CHLOEPEDIA-- Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil
penelusuran.hasil result : HERPETOFAUNA ( part 2 )
.........................................................
HERPETOFAUNA
............................................................
Label,penelusuran,tag,hasil,result,hasil penelusuran.hasil
result :
Herpetofauna,herpetology,biodiversity ,tugumuda reptiles
community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,chloe ardella raisya
putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
Herpetofauna,herpetology,biodiversity,keanekaragaman
hayati,flora,fauna,konservasi,habitat,komunitas,reptil,satwa.t-rec,tugumuda
reptiles community,kse,komunitas satwa eksotik,sahabat si komo,on line,chloe
ardella raisya putri kamarsyah,prianka putri,aldhika budi pradana
................................................................
Hanya
berusaha merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan herpetofauna dari
sumber sumber yang ada di pencarian google search , semoga dapat membantu dan
bermanfaat
Just trying to summarize
everything connected with herpetofauna from existing sources in the google search
engine, may be helpful and useful
.................................................................
BERMANFAAT UNTUK ANDA
?????....BANTU KAMI DENGAN BER DONASI UNTUK KELANGSUNGAN CHLOEPEDIA ATAU MENJADI VOLUNTEER UNTUK
KAMI...(+62)85866178866 ( whatsapp only
)
Link chloepedia :
Herpetofauna 1
herpetofauna 2
herpetologi 1
herpetologi 2
herpetologi 3
herpetologi 4
herpetologi 5
herpetologi 6
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-1
amelanistic-amelanistik-amel-amelanism-2
.................................................................
HURSDAY, MARCH 10, 2011
Fotografi
Herpetofauna
Secara umum fotografi
pada herpetofauna sama dengan fotografi pada umumnya, tetapi memiliki beberapa
trik khusus agar foto herpetofauna yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik.
Saya hanya akan menyampaikan beberapa saran yang saya dapt dari materi kuliah
fotografi herpetofauna dan hasil sharing dengan orang-orang yang lebih
berpengalaman serta sedikit pengalaman di lapang.
Herpetofauna adalah sebutan untuk amfibi
dan reptil. Keduanya merupakn satwa yang memiliki ukuran tubuh relatif kecil,
walaupun banyak juga yang memiliki ukuran tubuh besar. Sebagian besar
herpetofauna merupakan satwa yang nikturnal atau aktif pada malam hari.
Berdasarkan keadaan diatas maka, dalam fotografi herpet sangat diperlukan
teknik atau mode makro yang menempatkan objek hampir sepenuh frame. Saat ini hampir
semua jenis kamera digital baik camera pocket, prosummer, maupun SLR sudah
memiliki mode makro dalam mode setting kamera. Sehingga sudah dapat memudahkan
pengambilan gambar, hanya tinggal bagaimana kita menentukan komposisi fotonya.
Teknik makro juga dapat digunakan dengan mode full auto, tetapi sebaiknya tidak
menggunakan manual karena akan menyulitkan, sedangkan herpetofauna aktif di
malam hari dan melakukan pergerakan juga. Fokus yang baik dalam pengambilan
objek herpetofauna yaitu gambar yang dihasilkan fokus dari moncong/mulut sampai
mata. Untuk teknik pengambilan gambar pada camera pocket atau SLR dengan lensa
standar biasanya bisa dengan cara mendekatkan kamera pada objek daan
menggunakan optical zoom maksimal pada kamera. Jangan pernah menggunakan
digital zoom (untuk camera pocket atau prosummer) karena gambar yang dihasilkan
akan tidak maksimal.
Selain
itu sebagian besar gambar herpet daiambil pada malam hari yang berarti minim
cahaya, maka diperlukan cahaya tambahan dan ISO yang tinggi. ISO yang digunakan
biasanya diatas 800, bisa 1600 atau 3200 tapi kadang terjadi efek samping
berupa timbulnya noise pada gambar yang dihasilkan. Flash sangat diperlukan
dalam pengambilan gambar herpet. Cahaya tambahan dari senter atau headlamp juga
diperlukan. Salah satu cara untuk mengatasi kurangnya cahaya dengan mengarahkan
senter kepada objek (herpet).
Dalam
fotografi herpetofauna biasanya satwa ditangkap terlebih dahulu kemudian dibuat
semacam ‘stidio alam’ dan dilekukan penyetingan dengan satwa sebagi ‘modelnya’.
Studio yang dibuat tetap harus menyerupai habitat asli satwa yang ditemukan.
Tetapi tetap perlu dilakukan “safety shooting” yaitu pengambilan gambar
saat satwa pertama kali ditemukan di habitat aslinya.
Sebenarnya
masih banyak cara yang dapat digunakan dalam fotografi herpetofauna. tpi yang
namanya fotografi berarti jadi diri sendiri ga perlu terpaku sama aturan ini
itu. aturan yang perlu dipatuhi cuma satu : foto dengan hati
have
a nice try :D
sumber
.......................
Sabtu, 21 Februari 2015
KEANEKARAGAMAN
JENIS HERPETOFAUNA DI PINTU 2 KANAN KAMPUS IPB DARMAGA
KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI PINTU 2 KANAN KAMPUSIPB DARMAGA
Oleh
:
Achmad
Fajar P1 (E34120091),
Maedyta Annafiandini2 (E34120061), Fitri Kusriyanti3(E34120075), Hidayatul Munawaroh4 (E34120080), dan Dian
Widi Hasta5 (E34120081)
Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata-Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor
ABSTRACT
Research on
the distribution and diversity of herpetofauna in Bogor Agricultural University
needs to be done. This relates to developed of biodiversity conservation
program in Bogor Agricultural University. The objective of the research was to
analyzed the distribution and diversity of herpetofauna in Bogor Agricultural
University. The study was conducted in December 10th 2014. The data of herpetofauna were
collected by Visual Encounter Survey (VES) who combined with Time Search
method. Time of observation made in the night time (06.30 – 08.30 pm). Data
were analyzed using Shannon-Wiener Diversity Index (H’) for species diversity
and Index of Equitability or Evenness Simpsons (E) to determine to proportion
of the abundance species. The result showed that 6 species of herpetofauna were
found in Bogor Agricultural University. The Diversity Index was(H’= 1.641735), and Eveness Index was (E = 0.92). The most of species that found
are Takydromus sexlineatus.
Keywords : Bogor Agricultural University,
distribution, diversity, herpetofauna.
PENDAHULUAN
Satwa merupakan satu komponen penting
dalam kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat dari manfaat yang diberikan satwa
secara langsung maupun tidak langsung. Kampus IPB memiliki keanekaragaman
satwaliar yang tinggi. Di areal kampus IPB paling tidak terdapat 12 jenis
mamalia, 86 jenis burung, 37 jenis reptilia dan 4 jenis ikan (Hernowo et al. 1991). Keanekaragaman jenis adalah
banyaknya spesies satwa yang menempati suatu ekosistem baik di darat maupun di
perairan yang saling mempengaruhi. Pengamatan satwa merupakan bagian dari
kegiatan untuk inventarisasi satwa. Inventarisasi satwa adalah kegiatan untuk mengetahui
populasi jenis satwa dan habitatnya. Metode yang dapat digunakan dalam kegiatan
inventarisasi satwa kali ini yaitu metode VES. Metode Visual Encounter Survey (VES), yaitu pengambilan jenis
satwa berdasarkan penglihatan langsung pada jalur yang telah ditentukan (Heyer et al. 1994). Tujuan dari
pengamatan ini adalah agar dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan
tentang teknik-teknik inventarisasi dengan menggunakan metode VES, untuk
menentukan ukuran populasi satwa berdasarkan metode tersebut serta dengan
mempraktekkan metode tersebut diharapkan dapat mengetahui keefektifan penerapan
metode-metode tersebut dalam kegiatan inventarisasi
satwaliar.
METODE
PENELITIAN
Lokasi dan
Waktu
Lokasi pengamatan dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga.
Pengamatan dilakukan pada tanggal 10 Desember 2014. Waktu pengamatan dilakukan pada malam
hari pukul 18.30 – 20.30 WIB.
Alat dan Bahan
Objek yang diamati adalah berbagai jenis herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Alat-alat yang digunakan pada pengamatan ini antara lain adalah tally sheet, alat tulis,plastik
spesimen, alat pengukur waktu, meteran, pesola, fieldguide, dan kamera.
Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES) yaitu pengambilan jenis satwa
berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terrestrial maupun
akuatik (Heyer et al.
1994). Metode VES ini dimodifikasi dengan metodetime search. Pengamatan
dilakukan selama dua jam. Time
search merupakan suatu metode
pengambilan data dengan waktu penuh yang lamanya waktu telah ditentukan
sebelumnya dengan waktu untuk mencatat satwa tidak dihitung. Pengamatan
dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga. Pengamatan dilakukan pada malam
hari pada pukul 18.30 – 20.30 WIB serta dilakukan dengan berjalan pada lokasi
yang telah ditentukan. Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan beberapa
tahap, yaitu :
a. Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada malam hari pukul 18.30 – 20.30 WIB.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan penerangan berupa cahaya senter atau headlamp yang diarahkan pada lokasi –
lokasi yang memungkinkan ditemukannya reptil dan amfibi seperti di batang
pohon, lubang, kayu lapuk, serasah, dan semak. Individu yang diamati kemudian
ditangkap dan dimasukkan dalam plastik berlabel. Beberapa jenis reptil atau
amfibi ditangkap untuk kebutuhan identifikasi dan dicatat ciri – ciri
morfologinya.
b. Dokumentasi dan identifikasi
spesimen
Data yang dicatat pada saat pengamatan reptil atau amfibi adalah
waktu, substrat, posisi, dan aktivitasnya. Dokumentasi berupa gambar diambil
dengan kamera baik saat ditemukan ataupun setelah diidentifikasi. Data yang
dicatat saat identifikasi adalah nama jenis, lokasi, dan informasi lain. Nama
jenis dapat diketahui dengan menggunakan kunci identifikasi dan bila belum
ditemukan atau untuk meyakinkan foto – foto detail reptil atau amfibi dicocokan
kembali dengan fieldguide (Uetz dkk. 2012).
