merah darah.meskipun demikian warna merah tersebut tidak merata pada seluruhnya melainkan berupa bercak-bercak.jenis kodok darah biasa ditemukan didaerah perairan dengan arus lambat serta di aliran sungai kecil dipegunugan.daerah yang disenangi kodok darah adalah perbatasan antara daratan lembab dengan hutan pengunungan.
Cirri khas kodok darah adalah warna bercak-bercak merah darah pada seluruh kulit tubuhnya.secara keseluruhan ,warna kulit kodok darah adalah berwarna coklat tua dengan kombinasi bercak merah darah dan kuning terang. Seluruh permukaan hewan ini, dipenuhi oleh bintik-bintik.tubuh kodok darah ramping. Panjang moncong lubang antara 2.5mm sampai 40mm pada kodok betina, sedangkan  kodok  jantan memiliki panjang moncong antara 20mm sampai 30mm. kelenjar paratoid yang sering menggembung pada kodok ini terbilang kecil bahkan terkadang  tidak jelas. Seperti halnya hewan amphibi  lainya,kodok merah juga memiliki kaki berselaput dan kaki yang agak menggelembung.kodok merah,tidak memilikitulang panjang yang biasanya pada kodok terlihat pada bagian kepala.bagian dada kodok merah ada dua macam, ada yang berwarna dasar hitam dengan bintik merah, ada pula yang berwarna dasar hitam dengan bintik kuning. Bagian perut kodok merah ada yang berwarna kekuningan ada pula yang berwarna kemerahan.jenis kodok darah yang masih dalam bentuk berudu,berwarna hitam seperti berudu pada jenis bufo atau kodok besar.perkembanganbiakan kodok darah juga sama seperti kodok lainnya yaitu dimulai dari telur, berudu hingga katak dewasa.telur kodok merah berwarna hitam dan telur kodok dierampak oleh induk kodok disungai.kodok darah atau kodok merah memiliki cara berjalan yang lambat makanan kodok darah adalah belalang ,jangkirik ,dan cacing tanah.
Habitat kodok darah adalah kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras didaerah berketinggian antara 1.000-2.000 merer dpl.habitat nya hanya diperkirakan hanya terdapat ditaman nasional gunung gede parngrango dan taman nasional gunung halimun-salak.
Kupu-kupu
1.      Kupu-kupu sayap burung surga (ornithoptera paradise)

Kingdom   : animalia
Phylum     : artropoda
Filum         : artropoda
Kelas          : insecta
Ordo          : lepidoptera
Family       : papilionoidae
Gunes       : ornithoptera
Spesies     : ornithoptera paradise straudinger 1893
Kupu-kupu sayap burung surga (ornithoptera paradise)atau paradise birdwing butterly merupakan salah satu spesies endemiki pulau papua yang menarik perhatian,khususnya para penelitian dan ahli serangga ketika berkunjung ke kawasan ini.
Kupu-kupu ini merupakan salah satu spesies dari genus orntihoptera yang terbesar dan terindah didunia.
Kupu-kupu ini dideskripsikan oleh Arnold padgenstecher dan Staudinger,namun dipublikasikan atas nama staudinger  pada tahun 1893.kupu-kupu burung sayap surga memiliki bentuk sudut sayap dan cara terbang layaknya seperti seekor burung pada hal ini bisa jadi dikarenakan rentang sayapnya yang cukup lebar yaitu 14-19cm, hanya berbeda beberapa sentimeter dengan ornithoptera alexandrae yang mencapai 25cm.
Pada kupu-kupu sayap burung surga jantan,sayap memiliki warna hitam dan kombinasi hijau keemasan sedangkan pada betina berwarna coklat tua dan memiliki semacam sulur yang tipis berwarna hijau keemasan pada sayap bagian belakang.
Habitat Kupu-kupu ornithoptera paradise termasuk dalam subgenus schoenbergia dan berkerabat dengan beberapa spesies lain,seperti kupu-kupu sayap burung goliath Kupu-kupu sayap burung surga (ornithoptera goliath). Habitat ketiganya terdapat dipulau papua,namun untuk sepsies terakhir berada dikawasan gunung dipapua nugini.
Makanan Kupu-kupu umunya hidup dengan mengisap madu bunga (nektar/sari bunga ).akan tetapi beberapa jenisnya menyukai cairan yang diisap dari buah-buahnya yang jatuh ditanah dan membusuk,daging bangkai,kotoran burung,getah pohon,garam dan keringat, dan tanah basah.
Kupu-kupu sayap burung dapat ditemukan dihabitatnya dicagar alam pegunungan arfak manokwari,provinsi papua berat.cagar ala mini dikenal sebagai habitat bagi beragam spesies kupu-kupu yang sering menjadi incaran para kolektor kupu-kupu internasional.
Menurut laman resmi lembaga konservasi alam internasional IUCN,status kupu-kupu ini belum mengkhawaitirkan atau least concer (LC) meski demikian ,para peneliti dan masyarakat setempat telah mengantisipasi lewat upaya penangkapan kupu-kupu sayap burung surga di beberapa tempat ,salah satunya dikampung irya disekitar danau anggi,prvinsi papua barat.

sumber
....................................

TSI-Herpetofauna IPB konservasi katak

Senin, 27 Februari 2012 07:16 WIB | 5.310 Views
Cisarua, Bogor (ANTARA News) - Taman Safari Indonesia Cisarua, Kabupaten Bogor bekerja sama dengan Kelompok Pemerhati Herpetofauna Fakultas Kehutanan Hewan Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan 
konservasi katak.

Juru Bicara TSI Cisarua Yulius H. Suprihardo di Bogor, Senin, menjelaskan bahwa kegiatan itu dalam rangka Hari Katak Internasional yang puncaknya diadakan pada 29 Februari 2012.

"Kegiatan itu diadakan selama sembilan hari, mulai dari 25 Februari hingga 4 Maret mendatang," katanya.

Ia menjelaskan bahwa pada Jumat (24/2) TSI bersama dengan herpetologis dari IPB mengadakan penelitian untuk identifikasi sekaligus pemetaan populasi katak yang berhabitat di wilayah TSI.

Kegiatan tersebut, katanya, pada malam hari di lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebelumnya.

Direktur TSI Cisarua Drs Jansen Manansang, MS.c mengatakan bahwa kegiatan itu diisi oleh eksebisi jenis katak di wilayah "Baby Zoo" sejak 25 Februari hingga 4 Maret 2012.

Selain itu, pemaparan mengenai katak pada Rabu (29/2), dan "frog camp" di lokasi "camping ground" TSI yang diikuti sekitar 20 siswa SMA dari Kota Bogor untuk mengenalkan pentingnya amfibi sebagai bagian dari ekosistem di alam.

Ia mengatakan, target TSI dalam rangka penyelenggaraan Hari Katak Internasional itu adalah mengenalkan konservasi katak dan pengaruhnya terhadap ekosistem kepada masyarakat luas.

Pada puncak peringatan Hari Katak Internasional mendatang, TSI mengundang lebih dari 150 siswa dan siswi SD, SMP dan SMA di Bogor untuk mempelajari lebih jauh tentang katak.

Menurut dia, tujuan program itu meningkatkan kepedulian terhadap konservasi katak bagi anak.

Selain itu, meningkatkan perhatian anak-anak tingkat SLTA terhadap konservasi satwa melalui kegiatan lapang tentang katak, dan meningkatkan pengetahuan guru-guru sekolah di bidang sains melalui isu-isu seputar konservasi katak.


Katak dan Kodok

Menurut Jansen Manansang, katak (frog) berbeda dengan kodok (toad).

Ia menjelaskan, beda kodok dengan katak, pada tubuh katak relatif halus, tidak memiliki bintil-bintil yang jelas seperti kodok.

Sebagian besar bertubuh ramping (walaupun ada yang agak gemuk sampai gemuk namun berbeda dari kodok).

Kaki katak juga relatif panjang sehingga memungkinkan katak meloncat jauh.

Dia menjelaskan, katak memiliki banyak jenis yang masing-masing mendiami suatu habitat tertentu. Sebagai contoh katak sawah yang mendiami lokasi-lokasi berlumpur seperti sawah maupun lokasi berlumpur lain.