Analisis Data
Komposisi reptil atau amfibi di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga
dianalisis dengan dua parameter, yaitu :
1. Keanekaragaman Jenis
Jenis yang ditemukan kemudian ditentukan Indeks Keanekaragaman Jenis
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997), yaitu :
H’ = -∑ Pi Ln Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener
P = Proporsi jenis
ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-I dibagi jumlah seluruh individu
yang diperoleh disuatu lokasi)
Variabel
tersebut dapat digunakan dengan kriteria sebagai berikut :
H’ <
1 = Menunjukkan tingkat keanekaragaman
jenis yang rendah.
1 < H’ <
3 =
Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang.
H’ >
3 = Menunjukkan tingkat keanekaragaman
jenis yang tinggi.
Nilai yang
diperoleh kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragamn jenis
berdasarkan habitat.
2. Kemerataan Jenis.
Derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi dianalisis dengan Indeks
Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan
Jenis (Brower & Zar 1997), yaitu :
E = H’/Ln S
Keterangan :
E = Indeks Kemerataan Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-
Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
HASIL
Komposisi jenis,
keanekaragaman, dan kemerataan jenis reptil dan amfibi
Berdasarkan hasil pengamatan,
ditemukan reptil sebanyak delapan ekor dan amfibi sebanyak tiga ekor. Jenis
reptil yang ditemukan yaitu, Cosymbotus
platyurus (1 ekor),Brochocela
jubata (2 ekor), Takydromus sexlineatus (4 ekor), dan Rhabdophis subminatus(1 ekor).
Sedangkan untuk jenis amfibi yang ditemukan yaitu, Duttaphrynus melanostictus (2 ekor) dan Phrynoidis aspera (1 ekor) (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik rekapitulasi hasil inventarisasi herpetofauna di Pintu 2
Kanan Kampus IPB Darmaga.
Hasil perhitungan indeks
keanekaragaman herpetofauna di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga dengan analisis
Shannon-Wiener didapatkan sebesar H’ = 1.641735 dan untuk perhitungan
indeks kemerataan Evenness didapatkan sebesar E = 0.92.
Masing
– masing jenis reptil dan amfibi menyukai substrat yang berbeda untuk melakukan
aktivitasnya, Gambar 2. menunjukkan jenis substrat yang banyak digunakan jenis
reptil dan amfibi. Persentase terbesar yaitu pada serasah sebesar 28%. Serasah
dan tanah sering digunakan oleh jenis – jenis reptil dan amfibi yang tergolong
terrestrial. Persentase penggunaan substrat terkecil yaitu pada tumbuhan bawah
sebesar 9%.
Gambar 2. Grafik perserntase penggunaan
substrat oleh reptil dan amfibi pada saat perjumpaan.
Aktivitas reptil dan
amfibi pada perjumpaan yaitu terdiri dari diam, melompat, makan, dan merayap.
Aktivitas yang banyak terlihat adalah diam yaitu sebesar 55%. Aktivitas diam
ini banyak ditemukan pada jenis reptil seperti Takydromus
sexlineatus dan Bronchocela jubata. Aktivitas paling
sedikit ditemukan adalah makan dan merayap yaitu sebesar 9%, hanya ditemukan
pada jenis reptil seperti Cosymbotus platyurus dan Takydromus
sexlineatus(Gambar 3).
Gambar 3. Grafik persentase aktivitas herpetofauna pada saat perjumpaan.
Jenis Takydromus sexlineatus menunjukkan
nilai kelimpahan paling tinggi yaitu 0,3636 dengan dominansi tertinggi 36,3636.
(Tabel 1).
Tabel 1 Kelimpahan dan Dominansi jenis herpetofauna di
Sisi Kanan Pintu II IPB.
PEMBAHASAN
Kondisi Umum
No
|
Nama Jenis
|
Jumlah Individu
|
Pi
|
D (%)
|
1
|
Duttaphrynus melanostictus
|
2
|
0.181818
|
18.18182
|
2
|
Cosymbutus platyurus
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
3
|
Bronchocela jubata
|
2
|
0.181818
|
18.18182
|
4
|
Takydromus sexlineatus
|
4
|
0.363636
|
36.36364
|
5
|
Ular picung
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
6
|
Phrynoidis aspera
|
1
|
0.090909
|
9.090909
|
Total
|
11
|
Kampus IPB Darmaga yang memiliki luas wilayah 267 Ha,
terdapat beberapa jenis satwa liar yang tersebar hampir di seluruh wilayah
kampus, di antaranya dari jenis – jenis burung, mamalia, reptil, dan
amfibi. Kampus IPB saat ini sedang berada dalam tahap pembangunan dan
pengembangan, terutama terhadap sarana fisiknya. Kegiatan tersebut akan
menimbulkan perubahan lingkungan fisik maupun biotik. Menurut Hernowo (1985),
perubahan tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap keberadaan dan
kelangsungan hidup satwa liar yang terdapat di Kampus IPB. Secara geografis Kampus IPB Darmaga terletak
antara 6⁰30” sampai 6⁰45” LS dan 106⁰30” sampai 106⁰ 45” BT. Terletak di Jalan Raya Darmaga, 12 km dari Kotamadya Bogor.
Secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Babakan, Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Iklim kawasan termasuk iklim hujan tropik.
Temperatur rata-rata tahunan sebesar 25.7⁰C, curah hujan rata – rata adalah 340,3
mm. Jenis tanah adalah Latosol. Topografi kawasan terbagi dalam 4 kelas
kemiringan dengan perincian terhadap luas kawasan kampus sebagai berikut: 0-5%
sebanyak 41%, 5-15% sebanyak 37%, 15-25% se-banyak 17%, dan >25% sebanyak 5
%.
Kondisi jalur pengamatan yaitu berada di Pintu 2 Kanan
Kampus IPB Darmaga. Ada kondisi dengan vegetasi yang sangat rapat dan ada
kondisi dengan vegetasi terbuka. Vegetasi yang dominan yaitu bambu. Cukup
banyak kegiatan manusia di tempat tersebut salah satunya yaitu pejalan kaki
yang sering berlalu-lalang.
Bahas Data
Data yang diperoleh berdasarkan
pengamatan diolah dan menujukkan hasil berupa indeks kekayaan, kelimpahan,
indeks keenekaragaman, kemerataan dan dominansi jenis. Indeks kekayaan jenis
herpetofauna di lokasi pengamatan yaitu 2.0852. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa jenis herpetofauna di lokasi pengamatan cukup beragam.
Kelimpahan pada jenis herpetofauna
di lokasi pengamatan menunjukkan kelimpahan terbesar pada jenis Takydromus
sexlineatus yaitu 0.3636. Jenis tersebut ditemukan dengan jumlah 4
individu dan dalam SVL yang berbeda pada rentang 2,3 sampai 4 cm. Substrat
ditemukannya jenis ini berupa rumput dan daun diketinggian 0,3 sampai 0,6 m
dengan aktivitas sedang diam dan makan. Jenis Duttaphrynus melanostictus dan Bronchocela
jubatadiperoleh dengan kelimpahan yang sama sebesar 0,1818 dan jumlah
sebanyak 2 individu. JenisDuttaphrynus melanostictus ditemukan di
atas rumput dan serasah dengan aktivitas melompat. Jenis tersebut memiliki
ukuran berat yang cukup jauh berbeda yaitu 60 gram dan 9,5 gram dengan SVL 10
cm dan 3,5 cm. Kondisi tersebut menunjukkan jenis tersebut ditemukan masih
anakan dan dewasa. Jenis Bronchocela jubata ditemukan pada
ranting pohon dan daun dengan aktivitas diam dan ukuran berat serta SVL yang
relatif sama. Jenis lain yang ditemukan pada pengamatan yaitu Cosymbutus
platyurus, Ular picung dan Phrynoidis aspera menunjukkan kelimpahan yang rendah
yaitu 0,0909 dengan hanya ditemukannya satu individu per jenis.
Indeks keanekaragaman hasil pengamatan
menunjukkan nilai 1,6417. Nilai tersebut menunjukkan keanekaragaman jenis
herpetofauna di lokasi pengamatan masuk dalam kriteria sedang berdasarkan
kriteria indeks keanekaragaman menurut Odum (1993) yaitu pada rentang 1-3.
Menurut Campbell (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman jenis suatu komunitas alamiah diantaranya ketersediaan energi,
spesialisasi relung, iklim, interaksi populasi, dan kemampuan reproduksi. Nilai
indeks keanekaragaman yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa lokasi
pengamatan memiliki vegetasi yang cukup sesuai sehingga herpetofauna yang dapat
ditemukan di lokasi cukup beragam dan dapat beradaptasi dengan lingkungan
dengan cukup baik.
Kemerataan di lokasi pengamatan
diperoleh nilai 0.9163. Nilai tersebut menujukkan tingkat kemerataan
herpetofauna di lokasi pengamatan cukup tinggi karena mendekati nilai satu.
Santosa (1995) menjelaskan bahwa konsep kemerataan menunjukkan derajat
kemerataan kelimpahan individu antar spesies. Konsep ini dapat digunakan
sebagai indikator adanya gejala dominasi diantara setiap jenis dalam suatu
komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka
komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan maksimum. Berdasarkan hasil yang
diperoleh tidak setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, terdapat 3
jenis yang memiliki jumlah individu yang sama yaitu 1 individu, 2 jenis
individu yang memiliki jumlah individu masing-masing 2 dan 1 jenis individu
yang memiliki jumlah 4 individu. Jumlah tersebut menunjukkan nilai kemerataan
tidak maksimum dan terdapat jenis yang mendominasi di lokasi pengamatan yaitu
jenis Takydromus sexlineatus. Jenis tersebut mencapai nilai
dominansi 36,364 %, sedangkan jenis lain berturut-turut dengan jumlah individu
2 jenis memiliki dominansi 18,182 % dan jenis dengan jumlah 1 individu memiliki
dominansi paling kecil yaitu 9.091 % .
Hasil yang diperoleh berdasarkan
penggunaan metode VES dan time searchmenunjukkan data yang cukup
baik karena dapat diperoleh hasil pengolahan data yang cukup lengkap
terkait indeks kelimpahan, indeks keanekaragaman, kemerataan dan dominansi
jenisherpetofauna. Penggunaan metode ini memberikan kesempatan terhadap setiap
spesies untuk diamati, dapat diketahui habitat yang disukai tiap spesies dengan
kriteria berat badan dan umur spesies (Tajalli 2001). Waktu selama dua jam juga
memungkinkan ditemukannya jenis herpetofauna yang cukup untuk mewakili lokasi
pengamatan dengan pengamatan yang juga dilakukan oleh jumlah pengamat yang
cukup banyak yaitu lima orang.
KESIMPULAN
Pengamatan
herpetofauna dilakukan di Pintu 2 Kanan Kampus IPB Darmaga Bogor selama dua jam
dengan menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) yang
dikombinasikan dengan metode time search. Jumlah herpetofauna yang
didapat sebanyak enam jenis dengan rincian 4 jenis reptil dan 2 jenis amfibi.
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui indeks keragaman Shannon-Wiener (H’)
sebesar 1.641735, yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut memiliki tingkat
keragaman jenis herpetofauna yang sedang. Selain indeks keragaman
Shannon-Wiener, diketahui juga indeks kemerataan
Evennes (E) sebesar 0.92, yang menunjukkan bahwa persebaran jenis herpetofauna
yang didapat cukup merata.
DAFTAR PUSTAKA
Brower JE, Zar JH. 1997. Field
and Laboratory Methods for General Ecology. Lowa: Brown.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG.
2004. Biologi Edisi Kelima (Terjemahan). Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW,
hayer LC and Foster MS. 1994. Measuring and monitoring Biological
Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution
Oress. Washington.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar
Ekologi (Edisi Ketiga). Yogyakarta (ID): University Gadjah
Mada Pr.
Santosa Y. 1995. Teknuik Pengukuran
Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Tajalli A. 2001. Keanekaragaman
jenis reptil di kawasan lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. [Skripsi].
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Depatemen Kehutanan.
Iinstitut Pertanian Bogor.
Uetz P, Hallemann J. The Reptil
Database. http://www.reptile-database.org/. [Diakses 14 Desember 2014]
sumber
...................
Selasa, 17
Februari 2015
Sensasi Motret Satwa Malam
Di antara kesibukan kita akan
pekerjaan, muncullah beragam kendala seperti menumpuknya deadline pekerjaan,
kemacetan kota yang sudah tidak bisa terbendung lagi untuk jalan keluarnya,
beragam permasalahan perekonomian semakin hari semakin membuat kepala seakan
ingin pecah, dan rumitnya keinginan manusia. Terkadang hal ini menimbulkan
dampak negatif, yaitu stress. Apabila tingkatan stress pada individual sudah
memuncak, kebanyakan sisi negatif berpikir manusia pun mulai tidak sejalur
dengan kemauan hati dan nurani individualnya.
Banyak cara yang dilakukan
masyarakat perkotaan tentunya untuk mengurangi dampak stress pada diri mereka,
antara lain mereka menyempatkan diri mereka seperti pergi berlibur ke
tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Selain itu, ada juga yang menyempatkan
diri mereka untuk pergi melakukan beberapa aktifitas seperti pergi ke
tempat-tempat hiburan malam. Namun yang paling langka dijumpai adalah pergi
bermeditasi ke alam liar yang jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan hanya guna
untuk memotret satwa.
Memotret satwa di alamnya
tentulah hal yang sangat jarang dilakukan di perkotaan seperti Jakarta. Salah
satu penyebabnya adalah kurangnya lahan hijau di ibukota dan menurun drastisnya
satwa yang sangat sulit sekali perjumpaanya dengan kita tentunya. Bagi penduduk
yang berdomisili di Jakarta sendiri, alternatif lain adalah dengan berlibur ke
kawasan Bogor dan sekitarnya yang dapat mengapresiasikan meditasi kita dengan
memadukan meditasi dan fotografi bersama satwa di alamnya.
Namun, terkadang masyarakat
umum yang mengenal fotografi itu sendiri seakan kurang memahami fotografi satwa
liar. Yang selalu menjadi polemik adalah, jika kita ingin terjun ke dunia
fotografi alam liar tentulah harus memiliki perlengkapan kamera yang super
mahal dengan beragam tipe. Termasuk dengan lensa super tele yang harganya membuat
penggemar fotografi enggan untuk terjun ke dunia alam liar. Di dunia fotografi
alam liar, tak haruslah kita memiliki perlengkapan super mahal dan banyak
seperti anggapan umum itu. Cukup dengan menggunakan kamera DSLR atau pun poket
pun kita dapat melakukan aktifitas super murah meriah dan bermanfaat.
Dengan bermodalkan niat,
kesabaran dan juga kamera seadanya kita dapat memulai aktifitas alam. Paling
menggoda adalah melakukan aktifitas fotografi malam hari. Peralatan senter atau
pun head lamp sebagai penerangan, kamera, flasheksternal
jika memiliki jika tidak ada bisa menggunakan internal flash dari
kamera dan juga tripod tentunya, kita dapat berwisata dan berbaur dengan alam.
Ada beberapa spot untuk melakukan fotografi satwa malam yang
sangat memacu adrenalin kita. Salah satunya di kampung Loji Cijeruk, Bogor.
Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta selama
kurang lebih 1,5 jam melalui Ciawi. Hamparan persawahan di kaki bukit Gunung
Salak sangatlah indah di kanan kiri perjalanan menuju lokasi. Saran terbaik
untuk melakukan trip fotografi malam di lokasi ini adalah mengunjungi kawasan
Loji dari Jakarta pada sore hari, sehingga setelah maghrib para fotografer
dapat melakukan aktifitasnya langsung mengeksplor kawasan Loji pada malam hari.
Satwa malam yang dapat dijumpa kebanyakan adalah microfauna, seperti aneka
jenis siput, ngengat dan serangga lainnya. Sedangkan yang menjadi trend satwa
fotografi malam di lokasi ini adalah beberapa jenis katak seperti Rana
hosii (kongkang racun) atau katak pohon, serta katak tanduk. Satwa
melata lain yangh dapat dijumpai di lokasi ini antara lain seperti bunglon,
ular pucuk, ular siput, dan ular berbisa sepertigreen tree pit viper .
Tak hanya kaum lelaki saja
yang mencintai fotografi dan mengikuti sensasinya memotret satwa pada malam
hari. Namun dari kaum hawa pun, ada yang menyempatkan waktunya untuk
berekspresi dengan satwa melalui rana cahaya.
Dengan media visualisasilah
seharusnya kita mengagungkan karya yang maha Kuasa ini, dan tentunya tetap di
alamnya. Bukan untuk dipelihara. Memang satwa-satwa pada malam hari kebanyakan
memiliki keunikan luar biasa dibandingkan satwa-satwa yang mudah dijumpai pada
siang hari. Namun, keunikan tersebut lebihlah indah berada tetap di alamnya.
Kebanyakan satwa yang dapat kita eksekusi melalui kamera kita adalah
herpetofauna. Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani,
“herpeton” berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna
adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran
tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin
(poikilotermik). Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu
lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas
amfibi dan reptil berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua
kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa ordo yang
kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
Dari dua kategori reptil dan
amfibi inilah kebanyakan dapat kita jumpai dengan mudah pada malam hari. Dan
kelompok itu menjadikan fotografi malam menjadi sangat menarik. Caranya dengan
berjalan menyusuri pinggiran sungai. Bermain dengan komposisi dan pencahayaan
dalam lukisan cahaya sangatlah seru dan unik. Namun tentunya kita di sini juga
memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi mereka. Salah satunya memperhatikan
perilaku satwa tersebut. Jika dirasa satwa tersebut sudah berada di titik
stress, sebaiknya kita menghentikan pola pencahayaan yang mengarah ke arah mata
satwa, seperti katak misalnya. Jika kita mengeksplor sebuah foto katak, dan
terus dihajar dengan flash ekternal, pupil katak akan
mengecil. Saat itu, sebaiknya diberikan jeda atau lebih baik kita mencari lagi
jenis satwa lainnya.
Beberapa tips dalam memotret
satwa malam antara lain:
1.
Sebaiknya kita
menggunakan flash eksternal (speedlight), gunanya untuk
membuat foto lebih berdimensi dalam proses pencahayaanya.
2.
Sebaiknya
menggunakan mode manual. Manual dari setting-an kamera, kita akan
lebih mengetahui keinginan akhir dari sebuah foto ketimbang menggunakan setting-an
auto atau setting-an selain manual dari kamera. Dengan menggunakan
bukaan F11 tentunya nampak belakang objek foto akan pekat dan objek depan akan
lebih menonjol struktur warnanya. ISO yang kita gunakan adalah tidak lebih dari
320.
3.
Usahakan headlamp tidak
berada di bagian kepala, kita takutkan satwa melata seperti ular yang berada di
dahan pepohonan di atas kepala tidak sempat kita lihat akan membahayakan kita.
Kewaspadaan tentunya diperlukan dalam memotret satwa pada malam hari.
4.
Usahakan
menggunakan sepatu boat waterproof jika memungkinkan.
5.
Tetap selalu
menggunakan jasa pemandu lokal di lokasi yang akan kita eksplor, Hal tersebut
lebih baik ketimbang hanya dengan modal nekat sendiri.
6.
Seandainya satwa
seperti amfibi dirasa kurang komposisinya karena keberadaanya kurang bagus
misalnya, disarankan untuk memindahkan objek di sekitaran lokasi yang sekiranya
kita dapat memperoleh sebuah komposisi foto yang bagus. Setelah foto barulah
kita mengembalikan satwa tersebut ke posisi semula mereka berada.
7.
Maksimal
fotografer tidak lebih dari 5–6 di lokasi yang sama di diameter jarak 10 meter.