Katak pohon mendiami batang-batang pohon tinggi dan seringkali bersembunyi di balik dedaunan, atau bangkong tuli yang biasanya hanya dapat dijumpai di sela-sela batuan di sumber air yang masih bersih dan belum tercemar di daerah pegunungan.

Ia mengatakan, masih banyak karakter katak yang lain dalam mendiami suatu wilayah tertentu. Keseluruhannya memiliki keunikannya masing-masing.

Fungsi katak, kata dia, antara lain estetika yakni bagaimana katak dan kodok menjadi bagian dalam harmoni kehidupan alam terlebih saat hujan.

Selain itu, fungsi etik yakni nilai lebih satwa tersebut dan kaitannya dengan hak mereka untuk tetap eksis. Fungsi ekonomi yakni katak dan kodok seringkali menjadi bahan makanan, bahkan bagian tubuh tertentu terkadang di ambil sebagai obat untuk manusia.

Selain itu, fungsi ekosistem yang tidak terlalu tampak oleh mata, namun jika terabaikan dampaknya lebih "parah" dibandingkan yang lain.

"Katak dan kodok memiliki peranan dalam aliran energi dan siklus `nutrient`, mereka menempati posisi baik sebagai pemangsa maupun yangdimangsa," katanya.

Oleh karena itu, katanya, apa jadinya jika mereka tidak ada, serentetan efek akan muncul seperti berkurangnya jumlah satwa yang menjadi pemangsa, ataupun melonjaknya jumlah mangsa mereka.

Hal ini, katanya, akan berdampak terhadap peristiwa-peristiwa seperti melonjaknya jumlah nyamuk, lalat, atau serangga hama yang mengganggu tanaman pertanian.

Ia menjelaskan, kondisi itu tentunya dapat mengganggu kehidupan manusia. 

"Tidak dapat dibayangkan jika ketimpangan-ketimpangan tersebut terjadi," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, TSI yang merupakan anggota dari Asosiasi Dunia Kebun Binatang dan Akuarium (WAZA), Asosiasi Kebun Binatang Asia Tenggara (SEAZA) dan Perkumpulan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi katak. (A035)
Editor: B Kunto Wibisono

sumber
..............................

Kamis, 07 Februari 2013

HERPETOLOGI

Bagi masyarakat awam kata Herpetologi mungkin masih asing, tapi saat ini kemampuan seseorang dalam bidang ilmu ini makin banyak dibutuhkan, terutama di bidang-bidang penelitian, keilmuan dan kedokteran.
Herpetologi merupakan salah satu perkembangan ilmu dari zoologi yang khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan herpetofauna.
Herpetofauna sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amphibi dan reptil. Amphibia adalah kelompok binatang yang hidup di dua alam, sedangkan reptil adalah kelompok hewan melata.

Herpetologi berasal dari bahasa Yunani, "Herpeton" yang berarti melata/merayap dan "Logos" yang berarti ilmu.
Iklim tropis di Indonesia merupakan kesempatan emas bagi berbagai spesies untuk hidup bersamaan karena sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia memiliki kurang lebih 16% keanekaragaman herpetofauna di dunia. Jenis reptil dan amphibi di Indonesia kurang lebih 1500 jenis. Sedangkan berdasarkan penelitian Van Kampen dan De Roije, di Pulau Jawa memiliki kurang lebih sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia yang telah berhasil dievaluasi dan diidentifikasi.


Pustaka :

IUCN, Conservation International and Nature Serve. 2008. Red List Category [online] 2008. Available from : URL: http://www.iucnredlist.org


Thayer and Smith. "Greek Lexicon entry for Herpeton".  "The New Testament Greek Lexicon". http://www.studylight.org


Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Academic Press. London, p: 357 - 358 


Zug, George R, Vitt, L.J. and Caldwell, J.P. 2001. Herpetology, 2nd ed. Academic Press San Diego, London
sumber
........................
Pengamatan Herpetofauna Di Kampus IPB Dramaga 17 Oktober 2011 03:06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 00:52:22 Dibaca : 182 Komentar : 1 Nilai : 0

Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
Saat praktikum pengamatan herpetofauna di sekitar rektorat kampus IPB Dramaga, siap-siap bawa perlengkapan, plastik, spidol, senter (cukup simple). Pengamatan ini dilakukan malam-malam (tentu saja herpetofauna kan hewan nocturnal). Sebelum cerita lebih lanjut, herpetofauna ini ialah reptil dan amfibi, sedangkan nocturnal adalah hewan yang aktif di malam hari. Nah, selanjutnya kita pengamatan, hm cukup seru, dingin-dingin nyari reptil dan amfibi, akhirnya ketemu kodok, sebenarnya takut sech tapi berhubung pengamatan ya sudah saya tangkap, sambil jijik campur takut saya ambil dan di masukkan ke plastik, trus diberi data X= jarak hewan ke air secara horizontal, Y=jarak hewan ke air secara vertikal, aktifitas, tempat,. Pengamatan selanjutnya diteruskan, tapi kebanyakan ketemu kodok dan kodok lagi, eh di kolam ketemu juga katak. saya tangkap meski dengan berbagai cara nangkapnya, he (maklum jijik dan takut). Nah loh, katak dan kodok ternyata beda, setelah di terangkan asisten praktikum, kodok itu ada totol gitu trus gendut (seperti di ruman-rumah), kalo katak kurus alias ramping. Hm jadi tau katak dan kodok, kalo diperhatikan  katak lebih indah alias lebih keren dibanding kodok. Setelah sekian lama pengamatan tetap za ketemunya kodok lagi kodok lagi, jadi bosen, kadal ga ketemu, ular ga ngeliat, emang harus sabar pengamatan tuh. Karena berhubung larut malam, kami berkumpul untuk mengidentifikasi. Cukup seru, kami mengukur SVL kodok atau katak atau reptil kalo ga salah dari kepala sampai ekor. Hm pengamatan herpetofauna yang menarik, cukup melelahkan, tapi ini seru dan pengalaman yang indah.

Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
sumber
...................

KAMIS, 17 MARET 2016

TUGAS MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA POPULASI


TUGAS
MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA POPULASI


Disusun Oleh:
PURI RETNO NOFIA (D1D013044)
KELAS : B
SEMESTER : VI


Dosen Pengampu:
NOVRIYANTI, S.HUT, M.SI
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016
A.    Herpetofauna
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan fauna yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.

Kelas reptilia

1.      Buaya Muara (Crocodylus porosus)
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
C. porosus
Buaya muara atau buaya bekatak (Crocodylus porosus) adalah jenis buaya terbesar di dunia. Dinamai demikian karena buaya ini terutama hidup di sungai-sungai dan di dekat laut (muara). Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan nama-nama lokal lainnya. Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan nama Saltwater crocodile, Indo-Australian crocodile, dan Man-eater crocodile. Nama umumnya, Man-eater="pemakan manusia", karena buaya ini terkenal pernah (dan sering) memangsa manusia yang memasuki wilayahnya. Buaya ini tersebar di seluruh perairan dataran rendah dan perairan pantai di daerah tropis Asia SelatanAsia Tenggara, dan Australia (Indo-Australia).
Buaya muara berbeda dengan buaya lain yaitu sisik belakang kepalanya yang kecil atau tidak ada, sisik dorsalnya bertunas pendek berjumlah 16-17 baris dari depan dan belakang biasanya  6-8 baris. Buaya muara memiliki ukuran yang lebih besar di banding buaya air tawar yaitu pada rahang atas dan bawah serta ukuran gigi. Mereka memiliki warna yang bervariasi dari warna abu-abu hingga hijau tua terutama pada buaya dewasa, sedangkan buaya muda berwarna lebih kehijauan dengan bercak hitam dan belang pada ekornya. Pejantan dapat tumbuh hingga 7 meter (23 kaki), namun sebagian besar adalah kurang dari 5 meter. Betina biasanya memiliki panjang kurang dari 4 meter dan dapat mulai bertelur dan membuat sarang sekitar 12 tahun.
Makanan utamanya adalah ikan walaupun sering menyerang manusia dan babi hutan yang mendekati sungai untuk minum. Persebaran buaya ini hampir di seluruh perairan Indonesia.