Dalam artian untuk setiapspotting disarankan untuk tidak banyak
orang karena faktor kesulitan kita mendekati objek dan juga faktor lainya.
Dari
catatan kecil di atas, setidaknya kita kelak dapat sedikit pengetahuan mengenai
kehidupan satwa malam dan dapat mengabadikanya walau hanya dari kamera standar
kita. Abadikanlah mereka dengan hati dan kesabaran. Sehingga kelak foto-foto
tersebut dapat menceritakan kelak ke anak cucu kita bahwa satwa-satwa ini
pernah ada di muka bumi Indonesia sebelum punah.
sumber
..................
PELATIHAN PENGENALAN DAN METODE PENGAMATAN
HERPETOFAUNA 2016 - SESI JAWA BARAT
On: Friday, June 17, 2016
By: Tambora
Pelatihan Pengenalan dan Metode Pengamatan
Herpetofauna 2016 - sesi Jawa Barat
Diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia. Pelatihan yang diketuai oleh Dr. Mirza D. Kusrini ini merupakan bagian dari kampanye program “Amfibi Reptil Kita” yaitu monitoring amfibi dan reptil di Jawa dan Bali melalui citizen science yang didukung oleh National Geographic Society. Peserta dibatasi 20 orang. Panitia akan memilih peserta bukan berdasarkan pendaftaran pertama namun berdasarkan potensi pendaftar sebagai calon herpetolog di masa datang. Pendaftaran untuk sesi Jawa Barat dibuka dari tanggal 1-19 Juni 2016 dan pengumuman penerimaan pada tanggal 22 Juni 2016.
Syarat dan Ketentuan Pendaftaran
Dalam hal ini pihak penyelenggara pelatihan adalah Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penyelenggara. Sedangkan pendaftar kegiatan pelatihan ini selanjutnya disebut sebagai Calon Peserta.
A. Pendaftaran
1. Prioritas diberikan kepada calon peserta yang telah terdaftar menjadi anggota milis (forum_herpetologi_indonesia@yahoogroups.com) dan FB group PHI (Perhimpunan Herpetologi Indonesia)
2. Usia calon peserta minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun yang ditunjukkan dengan scan Kartu Identitas (KTP, Paspor, KTM, SIM) saat peserta telah resmi diterima sebagai peserta
3. Pendaftaran dilakukan melalui online. Silahkan klik link ini dan langsung di isi:http://goo.gl/forms/9MDISAZ450jm4dyd2
4. Bagi calon peserta yang memiliki penyakit khusus wajib konfirmasi ke Penyelenggara
5. Bagi peserta yang sudah diterima dan membutuhkan surat resmi undangan pelatihan dapat memberitahukan kepada panitia melalui email herpetologiindonesia@gmail.com
6. Peserta bersedia mengikuti peraturan dan tata tertib serta mengikuti kegiatan hingga akhir
7. Peserta yang diterima bersedia menjadi simpul kegiatan monitoring herpetofauna di kota masing masing
B. Biaya
1. Peserta tidak dikenakan biaya selama pelatihan berlangsung
2. Selama pelatihan panitia akan menanggung makan, akomodasi sederhana (berbagi kamar) dan transportasi dari tempat berkumpul ke lokasi pelatihan (untuk sesi Jawa Barat adalah dari Fakultas Kehutanan IPB ke Bodogol pp)
3. Biaya (transportasi, makan, akomodasi) yang keluar di luar pelatihan dan point 2 menjadi tanggung jawab para peserta
C. Penyelenggaraan
1. Kegiatan pelatihan sesi Jawa Barat akan diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Taman nasional Gunung Gede Pangrango, tanggal 18-21 Juli 2016
2. Pelatihan akan terdiri dari pengajaran kelas dan praktek langsung di lapang, yang akan di berikan oleh para ahli di bidang herpetologi.
3. Penyelenggara dapat menunda, membatalkan atau mengubah jadwal pelaksanaan pelatihan karena alasan tertentu yang dianggap penting.
Diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia. Pelatihan yang diketuai oleh Dr. Mirza D. Kusrini ini merupakan bagian dari kampanye program “Amfibi Reptil Kita” yaitu monitoring amfibi dan reptil di Jawa dan Bali melalui citizen science yang didukung oleh National Geographic Society. Peserta dibatasi 20 orang. Panitia akan memilih peserta bukan berdasarkan pendaftaran pertama namun berdasarkan potensi pendaftar sebagai calon herpetolog di masa datang. Pendaftaran untuk sesi Jawa Barat dibuka dari tanggal 1-19 Juni 2016 dan pengumuman penerimaan pada tanggal 22 Juni 2016.
Syarat dan Ketentuan Pendaftaran
Dalam hal ini pihak penyelenggara pelatihan adalah Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penyelenggara. Sedangkan pendaftar kegiatan pelatihan ini selanjutnya disebut sebagai Calon Peserta.
A. Pendaftaran
1. Prioritas diberikan kepada calon peserta yang telah terdaftar menjadi anggota milis (forum_herpetologi_indonesia@yahoogroups.com) dan FB group PHI (Perhimpunan Herpetologi Indonesia)
2. Usia calon peserta minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun yang ditunjukkan dengan scan Kartu Identitas (KTP, Paspor, KTM, SIM) saat peserta telah resmi diterima sebagai peserta
3. Pendaftaran dilakukan melalui online. Silahkan klik link ini dan langsung di isi:http://goo.gl/forms/9MDISAZ450jm4dyd2
4. Bagi calon peserta yang memiliki penyakit khusus wajib konfirmasi ke Penyelenggara
5. Bagi peserta yang sudah diterima dan membutuhkan surat resmi undangan pelatihan dapat memberitahukan kepada panitia melalui email herpetologiindonesia@gmail.com
6. Peserta bersedia mengikuti peraturan dan tata tertib serta mengikuti kegiatan hingga akhir
7. Peserta yang diterima bersedia menjadi simpul kegiatan monitoring herpetofauna di kota masing masing
B. Biaya
1. Peserta tidak dikenakan biaya selama pelatihan berlangsung
2. Selama pelatihan panitia akan menanggung makan, akomodasi sederhana (berbagi kamar) dan transportasi dari tempat berkumpul ke lokasi pelatihan (untuk sesi Jawa Barat adalah dari Fakultas Kehutanan IPB ke Bodogol pp)
3. Biaya (transportasi, makan, akomodasi) yang keluar di luar pelatihan dan point 2 menjadi tanggung jawab para peserta
C. Penyelenggaraan
1. Kegiatan pelatihan sesi Jawa Barat akan diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Taman nasional Gunung Gede Pangrango, tanggal 18-21 Juli 2016
2. Pelatihan akan terdiri dari pengajaran kelas dan praktek langsung di lapang, yang akan di berikan oleh para ahli di bidang herpetologi.
3. Penyelenggara dapat menunda, membatalkan atau mengubah jadwal pelaksanaan pelatihan karena alasan tertentu yang dianggap penting.
sumber
.......................
Foto: Enggano dalam Bingkai Herpetofauna
Enggano merupakan pulau terluar Indonesia yang
berada di pesisir Bengkulu dan langsung menghadap Samudera Hindia. Secara
administratif, pulau seluas 400,6 kilometer persegi ini berada di Kecamatan
Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
Melalui Eksplorasi Bioresources Enggano
yang dilakukan pada 16 April-5 Mei 2015,
Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menemukan 20
spesies baru dan sejumlah catatan penting terkait keragaman hayati di pulau
penuh potensi ini.
Khusus herpetofauna, sejatinya
eksplorasi telah dilakukan sejak abad ke-19. Adalah Vinciguerra (1892) yang
telah mencatatkan 16 jenis herpetofauna dari koleksi peneliti asal Itali, Elio
Modigliani. Keterangannya tertera dalam bab buku berjudul “Rettili e batraci di Engano”.
Amir Hamidy, Kepala Laboratorium
Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI, menjelaskan berdasarkan data
koleksi spesimen Museum Zoologicum Bogoriense (MZB)
koleksi di Enggano bertambah seiring ditemukannya dua jenis ular yaitu Coelognathus enganensis dan Psammodynastes pulverulentus. “Dua jenis ular ini
dikoleksi oleh naturalis Belanda bernama De Jong pada 1936.”
Menurut Amir, dari hasil pendataan
literatur, catatan spesimen di MZB dan hasil survei lapangan Eksplorasi
Bioresources 2015, Enggano memiliki 20 jenis reptil dan 2 jenis amfibi. Empat
reptil tercatat sebagai jenis endemik alias hanya dapat dilihat di Enggano
saja. “Satwa tersebut adalah Coelognathus enganensis (Ular
tikus enggano), Draco modigliani (Cicak terbang
modigliani), Cnemaspis modigliani (Cicak
batu modigliani), danHemiphyllodactylus engganonensis (Cicak
ramping enggano).”
Berikut sejumlah foto Herpetofauna
(amfibi dan reptil) Pulau Enggano yang telah didokumentasikan oleh Amir Hamidy, yang juga peneliti bidang Herpetologi
LIPI, saat ekspedisi tersebut.
sumber
........................
Selasa, 27 Maret 2012
Merapi Pasca Erupsi : Bagaimana Herpetofauna Bertahan Hidup?
Tentu
masih segar dalam ingatan kita, letusan besar Gunung Merapi yang terjadi pada
tahun 2010 yang lalu, yang memuntahkan material vulkaniknya sehingga merusak
apapun yang dilewatinya, termasuk satwa dan tumbuhan yang ada. Herpetofauna
merupakan kelompok satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana
alam. Sebelum erupsi Gunung Merapi tahun 2010, di kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi (TNGM), setidaknya telah ditemukan sebanyak 20 jenis herpetofauna, dan
empat diantaranya adalah endemik Indonesia. Bagaimanakah kondisi komunitas
herpetofauna di TNGM paska erupsi gunung Merapi 2010?
Untuk mengungkap kondisi komunitas herpetofauna paska
erupsi, pada bulan Mei-Juli 2011 dilakukan sebuah penelitian dengan melakukan
survey pada kawasan yang kelas kerusakan vegetasinya karena erupsi tergolong
ringan. Kawasan ini merupakan lokasi dengan potensi biodiversitas tertinggi.
Meskipun sisa-sisa erupsi masih terlihat di sekitar lokasi penelitian, ternyata
jenis-jenis yang ditemukan masih cukup banyak, bahkan beberapa jenis merupakan
catatan baru di TNGM. Penelitian ini berhasil menemukan 15 jenis amfibi dan
sembilan jenis reptil. Sebelas jenis diantaranya merupakan endemik Indonesia,
termasuk jenisMegophrys montana dan Rhacophorus
margaritifer yang adalah endemik jawa. Jenis Limnonectes
macrodon yang saat ini tercatat dalan daftar merah IUCN sebagai rentan
terhadap kepunahan juga merupakan salah satu jenis yang baru ditemukan di TNGM
dan sekaligus endemik di Indonesia.
Selain data komunitas herpetofauna, penelitian ini
juga mengkaji karakteristik vegetasi yang mempengaruhi kelimpahan herpetofauna.
Hasilnya penutupan horizontal tumbuhan bawah, kepadatan vertikal semak, dan
kepadatan vertikal pohon signifikan berpengaruh.
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa Taman
Nasional Gunung Merapi memang merupakan salah satu benteng pertahanan yang baik
bagi herpetofauna. Terbukti masih banyak jenis-jenis herpetofauna yang bisa
bertahan hidup meskipun merapi belum lama menunjukkan kedasyatan letusannya.
sumber
........................
TUGAS
MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA
POPULASI
SETHA GUSTI MAYASA
D1D01371
DOSEN PENGGAMPU
NOVRIYANTI,S.HUT,M.SI
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016
Herpetofauna
Secara
etimologi berasal dari bahasa yunani,yaitu ‘’herpetofauna’’yang berarti melata
dan ‘’fauna’’yang berarti bintang.jadi bintang herpetofauna adalah
bintang-bintabg melata herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang
bernacan-macam,namun memiliki keseragaman yaitu berdarah
dingin/poikilotemik,fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu
lingkungannya.kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu ,kelas
amphibia dan reptila berdasarkan beberapa cirri yang berbeda dan mencolok.kedua
kelas herpetofauna tersebut dibagi –bagi menjadi beberapa ordo yang kemudian
akan berlanju ke familil.
Satwa yang
dilindungin dalam lampiran peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999:
Reptila
1. Buaya muara (crocodylus porosus)
Kingdom
: animalia
Filum
: chordate(mempunyi penyokong tubuh dalam)
Subfilum
: verterbata(hewan bertulang balakang)
Kelas
: reptilian(hewan melata)
Ordo
: crocodilian(kadar besar:buaya,caiman dan gharial)
Family
: crocodiliae(keluarga buaya)
Gunes
: crocodius
Spesies
: crocodius porosu
Panjang
tubuh buaya muara (termasuk ekor )biasanya antara 2,5 sampai 3,3 meter ,namun
hewan dewasa biasa mencapai 12 meter seperti yang pernah ditemukan di
sangkatta Kalimantan timur.bobotnya bisa mencapai 200 kg.mocong spesies ini
cukup leber dan tidak punya sisik lebar pada tengkuknya .buaya muara dikenal
sebagai buaya yang jauh lebih besar dari buaya Nil(crocodylus niloticus) dan
Aligator amerika (Aligator mississipiensis).penyebaraan pun juga
“terluas”didunia.
Buaya
umumnya menghuni habibita perairan tawar seperti sungai,danau,rawadan lahan
basah lainya,namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara.
Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan
,reptile dan mamalia,kadang-kandang juga memangsa moluskan dan krustaea
bergantung pada spesiesnya .buaya merupakan hewan purba,yang hanya sedikit
berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus.
Buaya aktif
pada siang dan malam hari.buaya ini memangsa siapapun yang memasuki
wilayahnya.mangsanya adalah salah satu ikan,amfibi,refitlia,burung, dan
mamalia(termasuk mamalia besar).buaya ini adalah salah satu dari buaya-buaya
yang berbahaya bagi manusia.buaya muara mampu melompat keluar dari air
untuk menyerang masangsanya.bahkan bilamana ke dalaman air melebihi panjang
tubuhnya,buaya muara mampu melopat serta menerkam secara vertical mencapai
tinggian yang sama dengan panjang tubunya. Buaya muara menyukai air payau/asin
oleh sebab itu bansa Australia menamakannya saltwatwr crocodile(buaya air
asin).selain terbesar dan panjang,buaya muara terkenal juga sebagai jenis
buaya teganas didunia.
2. Penyu hijau (chelonian mydas )
Kingdom
: animalia
Filum
: chordate(mempunyi penyokong tubuh dalam)
Kelas
: reptilia (hewan melata)
Ordo
: testudinata
Family
: cheloniidae
Gunes
: chelonia
Spesies
: chelonian mydas
Penyu hijau
adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga cheloniidae.hewan ini
adalah salah satu-satunya spesies dalam golongan chelonian.mereka hidup disemua
laut tropis dan subtropis ,terutama disamudera atlantik dan samudera
pasifik.namanya didapat dari lemak bewarna hijau yang terletak dibawah cangkang
mereka.jumlah penyu hijau semakin berkurang karena banyak diburu untuk diambil
pelindung tubuhnya (karapaks dan platron) sebagai hiasan terlurnya sebagai
sumber protein tinggi dan obat, juga dagingnya sebagai bahan makanan. Penyu
hijau ditankarkan diujng genteng sukbumi.
Ekologi dan
habitat penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan berikilim sedang,tapi
sangat banyak besar diwilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan
sekitar kepulauan. Perkembangbiakan usia untuk kematangan seksualnya tidak
pasti; sampai saat ini diperkirakan 45-50 tahun. Penyu hijau betina
bermigrasi dalam wilayah yang luas,antara kawasan mencari makan dan bertelur,
tetapi cenderung untuk mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan
terbuka.
Makanan
penyu hijau dewasa serupakan penyu laut herbivore.makanan utama mereka adalah
lamun laut atau alga,yang hidup di perairan tropis dansubtropik.tetapi
anak-anaknya diasumsikan omnivore untuk mempercepat pertumbuhan tubuh
mereka.kemungkinan besar terjadi transisi bertahap saat penyu mencapai besar
yang cukup untuk dapat menghindari predatornya.
Populasi dan
distribusi dikawasan pesisir afirka,india,dan asia tenggara,sera sepanjang
garis pantai pesisir austalia dan kepulauan pasifik selatan terdapat sejumlah
kawasan peneluaran dan kawasan pencarian makan peting bag penyu hijau. Merka
juga dapat ditemukan dimediterania dan terkadang dikawasan utara hingga pesisir
inggris.
Ancaman
Hilang dan
rusakanya habitat pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan rusakanya
pantai-pantai yang penting bagi penyu hijau untuk bertelur. Demikian juga
habitat tempat penyu hijau mencari makan seperti terumbu karang dan hamparan
laut terus mengalami kerusakan akibat sedimentasi atau pun pengrusakan oleh
manusia.
Pengambilan
secara langsung
Para
peneliti memperkirakan setiap tahun sekitar 30.000 penyu hijau ditangkap
dibajak,California dan lebih dari 50.000 penyu laut dibunuh dikawasan
asia tengara (khusunya dibali,Indonesia)dan dipasifik selatan. Dibanyak
Negara,anak-anak penyu laut ditangkap,diawetkan dan dijual sebagai cendar mata
kepada wisatawan.
Pengambilan
secara tidak langsung
Setiap
tahun,ribuan penyu hijau terperangkap dalam jaringan penangkap.penyu laut yang
terdamapr reptile dan mereka bernafas dengan paru-paru,sehingga saat merak
gagal untuk mencapai permukaan laut mereka mati karena tenggelam.
Penyakit
disejumbalah pulau dikepulauan hawai hamper 70% dari penyu laut merupakan
terkena fibropapillomas, yaitu penyakit tumor yang dapat membunuh penyu laut.
Sampai saat ini,penyakit tumorbelum diketahui.
Amphibian
1. Kodok darah(leptophryne crucntara)
Kingdom
: animalia
Filum
: chordata
Kelas
: amphibia
Ordo
: anura
Family
: bufonidae
Gunes
: leptophryne
Spesies
: l.cruentata
Kodok darah
adalah salah satu hewan endemis Indonesia artinya hewan tersebut hanya ada di
Indonesia. Kodok darah termasuk hewan langka dan dilindungi karena keberadaanya
sudah hamper punah. Hewan tersebut hanya dapat ditemui di taman nasional gunung
gede pangrango dan taman nasional gunung halimun salak. Kodok darah juga sering
disebut dengan naman kodok merah. Nama kodok merah atau kodok darah diambil
dari warna kulit kodok yang berwarna merah darah.meskipun demikian warna merah
tersebut tidak merata pada seluruhnya melainkan berupa bercak-bercak.jenis
kodok darah biasa ditemukan didaerah perairan dengan arus lambat serta di
aliran sungai kecil dipegunugan.daerah yang disenangi kodok darah adalah
perbatasan antara daratan lembab dengan hutan pengunungan.
Cirri khas
kodok darah adalah warna bercak-bercak merah darah pada seluruh kulit
tubuhnya.secara keseluruhan ,warna kulit kodok darah adalah berwarna coklat tua
dengan kombinasi bercak merah darah dan kuning terang. Seluruh permukaan hewan
ini, dipenuhi oleh bintik-bintik.tubuh kodok darah ramping. Panjang moncong
lubang antara 2.5mm sampai 40mm pada kodok betina, sedangkan kodok
jantan memiliki panjang moncong antara 20mm sampai 30mm. kelenjar paratoid yang
sering menggembung pada kodok ini terbilang kecil bahkan terkadang tidak
jelas. Seperti halnya hewan amphibi lainya,kodok merah juga memiliki kaki
berselaput dan kaki yang agak menggelembung.kodok merah,tidak memilikitulang
panjang yang biasanya pada kodok terlihat pada bagian kepala.bagian dada kodok
merah ada dua macam, ada yang berwarna dasar hitam dengan bintik merah, ada
pula yang berwarna dasar hitam dengan bintik kuning. Bagian perut kodok merah
ada yang berwarna kekuningan ada pula yang berwarna kemerahan.jenis kodok darah
yang masih dalam bentuk berudu,berwarna hitam seperti berudu pada jenis bufo
atau kodok besar.perkembanganbiakan kodok darah juga sama seperti kodok lainnya
yaitu dimulai dari telur, berudu hingga katak dewasa.telur kodok merah berwarna
hitam dan telur kodok dierampak oleh induk kodok disungai.kodok darah atau
kodok merah memiliki cara berjalan yang lambat makanan kodok darah adalah
belalang ,jangkirik ,dan cacing tanah.