Penyu hijau

Kingdom       : Animalia
Filum             : Chordata
Kelas             : Reptilia
Ordo             : Testudinata
Famili            : Cheloniidae
Genus            : Chelonia
Spesies          : Chelonia mydas L.
Penyu hijau  merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai Penyu hijau  bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini kadang-kadang pula disebut penyu daging (Anonim, 2010).
Sebaran Penyu hijau  terdapat di Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut Mediterania. Habitat Penyu hijau  ini hidup di perairan tropis dan sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau  juga diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas.  Kemampuan migrasi Penyu hijau  pada beberapa populasi dapat mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau  hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau  memiliki siklus kehidupan yang panjang, namun tingkat kehidupannya rendah.
Ciri morfologi Penyu hijau  menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki depan yang besar.
Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik penyu hijau yang berada  di   sekitar  Teluk California  hanya  memakan  alga merah.
·         Kelas amphibia

Kodok Merah (Leptophryne cruentata)
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Anura
Famili:
Genus:
Leptophryne
Spesies:
L. cruentata
Kodok Merah (Leptophryne cruentata) berukuran kecil dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi bintik-bintik berwarna merah darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan bintik-bintik merah atau kuning atau putih marmer. Lantaran warna merahnya yang menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga sebagai katak merah. Makanan kodok merah adalah belalang, jangkrik, dan cacing tanah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras di daerah berketinggian antara 1.000 – 2.000 meter dpl. Habitatnya hanya diperkirakan hanya terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Selebihnya tentang perilaku Kodok Merah (Bleeding Toad) belum banyak yang diketahui.


Kerajaan          : Animalia.
Filum               : Chordata.
Kelas               : Amphibia.
Ordo                : Anura.
Famili              : Ranidae.
Genus              : Huia.
Spesies            : Huia masonii Boulenger
Katak yang dikenal sebagai Kongkang Jeram ini berukuran sedang dengan tubuh yang ramping. Panjang tubuh dari moncong hingga anus berkisar antara 3-5 cm. Tubuh katak jantan umumnya lebih kecil dibanding betina. Kongkang Jeram memiliki kaki yang kurus namun panjang. Memiliki jari tangan dan kaki dengan piringan yang sangat lebar.
Tekstur kulit Kongkang Jeram halus, meskipun terdapat beberapa bintil. Sisi punggung (dorsal) berwarna kecoklatan atau coklat hijau zaitun, terkadang memiliki bercak-bercak berwarna gelap atau terang yang terlihat jelas. Lipatan dorsolateral sempit, putus-putus, tidak jelas, dan berbintik-bintik hitam. Sisi kepala hitam di sekeliling timpanum (gendang telinga). Sisi bagian perut (ventral) berwarna putih.
Kongkang Jeram adalah amfibi endemik Jawa, Indonesia. Diketahui tersebar di Jawa bagian barat dan tengah. Lokasi-lokasi ditemukannya Kongkang Jeram antara lain di Taman Nasional Halimun, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, Gunung Salak, Lembang (Bandung), Dieng, Gunung Slamet, dan Gunung Ungaran.
Habitat hewan endemik Jawa ini adalah daerah hutan atau pun tepi hutan pada ketinggian antara 50-1.200 meter dpl. Terutama menyukai sungai-sungai kecil yang dangkal, berair jernih, berbatu-batu, dan memiliki arus deras. Aktif di malam hari (hewan nokturnal). Kongkang jantan kerap menggunakan batu-batu besar atau kayu yang melintang di sungai sebagai tempatnya bertengger dan bersuara memanggil betinanya.

Kupu-kupu

Kingdom         : Animalia
Phylum            : Artropoda
Class                : Insecta
Ordo                : Lepidoptera
Superfam         : Papilionoidea
Familia            : Papilionidae
Genus              : Ornithoptera
Species            : Ornitopthera priamus
Kupu-kupu ini mempunyai sayap berwarna hijau dengan kombinasi hitam. Tubuh berwarna kuning keemasan dengan kombinasi kehitaman. Mempunyai sepasang antenna di kepala. Kaki berjumlah enam.Larva kupu-kupu ini memakan nectar dari bunga. Setelah menemukan pasangan yang cocok dan kawin, betina pergi dan meletakkan telurnya. Telur diletakkan secara individual pada tanaman inang. Setelah menetas, ulat akan memakan kulit telur yang tersisa. Kepompong akan terbentuk di dekat tanaman inang. Kupu-kupu ini dapat diamati sepanjang tahun dengan angka tertinggi yang terjadi pada musim panas dan musim gugur.Kupu-kupu ini dianggap beracun bagi predator, seperi burung. Kupu-kupu ini berperan penting dalam penyerbukan tumbuhan.
Kupu-kupu ini hanya ditemukan di hutan hujan tropis dimana terdapat tanaman inang yang melimpah. Kupu-kupu ini hidup di kanopi hutan hujan dan berkembang biak di tumbuhan yang merambat.