Habitat
kodok darah adalah kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras
didaerah berketinggian antara 1.000-2.000 merer dpl.habitat nya hanya
diperkirakan hanya terdapat ditaman nasional gunung gede parngrango dan taman
nasional gunung halimun-salak.
Kupu-kupu
1. Kupu-kupu sayap burung surga (ornithoptera paradise)
Kingdom
: animalia
Phylum
: artropoda
Filum
: artropoda
Kelas
: insecta
Ordo
: lepidoptera
Family
: papilionoidae
Gunes
: ornithoptera
Spesies
: ornithoptera paradise straudinger 1893
Kupu-kupu
sayap burung surga (ornithoptera paradise)atau paradise birdwing butterly
merupakan salah satu spesies endemiki pulau papua yang menarik
perhatian,khususnya para penelitian dan ahli serangga ketika berkunjung ke
kawasan ini.
Kupu-kupu
ini merupakan salah satu spesies dari genus orntihoptera yang terbesar dan
terindah didunia.
Kupu-kupu
ini dideskripsikan oleh Arnold padgenstecher dan Staudinger,namun
dipublikasikan atas nama staudinger pada tahun 1893.kupu-kupu burung
sayap surga memiliki bentuk sudut sayap dan cara terbang layaknya seperti
seekor burung pada hal ini bisa jadi dikarenakan rentang sayapnya yang cukup
lebar yaitu 14-19cm, hanya berbeda beberapa sentimeter dengan ornithoptera
alexandrae yang mencapai 25cm.
Pada
kupu-kupu sayap burung surga jantan,sayap memiliki warna hitam dan kombinasi hijau
keemasan sedangkan pada betina berwarna coklat tua dan memiliki semacam sulur
yang tipis berwarna hijau keemasan pada sayap bagian belakang.
Habitat
Kupu-kupu ornithoptera paradise termasuk dalam subgenus schoenbergia dan
berkerabat dengan beberapa spesies lain,seperti kupu-kupu sayap burung goliath
Kupu-kupu sayap burung surga (ornithoptera goliath). Habitat ketiganya terdapat
dipulau papua,namun untuk sepsies terakhir berada dikawasan gunung dipapua
nugini.
Makanan
Kupu-kupu umunya hidup dengan mengisap madu bunga (nektar/sari bunga ).akan
tetapi beberapa jenisnya menyukai cairan yang diisap dari buah-buahnya yang
jatuh ditanah dan membusuk,daging bangkai,kotoran burung,getah pohon,garam dan
keringat, dan tanah basah.
Kupu-kupu
sayap burung dapat ditemukan dihabitatnya dicagar alam pegunungan arfak
manokwari,provinsi papua berat.cagar ala mini dikenal sebagai habitat bagi
beragam spesies kupu-kupu yang sering menjadi incaran para kolektor kupu-kupu
internasional.
Menurut
laman resmi lembaga konservasi alam internasional IUCN,status kupu-kupu ini
belum mengkhawaitirkan atau least concer (LC) meski demikian ,para peneliti dan
masyarakat setempat telah mengantisipasi lewat upaya penangkapan kupu-kupu
sayap burung surga di beberapa tempat ,salah satunya dikampung irya disekitar
danau anggi,prvinsi papua barat.
sumber
....................................
TSI-Herpetofauna
IPB konservasi katak
Senin, 27 Februari 2012 07:16 WIB | 5.310 Views
Cisarua, Bogor (ANTARA News) - Taman Safari Indonesia Cisarua,
Kabupaten Bogor bekerja sama dengan Kelompok Pemerhati Herpetofauna Fakultas
Kehutanan Hewan Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan
konservasi katak.
Juru Bicara TSI Cisarua Yulius H. Suprihardo di Bogor, Senin, menjelaskan bahwa kegiatan itu dalam rangka Hari Katak Internasional yang puncaknya diadakan pada 29 Februari 2012.
"Kegiatan itu diadakan selama sembilan hari, mulai dari 25 Februari hingga 4 Maret mendatang," katanya.
Ia menjelaskan bahwa pada Jumat (24/2) TSI bersama dengan herpetologis dari IPB mengadakan penelitian untuk identifikasi sekaligus pemetaan populasi katak yang berhabitat di wilayah TSI.
Kegiatan tersebut, katanya, pada malam hari di lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Direktur TSI Cisarua Drs Jansen Manansang, MS.c mengatakan bahwa kegiatan itu diisi oleh eksebisi jenis katak di wilayah "Baby Zoo" sejak 25 Februari hingga 4 Maret 2012.
Selain itu, pemaparan mengenai katak pada Rabu (29/2), dan "frog camp" di lokasi "camping ground" TSI yang diikuti sekitar 20 siswa SMA dari Kota Bogor untuk mengenalkan pentingnya amfibi sebagai bagian dari ekosistem di alam.
Ia mengatakan, target TSI dalam rangka penyelenggaraan Hari Katak Internasional itu adalah mengenalkan konservasi katak dan pengaruhnya terhadap ekosistem kepada masyarakat luas.
Pada puncak peringatan Hari Katak Internasional mendatang, TSI mengundang lebih dari 150 siswa dan siswi SD, SMP dan SMA di Bogor untuk mempelajari lebih jauh tentang katak.
Menurut dia, tujuan program itu meningkatkan kepedulian terhadap konservasi katak bagi anak.
Selain itu, meningkatkan perhatian anak-anak tingkat SLTA terhadap konservasi satwa melalui kegiatan lapang tentang katak, dan meningkatkan pengetahuan guru-guru sekolah di bidang sains melalui isu-isu seputar konservasi katak.
Katak dan Kodok
Menurut Jansen Manansang, katak (frog) berbeda dengan kodok (toad).
Ia menjelaskan, beda kodok dengan katak, pada tubuh katak relatif halus, tidak memiliki bintil-bintil yang jelas seperti kodok.
Sebagian besar bertubuh ramping (walaupun ada yang agak gemuk sampai gemuk namun berbeda dari kodok).
Kaki katak juga relatif panjang sehingga memungkinkan katak meloncat jauh.
Dia menjelaskan, katak memiliki banyak jenis yang masing-masing mendiami suatu habitat tertentu. Sebagai contoh katak sawah yang mendiami lokasi-lokasi berlumpur seperti sawah maupun lokasi berlumpur lain.
Katak pohon mendiami batang-batang pohon tinggi dan seringkali bersembunyi di balik dedaunan, atau bangkong tuli yang biasanya hanya dapat dijumpai di sela-sela batuan di sumber air yang masih bersih dan belum tercemar di daerah pegunungan.
Ia mengatakan, masih banyak karakter katak yang lain dalam mendiami suatu wilayah tertentu. Keseluruhannya memiliki keunikannya masing-masing.
Fungsi katak, kata dia, antara lain estetika yakni bagaimana katak dan kodok menjadi bagian dalam harmoni kehidupan alam terlebih saat hujan.
Selain itu, fungsi etik yakni nilai lebih satwa tersebut dan kaitannya dengan hak mereka untuk tetap eksis. Fungsi ekonomi yakni katak dan kodok seringkali menjadi bahan makanan, bahkan bagian tubuh tertentu terkadang di ambil sebagai obat untuk manusia.
Selain itu, fungsi ekosistem yang tidak terlalu tampak oleh mata, namun jika terabaikan dampaknya lebih "parah" dibandingkan yang lain.
"Katak dan kodok memiliki peranan dalam aliran energi dan siklus `nutrient`, mereka menempati posisi baik sebagai pemangsa maupun yangdimangsa," katanya.
Oleh karena itu, katanya, apa jadinya jika mereka tidak ada, serentetan efek akan muncul seperti berkurangnya jumlah satwa yang menjadi pemangsa, ataupun melonjaknya jumlah mangsa mereka.
Hal ini, katanya, akan berdampak terhadap peristiwa-peristiwa seperti melonjaknya jumlah nyamuk, lalat, atau serangga hama yang mengganggu tanaman pertanian.
Ia menjelaskan, kondisi itu tentunya dapat mengganggu kehidupan manusia.
"Tidak dapat dibayangkan jika ketimpangan-ketimpangan tersebut terjadi," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, TSI yang merupakan anggota dari Asosiasi Dunia Kebun Binatang dan Akuarium (WAZA), Asosiasi Kebun Binatang Asia Tenggara (SEAZA) dan Perkumpulan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi katak. (A035)
konservasi katak.
Juru Bicara TSI Cisarua Yulius H. Suprihardo di Bogor, Senin, menjelaskan bahwa kegiatan itu dalam rangka Hari Katak Internasional yang puncaknya diadakan pada 29 Februari 2012.
"Kegiatan itu diadakan selama sembilan hari, mulai dari 25 Februari hingga 4 Maret mendatang," katanya.
Ia menjelaskan bahwa pada Jumat (24/2) TSI bersama dengan herpetologis dari IPB mengadakan penelitian untuk identifikasi sekaligus pemetaan populasi katak yang berhabitat di wilayah TSI.
Kegiatan tersebut, katanya, pada malam hari di lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Direktur TSI Cisarua Drs Jansen Manansang, MS.c mengatakan bahwa kegiatan itu diisi oleh eksebisi jenis katak di wilayah "Baby Zoo" sejak 25 Februari hingga 4 Maret 2012.
Selain itu, pemaparan mengenai katak pada Rabu (29/2), dan "frog camp" di lokasi "camping ground" TSI yang diikuti sekitar 20 siswa SMA dari Kota Bogor untuk mengenalkan pentingnya amfibi sebagai bagian dari ekosistem di alam.
Ia mengatakan, target TSI dalam rangka penyelenggaraan Hari Katak Internasional itu adalah mengenalkan konservasi katak dan pengaruhnya terhadap ekosistem kepada masyarakat luas.
Pada puncak peringatan Hari Katak Internasional mendatang, TSI mengundang lebih dari 150 siswa dan siswi SD, SMP dan SMA di Bogor untuk mempelajari lebih jauh tentang katak.
Menurut dia, tujuan program itu meningkatkan kepedulian terhadap konservasi katak bagi anak.
Selain itu, meningkatkan perhatian anak-anak tingkat SLTA terhadap konservasi satwa melalui kegiatan lapang tentang katak, dan meningkatkan pengetahuan guru-guru sekolah di bidang sains melalui isu-isu seputar konservasi katak.
Katak dan Kodok
Menurut Jansen Manansang, katak (frog) berbeda dengan kodok (toad).
Ia menjelaskan, beda kodok dengan katak, pada tubuh katak relatif halus, tidak memiliki bintil-bintil yang jelas seperti kodok.
Sebagian besar bertubuh ramping (walaupun ada yang agak gemuk sampai gemuk namun berbeda dari kodok).
Kaki katak juga relatif panjang sehingga memungkinkan katak meloncat jauh.
Dia menjelaskan, katak memiliki banyak jenis yang masing-masing mendiami suatu habitat tertentu. Sebagai contoh katak sawah yang mendiami lokasi-lokasi berlumpur seperti sawah maupun lokasi berlumpur lain.
Katak pohon mendiami batang-batang pohon tinggi dan seringkali bersembunyi di balik dedaunan, atau bangkong tuli yang biasanya hanya dapat dijumpai di sela-sela batuan di sumber air yang masih bersih dan belum tercemar di daerah pegunungan.
Ia mengatakan, masih banyak karakter katak yang lain dalam mendiami suatu wilayah tertentu. Keseluruhannya memiliki keunikannya masing-masing.
Fungsi katak, kata dia, antara lain estetika yakni bagaimana katak dan kodok menjadi bagian dalam harmoni kehidupan alam terlebih saat hujan.
Selain itu, fungsi etik yakni nilai lebih satwa tersebut dan kaitannya dengan hak mereka untuk tetap eksis. Fungsi ekonomi yakni katak dan kodok seringkali menjadi bahan makanan, bahkan bagian tubuh tertentu terkadang di ambil sebagai obat untuk manusia.
Selain itu, fungsi ekosistem yang tidak terlalu tampak oleh mata, namun jika terabaikan dampaknya lebih "parah" dibandingkan yang lain.
"Katak dan kodok memiliki peranan dalam aliran energi dan siklus `nutrient`, mereka menempati posisi baik sebagai pemangsa maupun yangdimangsa," katanya.
Oleh karena itu, katanya, apa jadinya jika mereka tidak ada, serentetan efek akan muncul seperti berkurangnya jumlah satwa yang menjadi pemangsa, ataupun melonjaknya jumlah mangsa mereka.
Hal ini, katanya, akan berdampak terhadap peristiwa-peristiwa seperti melonjaknya jumlah nyamuk, lalat, atau serangga hama yang mengganggu tanaman pertanian.
Ia menjelaskan, kondisi itu tentunya dapat mengganggu kehidupan manusia.
"Tidak dapat dibayangkan jika ketimpangan-ketimpangan tersebut terjadi," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, TSI yang merupakan anggota dari Asosiasi Dunia Kebun Binatang dan Akuarium (WAZA), Asosiasi Kebun Binatang Asia Tenggara (SEAZA) dan Perkumpulan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi katak. (A035)
Editor: B Kunto Wibisono
sumber
..............................
Kamis, 07
Februari 2013
HERPETOLOGI
Bagi masyarakat awam kata
Herpetologi mungkin masih asing, tapi saat ini kemampuan seseorang dalam bidang
ilmu ini makin banyak dibutuhkan, terutama di bidang-bidang
penelitian, keilmuan dan kedokteran.
Herpetologi merupakan salah satu
perkembangan ilmu dari zoologi yang khusus mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan herpetofauna.
Herpetofauna sendiri merupakan istilah
yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amphibi dan reptil. Amphibia
adalah kelompok binatang yang hidup di dua alam, sedangkan reptil adalah
kelompok hewan melata.
Herpetologi berasal dari bahasa Yunani,
"Herpeton" yang berarti melata/merayap dan "Logos"
yang berarti ilmu.
Iklim tropis di Indonesia merupakan
kesempatan emas bagi berbagai spesies untuk hidup bersamaan karena sumber daya
alam yang berlimpah. Indonesia memiliki kurang lebih 16% keanekaragaman
herpetofauna di dunia. Jenis reptil dan amphibi di Indonesia kurang lebih 1500
jenis. Sedangkan berdasarkan penelitian Van Kampen dan De Roije, di Pulau Jawa
memiliki kurang lebih sekitar 128 jenis dari 7.500 jenis herpetofauna di dunia
yang telah berhasil dievaluasi dan diidentifikasi.
Pustaka :
IUCN, Conservation International and Nature Serve. 2008. Red List Category [online] 2008. Available from : URL: http://www.iucnredlist.org
Thayer and Smith. "Greek Lexicon entry for Herpeton". "The New Testament Greek Lexicon". http://www.studylight.org
Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Academic Press. London, p: 357 - 358
Zug, George R, Vitt, L.J. and Caldwell, J.P. 2001. Herpetology, 2nd ed. Academic Press San Diego, London
IUCN, Conservation International and Nature Serve. 2008. Red List Category [online] 2008. Available from : URL: http://www.iucnredlist.org
Thayer and Smith. "Greek Lexicon entry for Herpeton". "The New Testament Greek Lexicon". http://www.studylight.org
Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Academic Press. London, p: 357 - 358
Zug, George R, Vitt, L.J. and Caldwell, J.P. 2001. Herpetology, 2nd ed. Academic Press San Diego, London
sumber
........................
Pengamatan Herpetofauna Di Kampus IPB Dramaga
17 Oktober 2011 03:06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 00:52:22 Dibaca : 182
Komentar : 1 Nilai : 0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
Saat praktikum pengamatan herpetofauna di
sekitar rektorat kampus IPB Dramaga, siap-siap bawa perlengkapan, plastik,
spidol, senter (cukup simple). Pengamatan ini dilakukan malam-malam (tentu saja
herpetofauna kan hewan nocturnal). Sebelum cerita lebih lanjut, herpetofauna
ini ialah reptil dan amfibi, sedangkan nocturnal adalah hewan yang aktif di
malam hari. Nah, selanjutnya kita pengamatan, hm cukup seru, dingin-dingin
nyari reptil dan amfibi, akhirnya ketemu kodok, sebenarnya takut sech tapi
berhubung pengamatan ya sudah saya tangkap, sambil jijik campur takut saya
ambil dan di masukkan ke plastik, trus diberi data X= jarak hewan ke air secara
horizontal, Y=jarak hewan ke air secara vertikal, aktifitas, tempat,.
Pengamatan selanjutnya diteruskan, tapi kebanyakan ketemu kodok dan kodok lagi,
eh di kolam ketemu juga katak. saya tangkap meski dengan berbagai cara
nangkapnya, he (maklum jijik dan takut). Nah loh, katak dan kodok ternyata
beda, setelah di terangkan asisten praktikum, kodok itu ada totol gitu trus
gendut (seperti di ruman-rumah), kalo katak kurus alias ramping. Hm jadi tau
katak dan kodok, kalo diperhatikan katak lebih indah alias lebih keren
dibanding kodok. Setelah sekian lama pengamatan tetap za ketemunya kodok lagi
kodok lagi, jadi bosen, kadal ga ketemu, ular ga ngeliat, emang harus sabar
pengamatan tuh. Karena berhubung larut malam, kami berkumpul untuk
mengidentifikasi. Cukup seru, kami mengukur SVL kodok atau katak atau reptil
kalo ga salah dari kepala sampai ekor. Hm pengamatan herpetofauna yang menarik,
cukup melelahkan, tapi ini seru dan pengalaman yang indah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/asepsaefullah/pengamatan-herpetofauna-di-kampus-ipb-dramaga_550f4c9c8133111332bc61c4
sumber
...................
KAMIS,
17 MARET 2016
TUGAS
MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA POPULASI
TUGAS
MANAJEMEN SATWA LIAR DAN DINAMIKA POPULASI
Disusun Oleh:
PURI RETNO NOFIA (D1D013044)
KELAS : B
SEMESTER : VI
Dosen Pengampu:
NOVRIYANTI, S.HUT, M.SI
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016
A. Herpetofauna
Secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan fauna yang
berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata.
Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki
keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2
kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda
dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi
beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
Kelas reptilia
1. Buaya Muara
(Crocodylus porosus)
Kerajaan:
|
|
Filum:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
C. porosus
|
Buaya muara atau buaya bekatak
(Crocodylus porosus) adalah jenis buaya terbesar di dunia. Dinamai demikian karena buaya ini terutama hidup
di sungai-sungai dan di dekat laut (muara). Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan
nama-nama lokal lainnya. Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan nama Saltwater
crocodile, Indo-Australian crocodile, dan Man-eater crocodile. Nama umumnya,
Man-eater="pemakan manusia", karena buaya ini terkenal pernah (dan
sering) memangsa manusia yang memasuki wilayahnya. Buaya ini tersebar di
seluruh perairan dataran rendah dan perairan pantai di daerah tropis Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Australia (Indo-Australia).
Buaya muara berbeda dengan buaya lain
yaitu sisik belakang kepalanya yang kecil atau tidak ada, sisik dorsalnya
bertunas pendek berjumlah 16-17 baris dari depan dan belakang
biasanya 6-8 baris. Buaya muara memiliki ukuran yang lebih besar di
banding buaya air tawar yaitu pada rahang atas dan bawah serta ukuran gigi.