Diposkan oleh Puri Retno di 04.43 

sumber
.........................

HERPETOFAUNA TAMAN NASIONAL BALI BARAT


Eksplorasi di kawasan mangrove Teluk Gilimanuk, Teluk Terima dan Teluk Banyuwedang, TNBB berhasil menemukan 23 jenis herpetofauna (meliputi 21 jenis reptil dan 2 jenis katak) yang tergabung dalam 11 suku. Katak Rana chalconota dan Limnonectes cancrivora ditemukan pada genangan air tawar di sekitar Teluk Terima pada malam hari. Sedangkan kodok Bufo melanosticus ditemukan di ketiga lokasi survei pada malam hari.
Ular king kobra (Ophiophagus hannah) dan ular senduk (Naja sputatrix) walaupun memiliki habitat yang berbeda, namun keduanya termasuk ular yang sering ditemukan oleh masyarakat setempat. Ular weling, Bungarus candidus hanya ditemukan di Teluk Terima, namun menurut keterangan masyarakat lokal ular ini juga dapat ditemukan di ketiga lokasi penelitian. Ular Trimeresurus albolabris tergolong jenis ular berbisa yang dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan lipi gadang/lipi tabea termasuk umum dan mudah ditemukan di TNBB. Spesimen ular ini diperoleh dari Banyuwedang pada siang hari. Ular Dendrelaphis pictus dan Ahaetulla prasina ditemukan di ketiga lokasi survei pada siang hari. Pada malam hari ular ini biasanya beristirahat pada ranting pohon seperti halnya ular Lycodon aulicus. Ular Ptyas mucosus termasuk ular tidak berbisa, ukuran ular dewasa dapat mencapai sebesar lengan orang dewasa. Di Jawa ular ini banyak diburu karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, dagingnya dikonsumsi dan kulitnya untuk bahan baku kerajinan.
Ular mata kucing atau ular mangrove (Cerberus rynchops) yang merupakan predator ikan dapat ditemukan di ke tiga lokasi survei. Phyton molurus termasuk jenis ular yang dilindungi perundang-undangan RI, spesimen ular ini diperoleh dari Teluk Terima. Ular ini termasuk jenis yang sering ditemukan di Bali Barat, sebaliknya ular sanca batik (Phyton reticulatus) agak jarang ditemukan. Sanca kembang merupakan jenis ular yang terus diburu untuk diambil daging, kulit atau sebagai binatang peliharaan.
Sejenis ular laut (Hydrophis sp.) ditemukan di ke tiga lokasi survei pada sore hari di pinggir pantai. Jumlah ular yang ditemukan tidak lebih dari 3 individu pada setiap lokasi yang disurvei.
Tiga jenis kadal yang umum ditemukan adalah Eutropis multifasciata, E. rugifera, Lygosoma qudrupes. Namun yang paling sering dijumpai adalah kadal kebun (E. multifasciata). Jenis tokek dan cicak yang ditemukan adalah Gekko gekko, Cyrtodactylus fumosus, Gehyra mutilate, Hemydactylus frenatus. Tokek (Gekko gekko) termasuk binatang yang umum dan paling sering ditemukan di semua lokasi yang disurvei.

Hanya satu jenis kura-kura yang ditemukan, yaitu Coura amboinensis di Teluk Gilimanuk dan Banyuwedang. Kura-kura ini banyak diburu dan diperdagangkan sebagai binatang peliharaan. Sedangkan biawak (Varanus salvator) dengan mudah ditemukan di pantai dan mangrove TNBB. Biawak ini memiliki nilai ekonomi tinggi terutama kulitnya yang dipergunakan sebagai bahan baku kerajinan.

sumber
............................