Mereka memiliki warna yang bervariasi dari warna abu-abu hingga hijau tua
terutama pada buaya dewasa, sedangkan buaya muda berwarna lebih kehijauan
dengan bercak hitam dan belang pada ekornya. Pejantan dapat tumbuh hingga 7
meter (23 kaki), namun sebagian besar adalah kurang dari 5 meter. Betina
biasanya memiliki panjang kurang dari 4 meter dan dapat mulai bertelur dan
membuat sarang sekitar 12 tahun.
Makanan utamanya adalah ikan walaupun
sering menyerang manusia dan babi hutan yang mendekati sungai untuk minum.
Persebaran buaya ini hampir di seluruh perairan Indonesia.
Penyu hijau
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Testudinata
Famili :
Cheloniidae
Genus :
Chelonia
Spesies : Chelonia
mydas L.
Penyu hijau merupakan jenis penyu
yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari
bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai Penyu hijau
bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di
bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman
atau kecoklat-coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi
di seluruh dunia terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka
penyu ini kadang-kadang pula disebut penyu daging (Anonim, 2010).
Sebaran Penyu hijau terdapat di
Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di
Laut Mediterania. Habitat Penyu hijau ini hidup di perairan tropis dan
sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau juga
diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas.
Kemampuan migrasi Penyu hijau pada beberapa populasi dapat mencapai
jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan.
Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau
hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet
bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut
seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa
sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau memiliki siklus kehidupan yang
panjang, namun tingkat kehidupannya rendah.
Ciri morfologi Penyu hijau menurut
Hirt (1971) dan Bustard (1972) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau
sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal shield) yang tidak
saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping yang tesusun bujur pada
permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana pasangan sisik
samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12
pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat
sebuah kuku pada kaki depan yang besar.
Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di
pantai untuk mencari makanan. Tukik penyu hijau yang berada
di sekitar Teluk California hanya memakan
alga merah.
· Kelas amphibia
Kodok Merah (Leptophryne cruentata)
Kerajaan:
|
|
Filum:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
Anura
|
Famili:
|
|
Genus:
|
Leptophryne
|
Spesies:
|
L. cruentata
|
Kodok Merah (Leptophryne cruentata)
berukuran kecil dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi
bintik-bintik berwarna merah darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan
bintik-bintik merah atau kuning atau putih marmer. Lantaran warna merahnya yang
menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga sebagai katak merah. Makanan kodok merah
adalah belalang, jangkrik, dan cacing tanah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang
mengalir deras di daerah berketinggian antara 1.000 – 2.000 meter dpl.
Habitatnya hanya diperkirakan hanya terdapat di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Selebihnya tentang perilaku
Kodok Merah (Bleeding Toad) belum banyak yang diketahui.
Kerajaan :
Animalia.
Filum : Chordata.
Kelas : Amphibia.
Ordo : Anura.
Famili : Ranidae.
Genus : Huia.
Spesies : Huia masonii Boulenger
Filum : Chordata.
Kelas : Amphibia.
Ordo : Anura.
Famili : Ranidae.
Genus : Huia.
Spesies : Huia masonii Boulenger
Katak yang dikenal sebagai Kongkang
Jeram ini berukuran sedang dengan tubuh yang ramping. Panjang tubuh dari
moncong hingga anus berkisar antara 3-5 cm. Tubuh katak jantan umumnya lebih
kecil dibanding betina. Kongkang Jeram memiliki kaki yang kurus namun panjang.
Memiliki jari tangan dan kaki dengan piringan yang sangat lebar.
Tekstur kulit Kongkang Jeram halus,
meskipun terdapat beberapa bintil. Sisi punggung (dorsal) berwarna kecoklatan
atau coklat hijau zaitun, terkadang memiliki bercak-bercak berwarna gelap atau
terang yang terlihat jelas. Lipatan dorsolateral sempit, putus-putus, tidak
jelas, dan berbintik-bintik hitam. Sisi kepala hitam di sekeliling timpanum
(gendang telinga). Sisi bagian perut (ventral) berwarna putih.
Kongkang Jeram adalah amfibi endemik
Jawa, Indonesia. Diketahui tersebar di Jawa bagian barat dan tengah.
Lokasi-lokasi ditemukannya Kongkang Jeram antara lain di Taman Nasional
Halimun, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, Gunung Salak, Lembang (Bandung),
Dieng, Gunung Slamet, dan Gunung Ungaran.
Habitat hewan endemik Jawa ini adalah daerah hutan atau pun tepi hutan pada ketinggian
antara 50-1.200 meter dpl. Terutama menyukai sungai-sungai kecil yang dangkal,
berair jernih, berbatu-batu, dan memiliki arus deras. Aktif di malam hari
(hewan nokturnal). Kongkang jantan kerap menggunakan batu-batu besar atau kayu
yang melintang di sungai sebagai tempatnya bertengger dan bersuara memanggil
betinanya.
Kupu-kupu
Kingdom : Animalia
Phylum : Artropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Superfam : Papilionoidea
Familia : Papilionidae
Genus : Ornithoptera
Species : Ornitopthera priamus
Phylum : Artropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Superfam : Papilionoidea
Familia : Papilionidae
Genus : Ornithoptera
Species : Ornitopthera priamus
Kupu-kupu ini mempunyai sayap berwarna
hijau dengan kombinasi hitam. Tubuh berwarna kuning keemasan dengan kombinasi
kehitaman. Mempunyai sepasang antenna di kepala. Kaki berjumlah enam.Larva
kupu-kupu ini memakan nectar dari bunga. Setelah menemukan pasangan yang cocok
dan kawin, betina pergi dan meletakkan telurnya. Telur diletakkan secara
individual pada tanaman inang. Setelah menetas, ulat akan memakan kulit telur
yang tersisa. Kepompong akan terbentuk di dekat tanaman inang. Kupu-kupu ini
dapat diamati sepanjang tahun dengan angka tertinggi yang terjadi pada musim
panas dan musim gugur.Kupu-kupu ini dianggap beracun bagi predator, seperi
burung. Kupu-kupu ini berperan penting dalam penyerbukan tumbuhan.
Kupu-kupu ini hanya ditemukan di hutan
hujan tropis dimana terdapat tanaman inang yang melimpah. Kupu-kupu ini hidup
di kanopi hutan hujan dan berkembang biak di tumbuhan yang merambat.
sumber
.........................
HERPETOFAUNA TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Eksplorasi di kawasan mangrove Teluk
Gilimanuk, Teluk Terima dan Teluk Banyuwedang, TNBB berhasil menemukan 23 jenis
herpetofauna (meliputi 21 jenis reptil dan 2 jenis katak) yang tergabung dalam
11 suku. Katak Rana chalconota dan Limnonectes cancrivora ditemukan pada
genangan air tawar di sekitar Teluk Terima pada malam hari. Sedangkan kodok
Bufo melanosticus ditemukan di ketiga lokasi survei pada malam hari.
Ular
king kobra (Ophiophagus hannah) dan ular senduk (Naja sputatrix) walaupun
memiliki habitat yang berbeda, namun keduanya termasuk ular yang sering
ditemukan oleh masyarakat setempat. Ular weling, Bungarus candidus hanya
ditemukan di Teluk Terima, namun menurut keterangan masyarakat lokal ular ini
juga dapat ditemukan di ketiga lokasi penelitian. Ular Trimeresurus albolabris
tergolong jenis ular berbisa yang dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan
lipi gadang/lipi tabea termasuk umum dan mudah ditemukan di TNBB. Spesimen ular
ini diperoleh dari Banyuwedang pada siang hari. Ular Dendrelaphis pictus dan
Ahaetulla prasina ditemukan di ketiga lokasi survei pada siang hari. Pada malam
hari ular ini biasanya beristirahat pada ranting pohon seperti halnya ular
Lycodon aulicus. Ular Ptyas mucosus termasuk ular tidak berbisa, ukuran ular
dewasa dapat mencapai sebesar lengan orang dewasa. Di Jawa ular ini banyak
diburu karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, dagingnya dikonsumsi dan kulitnya
untuk bahan baku kerajinan.
Ular mata kucing atau ular mangrove
(Cerberus rynchops) yang merupakan predator ikan dapat ditemukan di ke tiga
lokasi survei. Phyton molurus termasuk jenis ular yang dilindungi
perundang-undangan RI, spesimen ular ini diperoleh dari Teluk Terima. Ular ini
termasuk jenis yang sering ditemukan di Bali Barat, sebaliknya ular sanca batik
(Phyton reticulatus) agak jarang ditemukan. Sanca kembang merupakan jenis ular
yang terus diburu untuk diambil daging, kulit atau sebagai binatang peliharaan.
Sejenis ular laut (Hydrophis sp.)
ditemukan di ke tiga lokasi survei pada sore hari di pinggir pantai. Jumlah
ular yang ditemukan tidak lebih dari 3 individu pada setiap lokasi yang
disurvei.
Tiga jenis kadal yang umum ditemukan
adalah Eutropis multifasciata, E. rugifera, Lygosoma qudrupes. Namun yang
paling sering dijumpai adalah kadal kebun (E. multifasciata). Jenis tokek dan
cicak yang ditemukan adalah Gekko gekko, Cyrtodactylus fumosus, Gehyra
mutilate, Hemydactylus frenatus. Tokek (Gekko gekko) termasuk binatang yang
umum dan paling sering ditemukan di semua lokasi yang disurvei.
Hanya satu jenis kura-kura yang
ditemukan, yaitu Coura amboinensis di Teluk Gilimanuk dan Banyuwedang.
Kura-kura ini banyak diburu dan diperdagangkan sebagai binatang peliharaan.
Sedangkan biawak (Varanus salvator) dengan mudah ditemukan di pantai dan
mangrove TNBB. Biawak ini memiliki nilai ekonomi tinggi terutama kulitnya yang
dipergunakan sebagai bahan baku kerajinan.
sumber
............................